Negara-negara pemilik hutan mengajukan opsi baru, yaitu pengurangan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reduction Emission from
Deforestation and Degradation). Pemerintah Indonesia sendiri yakin akan
memperoleh dana hingga US$ 3,75 miliar (Rp 33,75 triliun) per tahun dari
negara-negara maju melalui skema REDD tersebut. Dana dari negara maju
diperkirakan bisa mencapai US$ 20-30 miliar per tahun untuk program adaptasi di
seluruh dunia, dengan asumsi setiap hektar hutan dalam setiap tahunnya dihargai
10 dollar Amerika.
REDD sendiri tidak membawa dampak secara langsung dan segera, karena
pencemaran masih akan terus bergerak naik seiring dengan itu. WALHI menyatakan
bahwa skema REDD telah mengecilkan fungsi ekosistem hutan, yakni hanya sebagai
penyerap karbondioksida sahaja (carbon sinks). Selain itu, skema REDD juga akan
akan membatasi akses dan partisipasi masyarakat lokal terhadap hutan, setelah
hutan berubah menjadi global common goods, serta akan mengaburkan (menyulitkan)
proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus kejahatan kehutanan, mengingat
kesanggupan mereka (penjahat kehutanan) memenuhi kewajibannya untuk membayar (willingness
to pay) sesuai skema yang ditawarkan REDD.
Pertemuan Bali juga memperbincangkan adaptation fund, yaitu
pendanaan yang diperuntukkan bagi negara-negara yang rentan terhadap dampak
perubahan iklim untuk melakukan kegiatan adaptasi. Dana berasal dari 2%
penjualan CER (Certified Emission Reduction) serta sumber-sumber lain yang
belum teridentifikasi dengan jelas. Namun hingga kini masih belum ada
kesepakatan mengenai lembaga mana yang akan mengelola dana tersebut. Pertemuan
Bali adalah ruang pertarungan negara utara (industri) dengan negara selatan
(berkembang). Negara industri tetap akan memproduksi emisi gas rumah kaca yang
menjadi sumber pemanasan global, sementara negara pemilik hutan tropis berada
pada posisi ditekan akibat deforestasi yang disebabkan juga oleh negara
industri.
Obral
Karbon
Sementara pertemuan Bali berlangsung, kelompok-kelompok perantara
perdagangan (broker) karbon menantikan hasil dari pertemuan tersebut. Banyaknya
dana yang akan bertaburan dalam skema perdagangan karbon, menjadikan para
pedagang karbon akan meraup keuntungan yang sangat besar. Presiden Direktur
EcoSecurities, Bruce Usher, memperkirakan hingga 2012 permintaan karbon kredit
akan mencapai 3,36 miliar ton, sementara sisi penawaran berdasarkan proyek yang
terdaftar 2 miliar ton dengan total nilai kredit karbon yang bisa diraup US$
250 juta atau setara Rp 23,37 triliun.
Data lain menyebutkan, besaran nilai pasar untuk tahun 2006 bagi
perdagangan kredit karbon adalah sekitar US$ 24 miliar. Nilai yang sangat tidak
kecil tersebut diperkirakan akan tumbuh menjadi US$100 miliar pada tahun 2010.
Jepang sendiri telah menyediakan dana lingkungan hidup 690 miliar yen atau
sekitar Rp 5,175 triliun untuk menghadapi pemanasan global.
Kabupaten Malinau dan Global Eco Rescue Ltd telah menginisiasi
kerjasama proyek perdagangan karbon di areal seluas 325.041,6 hektar, yaitu di
3 hutan lindung di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, yaitu Pasilan Tabah
Hilir Sungai Sembakung, Long Ketrok dan Gunung Laung – Gunung Belayan.
Pemkab Malinau akan memasukkan kawasan hutan lindung ke pasar karbon sukarela
(voluntary carbon market). Di media, Bupati Malinau, Marthin Billa, menyatakan
bahwa melalui perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 8 November 2007
tersebut daerahnya mendapatkan dana penjagaan hutan sebanyak 325.000 Euro atau
setara Rp 4,5 miliar per tahun (kurang lebih setara dengan US$ 1 per hektar
setiap tahun). Senyatanya, perdagangan karbon dengan cara tersebut dalam
kondisi ideal bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi.
Memang hingga saat ini Pemerintah Indonesia belum menetapkan harga
karbon. Harga di pasar internasional sangat bervariasi dari US$ 5-40 setiap ton
dan sangat tergantung pada kesepakatan internasional. Kemampuan hutan tanaman
menyerap karbon berkisar 24 ton karbon per hektar setiap tahun, hutan alam
berpotensi menyerap 200-300 ton karbon per hektar setiap tahun, sementara di
India, sebuah kawasan kering dan hutan campuran dapat menyerap karbon 3,4 ton
per hektar setiap tahun.
Menurut data Civil Society Organization on Forestry Governance and
Climate Change, untuk mendapatkan proyek REDD terdapat biaya operasional yang
dibebankan kepada negara pemilik hutan tropis mencapai 30%-40%, artinya hanya
60%-70% dari total dana yang akan diterima negara penerima program tersebut.
Bahkan potongan biaya operasional itu bisa mencapai 90%. Contoh saja Kosta Rika
yang melakukan mekanisme REDD dengan negara-negara Uni Eropa, hanya memperoleh
10 persen dari total dana karena biaya operasional.
Dari beberapa perhitungan di atas, maka sebenarnya harga yang
ditawarkan oleh Global Eco Rescue kepada Pemkab Malinau merupakan harga yang
sangat rendah dalam sebuah perhitungan perdagangan karbon. Bila sudah demikian,
siapa yang sebenarnya akan diuntungkan dari sebuah perdagangan karbon?
Ancaman
Terhadap Kehidupan
Mekanisme perdagangan karbon juga mengancam kehidupan komunitas
lokal. Ancaman terhadap masyarakat asli dan petani amat buruk, penghancuran dan
hilangnya akses terhadap hutan akan menghancurkan penghidupan mereka. Forum
Internasional Masyarakat Asli yang Pertama (The First International Forum Of
Indigenous Peoples on Climate Change) menyatakan sinks (penyerapan) dalam
mekanisme CDM akan mengandung strategi skala dunia dalam rangka pengambilalihan
tanah-tanah. Pengusiran masyarakat oleh tentara atas nama perdagangan karbon,
sudah terjadi di Uganda.
Konflik horisontal juga kemungkinan akan terjadi beriringan dengan
dilakukannya skema perdagangan karbon. Selain juga akan semakin banyak
penguasaan lahan oleh kelompok tertentu, yang akan semakin mengurangi luasan
kawasan produktif komunitas lokal. Sementara itu, skema perdagangan karbon tak
akan menjadi jawaban terhadap pemanasan global. Negara industri tetap saja akan
menghasilkan emisi gas rumah kaca dengan sangat tinggi ke atmosfer yang pada
gilirannya akan menghadirkan bencana ekologi dan semakin meluasnya penyebaran
penyakit. Pemanasan global harus dihadapi bukan semata dengan memuluskan
mekanisme perdagangan karbon. Negara-negara industri harus ditekan untuk
melakukan penurunan emisi dari industri di negara mereka. Bukan dengan
melakukan perdagangan karbon dan hanya menyalahkan negara pemilik hutan tropis
yang tersisa. Ancaman terhadap kehidupan akibat pemanasan global dapat diatasi
bila negara-negara industri bersikap lebih adil terhadap proses berkehidupan.
0 komentar:
Posting Komentar