1.PENDAHULUAN
Dalam hal strategi pengembangan perbankan syariah dan produk-produknya,
Indonesia memilih pendekatan yang bertahap dan berkesinambungan (gradual and
sustainable) yang sesuai Syariah (comply to Sharia principles) dan tidak
mengadopsi akad-akad yang kontroversial. Pendekatan yang bertahap dan
berkesinambungan memungkinkan perkembangan yang sesuai dengan keadaan dan
kesiapan pelaku tanpa dipaksakan serta membentuk sistem yang kokoh dan tidak
rapuh. Sementara itu, pendekatan yang berhati-hati yang sesuai dengan prinsip
Syariah menjamin produk-produk yang ditawarkan terjamin kemurnian Syariah-nya
dan dapat diterima masyarakat luas dan dunia internasional.
Dengan strategi pengembangan yang dipilih, perbankan syariah di Indonesia telah
tumbuh menjadi salah satu sistem perbankan syariah dalam dual financial system
yang paling sesuai dengan ketentuan Syariah. Selain itu,
pengembangan perbankan
syariah memiliki dampak positif terhadap pengembangan sektor lain dengan
prinsip Syariah.
Setelah bank syariah pertama berdiri pada tahun 1992, asuransi syariah atau
Takaful mulai muncul pada tahun 1994 dengan berdirinya Asuransi Takaful
Keluarga. Setelah itu, muncul Jakarta Islamic Index (JII) yang merupakan
pengelompokan saham-saham 30 emiten yang dipandang paling mendekati kriteria
syariah.
Meskipun demikian, setiap saat tetap diperlukan kajian-kajian terhadap
produk-produk perbankan syariah untuk memastikan kesesuaian dengan
kaidah-kaidah syariah sehingga perkembangan perbankan syariah bersifat
menyeluruh, baik dari segi kuantitas dengan menjangkau masyarakat yang lebih
luas maupun kualitas dengan memenuhi seluruh kaidah-kaidah syariah.
1.1 Latar Belakang
Bank Syariah berfungsi sebagai penghimpun dana dari nasabah dan penyalur dana
bagi kegiatan sector riil. Salah satu dasar hukum yang digunakan adalah
Mudharabah.
Mudharabah dijadikan landasan hukum untuk produk Deposito Mudharabah yang
bertujuan menghimpun dana nasabah dan menyalurkannya dalam bentuk Pembiayaan
Mudharabah. Kedua produk tersebut ditawarkan dengan skema bagi hasil. Pada
Deposito Mudharabah, nasabah sebagai shahibul maal akan memperoleh nisbah
sesuai dengan keuntungan Bank. Pada Pembiayaan Mudharabah, Bank sebagai
shahibul maal akan memperoleh nisbah sesuai dengan keuntungan Mudharib.
Untuk mencermati lebih jauh bagaimana kesesuaian produk Bank Syariah, khususnya
Deposito Mudharabah dan Pembiayaan Mudharabah, dengan sistem Mudharabah dalam
literatur fiqih maka disusunlah kajian syariah terhadap produk tersebut yang
dituangkan ke dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dewasa ini Perbankan Syariah mengimplementasikan Fiqh Mudharabah dalam bentuk
produk Deposito Mudharabah dan Pembiayaan Mudharabah. Mengingat kemungkinan
timbulnya pergeseran ‘nilai’ yang mungkin terjadi, diperlukan kajian syariah
terhadap kedua produk tersebut sehingga dapat dinilai sejauh mana kesesuaian
produk tersebut dengan kaidah fiqh-nya.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Sejauh mana Deposito Mudharabah dan Pembiayaan Mudharabah sebagai Produk
Perbankan Syariah telah memenuhi kaidah-kaidah Syariah/Fiqh?
2. LANDASAN SYARIAH MUDHARABAH
Dalam Fiqh Muamalah Mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara
Shahibul maal (investor) dengan seorang pihak kedua (Mudharib) yang berfungsi
sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah Mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz
disebutkan dengan Qiradh.
