Dunia pesantren adalah dunia yang mewarisi
dan memelihara kontinoitas tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa
kemasa, dan hal tersebut tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah
islam, Karenanya tidak sulit bagi dunia pesantren untuk melakukan readjustment
terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Maka itu kemamupuan pesantren untuk
tetap survive dalam setiap perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya
yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam melakukan adjustment dan
readjustment.
Terdapat pelbagai visi, misi, karakter dan
kecenderungan baru yang terus berkembang dinamis
dalam pesantren yang
membuatnya tetap dan terus survive dan bahkan berpotensi besar sebagai salah
satu alternatif ideal bagi masyarakat transformatif, lebih lebih ditengah
pengapnya sistem pendidikan nasional yang kurang mencerdaskan dan cenderung
memunculkan ketergantungan yang terus menerus. Visi dan kecenderungan tersebut
antara lain :
Pertama, karakterinya yang khas dan tidak
dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya, yakni mengakar kuat di masyarakat dan
berdiri kokoh sebagai menara air (bukan menara api). Menurut Nur Cholis Madjid,
pesantren selain identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian
indonesia . Nah sebagai indigenous, Pesantren selain memiliki lingkungan, juga
menjadi milik lingkungannya. antara pesantren dengan lingkungannya ibarat
setali mata uang, atau harimau dan rimbanya yang satu sama lain mempunyai
relasi yang erat bersifat simbiotik dan organik. Karena itu posisi pesantren
bagi masyarakatnya sering digambarkan seperti pada Qs. Ibrahim : 24 – 25.
Laksana pohon yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya menjulang kelangit, pohon
itu memberi buah setiap musim dengan idzin Allah Swt.
Kedua, Di Pesantren terdapat prinsip yang
disebut Panca Jiwa, yakni berupa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah
islamiyah dan kebebasan (Subahar, 2002 : 5) Menurut Subahar, Hakekat pendidikan
pesantren sebenarnya terletak pada pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain,
karenanya hasil pendidikan di Pesantren akan mencetak jiwa yang kokoh yang
sangat menentukan falsafah hidup santri dihari kemudian, artinya, mereka tidak
sekedar siap pakai tetapi yang lebih penting adalah siap hidup. Prinsip inilah
yang menjadikan pesantren tetap survive dan terus menjadi oase bagi masyarakat
dalam perubahan yang bagaimanapun.
Ketiga, Adanya hubungan lintas sektoral yang
akrab antara santri dengan kyai. Artinya Kyai bagi santri tidak sekedar guru
Ta’lim, tetapi juga sebagai guru ta’dzib dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar
menyampaikan informasi keislaman, tetapi juga menyalakan etos Islam dalam
setiap jiwa santri dan bahkan mengantarkannya pada taqarrub ilalloh. Karena itu
hubungan kyiai dengan santri tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi lebih jauh
juga bersifat batiniyah.
Keempat, Model pengasramahan. Di pesantren ,
terdapat istilah santri mukim, dimana
santri diasramakan dalam satu tempat yang sama. Dimaksudkan selain menjadikan
suasana tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau orang miskin. Juga sang
kyiai dapat memantau langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih
penting adalah diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan
kepribadian para santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri
melatih kemampuan bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi
ketika mereka terjun pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Kelima, Fleksibel terhadap berbagai
perubahan yang terjadi. Menurut Hadi Mulyo, Salah satu faktor yang menjadikan
pesantren tetap eksis dan bahkan menjadi alternatif prospektif dimasa yang akan
datang, karena ia mempunyai karakter membuka diri terhadap berbagai perubahan
yang terjadi dalam kehidupan riil, dikalangan pesantren terkenal slogan
“Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” . (1995 : 99)
Dengan berbagai visi serta kecenderungan
baru itulah, kekhawatiran banyak pihak yang memprediksi pesantren akan
kehilangan nilai relevasinya dengan kehidupan sosial yang terus berubah, saat
ini secara perlahan mulai terjawab, Misalnya dalam segi “Elemen pokok”, pada
perkembangan selanjutnya elemen pokok pesantren tidak hanya terdiri dari :
Kyai, Masjid, Pondok, Pengajian kitab klasik dan santri, sebagaimana dilihat
Clifford Greertz, Martin Van Bruinessen, Zamakzary Dhofir dan Zeimek, Tapi
telah jauh berkembang pada : Pusat keterampilan, gedung perguruan tinggi, pusat
olah raga, kantor administrasi, perpustakaan, Laboratorium, Pusat pengembangan
bahasa, koprasi, balai pengobatan, pemancar radio, penerbitan dan lain lain
(Kontowijoyo, 1991 :251 dan Sujoko Prasojo, 1982 : 83)
Demikian juga kita melihat terdapat beberapa
refungsionalisasi dalam pesantren, misalnya dari sekedar fungsi pendidikan dan
sosial, saat ini berkembang pada fungsi ekonomi, pengkaderan, public service,
dll. Dengan refungsionalisasi tersebut, pesantren pada gilirannya tidak sekedar
memainkan fungsi - fungsi tradisionalnya, seperti : transmisi ilmu ilmu
keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, tetapi juga telah
menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri
(People centered development), Pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi
pada nilai (Value oriented development), Pembangunan lembaga (Institution
development) dan kemandirian (Self reliance and sustainability).
