Dalam prinsip ajaran Islam, segala
sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan
secara rapi, benar, tertib, dan teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti
dengan tertib.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw
bersabda : yang artinya : “Sesungguhnya
Allah sangat mencintati orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan
secara Itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas)”. (HR Thabrani)
Sebenarnya, manajemen dalam arti
mengatur segala sesuatu agar dilakukan dengan baik, tepat
dan tuntas merupakan
hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam, sebab dalam islam arah gayah (tujuan) yang jelas, landasan yang
kokoh, dan kaifiyah yang benar
merupakan amal perbuatan yang dicintai Allah swt.
Setiap organisasi, termasuk
pendidikan pondok pesantren memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu
dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adalah
manajemen. Dengan pengetahuan manajemen, pengelola pondok pesantren bisa
mengangkat dan menerapkan prinsip-prinsip dasar serta ilmu yang ada di dalam
Al-Qur’an dan Hadis ke dalam kembaganya tersebut.
Manajemen sebagai ilmu yang baru
dikenal pada pertengahan abad ke-19, dewasa ini sangat populer, bahkan dianggap
sebagai kunci keberhasilan pengelola perusahaan atau lembaga pendidikan, tak
terkecuali lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren, maka hanya dengan
manajemen lembaga pendidikan pesantren diharapkan dapat berkembang sesuai
harapan, karena itu manajemen merupakan sebuah niscaya bagi lembaga pendidikan
Islam atau pesantren untuk mengembangkan lembaganya ke arah yang lebih baik.
Abudin Nata (2003 : 43) menyebutkan
dewasa ini pendidikan islam terus dihadapkan pada berbagai problema yang kian
kompleks, karena itu upaya berbenah diri melalui penataan SDM, peningkatan
kompetensi dan penguatan institusi mutlak harus dilakukan, dan semua itu
mustahil tanpa manajemen yang profesional.
Seperti diketahui bahwa sebagai
sebuah sistem pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang saling
berkaitan satu sama lainnya, komponen tersebut meliputi landasan, tujuan,
kurikulum, kompetensi dan profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid,
metodologi pembelajaran, sarana prasarana, evaluasi pembiayaan dan lain
sebagainya. Berbagai komponen ini -- karena dilakukan tanpa perencanaan konsep
yang matang -- seringkali berjalan apa adanya, alami dan tradisional, akibatnya
mutu pendidikan Islam acapkali menunjukkan keadaan yang kurang membanggakan.
Al-Qur’an dan Hadits yang notabene
merupakan landasan dan dasar pendidikan Islam saat ini belum benar-benar
digunakan sebagaimana mestinya. Hal ini diakibatkan oleh minimnya pakar --di
Indonesia-- yang secara khusus mendalami pemahaman kedua sumber tersebut dalam
perspektif pendidikan Islam. Ummat Islam belum banyak mengetahui tentang isi
kandungan Al-Quran dan Al-Sunnah yang berhubungan dengan pendidikan secara
baik. Akibatnya proses pendidikan Islam belum berjalan diatas landasan dan
dasar ajaran Islam itu sendiri.
Sebagai konsekwensinya, visi dan
misi pendidikan Islam juga masih belum berhasil dirumuskan secara baik dan
universal. Tujuan pendidikan Islam juga seringkali diorientasikan untuk
menghasilkan manusia – manusia siap pakai bukan siap hidup, menguasai ilmu
Islam saja bukan berkarekter islami, dan visinya diarahkan untuk mewujudkan
manusia yang shalih dalam arti ritual ukhrowi belum sosial dunia, Akibatnya
lulusan pendidikan Islam hanya memiliki kesempatan dan peluang yang terbatas,
mereka kurang mampu bersaing dan tidak mampu berebut peluang dan kesempatan
dalam ruang yang lebih kompleks.
Konsekwensi lebih lanjut lulusan
pendidikan Islam semakin terpinggirkan dan tak berdaya, ini merupakan masalah
besar yang perlu segera diatasi, lebih lebih dalam dunia persaingan yang kian
kompetieif dan mengglobal. Problema ini kian diperparah oleh tidak tersedianya
tenaga pendidik Islam yang profesional, yaitu tenaga pendidik yang selain
menguasai materi ilmu yang diajarkannya secara baik dan benar, juga harus mampu
mengajarkannya secara efektif dan efisien kepada para siswa, serta harus pula
memiliki idealisme.
Manajemen yang dimaksud disini
adalah kegiatan seseorang dalam mengatur organisasi, lembaga atau perusahaan
yang bersifat manusia maupun non manusia, sehingga tujuan organisasi, lembaga
atau perusahaan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Bertolak dari
rumusan ini , terdapat beberapa unsur yang inheren dalam manajemen, antara lain
:
1.
Unsur proses, artinya seorang
manejer dalam menjalankan tugas manajerial harus mengikuti prinsip graduasi
yang berkelanjutan.
