A.
Sejarah Singkat
Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari
khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Dari
pengertian etimologis seperti ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau
norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma
yang mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam
semesta.[1] Sedangkan, Ilmu Akhlak
adalah ilmu yang menentukan batas baik dan buruk, terpuji dan tercela, tentang
perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. Jadi ilmu akhlak adalah ilmu
yang mempersoalkan baik buruknya amal.[2]
Akhlak dalam arti bahasa, sebenarnya sudah dikenal
manusia di atas permukaan bumi ini yaitu apa yang disebut dengan istilah
adat-istiadat (tradisi) yang dihormati, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga
dan masyarakat. Dalam keadaan terputusnya wahyu (zaman fatrah) maka tradisi
itulah yang dijadikan tolak ukur dan alat penimbangan norma pergaulan kehidupan
manusia, terlepas dari segi apakah itu baik atau buruk menurut setelah datang
wahyu.
Kalau kita memperhatikan bangsa arab di zaman
jahiliyah, misalnya: mereka sudah memiliki perangai halus dan rela dalam kehidupan baik dan kemuliaan cukup. Tetapi
juga pemarah luar biasa, perampok, perampas, karena kejahatan mengancam diri
atau kabilahnya. Hal ini Nampak dalam puisi-puisi mereka sebagai bangsa yang
buta huruf, tetapi daya ingatan dan hafalan mereka sangat kuat. Misalnya:
Zuhair ibnu abi Salam mengatakan: “Barang siapa menepati janji tidak kan tercela dan barang
siapa membawa hatinya menuju kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu”.
Bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki dalam kadar
yang minimal pemikiran dalam bidang akhlak. Pengetahuan tentang berbagai macam
keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya
belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh filosof-filosof
zaman kuno. Sewaktu islam datang yang dibawa oleh Muhammad SAW, maka Islam
tidak menolak setiap kebiasaan yang terpuji yang terdapat pada bangsa Arab,
Islam datang kepada mereka membawa akhlak yang mulia yang menjadi dasar
kebaikan hidup seseorang, keluarga, handai tolan, umat manusia serta alam
seluruhnya. Setelah Al-qur’an turun maka lingkaran bangsa Arab dalam segi
akhlak dari segi sempit menjadi luas dan berkembang, jelas arah dan sasarannya.
[3]
B.
Perkembangan ilmu akhlak
1. Sejarah Akhlak pada Fase Yunani
Perkembangan
ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut
Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum
itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak,
karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai
alam.
Dasar yang
digunakan para pemikir Yunani dalam membangun Ilmu akhlak adalah pemikiran
filsafat tentang manusia. Ini menunjukkan bahwa ilmu akhlak yang mereka bangun
lebih bersifat filosofis, yaitu filsafat yang bertumpu pada kajian secara
mendalam terhadap potensi kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia atau
bersifat antropo-sentris, dan mengesankan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu
yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia sendiri, dan hasil yang
didapatnya adalah ilmu akhlak yang berdasar pada logika murni.
Pandangan
dan pemikiran filsafat yang dikemukakan para filosof Yunani itu secara
redaksional berbeda-beda, tetapi substansi dan tujuannya sama, yaitu menyiapkan
angkatan muda bangsa Yunani, agar menjadi nasionalis yang baik, merdeka, dan
mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya.[4]
1. Socrates
(469 - 399 SM). Socrates dipandang sebagai perintis ilmu akhlak, karena ia yang
pertama kali berusaha sungguh-sungguh membentuk pola hubungan antar manusia
dengan dasar ilmu pengetahuan. Sehingga ia berpendapat bahwa keutamaan itu
adalah ilmu. Namun demikian, para peneliti terhadap pemikiran Socrates ada yang
mengatakan bahwa Socrates tidak menunjukkan dengan jelas tujuan akhir dari
akhlak dan tidak memberikan patokan-patokan untuk mengukur segala perbuatan dan
menghukumkannya baik atau buruk. Akibatnya, maka timbullah beberapa golongan
yang mengemukakan berbagai teori tentang akhlak yang dihubungkan pada Socrates.
