Dalam sistem perekonomian pasar bebas, perusahaan diarahkan
untuk mencapai tujuan mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin, sejalan dengan prinsip efisiensi. Namun, dalam
mencapai tujuan tersebut pelaku bisnis kerap
menghalalkan berbagai cara tanpa peduli apakah tindakannya melanggar
etika dalam berbisnis atau tidak.
Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang
cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis, meski
perusahaan perusahaan tersebut memiliki code of conduct dalam berbisnis yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam
organisasi. Penerapan kaidah good corporate governace di perusahaan swasta,
BUMN, dan instansi pemerintah juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan
pelanggaran, terutama dalam pelaporan
kinerja keuangan perusahaan.
Prinsip keterbukaan informasi tentang kinerja keuangan
bagi perusahaan terdaftar BEJ misalnya seringkali dilanggar dan jelas merugikan
para pemangku (stakeholders), terutama pemegang saham dan masyarakat luas lainnya. Berbagai kasus insider trading dan
banyaknya perusahaan publik yang disuspend perdagangan sahamnya oleh otoritas
bursa menunjukkan contoh praktik buruk dalam berbisnis. Belum lagi masalah
kerusakan lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam dengan
alasan mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhitungkan daya dukung
ekosistem lingkungan.
Perubahan lingkungan yang sangat dinamis, baik yang
dipicu oleh kekuatan eksternal maupun internal telah memaksa para pelaku bisnis
untuk tidak saja harus selalu meningkatkan laba dan kinerja, tetapi juga mesti peduli tarhadap
problem sosial. Semakin besarnya kekuasaan para pelaku bisnis ternyata telah
membawa dampak yang signifikan terhadap kualitas kehidupan manusia, baik
individu, masyarakat, maupun seluruh kehidupan di jagat ini. Fenomena inilah
yang menyulut wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social
responsibility (CSR). Gagasan CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan
bukan lagi sekadar aktivitas ekonomi (menciptakan profit demi kelangsungan
bisnis), melainkan juga tanggung jawab sosial termasuk lingkungan. Tanggung
jawab sosial dunia bisnis tidak saja berorientasi pada komitmen sosial yang
menekankan pada pendekatan kemanusiaan,
belas kasihan, keterpanggilan religi atau keterpangilan moral, dan
semacamnya, tetapi menjadi kewajiban yang sepantasnya dilaksanakan oleh para
pelaku bisnis dalam ikut serta mengatasi permasalahan sosial yang menimpa
masyarakat. Dalam perkembangannya praktik CSR telah banyak dilakukan secara
sadar, artinya menerapkan CSR adalah investasi untuk pertumbuhan dan
keberlanjutan bisnis sehingga tak lagi dilirik sebagai pusat biaya, melainkan
sentra laba. Bahkan, kini praktik CSR sudah menjadi tren global.
Bisa dibayangkan, dampak nyata akibat ketidak pedulian
pelaku bisnis terhadap etika berbisnis adalah budaya korupsi yang semakin serius dan merusak tatanan
sosial budaya masyarakat. Jika ini berlanjut, bagaimana mungkin investor asing tertarik menanamkan modalnya di negeri
kita? Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa kesemua ini terjadi?
Apakah para pengusaha tersebut tidak mendapatkan pembelajaran etika bisnis di
bangku kuliah? Apa yang salah dengan
pendidikan kita, karena seharusnya lembaga pendidikan berfungsi sebagai morale
force dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran dalam berbisnis?
Bagaimana sebenarnya etika bisnis diajarkan di sekolah
kalaupun ada dan di perguruan tinggi? Etika bisnis merupakan mata kuliah yang
diajarkan di lingkungan pendidikan tinggi yang menawarkan program pendidikan
bisnis dan manajemen. Beberapa kendala
sering dihadapi dalam menumbuh kembangkan etika bisnis di dunia pendidikan.
Pertama, kekeliruan persepsi masyarakat bahwa etika
bisnis hanya perlu diajarkan kepada mahasiswa program manajemen dan bisnis karena pendidikan model ini
mencetak lulusan sebagai mencetak pengusaha. Persepsi demikian tentu tidak tepat. Lulusan dari jurusan / program
studi nonbisnis yang mungkin diarahkan untuk menjadi pegawai tentu harus
memahami etika bisnis. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam
melaksanakan kegiatan usaha, termasuk dalam berinteraksi dengan stakeholders,
termasuk tentunya karyawan.