2.
Unsur penataan, artinya dalam
proses manajemen prinsip utamanya adalah semangat mengelola, mengatur dan
menata.
3.
Unsur implementasi, artinya,
setelah diatur dan ditata dengan baik perlu dilaksanakan secara profesional.
4.
Unsur kompetensi. Artinya
sumber-sumber potensial yang dilibatkan baik yang bersifat manusia maupun non
manusia mesti berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan kualitasnya.
5.
Unsur tujuan yang harus
dicapai, tujuan yang ada harus disepakati oleh keseluruhan anggota organisasi.
Hal ini agar semua sumber daya manusia mempunyai tujuan yang sama dan selalu
berusaha untuk mensukseskannya. Dengan demikian tujuan yang ada dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas dalam organisasi.
6.
Unsur efektifitas dan
efisiensi. Artinya, tujuan yang ditetapkan diusahakan tercapai secara efektif
dan efisien.
Relevan dengan hal diatas, Hamzah
(1994 : 32) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Manajemen Pendidikan
Pesantren adalah aktivitas memadukan sumber-sumber Pendidikan Pesantren agar
terpusat dalam usaha untuk mencapai tujuan Pendidikan Pesantren yang telah
ditentukan sebelumnya, dengan kata lain manajemen Pendidikan merupakan
mobilisasi segala sumberdaya Pendidikan Pesantren untuk mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan.
Maka manajemen Pendidikan Pesantren
hakekatnya adalah suatu proses penataan dan pengelolaan lembaga Pendidikan
Pesantren yang melibatkan sumber daya manusia dan non manusia dalam
menggerakkannya mencapai tujuan Pendidikan Pesantren secara efektif dan
efisien.”.
Yang disebut “efektif dan efisien”
adalah pengelolaan yang berhasil mencapai sasarannya dengan sempurna, cepat,
tepat dan selamat. Sedangkan yang “tidak efektif” adalah pengelolaan yang tidak
berhasil memenuhi tujuan karena adanya mis-manajemen,
maka manajemen yang tidak efisien adalah manajemen yang berhasil mencapai
tujuannya tetapi melalui penghamburan atau pemborosan baik tenaga, waktu maupun
biaya.
Reddin (1970 : 135) memberikan
beberapa gambaran tentang perilaku manajer yang efektif, antara lain : pertama,
mengembangkan potensi para bawahan, kedua, memahami dan tahu tentang apa yang
diinginkan dan giat mengejarnya, memiliki motivasi yang tinggi, ketiga,
memperlakukan bawahan secara berbeda-beda sesuai dengan individunya, dan
keempat, bertindak secara team manajer.
Seorang manajer tidak hanya
memanfaatkan tenaga bawahannya yang sudah ahli atau trampil demi kelancaran
organisasi yang dia pimpin saja, tetapi juga memberikan kesempatan pada
bawahannya agar mereka dapat meningkatkan keahlian atau ketrampilannya.
Manajer Pendidikan Pesantren pada
umumnya hanya tahu apa tugas mereka agar proses pendidikan dapat berlangsung
konstan, tetapi acapkali mereka kurang mampu mengantisipasi secara akurat
perubahan yang bakal terjadi di masyarakat pada umumnya dan dalam dunia
pendidikan Islam khususnya. Akibatnya mereka hanya tenggelam dalam tugas-tugas
rutin organisasi keseharian tetapi sangat sulit melakukan inovasi progresif nan
memungkinkan dicapainya tujuan organisasi secara lebih improve dan
membanggakan.
Dalam setiap perjalanan sebuah lembaga itu
tidak terlepas yang namanya aktivitas managemen, karena setiap lembaga,
organisasi dan termasuk pondok pesantren selalu berkaitan dengan usaha-usaha
mengembangkan dan memimpin suatu tim kerja sama atau kelompok orang dalam satu
kesatuan, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Semuanya ini untuk mencapai
suatu tujuan tertentu dalam organisasi yang ditetapkan sebelumnya. Maka dari
pada itu, keterkaitan managemen dan memimpin tidaklah salah jika kemudian orang
menyatakan bahwa managemen sangat berkait erat dengan persoalan kepemimpinan.