2.1 Definisi menurut Fiqh
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian
memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul
kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh
dengan:
“Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk
diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan
dibagi menurut kesepakatan”.
Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai
dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah
bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib
berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan
ditanggung sendiri oleh si investor.
Berdasarkan Kamus Populer Keuangan dan Ekonomi Syariah, Mudharabah
didefinisikan sebagai penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada
pengelola dana (mudharrib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan
pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing)
atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
diterangkan bahwa dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga
keuangan syari’ah (LKS), pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain
dengan cara mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di
mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal,
sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan
keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak.
2.2 Hukum Mudharabah
Secara eksplisit Al-Qur’an tidak menjelaskan langsung mengenai hukum
Mudharabah, namun Al-Qur’an memuat akar kata dl-r-b yang darinya kata
Mudharabah diambil. Mekipun ayat-ayat Al-Qur’an tersebut memiliki kaitan yang
cukup jauh dengan Mudharabah. Dalam ayat-ayat tersebut menunjukkan arti
“perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang”.
Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling membantu
antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian
dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad
mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus.
Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-Qur‟an atau Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang
diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam ini
tampaknya terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung
perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.
Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk
kerjasama ini adalah firman Allah dalam Surah al-Muzzammil ayat 20 :
“....dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah....”
(Al-muzammil : 20).
Dan dalam Surah al-Baqarah ayat 198 :
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari
Tuhanmu....”. (al-Baqarah : 198).
Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah,
yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi.
Kemudian dalam Sabda Rasulullah SAW. dijumpai sebuah riwayat dalam kasus
mudharabah yang dilakukan oleh Abbas Ibn al-Muthalib yang artinya :
“Tuan kami ‘Abbas Ibn Abd al-Muthalib’ jika menyerahkan hartanya (kepada
seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan
syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan
menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak
dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola
modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakanAbbas Ibn Abd
al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR.
Ath-Tabrani).
Dikatakan bahwa Nabi dan beberapa Sahabat pun terlibat dalam kongsi-kongsi
Mudharabah. Menurut Ibn Taimiyyah, para fuqaha menyatakan kehahalan mudharabah
berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada beberapa Sahabat
tetapi tidak ada Hadits sahih mengenai mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi.
2.3 Rukun dan Syarat
Dalam hal rukun akad mudharabah terdapat beberapa perbedaan pendapat antara
Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang
menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul.
Sedangkan Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun akad mudharabah adalah terdiri
atas orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan kad; tidak hanya terbatas
pada rukun sebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, Ulama
Hanafiyah memasukkan rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, selain Ijab
dan Qabul sebagai syarat akad mudharabah.
Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur
Ulama di atas adalah :
1. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai
wakil.
2. Mengenai modal disyaratkan: a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai,
dan d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya jika
modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit
untuk menentukan keuntungannya.
3. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus
jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.
2.4 Klasifikasi Mudharabah
Kerja sama Mudharabah dikelompokan menjadi 2 (dua), yaitu:
• Mudharabah Muthlaqah, Adalah sistem mudharabah yang dalam hal ini, pemilik
modal (shahib al mal atau investor) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa
pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu, ataupun dengan siapa pengelola
bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada mudhaarib (pengelola modal)
untuk melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
• Mudharabah Muqayyadah, Dalam hal ini pemilik modal (investor) menyerahkan
modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha, tempat, waktu, ataupun pihak-pihak
yang dibolehkan bertransaksi dengan mudharib.
Persyaratan pada jenis yang kedua ini diperselisihkan para ulama mengenai
keabsahannya. Namun yang rajih, pembatasan tersebut berguna dan sama sekali
tidak menyelisihi dalil syar’i, karena hanya sekedar ijtihad dan dilakukan
berdasarkan kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak, sehingga wajib
ditunaikan. Demikianlah yang dirajihkan oleh penulis kitab Al-Fiqh Al-Muyassar
halaman.187
2.5 Fatwa DSN
Pertama : Ketentuan Pembiayaan:
1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada
pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100
% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai
mudharib atau pengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama
dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan
atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan
bukan piutang.