Etika bisnis sebaik apa pun yang dicanangkan perusahaan
dan dituangkan dalam pedoman perilaku, tidak akan berjalan tanpa kepatuhan
karyawan dalam menaati norma-norma kepatutan dalam menjalankan aktivitas
perusahaan. Kedua, pada program pendidikan manajemen dan bisnis, etika bisnis
diajarkan sebagai mata kuliah tersendiri dan tidak terintegrasi dengan
pembelajaran pada mata kuliah lain. Perlu diingat bahwa mahasiswa sebagai
subjek didik harus mendapatkan pembelajaran secara komprehensif. Integrasi
antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses pembelajaran harus diutamakan. Sehingga masuk
akal apabila etika bisnis aspek afektif sikap dalam hal ini disisipkan di
berbagai mata kuliah yang ditawarkan. Ketiga, metode pengajaran dan pembelajaran
pada mata kuliah ini cenderung monoton. Pengajaran lebih banyak menggunakan
metode ceramah langsung.
Kalaupun disertai penggunaan studi kasus, sayangnya
tanpa disertai kejelasan pemecahan masalah dari kasus-kasus yang dibahas. Hal ini
disebabkan substansi materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan
norma yang cenderung abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu
dan institusi dalam menilai etis atau tidaknya
suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan sesuatu obat
dengan menyembunyikan informasi tentang indikasi pemakaian? Atau membahas moral
hazard pada kasus kebangkrutan perusahaan sekelas Enron di Amerika Serikat. Keempat,
etika bisnis tidak terdapat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
Nilai-nilai moral dan etika dalam berperilaku bisnis akan
lebih efektif diajarkan pada saat usia emas (golden age) anak, yaitu usia 4–6
tahun. Karena itu, pengajarannya harus bersifat tematik. Pada mata pelajaran
agama, misalnya, guru bisa mengajarkan etika bisnis dengan memberi contoh
bagaimana Nabi Muhammad SAW berdagang dengan tidak mengambil keuntungan
setinggi langit. Kelima, orangtua beranggapan bahwa sesuatu yang tidak mungkin
mengajarkan anak di rumah tentang etika bisnis karena mereka bukan pengusaha.
Pandangan sempit ini dilandasi pemahaman bahwa etika bisnis adalah urusan
pengusaha.
Padahal, sebenarnya penegakan etika bisnis juga menjadi
tanggung jawab kita sebagai konsumen. Orangtua dapat mengajarkan etika bisnis
di lingkungan keluarga dengan jalan memberi keteladanan pada anak dalam
menghargai hak atas kekayaan intelektual (HaKI), misalnya dengan tidak
membelikan mereka VCD, game software, dan produk bajakan lain dengan alasan
yang penting murah. Keenam, pendidik belum berperan sebagai model panutan dalam
pengajaran etika bisnis. Misalnya masih
sering kita mendapati fenomena orangtua siswa memberi hadiah kepada gurunya
pada saat kenaikan kelas dengan alasan sebagai rasa terima kasih dan ikhlas.
Pendidik menerima hadiah tersebut dengan senang hati dan
dengan sengaja menunjukkan hadiah pemberian orangtua siswa tersebut kepada
teman sejawatnya dengan memuji-muji nilai atau besaran hadiah tersebut.
Tidakkah kita sadari, kondisi seperti ini akan memberikan kesan mendalam pada
anak kita? Mengurangi praktik pelanggaran etika dalam berbisnis merupakan tanggung jawab kita semua.
Sebagai pengusaha, tujuan memaksimalkan profit harus diimbangi peningkatan
peran dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Perusahaan turut melakukan
pemberdayaan kualitas hidup masyarakat melalui program corporate social
responsibility (CSR).
Pada saat kita berperan sebagai konsumen, seyogianya
memahami betul hak dan kewajiban dalam menghargai karya orang lain. Orangtua
harus menjadi model panutan engan memberikan contoh baik tentang perilaku
berbisnis kepada anak sehingga kelak mereka
akan menjadi pekerja atau pengusaha yang mengerti betul arti penting etika bisnis.
Pemerintah sebagai regulator pasar turut berperan mengawasi praktik negatif para
pelaku ekonomi. Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan etika bisnis termuat
dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Peran aktif para pelaku ekonomi ini pada akhirnya akan
menjadikan dunia bisnis di Tanah Air surga bagi investor asing.
0 komentar:
Posting Komentar