Karena managemen dari segi etimologinya yang berasal dari sebuah kata manage atau manus (latin) yang berarti memimpin, menangani, mengatur, dan
membimbing. Dengan demikian pengertian managemen dapat diartikan sebagai sebuah
proses khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan; perencanaan,
pengorganisasian, penggiatan, dan juga pengawasan. Ini semua juga dilakukan
untuk menentukan atau juga untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan melalui
pemanfaatan sumber daya manusia, serta sumber-sumber lainnya.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui
bahwa managemen adalah ilmu aplikatif, dimana jika dijabarkan menjadi sebuah
proses tindakan meliputi beberapa hal : Pleaning, organizing, aktuating,
controling. Berdasarkan empat hirarki tersebut managemen dapat bergerak,
tentunya hal itu juga bergantung tingkat kepemimpinan seorang manager. Artinya
adalah proses managerial sebuah organisasi akan bergerak apabila para managernya
mengerti dan paham secara benar akan apa yang dilakukannya. (Suhartini,
dkk,2005:70-72)
Maka berdasarkan dari definisi di atas, baik
secara etimologi dan termenologi, berbicara managemen pendidikan pondok
pesantren atau bisa disebut mengolah konsep apapun tentang pesantren sebenarnya
bukanlah pekerjaan mudah. Terlebih dahulu adanya kenyataan bahwa tidak ada
konsep yang mutlak rasional, dan paling afdhol diterapkan di pesantren. Baik
sejarah pertumbuhannya yang unik maupun karena tertinggalnya pesantren dari
lembaga-lembaga kemasyarakatan lain dalam melakukan kegiatan-kegiatan teknis,
pesantren belum mampu mengolah, apalagi dalam soal melaksanakan konsep yang
disusun berdasarkan pertimbangan rasional.
Kendati bersifat gradual, dalam beberapa
tahun terakhir di lembaga pendidikan pesantren telah dilakukan berbagai
pembaharuan di bidang manajemen sebagai jawaban atas tuntutan demokratisasi
global, salah satu bentuknya adalah model manajemen demokratis yang berbasis
kultural, dari, oleh dan untuk peserta didik (DOUP), dalam konteks ini terjadi
rekonstruksi dari yang top down menjadi button up, dari yang doktrimal menjadi
demokratik, dari yang menyeramkan menjadi menyenangkan.
Konsederasi yang dapat digunakan bagi model
manajemen demokratis adalah bahwa setiap manusia dan masyarakat diciptakan
dalam keadaan merdeka, karena itu kemerdekaan adalah hak setiap manusia, dan
kemerdekaan sejati itu adalah terbebasnya rakyat dari berbagai bentuk ketidak
berdayaan disegala bidang, termasuk pendidikan.
Karena itu agenda utama manajemen demokratis
dalam pendidikan islam adalah semangat pembebasan kaum muslimin dari belenggu
ideologi dan relasi kekuasaan yang menghambatnya mencapai perkembangan harkat
dan martabat kemanusiaannya, maka manajemen demokratis dalam pendidikan islam
sejatinya diarahkan pada proses aksi dimana kelompok sosial kelas bawah
mengontrol ilmu pengetahuan dan membangun daya melalui pendidikan, penelitian
dan tindakan sosial kritis.
Dari sisi managemen kelembagaan, di
pesantren saat ini telah terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepeminpinan
yang sentralistik, hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model
managemen kolektif seperti model yayasan.
Sejatinya manajemen berhubungan erat dengan
usaha untuk tujuan tertentu dengan jalan menggunakan berbagai sumber daya yang
tersedia dalam organisasi atau lembaga pendidikan Islam dengan cara yang sebaik
mungkin. Manajemen bukan hanya mengatur tempat melainkan juga mengatur orang
per orang, dalam mengatur orang, tentu diperlukan seni atau kiat agar setiap
orang yang bekerja dapat menikmati pekerjaan mereka.
Dalam proses manajemen, fungsi-fungsi
manajemen digambarkan secara umum dalam tampilan prangkat organisasi yang
dikenal dengan sebutan teori manajemen klasik. Para pakar manajemen mempunyai
perbedaan pendapat dalam merumuskan proses manajemen, Bagi Poul Mali (1981 :
54), fungsi manajemen meliputi : planning,
organizing, staffing, directing and controlling. Sedangkan dalam pandangan
Wayne (1988 : 32) fungsi manajemen meliputi : planning, organizing, leading and controlling. Sementara menurut
Peter Drukcer (1954 : 87) proses manajemen dimulai dari planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan
budgeting. Dan menurut Made Pidarta (1988 : 85) manajemen meliputi : planning, organizing, comanding,
coordinating, controlling
Berdasarkan uraian diatas, yang wajib ada
dalam proses manajemen minimal empat hal, yakni : planning, organizing, actuating, controlling, (POAC). Empat hal ini
prosesnya digambarkan dalam bentuk siklus karena adanya saling keterikatan
antara proses yang pertama dengan proses berikunya, begitu juga setelah
pelaksanaan controlling lazimnya
dilanjutkan dengan membuat planning baru.