Golongan terpenting yang lahir setelah
Socrates adalah Cynics dan Cyrenics. Keduanya dari pengikut Socrates. Golongan
Cynics di bangun oleh Antistenes (414 - 370 SM). Menurut golongan ini bahwa
ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia adalah
orang yang berperangai dengan akhlak ke Tuhanan. Maka ia mengurangi
kebutuhannya sedapat mungkin rela dengan sedikit, suka menanggung penderitaan
dan mengabaikannya. Di antara pemimpin paham golongan Cynics yang terkenal
adalah Diagenes yang meninggal pada tahun 323 SM. Dia memberi pelajaran pada
kawan-kawan supaya membuang beban yang ditentukan oleh ciptaan manusia dan
peranannya. Dia memakai pakaian yang kasar makan-makanan yang buruk dan tidur
di atas tanah. Adapun golongan “Cyrenics” di bangun oleh Aristippus yang lahir
di Cyrena (kota
Barka di utara Afrika). Golongan ini
berpendapat bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah merupakan
satu-satunya tujuan hidup yang benar dan perbuatan itu dinamai utama bila
timbul kelezatan yang lebih besar dari kepedihan.
Kedua
golongan tersebut, sama-sama bicara tentang perbuatan yang baik, utama dan
mulia. Golongan pertama, Cynics bersikap memusat pada Tuhan (teo-sentris)
dengan cara manusia berupaya mengindentifikasi sifat Tuhan dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. sedangkan golongan kedua,
Cyrenics bersikap memusat pada manusia (antro-pocentris) dengan cara manusia
mengoptimalkan perjuangan dirinya dan memenuhi kelezatan hidupnya.[5]
2. Plato
(427 – 347 SM). Seorang filsafat
Athena dan murid dari Socrates, bukunya yang terkenal adalah “Republic”.
Ia membangun ilmu akhlak melalui akademi yang ia dirikan. Pandangannya dalam
akhlak berdasar dari “teori contoh” bahwa di balik alam ini ada alam
rohani sebagai alam yang sesungguhnya. Dan di alam rohani ini ada kekuatan yang
bermacam-macam, dan kekuatan itu timbul dari pertimbangan tunduknya kekuatan
pada hokum akal.
Dia berpendapat bahwa
pokok-pokok keutamaan ada empat antara lain:
a) Hikmah/kebijaksanaan,
b) Keberanian,
c) Keperwiraan
d) Keadilan.
Keempat-empatnya itu adalah tiang
penegak bangsa-bangsa dan perseorangan.[6]
Di dalam beberapa bangsa kita mengathui bhawa kebijaksanaan itu utama bagi para
hakim, keberanian itu utama bagi para tentara, perwira itu utama bagi rakyat
dan adil itu utama bagi semua. Pokok-pokok keutamaan itu membatasu bagi
tiap-tiap manusia akan perbuatannya, dan mengharap agar ia melakukannya dengan
sebaik-baiknya. Selain itu Plato juga mengatakan bahwa akhlak termasuk kategori
keindahan. [7]
3. Aristoteles
( 394 – 322 SM), dia murid Plato yang membangun suatu paham yang khas, yang
mana pengikutnya diberi nama dengan “Peripatetics” karena mereka memberikan
pelajaran sambil berjalan, atau karena ia mengajar di tempat berjalan yang
teduh. Dia menyelidiki dalam akhlak dan mengarangnya. Dan ia berpendapat bahwa
tujuan terakhir yang dikehendaki manusia mengenai segala perbuatannya ialah
“bahagia”. Akan tetapi pengertiannya tentang bahagia lebih luas dan lebih
tinggi dari pengikut paham utilitarianism dalam zaman baru ini. Dan menurut
pendapatnya jalan mencapai kebahagiaan ialah mempergunakan kekuatan akal
pikiran sebaik-baiknya.
Selain
itu Aristoteles ialah pencipta teori
serba tengah tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah diantara kedua keburukan,
seperti dermawan adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah
tengah-tengah antara membabi buta dan takut.
Setelah Aristoteles dating
“Stoics” dan “Epicuric”. Mereka berbeda penyelidikannya dalam akhlak “Stoics”
berpendirian sebagai paham “Cynics”, dan paham “Stoics” ini diikuti oleh banyak
ahli filsafat di Yunani dan Romawi. Dan pengikutnya yang termasyhur pada
permulaan kerajaan Rome
ialah Seneca (6 SM-65 M), dll. Adapun “Epicuric”, maka mereka mendasarkan
pelajarannya menurut pelajaran Cyrenics. Pendiri paham mereka ialah
“Epicuric”.di antara pengikutnya dalam zaman baru ini ialah “Gassendi” seorang
filsafat Perancis (1592-1656).