Dengan berbagai perkembangan baru yang terus
bergerak (walau terkesan hati hati dan cenderung gradual evolusioner),
Pesantren --menurut Azyumardi Azra.-- jelas bukan saja mampu bertahan dan
survive, tapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan perubahan yang
dilakukannya, pada gilirannya pesantren mampu mengembangkan diri dan bahkan
kembali menempatkan dirinya pada posisi sentral sebagai pusat pencerahan, pusat
penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan tehnologi tepat guna, pusat usaha
penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, pusat emansipasi wanita dan
pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.( 1997 : xxi)
Kendati bersifat evolusioner, dengan langkah
yang mantap pesantren -- khususnya di Jawa-- terus mengalami perkembangan dan kemajuan
yang konstan, dari tahun ke tahun mereka mampu menarik minat masyarakat stake
holder untuk berbondong bondong memasukkan putra putrinya ke lembaga tersebut,
tidak hanya dari sekitar wilayah mereka, tetapi juga dari luar Jawa, bahkan
dari luar Negeri, seperti malaysia dan Brunai Darus Salam. Hal tersebut selain
disebabkan faktor internal, dimana pesantren terus melakukan pembenahan dan
konsolidasi diri, juga disebabkan faktor eksternal dimana lembaga pendidikan
modern tidak mampu secara nyata melahirkan manusia yang integratif , mandiri
dan berakhlakul karimah. Padahal yang paling dibutuhkan dalam dunia yang
semakin menua ini tidak saja manusia yang siap pakai, yang lebih penting justru
yang siap hidup, Untuk hal yang terakhir, peran alumni pesantren tidak dapat
diragukan.
Dalam penelitiannya tahun 1955, Departemen
Agama mencatat terdapat 30.368 pesantren dengan santri sejumlah 1.392.159
orang. Sebagai perbandingan saja pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren
bertambah menjadi 37 000 buah dengan sekitar 4 juta santri. Angka angka ini
menunjukkan bahwa pendidikan pesantren mengalami ekspansi yang menakjubkan,
meski berada dibawah sistem dan kelembagaan pendidikan lainnya.
Fenomina Mutahir yang dapat diamati adalah
bahwa pesantren terus mengembangkan ekspansinya hingga batas yang boleh disebut
strategis, misalnya :
1.
Secara fisik, pesantren
mengalami kemajuan yang cukup fenominal, sehingga tidak tepat lagi sepenuhnya
diasosiasikan dengan lembaga yang berfasilitas seadanya, kumuh, sesak dan tidak
heginis, tetapi seiring dengan perkembangan ekonomi umat islam, saat ini tidak
sulit mencari pesantren yang memiliki gedung megah dan mentereng.
2.
Begitu juga dengan domaiannya,
ia tidak saja sebagai rural based institution, tetapi juga menjadi lembaga
pendidikan urban. Ini bisa dilihat dari kemunculan sejumlah pesantren kota,
pesantren pembangunan, pesantren mahasiswa, pesantren tehnologi, pesantren
gender, pesantren industri, pesantren lingkungan, pesantren nara pidana yang
notabene berdomisili dikota kota metpropolitan. Seperti : PP Darun Najah, PP
Assiddiqiyah di Jakarta, PP Alkautsar dan PP Darul Arafah di Medan, PP Darul
Hikmah di Pekan baru, Al Hikam di Malang, Al Jauhar dan Nurul Islam di Jember
dan banyak lagi ditempat lain seperti : Bandung, Surabaya, Jogjakarta,
Semarang, dll.
3.
Selain itu saat ini pesantren
tidak melulu identik dengan kelembagaan islam khas Jawa, tetapi mulai di adopsi
oleh wilayah wilayah lain, seperti di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dsb.
4.
Sistem pengasramahan yang di
pesantren dikenal dengan istilah santri mukim, saat ini ditiru oleh lembaga
lembaga pendidikan umum, modern dan unggulan dengan istilah boarding school
atau boarding system.