Dalam hal ini para pakar manajemen
pendidikan Islam merumuskan siklus proses manajemen pendidikan Islam diawali
oleh adanya sasaran yang telah ditetapkan terlebih dahulu, lalu disusunlah
rencana untuk mencapai sasaran tersebut dengan mengorganisir berbagai sumber
daya yang ada baik materiil maupun non materiil lalu berbagai sumberdaya tersebut
digerakkan sesuai jobnya masing masing, dan dalam aktuating tersebut dilakukan
pengawasan agar proses tersebut tetap sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Perencanaan pendidikan islam adalah proses
mempersiapkan secara sistematis kegiatan kegiatan yang akan dikerjakan pada
waktu yang akan datang untuk mencapai sasaran atau tujuan pendidikan islam yang
telah dirumuskan dan ditetapkan sebelumnya.
Dalam islam keharusan membuat perencanaan
yang teliti sebelum melakukan tindakan banyak disinyalir dalam teks suci, baik
secara langsung maupun secara sindiran (kinayah),
misalnya dalam islam diajarkan bahwa upaya penegakan yang ma’ruf dan pencegahan
yang munkar membutuhkan sebuah perencanaan dan strategi yang baik, sebab bisa
jadi kebenaran yang tidak terorganisir dan terencana akan dikalahkan oleh
kebatilan yang terorganisir dan terencana.
Meskipun Alqur’an menyatakan yang benar
pasti mengalahkan yang bathil (al Isra’ : 81), namun Allah lebih mencintai dan
meridhoi kebenaran yang diperjuangkan dalam sebuah barisan yang rapi, terencana
dan teratur ( as shaff : 4)
Setelah perencanaan, dilanjutkan dengan
pengorganisasian, yakni proses penataan, pengelompokan dan pendistribusian
tugas, tanggung jawab dan wewenang kepada semua perangkat yang dimiliki menjadi
kolektifitas yang dapat digerakkan sebagai satu kesatuan team work dalam
mencapai tujuan yang telah ditentukan secara efektif dan efesien. Dalam Qs. 6 :
132 ditegaskan bahwa “Setiap orang mempunyai tingkatan menurut pekerjaannya
masing-masing.
Sewaktu Rasulullah membentuk atribut-aribut
negara dalam kedudukan beliau sebagai pemegang kekuasaan tetinggi, beliau
membentuk organisasi yang didalamnya terlibat para sahabat beliau yang beliau
tempatkan pada kedudukan menurut kecakapan dan ilmu masing-masing. Tidak dapat
dipungkiri bahwa Rasulullah adalah seorang organisatoris ulung, administrator
yang jenius, dan pendidik yang baik yang menjadi panutan, karena itu beliau
disebut sebagai panutan yang baik (uswatun
hasanah).
Setelah planning dan organizing, dalam
siklus manajemen pendidikan islam dilanjutkan dengan actuating, yakni proses
menggerakkan atau merangsang anggota anggota kelompok untuk melaksanakan tugas
mereka masing masing dengan kemauan baik dan antusias.
Fungsi Actuating berhubungan erat dengan
sumber daya manusia, oleh karena itu seorang pemimpin pendidikan Islam dalam
membina kerjasama, mengarahkan dan mendorong kegairahan kerja para bawahannya
perlu memahami seperangkat faktor-faktor manusia tersebut, karena itu actuating
bukan hanya kata-kata manis dan basa-basi, tetapi merupakan pemahaman radik
akan berbagai kemampuan, kesanggupan, keadaan, motivasi, dan kebutuhan orang
lain, yang dengan itu dijadikan sebagai sarana penggerak mereka dalam bekerja
secara bersama-sama sebagai taem work.
Siklus terakhir adalah controlling, yakni
proses pengawasan dan pemantauan terhadap tugas yang dilaksanakan, sekaligus
memberikan penilaian, evaluasi dan perbaikan sehingga pelaksanaan tugas kembali
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Menurut Siagian (1983 : 21) fungsi
pengawasan merupakan upaya penyesuaian antara rencana yang telah disusun dengan
pelaksanaan dilapangan, untuk mengetahui hasil yang dicapai benar-benar sesuai
dengan rencana yang telah disusun diperlukan informasi tentang tingkat pencapaian
hasil. Informasi ini dapat diperoleh melalui komunikasi dengan bawahan,
khususnya laporan dari bawahan atau observasi langsung. Apabila hasil tidak
sesuai dengan standar yang ditentukan, pimpinan dapat meminta informasi tentang
masalah yang dihadapi.
Dengan demikian tindakan perbaikan dapat
disesuaikan dengan sumber masalah. Di samping itu, untuk menghindari
kesalahpahaman tentang arti, maksud dan tujuan pengawasan antara pengawas
dengan yang diawasi perlu dipelihara jalur komunikasi yang efektif dan bermakna
dalam arti bebas dari prasangka nigatif dan dilakukan secara berdayaguna dan
berhasilguna, al hasil, tujuan pengawasan pendidikan Islam haruslah
konstruktif, yakni benar benar untuk memperbaiki, meningkatkan efektifitas dan
efisiensi.
0 komentar:
Posting Komentar