6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah
kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau
menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar
mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib
atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti
melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam
akad.
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan
diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan
pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau
biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal
berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak
(akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana
kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan
dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib,
baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari
modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk
satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan
dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi
(nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus
berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan
pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari
kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil)
modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia
dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa
yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang
berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam
aktifitas itu.
Ketiga : Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa
depan yang belum tentu terjadi.
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya
akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
3. PRODUK PERBANKAN SYARIAH: DEPOSITO MUDHARABAH
Pembahasan mudharabah dalam Perbankan Islam lebih cenderung bersifat aplikatif
dan praktis, jika dibandingkan dengan literatur fiqh yang bersifat teoritis.
Kontrak mudharabah bank-bank Islam saat ini sudah menjamur diseluruh dunia,
terutama di Timur Tengah. Perbankan Islam telah menjadi istilah yang sudah
tidak asing baik di dunia Muslim maupun di dunia Barat. Istilah tersebut
mewakili suatu bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan
layanan-layanan bebas „bunga‟ kepada para nasabah.
Umumnya, kontrak mudharabah digunakan dalam perbankan Islam untuk tujuan dagang
jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus. Kontrak-kontrak tersebut yang ada
seringkali berarti jual-beli barang, yang menunjukkan sifat dagang dari kontrak
ini19. Para nasabah bank Islam mengikuti kontrak-kontrak mudharabah dengan bank
Islam. Mudharib (nasabah) setelah menerima dukungan pendanaan dari bank,
membeli sejumlah atau senilai tertentu dari barang yang sangat spesifik dari
seorang penjual dan menjualnya kepada pihak ketiga dengan suatu laba. Sebelum
disetujuinya pendanaan, mudharib memberikan kepada bank segala perincian
mendetail yang terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat dibeli serta
semua biaya yang terkait dengan pembelian barang tersebut. Kepada bank mudharib
menyajikan pernyataan-pernyataan finansial yang disyaratkan menyangkut harga
jual yang diharapkan, arus kas (cash flow) dan batas laba (profit margin), yang
akan dikaji oleh bank sebelum diambil keputusan apapun tentang pendanaan.
Biasanya bank akan memberi dana yang diperlukan jika ia telah cukup puas dengan
batas laba yang diharapkan atas dana yang diberikan.
3.1 Paket Produk Deposito Mudharabah
• Deposito BSM adalah produk investasi berjangka waktu tertentu dalam mata uang
rupiah yang dikelola berdasarkan prinsip Mudharabah Muthlaqah.
• "Merupakan pilihan investasi dalam mata uang rupiah maupun USD dengan
jangka waktu 1, 3, 6 dan 12 bulan yang ditujukan bagi Anda yang ingin
berinvestasi secara halal, murni sesuai syariah. Dana Anda akan diinvestasikan
secara optimal untuk membiayai berbagai macam usaha produktif yang berguna bagi
kepentingan Ummat."
• Deposito dengan prinsip mudharabah adalah simpanan nasabah untuk ikut
menginvestasikan dananya di Bank yang diperjanjikan untuk jangka tertentu
1,3,6,12 dan 24 bulan dan akan mendapatkan imbalan bagi hasil yang disepakati
bersama atas hasil usaha bank, disamping itu nasabah dapat mensyaratkan
investasinya pada usaha tertentu atas keinginannya.
Karakteristik:
a. Jangka waktu yang fleksibel antara 1, 3, 6 dan 12 bulan
b. Deposito tidak dapat dicairkan sebelum jatuh tempo
c. Fasilitas Automatic Roll Over
d. Bagi hasil dapat menambah pokok deposito, ditransfer, atau dipindahbukukan
ke rekening tabungan atau giro.
e. Dapat digunakan sebagai jaminan pembiayaan atau untuk referensi Bank
Muamalat.