Pada
akhir abad yang ketiga Masehi tersiarlah kabar Agama Nasrani di Eropa. Agama
itu dapat merubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok akhlak yang tercantum
di dalam Taurat. Demikan juga memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan
sumber segala akhlak. Tuhan yang memberi segala patokan yang harus kita
pelihara Dalam bentuk perhubungan kita, dan yang menjelaskan arti baik dan
buruk, baik menurut arti yang sebenarnya ialah kerelaan Tuhan dan melaksanakan
perintah-perintah-Nya.[8]
2. Sejarah Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad pertengahan)
Kehidupan
masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu
gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja
berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa
yang telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh kerana itu
tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian.
Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin
uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki perasaan dan menguatkan pendapat
gereja. Diluar ketentuan seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Namun demikian
sebagai dari kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato, Aristoteles dan Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan
mencocokkannya dengan akal. Filsafat yang menentang Agama Nashrani dibuang
jauh-jauh.
Dengan demikian
ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran
akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nashrani.
Diantara merka yang termasyhur ialah Abelard,
sorang ahli filsafat Perancis (1079-1142) dan Thomas
Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan Italia (1226-1274).
Corak ajaran akhlak
yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu,
nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam
sebagaimana terlihat pada pemikiran aklhlak yang dikemukakan kaum Muktazilah.[9]
1.
Sejarah
Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum Islam
Bangsa Arab pada
Zaman Jahiliyah tidak ada yang menonjol dalam segi filsafat sebagaimana Bangsa
Yunani (Socrates, Plato dan Aristoteles), Tiongkok dan lain-lainnya. Disebabkan
karena penyelidikan akhlak terjadi hanya pada Bangsa yang sudah maju
pengetahuannya. Sekalipun demikian, Bangsa Arab waktu itu ada yang mempunyai
ahli-ahli hikwah yang menghidangkan syair-syair yang mengandung nilai-nilai
akhlak.
Adapun sebagian
syair dari kalangan Bangsa Arab diantaranya: Zuhair ibn Abi Salam yang
mengatakan: ”barang siapa menepati janji, tidak akan tercela; barang siapa yang
membawa hatinya menunjukkan kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu”.
Contoh lainnya, perkataan Amir ibnu Dharb Al-Adwany ”pikiran itu tidur
dan nafsu bergejolak. Barang siapa yang mengumpulkan suatu antara hak dan batil
tidak akan mungkin terjadi dan yang batil itu lebih utama buatnya. Sesungguhnya
penyelesaian akibat kebodohan”.
Dapat dipahami
bahwa bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar pemikiran yang minimal
pada bidang akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan
mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum
sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh filosof-filosof Yunani
kuno. Dalam syariat-syariat mereka tersebut saja sudah ada muatan-muatan akhlak.
Memang sebelum
Islam, dikalangan bangsa Arab belum diketahui adanya para ahli filsafat yang
mempunyai aliran-aliran tertentu seperti yang kita ketahui pada bangsa Yunani,
seperti Epicurus, Plato, zinon, dan Aristoteles, karena penyelidikan secara
ilmiah tidak ada, kecuali sesudah membesarnya perhatian orang terhadap ilmu
kenegaraan.[10]
Setelah sinar
Islam memancar, maka berubahlah suasana laksana sinar matahari menghapuskan
kegelapan malam, Bangsa Arab kemudian tampil maju menjadi Bangsa yang unggul di
segala bidang, berkat akhlak karimah yang diajarkan Islam.
Firman Allah yang mengungkap
tentang “Akhlak” yaitu Surat An-Nahl ayat 90:
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[11]
3. Akhlak
Periode Abad Modern
Pada abad pertengahan ke-15
mulailah ahli-ahli pengetahuan menghidup suburkan filsafat Yunani kuno. Itali
juga kemudian berkembang di seluruh Eropa. Kehidupan mereka yang semula terikat
pada dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran
yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran.
