Pesantren Tradisional adalah jenis pesantren
yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami
ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang
diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari
kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad
pertengahan.
Dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia,
ada yang menyebutkan bahwa pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi
sebagai sub ordinat yang bergerak pada wilayah dan domaian pendidikan hati yang
lebih menekankan pada aspek “afektif pendidikan “ atau “atticude pendidikan” .
Namun
sebagian yang lain menyebutkan, pendidikan pesantren merupakan bagian tak
terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta
didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun
psikomotorik (skill)
Dengan demikian, pesantren dengan sistem dan
karakternya yang khas telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan
nasional, meski mengalami pasang surut dalam mempertahankan visi, misi dan
eksistensinya, namun tak dapat disangkal hingga saat ini pesantren tetap
survive, bahkan beberapa diantaranya bahkan muncul sebagai model gerakan
alternatif bagi pemecahan masalah masalah sosial masyarakat desa, seperti yang
dilakukan Pesantren Pabelan di Mangelang yang mendapat penghargaan “Aga Khan’
tahun 1980.
Efektifitas persantren untuk menjadi agent
of change sebenarnya terbentuk karena sejak awal keberadaannya pesantren juga
menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat (Commonity learing centre),
seperti di contohkan Gur Dur pada Pesantren Denanyar Jombang yang selama 50
tahun tidak pernah surut memberikan pengajian dan problem solving gratis pada
Ibu ibu rumah tangga di desa desa lingkungan pesantren dan sekitarnya.
Hasil dari kegiatan ini memang bukan orang
orang yang berijazah, tetapi pembentukan pandangan, nilai nilai dan sikap hidup
bersama dimasyarakat, padahal pembangunan oleh pemerintah acapkali tidak
manjangkau sisi ini. Disini terlihat jelas bahwa Pesantren bukan saja
penyelenggara pendidikan, tetapi juga penyelenggara dakwah yang mengajak pada
perubahan pola hidup dimasyarakat.
Meskipun dalam melakukan pemecahan masalah
masalah sosial masyarakat sekitarnya, pesantren tidak menggunakan teori
pembanguan seperti yang digunakan pemerintah, dan lebih pada gerakan yang
dilandaskan pada amal saleh, sebagai refleksi dari penghayatran dan pemahaman
keberagamaan sang kyai, tetapi efektifitasnya dalam merubah pola hidup
masyarakat tidak dapat disangsikan. Keunggulan keunggulan itu sesunggunhnya
merupakan kekayaan Bangsa ini yang jika kian mendapat dukungan yang lebih
signifikan dari semua pihak dalam skenario besar kehidupan berbangsa, maka
bukan tidak mungkin ia akan menjadi mutiara yang sangat berharga bagi perbaikan
bangsa Indonesia. Oleh karena itu sekali lagi, melakukan pengamatan terhadap
dunia pesantren dengan memakai pendekatan formatif dan teori ilmu ilmu sosial
Barat, tentu tidak akan akurat.
Namun demikian tidak berarti pesantren
sebagai lembaga pendidikan terbebas dari berbagai kelemahan, Para pakar
pendidikan mencatat beberapa kelemahan mendasar, antara lain :
1.
Di Pesantren belum banyak yang
mampu merumuskan visi, misi dan tujuan pendidikannya secara sistimatik yang
tertuang dalam program kerja yang jelas. Sehingga tahapan pencapaian tujuannya
juga cenderung bersifat alamiyah.
2.
System kepeminpinan
sentralistik yang tidak sepenuhnya hilang, sehingga acapkali mengganggu
lancarnya mekanisme kerja kolektif, padahal banyak perubahan yang tidak mungkin
tertangani oleh satu orang.
3.
Dalam merespon perubahan
cenderung sangat lamban, konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu
bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana benang tak terputus
dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik tangga, ketika salah satu
kaki meninggalkan tangga yang bawah, kaki satunya melayang layang diudara, bisa
jadi terpeleset atau jatuh, itu resiko, bila takut menghadapi resiko, dia tidak
akan pernah beranjak dari tangga terbawah.
4.
Sistem pengajarannya kurang
efesien, demokratis dan variatif, sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada
peserta didik. Dsb.
Pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi Tafaqquh fi
al din (pendalaman pengetahuan tentang agama), fungsi tarbiyah al akhlaq
(pembentukan kepribadian / budi pekerti), dan fungsi pengembangan masyarakat
atau pusat rehabilitasi sosial. Hanya saja dalam konteks pendidikan , tepatnya,
proses belajar mengajar, konsep tafaqquh fi al din kurang mendapat porsi yang
semestinya, yang terjadi di pesantren, penekanannya bukan pada tafaqquh fi al
din, tetapi sekeder transfer ilmu pengetahuan.
Meskipun dipesantren, santri lebih
mengutamakan capaian substansial keilmuannya ketimbang capaian capaian formal,
akan tetapi tetap ada tuntutan yang mendesak agar ada re-presepsi terhadap
pemahaman kitab kuning, yaitu bukan sekedar memahami sebagaimana adanya, hitam
diatas putih terhadap teks yang terdapat dalam kitab kuning, namun juga konteks
historisnya. Atau bahkan tidak sekedar kitab kuning, tapi juga mungkin kitab
putih, hitam, merah dan biru. tuntutan untuk memahami komprehensitas konteks
dari leteratur klasik merupakan tuntutan yang amat mendasar sebagai syarat
kwalifikasi keilmuan dalam rangka menjawab berbagai tantangan global.
Kultur belajar mengajar di pesantren yang
banyak dirasakan sebagai kurang memberi kelonggaran untuk bertanya, apalagi
berdebat, terutama dalam rumusan “mengapa“, hal yang demikian menurut Masdar F
Mas’udi (1993 : 11) karena berhubungan erat dengan akar historis yang amat
tipikal dalam kehidupan masyarakat islam zaman kemandegan Pertengahan abad ke
13 M.
Di sebagian masyarakat Pesantren terdapat
persepsi atau frem yang tidak sepenuhnya benar, yakni sebuah frem yang
menganggap bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang lahir dari proses pengamatan
(ru’ya) dan penalaran (ra’yu), melainkan suatu nur yang memancar atau yang
dipancarkan dari atas dari sebuah sumber yang tidak diketahui bagaimana
datangnya. Akhirnya muncul persepsi bahwa ilmu bukan sesuatu yang harus dicari,
digali dan diupayakan dari bawah, melainkan sesuatu yang ditunggu dari “atas”.
Giliran selanjutnya ternyata bukan hanya ilmu yang diyakini memancar dari atas,
tetapi juga termasuk kemampuan kemanpuan lain manusia atau bahkan segala
sesuatu yang terhampar di alam semesta ini . akibatnya adalah apa yang mesti
dilakukan seseorang untuk memperoleh ilmu adalah menyediakan kondisi spiritual
yang kondusif bagi hadirnya anugrah itu melalui latihan latihan kerohanian
(riyadhah) secara intensif dan benar.
Nah dalam proses riyadhah, pada perspektif
sufi, difahami bahwa seorang murid tak ubahnya bagaikan si buta yang tak
mungkin menemukan jalan tanpa uluran tangan seorang guru (mursyid) yang
dipercaya mengantarkannya kepada Tuhan yang maha kuasa. Disinilah kita dapat
memahami posisi guru menjadi demikian signifikan dan vital bagi seorang murid
yang hendak mengarungi jalan bathin. Syair sufi mengatakan “ hendaklah
dihadapan gurumu, engakau bagaikan sebujur mayat ditangan yang memandikannya”.
Hal yang seperti ini jelas akan melemahkan daya kritis dan kreatifitas pada
masyarakat pesantren, lebih lebih di jaman serba canggih ini.
Dipesantren, lebih banyak menghafal
ketimbang kemampuan memahami dan menalar ilmu ilmu itu, diakui bahwa kemampuan
mengingat dan menghafal bukan sesuatu yang tidak penting, akan tetapi mesti
seimbang dengan kemampuan menalar, sebab kalau dimensi menalar dilemahkan ,
maka dengan sendirinya santri menjadi tidak mempunyai daya kritisitas yang memadai.
Akhirnya proses pendidikan hanya bersifat transfer (memindahkan), tidak ada
proses pendalaman, pemahaman dan kajian. Nah bila ini yang terjadi maka bukan
tafaqquh tapi hanya tahafudz.
Leteratur yang dikaji jangan hanya
terbatas pada kitab yang sudah menjadi barang jadi, seperti, fahtul muin,
fathul wahab, tetapi diprioritaskan pada ilmu metodologinya, seperti : ushul
fiqh, tarikh tasyri’ dan semacamnya.