Manfaat:
• Dana aman dan terjamin, sesuai penjaminan pemerintah
• Mendapatkan bagi hasil yang kompetitif
• Dapat dijadikan jaminan dana talangan/pembiayaan.
• Memperoleh bagi hasil yang sangat menarik setiap bulan.
• Investasi disalurkan untuk pembiayaan usaha produktifyang halal.
• Aman dan terjamin.
• Bagi Hasil yang kompetitif setiap bulan dengan nisbah antara Bank:Nasabah
sebagai berikut ;
1. Jangka Waktu 1 Bulan nisbah Bank:Nasabah (38%:62%)
2. Jangka Waktu 3 Bulan nisbah Bank:Nasabah (35%:65%)
3. Jangka Waktu 6 Bulan nisbah Bank:Nasabah (35%:65%)
4. Jangka Waktu 12 Bulan nisbah Bank:Nasabah (35%:65%)
5. Jangka Waktu 24 Bulan nisbah Bank:Nasabah (35%:65%)
• Membantu Perencanaan investasi anda
• Membantu Pengembangan UKM
• Perpanjangan jangka waktu dapat dilakukan secara otomatis
• Pemindah bukuan bagi hasil secara otomatos (online) ke rekening anda.
Peruntukkan:
1. Individu/Perorangan
2. Badan Usaha/Badan hukum.
Persyaratan:
Dokumen/Biaya Perorangan Perusahaan/Badan Hukum
Kartu Identitas KTP/SIM/Paspor Nasabah 1. KTP Pengurus
2. Akte Pendiri
3. SIUP
4. NPWP
Min setoran awal Rp500.000,- Rp1.000.000,-
Biaya Administrasi Break Deposito Rp30.000,- Rp30.000,-
Biaya Materai Rp6.000,- Rp6.000,-
Contoh Perhitungan:
Deposito Ibu Fitri Rp1.000.000,- berjangka waktu 1 bulan. Perbandingan bagi
hasil (nisbah) antara bank dan nasabah adalah 48:52. Bila dianggap total saldo
deposito semua deposan adalah Rp200.000.000,- dan pendapatan bank yang dibagi-hasilkan
untuk deposan adalah Rp3.000.000,- maka bagi hasil yang didapat oleh Ibu Fitri
adalah:
Rp1.000.000,-
Rp200.000.000,- x Rp3.000.000,- x 52 % = Rp7.800,-
(sebelum dipotong pajak)
3.2 Pembiayaan Mudharabah
3.3 Skema Pengelolaan Produk Deposito Mudharabah & Pembiayaan Mudharabah
Implementasi Mudharabah dalam pengelolaan produk Deposito Mudharabah adalah
sebagai berikut:
• Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus
diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam
satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya
dan disepakati bersama.
• Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan
dua cara:
o Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
o Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
• Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan
atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh
kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti
penyeleweng-an, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
• Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak
mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan
sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran
kewa¬jiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.
Modal
Kontrak-kontrak mudharabah bank Islam menentukan jumlah modal yang digunakan
dalam kongsi. Ringkasnya, tidak ada dana tunai yang diberikan kepada mudharib.
Jumlah modal diangsur ke dalam rekening mudharabah yang oleh bank dibuka untuk
tujuan pengelolaan mudharabah. Karena umumnya mudharabah untuk tujuan pembelian
barang-barang tertentu, maka bank sendirilah yang melakukan pembayaran kepada
penjual. Dana-dana yang diberikan oleh bank sebagai modal tidak dalam
penanganan mudharib dan ia tidak dapat menggunakannya untuk tujuan lain.
Bagaimanapun juga, bank Islam, misalnya, menyatakan dalam kontrak mudharabah
mereka bahwa mudharib tidak boleh menggunakan dana yang diberikan kepadanya
untuk tujuan apapun selain yang telah ditetapkan dalam kontrak20, sebuah
kalusul yang tampaknya agak kurang berarti dalam praktik.