Di antara masalah yang mereka
kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak. Akhlak yang mereka bangun didasarkan pada
penyelidikan menurut kenyataan empiric dan tidak mengikuti gambaran-gambaran
khayalan, dan hendak melahirkan kekuatan yang ada pada manusia, dihubungkan dengan
praktek hidup di dunia ini. Pandangan baru ini menghasilkan perubahan dalam
menilai keutamaan-keutamaan kedermawanan umpamanya tidak mempunyai lagi nilai
yang tinggi sebagaimana pada abad-abad pertengahan, dan keadilan social menjadi
di perolehnya pada masa yang lampau. Selanjutnya pandangan akhlak mereka
diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka menjadi anggota masyarakat
yang mandiri.[12]
Ahli filsafat Perancis yaitu
Desrates (1596-1650 M), termasuk pendiri filsafat baru dalam Ilmu Pengetahuan
dan Filsafat. Ia telah menciptakan dasar-dasar baru, diantaranya:
1. Tidak
menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh akal dan nyata adanya. Dan apa yang
didasarkan kepada sangkaan dan apa yang tumbuhnya dari adat kebiasaan saja,
wajib di tolak.
2. Di
dalam penyelidikan harus kita mulai dari yang sekecil-kecilnya yang
semudah-mudahnya, lalu meningkat kearah yang lebih banyak susunannya dan lebih
dekat pengertiannya, sehingga tercapai tujuan kita.
3. Wajib
bagi kita jangan menetapkan sesuatu hokum akan kebenaran sesuatu soal, sehingga
menyatakannya dengan ujian. Descartes dan pengikut-pengikutnya suka kepada
paham Stoics, dan selalu mempertinggi mutu pelajarannya sedang Gassendi dan
Hobbes dan pengikutnya suka kepada paham Epicurus dan giat menyiarkan aliran
pahamnya.
Kemudian lahir pula Bentham
(1748-1832) dan John Stoart Mill (1806-1873). Keduanya berpindah paham dari
faham Epicurus ke faham Utilitarianim.
Setelah keadaannya muncul Green
(1836-1882) dan Hebbert Spencer (1820-19030, keduanya mencocokkan faham
pertumbuhan dan peningkatan atas akhlak sebagaimana yang kita ketahui.
C. Perkembangan
Akhlak Dalam Berbagai Ajaran Agama
a.
Akhlak dalam ajaran agama Hindu
Ajaran
Hindu berdasarkan kepada Kitab Veda (1500 SM, disamping mengandung dasar-dasar
ketuhanan, juga mengajarkan prinsip-prinsip etika yang wajib dipegang teguh
oleh pengikut. Etika mereka sandarkan kepada ajaran ketuhanan yang mereka anut
yang termaktub dalam kitab Veda tersebut.
Prinsip
tersebut ialah sifat patuh dan disiplin dalam melaksanakan upacara-upacara
ajarannya sebagaimana mestinya. Manakala seseorang dapat melaksanakan kewajiban
tersebut dengan sempurna, dapatlah di pandang sebagai orang yang mencapai
derajat kemuliaan yang sesungguhnya. Sebaliknya barang siapa melalaikan hal
tersebut, kurang hati-hati atau salah dalam mengerjakan upacara keagamaan, maka
hal itu berarti dosa dan sumber terbitnya kejelekan.
Dengan
demikian, prinsip etika Hindu ialah bahwa peraturan ajaran dipandang sebagai
sumber segala sumber segala kemuliaan akhlak manusia.[13]
b.
Akhlak dalam ajaran Ibrani
Bangsa
Ibrani yang popular dengan nama Bani Israil, mengaku berdasarkan akhlak mereka
kepada ajaran Yahudi yang disandarkan kepada ajaran Nabi Musa dalam kitab
Taurat.
Bani
Israil adalah bangsa yang telah memperoleh nikmat keutamaan dan keunggulan
dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Dari lingkungan mereka banyak di
bangkitkan Rasul dan Nabi, diberikan kitab dan nikmat, kekuasaan, rizki dan
kecerdasan. Tetapi segolongan dari pada bangsa ini tidak tahu menimbang rasa
dan pelupa budi serta tidak syukur atas nikmat Allah. Bahkan dengan kenikmatan
itu mereka menjadi sombong dan angkuh, merubah kitab suci, dan berbuat
kerusuhan di muka bumi.
Sebenarnya
mereka telah dibekali dengan prinsip-prinsip akhlak yang bersumber dari ajaran
Allah melalui Rasul-Rasul dan mereka mengakui dirinya sebagai bangsa yang
berakhlak yang berdasarkan ajaran Allah. Tetapi karena mereka keluar dari garis
akhlakul karimah maka Allah menyiksa mereka dengan penderitaan-penderitaan yang
luar biasa, lebih dari yang dialami oleh bangsa-bangsa lain. Dalam teori mereka
mengaku menganut prinsip-prinsip akhlakul karimah tetapi dalam prakteknya
mereka melakukan akhlakul madzmumah.[14]
c.