Walhasil bahwa pendidikan di
pesantren ada kelemahan dan kelebihannya, tapi jika pesantren mampu mengeleminir
kelemahan tersebut dan mengoptimalkan kelebihannya, maka bukan tidak mungkin ia
menjadi salah satu alternatif yang cukup menjajikan dimasa masa yang akan
datang, terutama ditengah pengapnya system pendidikan nasional yang cenderung
lebih menekankan pada education for the brain dan relatif mengabaikan Education
for The heart, yang gilirannya hampir bisa dipastikan akan menghasilkan over
educated society, kian membludaknya pengangguran elit intelektual, meraksasa
dalam tehnik tapi merayap dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung
dalam menikmati kehidupan, cerdas otaknya tapi bodoh nuraninya,. Dalam suasana
yang seperti ini, lembaga pendidikan pesantren akan dilirik untuk memainkan
peran sebagai :
1.
Lembaga pendidikan yang memadu
pendidikan integralistik, humanistik, pragmatik, idealistik dan realistik.
2.
Pusat rehabilitasi sosial
(banyak keluarga yang mengalami kegoncangan psikologi spiritual akan
mempercayakan penyeklamatannya pada pesantren)
3.
Sebagai pencetak manusia yang
punya keseimbangan trio cerdas, yakni Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan
Emosional (EQ) Dan kecerdasan Spiritual (SQ).
Dalam melaksanakan sistem dan proses
pengajaran, pendidikan pondok pesantren dalam perspektif pendidikan Islam
Indonesia mempunyai peran serta memiliki unsur-unsur atau kontribusi pemikiran
terhadap berkembang dan tumbuhnya pendidikan Islam. Dalam hal ini, lembaga
pendidikan yang mengajarkan agama Islam kepada masyarakat dan anak-anak
Indonesia, telah lahir dan berkembang semenjak masa awal kedatangan Islam di
negeri ini. Pada masa awal kemunculannya, lembaga pendidikan ini bersifat
sangat sederhana berupa pengajian al-Qur’an dan tata cara beribadah yang
diselenggarakan di masjid, surau, atau dirumah-rumah ustadz.
Keberadaan lembaga-lembaga yang tersebut di
atas, kemudian muncul dan berkembang dengan nama pesantren, ini terus tumbuh
didasari tanggung jawab untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat dan generasi
penerus. Pondok sebagai asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat
peribadatan dan pendidikan, santri sebagai pencari ilmu, pengajaran kitab
kuning serta kiai yang mengasuh merupakan lima elemen dasar keberadaannya.
Secara mayoritas pondok pesantren merupakan
komunitas belajar keagamaan yang erat hubungannya dengan lingkungan sekitarnya,
pada umumnya masyarakat pedesaan. Komunitas tersebut kehidupan keagamaan
merupakan bagian integral dalam kenyataan hidup sehari-hari, dan tidak dianggap
sebagai sektor yang terpisah. Oleh karena itu, sosok kiai dalam dunia pondok
pesantren tidak dapat dipisahkan, karena keberadaannya merupakan unsur yang
paling signifikan dan sebagai pimpinan keagamaan atau sesepuh yang diakui di
lingkungan serta diperhatikan nasehat-nasehatnya.
Oleh sebab itu, pondok pesantren bukan
diperuntukkan sebagai tempat pendidikan bagi santri semata, melainkan juga bagi
masyarakat sekitarnya. Hal ini berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan
lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas.
Sebagaimana telah dijelaskan atau
dideskripsikan pada pembahasan sebelumnya, inti atau penekanan pendidikan
pondok pesantren sebagai wadah dan tempat tercapainya suatu pendidikan Islam
Indonesia, yakni tercapainya tujuan pembangunan nasional bidang pendidikan.
Secara realistis banyak kalangan menilai bahwa sistem pendidikan yang
berlangsung di tanah air ini masih belum mampu mengantarkan tercapainya
pendidikan Islam, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Terbukti semakin maraknya tawuran antar
pelajar, konsumsi pengedaran narkoba yang merajalela, kurangnya rasa hormat peserta
didik kepada pendidik dan orang tua, munculnya egoisme kesukuan yang mengarah
kepada separatisme, rendahnya moral para penyelenggara negara serta lain
sebagainya adalah indikasi-indikasi yang mendukung penilaian di atas. Berpijak
dari konsep dasar itulah pendidikan pondok pesantren mencoba memberikan respon
dalam menanggapi sistem pendidikan yang ada di tanah air ini dan dituntut
adanya penyikapan yang arif dan bijaksana.
0 komentar:
Posting Komentar