Manajemen
Mudharib menjalankan mudharabah dan mengatur pembelian, penyimpanan, pemasaran,
dan penjualan barang. Kontrak menetapkan secara detail bagaimana ia harus
mengelola mudharabah. Mudharib harus memastikan bahwa deskripsi yang benar
tentang barang telah tersedia pada saat pengajuan pendanaan. Ia pribadi
bertanggung jawab atas segala kerugian atau biaya yang diakibatkan oleh suatu
kesalahan atas spesifikasi karena bank tidak akan menanggung segala kerugian
semacam ini. Ia harus menyimpannya baik-baik. Ringkasnya, mudharib harus
mematuhi syarat-syarat terinci dari kontrak dalam kaitannya dengan manajemen
kongsi, syarat-syarat yang mana umumnya ditentukan oleh bank.
Jangka Waktu
Jangka waktu yang digunakan dalam kontrak mudharabah umumnya ditetapkan oleh
bank Islam, karena kontrak mudharabah juga umumnya digunakan untuk tujuan
dagang jangka pendek. Kontrak mudharabah dalam bank Islam hendaknya mengklirkan
(liquidated) dan modal bank beserta keuntungannya diserahkan pada waktu yang
telah ditentukan dalam kontrak, karena ada batas laba dari dana bank dihitung
dengan mempertimbangkan jatuh tempo kontrak.
Dari sudut pandang bank, sedikit saja penguluran dari waktu yang telah
ditetapkan akan menempatkan bank dalam risiko, karena hal ini tidak akan
memungkinkan dengan bank untuk mengubah rasio keuntungan yang sejak awal telah
disepakati.
20 JIB, Contract of Mudharabah; IIBD, Contract of Mudharabah.
Karena rasio keuntungan masih tetap konstan selama jangka waktu mudharabah,
suatu penguluran dapat berarti pengurangan keuntungan atas modal yang
diberikan. Beberapa bank Islam bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan
mengusulkan bahwa jika mudharib tidak dapat sepenuhnya memanfaatkan dana selama
jangka waktu yang telah ditentukan, maka ia harus memberikan ganti rugi kepada
bank. IIBD (International Islamic Bank for Investment and Development)21
misalnya, menyataka : “Kontrak secara otomatis akan dibatalkan pada saat jatuh
tempo. Mudharib harus mengembalikan dana mudharabah kepada investor dengan
sedikit konpensasi atas penyimpanan dana selama waktu kontrak tanpa membuatnya
produktif”.
Jaminan
Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan dari
mudharib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta beragam bentuk jaminan.
Hal ini mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan
keuntungan yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang
ditetapkan dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudharib sendiri maupun
dari pihak ketiga. Jaminan yang diminta oleh bankbank Islam tersebut tidak
dibuat untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja
mudharib sesuai dengan syarat-syarat kontrak22.
Salah satu klausul dalam kontrak mudharabah pada Faisal Islamic Bank of Egypt
adalah “Jika terbukti bahwa mudharib menyalahgunakan atau tidak sungguh-sungguh
dalam melindungi barang-barang atau dana-dana, atau bertindak bertentangan
dengan syarat-syarat investor, maka mudharib harus menanggung kerugian, dan
harus memberikan jaminan sebagai pengganti kerugian semacam ini”. Dalam
kejadian yang maudharib bertanggung jawab atas kerugian seperti ini, penjamin
diharuskan untuk memberikan ganti rugi kepada bank. Jika yang diberikan oleh
penjamin belum mencukupi, maka mudharib harus memberikan jaminan tambahan dalam
jangka waktu tertentu.
Disampig jaminan tersebut, mudharib diharuskan untuk menyerahkan laporan-laporan
perkembangan berkala tentang kinerja umum mudharabah maupun tentang arus kas.