Akhlak dalam ajaran Kong Fu Tse
(Konfucius)
Sejak
abad ke 5 sebelum Masehi di negeri Tiongkok berkembang suatu ajaran yang
berakar pada Lao Tse yang kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Kong
Fu Tse (kongfucius) (1551-478 SM). Sebagian orang memandang ajaran ini
didasarkan filsafat dan sebagian memandang bercorak agama.
Menurut
Konfucius, tidak ada alternative lain untuk membangun akhlak yang rusak selain
3 (tiga) perkara:
1. Pergi
menyendiri beribadat kepada Tuhan seperti yang telah diperbuat oleh Lao Tse.
2. Mengundang
rakyat menghadiri pertemuan-pertemuan terbuka dan disana memberikan
kursus-kursus akhlak.
3. Membawa
diri-sendiri, baik pemerintah maupun cendekiawan, para pembesar dan diplomat,
melaksanakan akhlak yang setinggi-tingginya dalam kehidupan sehari-hari
Demikianlah
konfucius dengan segala kesanggupannya yang berusaha menarik perhatian ummat ke
jurusan undang-undang umumnya.[15]
d.
Akhlak dalam ajaran agama Nasrani
(Masehi)
Pada
akhir abad ke 3 Masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah
berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak
yang terdapat dalam kitab taurat dan injil. Menurut agama ini, bahwa Tuhan
adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan
akhlak yang harus di pelihara dan di laksanakan dalam kehidupan social
kemasyarakatan.
Selain
itu agama Nasrani menghendaki agar manusia berusaha sungguh-sungguh mensucikan
roh yang terdapat pada dirinya dari perbuatan dosa, baik dalam bentuk pemikiran
maupun perbuatan. Dengan demikian agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan
terhadap diri manusia, yaitu suatu kekuasaan yang dapat mengalahkan nafsu
syahwat. Akibt dari paham akhlak yang demikian itu, kebanyakan para pengikut
pertama dari agama ini suka menyiksa dirinya, menjauhi dunia fana beribadah,
Zuhud, dan hidup menyendiri. [16]
e.
Akhlak dalam ajaran agama Islam
Ajaran
akhlak menurut bentuknya yang sempurn pada agama Islam dengan titik pangkalnya
pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak manusia agar
percaya kepada Tuhan dan mengikutinya bahwa Dia-lah Pencipta, Pelindung,
Pengasih, Pemberi Rahmat, dan Penyayang terhadap segala makhluk-Nya.
Selain
itu, agama Islam juga mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan
memuat ajaran yang menuntut umat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Dan
semua itu terkandung dalam ajaran Al-Qur’an yang diturunkan Allah dan ajaran
sunnah yang di datangkan dari Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an
adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan agama islam. hukum-hukum
Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok
akhlak dan perbuatan yang dapat di jumpai sumber yang aslinya di dalam
Al-Qur’an.[17]
[1] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2006, 1.
[2] Barmawi Umary, Materia
Akhlak, Solo: CV. Ramadhani, 1989,1.
[3] Siti Aminah Sahal, Diktat
Kuliyah Akhlaq, Ponorogo: IAIN Sunan Ampel Ponorogo, 1985, 41.
[4]
Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf (Nilai-nilai akhlak/budipekerti dalam ibadat
dan tasawuf), Jakarta: PT Karya Mulia, 2005, 34-35.
[5] Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 1997, 41-42.
[6] Abjan
Soleiman, Ilmu Akhlak (Ilmu Etika), Jakarta:
Dinas Rawatan Rohani Islam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, 1976, 28.
[7] Murtadha Muthahhari, Falsafah
Akhlak, Bandung :
Pustaka Hidayah, 1995, 37-38.
[8] Mustofa, 45.
[9] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf,
Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 1997, 65-66.
[11] Depag RI , Al-Qur’an
dan Terjemahan, 1971, 415.
[12] Abudin Nata, 80-81.
[13] Siti Aminah Sahal, 50
[14] Ibid, 51
[15] Ibid, 53.
[16] Ibid, 55.
[17] Ibid, 57-58.
0 komentar:
Posting Komentar