Di lingkungan Perguruan tinggi sudah dirintis beberapa
model yang -- meski malu malu-- sesungguhnya meniru model pesantren, seperti :
Pondok pesabtren Hj Nuriyah sobron di Univ. Muhammadiyah Surakarta, Pesantren
Kampus di UIS Malang, Pesantren Mahasiswa di UNTAN Pontianak, dan banyak contoh
contoh lain.
Tidak sedikit Pesantren yang secara
cemerlang berhasil memberdayakan masyarakat disekitarnya, tidak saja dalam
bidang pendidikan, tetapi juga bidang ekonomi, tehnologi dan ekologi. Pesantren
Annuqoyah Guluk guluk Madura, misalnya, telah berhasil mengangkat desanya dari
desa swadaya pada tahun 1978 menjadi desa swakarya pada tahun 1979 dan menjadi
desa swasembada pada tahun 1981. Perubahan besar ini terjadi setelah pesantren
tersebut mendirikan “Biro Pengabdian Masyarakat” yang mengantarkannya mendapat
penghargaan Kalpataru pada tahun 1981.
Pesantren lain yang juga mendapatkan
penghargaan serupa adalah Pesantren Sabilil Muttaqin Magetan yang berhasil
membuka cabang cabang pendidikan di 55 kecamatan dan ratusan desa, Pesantren
ini juga berhasil memberangkatkan 354 KK untuk mengikuti kegiatan transimigrasi
dengan bekal skill yang memadai, sehingga mengantarkannya mendapat penghargaan
Kalpataru pada tahun 1986.
Demikian juga dengan Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Pesantren Maslakhul Huda margoyoso Pati,
Pesantren Suralaya Tasikmalaya dan juga beberapa pesantren lainnya, yang masing
masing mendapat penghargaan Kalpataru karena kontribusinya yang sangat
signifikan dalam pembangunan masyarakat .
Dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT,
para Kiai pesantren memulai pendidikan pesantrennya dengan modal niat ikhlas
dakwah untuk menegakkan kalimatnya, didukung dengan sarana prasarana sederhana
dan terbatas. Inilah ciri pesantren, tidak tergantung pada sponsor dalam
melaksanakan visi dan misinya. Memang sering kita jumpai dalam jumlah kecil
pesantren tradisional dengan sarana dan prasarana yang mudah, namun para Kiai
dan santrinya tetap mencerminkan prilaku-prilaku kesederhanaan. Akan tetapi
sebagian besar pesantren tradisional tampil dengan sarana dan prasarana
sederhana. Keterbatasan sarana dan prasarana ini, ternyata tidak menyudutkan
para Kiai dan santri untuk melaksanakan program-program pesantren yang telah
dicanangkan. Mereka seakan sepakat bahwa pesantren tempat untuk melatih diri
(riyadhoh) dengan penuh keprihatinan, asalkan tidak menghalamgi mereka untuk
menuntut ilmu.
Dengan demikian jiwa kesederhanaan di atas,
maka tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan
kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah
SWT, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat, sebagai pelayan masyarakat,
mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan
agama Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat Islam. (Sulthon
dan Ridho, 2006: 159-160).
Untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu
kualitas out put pondok pesantren itu tergantung bagaimana suatu program yang
sudah di tentukan oleh sosok pengasuh. Dalam artian terealisasinya visi, misi
dan tujuan pondok pesantren terletak pada kebijakn seorang kiai. Oleh karena
itu, ada beberapa faktor yang dimaksud dengan visi, misi dan tujuan pondok
pesantren sebagaimana di bawah ini :
1. Adanya kemampuan SDM pengelola atau pengasuh
2.
Adanya strategi yang baik demi
tercapainya suatu tujuan
3.
Adanya kebijaksanaan
pemerintah, baik melalui perundang-undangan, surat keputusan mentri atau
pejabat pemerintah dan sebagainya untuk mendukung program-program yang sudah
ada di pondok pesantren.
4.
Adanya intervensi masyarakat
(sosio-cultur)
5.
Dapat menyesuaikan dengan
adanya perkembangan pengetahuan dan teknologi
Hal ini juga
dikemukakan oleh Abdurrahman Mas’ud dkk, sesungguhnya tujuan pendidikan
pesantren tergantung atau ditentukan oleh kebijakan kiai, sesuai dengan
perkembangan pesantren tersebut. Maka dari pada itu perkembangan dan perubahan
pesantren yang cukup berperan aktif serta sebagai pedoman di dalam proses
pendidikan untuk tercapainya tujuan instruksional selalu menggunakan kurikulum.
0 komentar:
Posting Komentar