Ia juga diwajibkan untuk selalu melakukan pencatatan atas keuangan yang terkait
dengan kontrak, dan mengizinkan perwakilan bank untuk memeriksa catatan
tersebut dan mengeditnya dan untuk menginvestarisasi di toko dan gudangnya
kapanpun tanpa boleh ada keberatan darinya. Jika terjadi keterlambatan dalam
menyerahkan pernyataan neraca atau laporan perkembangan berkala, maka akan
berakibat pada pengurangan bagian laba mudharib sebanding dengan jangka waktu
keterlambatannya.
21 IIBD, Contract of Mudharabah.
22 FIBS, Bank Faisal al-Islami al-Sudani.
Bank mempunyai wewenang untuk mengambil alih manajemen proyek tersebut jika
mudharib tidak dapat mencapai arus kas yang diproyeksikan atau pendapatan yang
dibagikan. Bank juga dapat menuntut pembekuan mudharabah jika dilihat oleh bank
bahwa tidak ada untungnya melanjutkan kontrak atau jika mudharib telah
melanggar kalusul kontrak. Hal ini dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu ada peringatan
atau proses hukum.
Pembagian Laba dan Rugi
Dalam pembagian laba dan rugi, secara teori, bank menanggung secara risiko,
tetapi dalam praktik, dikarenakan sifat mudharabah bank Islam dan syarat-syarat
yang ada di dalamnya, kerugian semacam ini mungkin akan jarang sekali terjadi.
Bank Islam sepakat dengan nasabah mudharabahnya tentang rasio laba yang
ditetapkan dalam kontrak. Rasio akan tergantung antara lain pada daya tawar si
nasabah, prakiraan laba, suku bunga pasar, karakter pribadi nasabah dan daya
jual barang, maupun jangka waktu kontrak.
Jika mudharabah tidak menghasilkan suatu keuntungan, si mudharib tidak akan
mendapatkan sedikitpun upah atas kerjanya. Dalam hal ini mengalami kerugian
sepanjang tidak ditemukan bukti salah guna dan salah urus mudharib atas dana
mudharabah atau sepanjang tidak ditentukan pelanggaran atas syarat-syarat yang
ditetapkan oleh bank. Jika terbukti demikian, maka mudharib sendiri yang akan
menanggung kerugian, dalam kasus mana jaminan yang terkait dengan tanggung jawab
nasabah harus diberikan kepada bank.
Pihak bank untuk mengambil alih dalam risiko dari setiap kerugian tidak begitu
saja terjadi. Ia melewati bermacam-macam cara untuk menghilangkan
ketidakpastian yang mungkin terjadi dalam kongsi mudharabah murni. Risiko
aktuarial dalam kongsi mudharabah seperti yang digunakan dalam perbankan Islam
dapat diukur dan dapat dipastikan. Untuk alasan inilah, dapat dikatakan bahwa
mudharabah bank Islam sedikit berbeda dengan penyelenggaraan investasi berisiko
rendah maupun investasi bebas risiko manapun.
Dasar Perhitungan & Kesepakatan Penyerahan Bagi Hasil
1. Proyeksi Total Pendapatan Usaha : Rp ...................... per Hari /
Minggu / Bulan
2. Proyeksi Total Pengeluaran & Biaya Usaha : Rp ...................... per
Hari / Minggu / Bulan
3. Proyeksi Sisa Awal Hasil Usaha ( 1 – 2 ) : Rp ...................... per
Hari / Minggu / Bulan
4. Penyisihan Cadangan Modal Usaha : Rp ...................... per Hari /
Minggu / Bulan
5. Pengembalian Pokok / Modal : Rp ...................... per Hari / Minggu /
Bulan
6. Proyeksi Sisa Akhir Hasil Usaha ( 3 – 4 – 5 ) : Rp ......................
per Hari / Minggu / Bulan
7. Proyeksi Kesepakatan Bagi Hasil : Rp ...................... per Hari /
Minggu / Bulan
8. Proyeksi Sisa Hasil Usaha Nasabah (6 – 7 ) : Rp ...................... per
Hari / Minggu / Bulan
9. Nisbah Bagi Hasil Bank : ............ % (7/6 x 100%)
10. Nisbah Bagi Hasil Nasabah : ............ % (8/6 x 100%)
4. TINJAUAN SYARIAH PRODUK DEPOSITO MUDHARABAH
Sebelum kita mencoba menganalisa posisi perbankan islam dalam menjalankan salah
satu produknya yaitu mudharabah, alangkah baiknya kita pahami terlebih dahulu
pengertian tentang bank.
Secara bahasa bank adalah lembaga yang bergerak dibidang penjaminan,
pengumpulan dana dan pemberi pinjaman.
Atau lembaga khusus yang bergerak dalam memberikan pinjaman dana.
Menurut prof. DR. Ali Salus, “bank memiliki dua peran; sebagai pedagang utang
dan penjamin. Menerima utang dari investor dan meminjamkannya kepada nasabah.
Pihak bank memberikan nominal tertentu kepada investor dari nilai yang
dititipkan dan selanjutnya pihak bank meminta nominal lebih kepada nasabah yang
telah diberi pinjaman bank.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh perbankan,
system yang diterapkannya adalah riba. Sedangkan riba dalam syariat islam dan
dalam ajaran-ajaran agama lain tidak bisa diterima. Oleh karenanya, perlu kita
pahami juga kinerja dari perbankan islam itu seperti apa sehingga bisa kita
bedakan antara bank konvensional dan bank islami.
Menurut salabah oman,“bank islami adalah lembaga yang bergerak sebagai
perantara keuangan tanpa adanya bunga (interest).”
Dari pengertian kedua system bank yang ada di atas, bisa kita ketahui perbedaan
kinerja yang ada. Yang satu menggunakan system bunga dan yang lainnya
menerapkan system non bunga.
Jadi, peran dari bank islami itu apa? Apakah sebagai pedagang langsung
(mudlarib) ataukah sebagai perantara keuangan?
Kalau kita lihat permasalah yang ada dari kacamata islami, kita bisa dapati bahwa
hukum-hukum syariah baik yang berkaitan dengan masalah ibadah maupun muamalah,
tidak ada hal yang mengkhususkan bahwa ibadah dan muamalah ini hanya untuk
pedagang saja atau untuk perantara saja dan seterusnya. Akan tetapi, seluruh
ajaran yang ada itu hanya tergantung pada kemampuan seseorang untuk menerima
dan melaksanakan syariat islam dengan syarat yang harus dipenuhi. Yaitu islam,
berakal baligh dll.
Untuk bisa menghukumi apakah yang dilakukan oleh perbankan itu boleh atau
tidak, maka harus dilihat kinerjanya. Apakah terlepas dari hal-hal yang
diharamkan ataukah tidak.
Diantara produk yang dijalankan oleh perbankan islami adalah mudharabah.
Hakekat mudharabah yang dipraktekkan oleh perbankan islami adalah sebagai
berikut; bank menerima sejumlah uang dari investor kemudian oleh pihak bank,
uang tersebut diinvestasikan atau diberikan kepada orang lain supaya dikelola.
Kami berpandangan bahwa posisi perbankan disini dia sebagai pengelola tapi
tidak secara langsung karena uang yang diterima oleh bank diberikan lagi kepada
orang lain untuk dikelola juga. Menurut kami, pihak perbankan bukanlah sebagai
mudharib tapi sebagai perantara antara investor dengan pengelola. Jadi, tidak
tepat kalau pihak perbankan disebut sebagai mudharib.
Kecuali kalau perbankan dalam mengelola uang yang telah diterima dari investor,
digunakan dan dikelola sendiri dalam bisnis riil.
Jadi, perbankan bisa jadi sebagai pihak intermediate dan juga sebagai pedagang
sesuai dengan karakter yang dijalankan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar