1. Ajaran pokok etika
deontologis Kant
Etika
deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan
itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan
untuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat'.
Istilah "deontology" dipakai pertama kali oleh C.D. Broad dalam
bukunya Five Types of Ethical Theory. Etika deontologis juga sering
disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang
relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan. (non-consequentialist
theory of ethics).
Para
penganut etika deontologis, seperti Immanuel Kant (1724-1804) sebagai
pelopornya misalnya, berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak
dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang
menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau
"bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu
apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di
mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutalk
semua manusia sebagai makhluk rasional.
Menurut
paham etika deontologis, pendekatan etika teleologis (entah dalam bentuk
egoisme, eudaimonisme atau utilitarisme) yang menghubungkan kewajiban moral
dengan akibat baik atau buruk, justru merusak sifat moral. Tidak berbohong
hanya kalau itu menguntungkan si pelaku atau hanya bila itu membawa akibat baik
yang lebih besar dari akibat buruknya, akan merendahkan martabat moral. Menurut
Kant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh apabila ia secara
prinsipial tidak bohong, entah itu membawa keuntungan atau kerugian. Maka
kaidah etika deontologis bisa dirumuskan sebagai berikut: Betul-salahnya suatu
sikap atau tindakan tidak tergantung dari apakah sikap atau tindakan itu
mempunyai akibat baik atau buruk, melainkan apakah sesuai dengan norma-norma
atau hukum moral atau tidak.
Tujuan
filsafat moral menurut Kant adalah untuk menetapkan dasar yang paling dalam
guna menentukan keabsahan (validitas) peraturan-peraturan moral. Ia berusaha
untuk menunjukkan bahwa dasar yang paling dalam ini terletak pada akal budi
murni, dan bukan pada kegunaan, atau nilai lain. Moralitas baginya menyediakan
kerangka dasar prinsip dan peraturan yang bersifat rasional dan yang mengikat
serta mengatur hidup setiap orang, lepas dari tujuan-tujuan dan
keinginan-keinginan pribadinya. Norma moral mengikat setiap orang di mana pun
dan kapan pun tanpa kecuali. Dasar moralitas mesti ditemukan dalam
prinsip-prinsip akal budi (rasio) yang dimiliki secara umum oleh setiap orang.
Suatu sikap atau tindakan secara moral betul hanya kalau itu sesuai dengan
norma atau hukum moral yang dengan sendirinya mengikat setiap orang yang
berakal budi.
Kant
sangat menekankan pelaksanaan kewajiban moral demi tugas itu sendiri dan bukan
demi tujuan-tujuan lain. Kalimat pertama dalam bukunya Grundlegung zür
Metaphysik der Sitten (Prinsip-prinsip Dasar Metafisika Moral) adalah
pernyataan bahwa yang baik sungguh-sungguh (tanpa syarat apa-apa) adalah
kehendak baik. Ia sangat menekankan kemurnian motivasi sebagai ciri pokok
tindakan moral, dan kemurnian ini nampak dari sikap mentaati kewajiban moral
demi hormat terhadap hukum/norma yang mengatur tingkah lakunya, bukan demi
alasan lain. Inilah faham deontologis murni. Setiap orang mesti bertindak tidak
hanya sesuai dengan tugas dan kewajibannya tetapi juga demi tugas
dan kewajibannya tersebut. Pelaksanaan tugas dan kewajiban moral karena itu
dianggap menguntungkan untuk dirinya atau orang lain, dianggap tidak ada
kaitannya dengan moralitas.
Karena
tujuan menjaga kemurnian motivasi ini, maka Kant memberikan norma dasar moral
yang melulu bersifat formal. Ia tidak menunjukkan apa yang secara
konkret merupakan kewajiban manusia. Dengan kata lain, ia tidak memberi isi
material tentang hal yang mesti dilakukan oleh seorang pelaku moral dalam
situasi konkret. Norma dasar moral yang melulu bersifat formal itu dia sebut
sebagai imperatif kategoris (perintah yang mengikat mutlak setiap
mahkluk rasional dan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri). Rumusan pokok
imperatif kategorisnya yang menegaskan prinsip universalisasi kaidah tindakan
berbunyi sebagai berikut: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip
atau kaidah tindakanmu itu bisa sekaligus kau kehendaki sebagai kaidah yang
berlaku umum". Sedangkan rumusan keduanya yang menegaskan prinsip hormat
terhadap manusia sebagai person atau pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri
adalah: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan
kemanusiaan entah dalam dirimu sendiri atau dalam diri orang lain senantiasa
sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, dan tidak pernah melulu sebagai
sarana."
2. Kekuatan
etika deontologis Kant
2.1.
Memberi dasar kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran
moral
Dengan
menekankan bahwa prinsip moralitas bisa diturunkan secara apriori dari akalbudi
murni dan tidak ditentukan baik oleh objek tindakan, oleh akibat-akibatnya,
maupun oleh kepentingan-kepentingan subjek pelaku, maka etika deontologis Kant
memberi dasar yang kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral.
Seperti sudah pernah kita bicarakan, rasionalitas kesadaran moral menuntut
bahwa penentuan benar salahnya tindakan atau baik buruknya kelakuan manusia itu
bukan hanya perkara selera atau perasaan belaka dari orang yang memberi
penilaian, melainkan bahwa itu berdasarkan suatu prinsip yang nalar (masuk
akal). Keputusan moral itu bisa dan perlu dipertang-gungjawabkan sehingga
kebenarannya dapat diuji oleh orang lain. Objektivitas kesadaran moral juga
dijamin oleh etika deontologis melawan arus subjektivisme dan relativisme,
karena prinsip yang secara apriori diturunkan dari akalbudi murni itu prinsip
yang berlaku umum dan mengikat secara mutlak setiap manusia sejauh ia mahkluk
yang berakalbudi (rasional).
2.2. Memberi
tolok ukur yang perlu dan penting untuk menilai moralitas suatu tindakan, yakni prinsip universalitas
Imperatif
kategoris Kant sebagaimana dirumuskan di atas, kendati, seperti masih akan kita
lihat di bawah, belum mencukupi sebagai tolok ukur penilaian moralitas
tindakan, sudah memberi salah satu unsur yang memang perlu dan penting, yakni
prinsip universalitas. Tindakan yang secara moral betul setidak-tidaknya mesti
didasarkan atas prinsip yang tidak hanya berlaku untuk subjek pelaku tertentu
dan pada waktu serta kondisi tertentu, melainkan pada prinsip yang bisa
disetujui dan berlaku untuk semua orang di mana dan kapan saja mereka berada.
2.3. Menjamin
otonomi dan keluhuran martabat manusia
Etika
deontologis Kant yang menekankan peranan akalbudi sendiri sebagai sumber hukum
yang wajib ditaati secara mutlak, menolak segala bentuk heteronomi atau
penentuan dari luar. Akalbudi praktis atau kehendak yang rasional bagi Kant
adalah otonom, karena ia tidak tunduk pada hukum lain selaian yang telah
ditetapkannya sendiri. ["Autonomy of the will is that property of the
will by which it gives a law to itself (irrespective of any property of the
object of volition). This then is the principle of autonomy: never to choose
otherwise than so that the maxims of one's choice be also comprehended in the
same volition as universal law" -[1] Kant
barusaha menghindarkan bahaya heteronomi etika teonom dengan menempatkan Tuhan,
sebagai sumber hukum yang tertinggi dan tujuan akhir yang bersifat mutlak, di
luar ruang lingkup moralitas. Hukum-hukum Tuhan secara moral mengikat mutlak
sejauh itu disadari begitu oleh akalbudi. Adanya Tuhan dalam filsafat Kant
hanyalah salah satu postulat untuk moralitas dan bukan bagian hakiki dan
konstitutif darinya.
Etika
deontologis Kant juga menjamin keluhuran martabat manusia, karena seperti
nampak dari perumusan kedua imperatif kategoris di atas, manusia mesti
diperlakukan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri dan tidak pernah melulu
sebagai sarana. Setiap manusia sebagai pengada rasional (rational being)
adalah seorang pribadi (a person) yang bermartabat luhur. Manusia dalam
etika Kant tak pernah boleh diperalat untuk suatu tujuan-tujuan tertentu yang
pencapaiannya mengorbankan manusia tersebut. Dalam hal ini etika Kant misalnya
bisa berfungsi kritis terhadap sikap utilitarian yang sering muncul sebagai
argumen bagi pembenaran tindakan penggusuran atau pengorbanan
seseorang/kelompok demi kepentingan orang banyak.
3. Kesulitan
pokok etika deontologis Kant
3.1. Tidak
memberi tempat bagi adanya dilema moral dan tidak bisa memberi jalan keluar bila terjadi konflik prinsip moral
Dilema
moral adalah situasi ketika seorang pelaku S secara moral wajib untuk melakukan
A dan sekaligus juga secara moral wajib untuk melakukan B, namun ia tak dapat
melakukan keduanya sekaligus, entah karena dengan melakukan A itu berarti ia
tidak melakukan B, atau karena keterbatasannya sebagai manusia tidak
memungkinkan untuk melakukan keduanya sekaligus. Sebagai contoh misalnya dalam
ceritera drama Sophocles yang berjudul Antigone, raja Creon menetapkan
bahwa upacara penguburan untuk Polyneices kakak Antigone dianggap melawan hukum
setempat yang melarang memeberikan penghormatan terhadap seorang pengkianat
seperti Polyneices. Dengan demikian Antigone telah melanggar kewajibannya
terhadap negara. Di lain pihak sebagai adik kandung Plyneices ia secara
keagamaan dan kekeluargaan berkewajiban untuk melakukan upacara penguburan itu.
Dalam ceritera sendiri Antigone memilih untuk mengikuti kewajibannya yang
kedua, tetapi sebenarnya kasus itu bisa merupakan contoh adanya dilemma moral.
Etika deontologis Kant menganggap bahwa orang tidak mungkin terikat oleh dua
kewajiban moral yang sama. Bagi Kant kalau Antigone wajib secara moral untuk
melakukan upacara penguburan untuk kakaknya, ia tidak terikat oleh kewajiban
moral untuk tunduk pada peraturan negara yang telah ditetapkan oleh rajanya.
Menurut dia salah satu kewajiban itu pasti keliru. Dalam praktek hidup, halnya
tidak sesederhana itu. Bahkan seandainya orang akhirnya terpaksa memilih salah
satu, tetap dia merasa bahwa kewajibannya yang lain bukanlah hal yang begitu
saja dapat diabaikan.
Karena
etika deontologis Kant tidak memberi ruang pada adanya dilemma moral, maka ia
juga tidak bisa memberi jalan keluar bila terjadi konflik prinsip moral.
Misalnya, seorang dokter berdasarkan prinsip informed consent wajib
secara moral memberitahukan kepada pasiennya apa yang menjadi penyakit dia
sesungguhnya, sehingga ia perlu menjalani treatment tertentu. Akan
tetapi pasien tersebut juga mengidap penyakit jantung dan ada kemungkinan besar
bahwa pemberitahuan apa adanya mengenai penyakitnya akan menyebabkan dia
terkejut dan malah mati mendadak. Dalam hal ini prinsip informed consent
dan sekaligus prinsip larangan untuk berbohong, bertabrakan dengan prinsip
hormat terhadap hidup manusia. Karena dalam sistem etika deontologis semua
kewajiban moral mengikat setiap makhluk rasional secara mutlak, maka dalam
kasus tersebut dokter berhadapan dengan suatu dilema moral yang sulit dicari
jalan keluarnya. Etika deotologis tidak memberi tempat bagi penentuan kewajiban
kongkrit berdasarkan pertimbangan akibat tindakan.
3.2. Kemutlakan
norma tanpa kemungkinan pengecualian dengan mengindahkan akibat tindakan, sulit diterima
Teori
etika deontologis tidak mengenal kekecualian; ada norma ada kewajiban yang
mengikat mutlak; jadi harus dilaksanakan entah apa pun akibatnya. Kant misalnya
memberi contoh bahwa orang wajib untuk mengatakan yang benar, meskipun dalam
kasus ada seorang pembunuh bayaran yang mencari seseorang yang saya tahu di
mana dia bersembunyi. Argumen dia yang mengatakan bahwa kalau kita berdusta
dengan maksud untuk melindungi atau menyelamatkan nyawa orang itu lalu menunjuk
suatu tempat lain, padahal kebetulan orang yang dimaksud tanpa sepengetahuan
kita sudah pindah ke tempat yang kita tunjuk itu, sehingga si pembunuh tadi
berhasil menemukan dan membunuh dia, kita salah dua kali: pertama melanggar
kewajiban untuk berkata benar, dan yang kedua menyebabkan orang itu mati
dibunuh. Sedangkan kalau kita mengatakan sebenarnya, andaikan orang itu lalu
terbunuh, maka pembunuhan itu bukanlah karena kesalahan kita. Argumen ini
rupanya tidak begitu meyakinkan.
3.3. Imperatif
kategoris Kant melulu formal, hingga tidak membantu mengerti kewajiban mana yang secara konkret mengikat
seorang pelaku moral
Dengan
mengembalikan semua norma norma kepada satu prinsip saja, yakni imperatif
kategoris, Kant bisa menghindarkan diri dari adanya konflik norma, tetapi dia
tidak berhasil untuk menunjukkan bagaimana dari satu norma dasar yang melulu
bersifat formal itu dapat disimpulkan norma-norma material konkret yang wajib
diikuti. Imperatif kategoris hanya menegaskan apa yang tidak boleh dilakukan
(misalnya: jangan ingkar janji, jangan dusta, jangan bunuh diri etc.), bukan
apa yang secara positif perlu dilakukan. Mengenai kegiatan-kegiatan apa yang
harus dilakukan, tujuan-tujuan mana perlu dikejar, imperatif kategoris tidak
memberi keterangan apa-apa. Moralitas dalam hal ini lalu hanya menetapkan
batas-batas ruang lingkup kegiatan hidup kita, tetapi tidak memberi arah.
Imperatif kategoris Kant memberi tolok ukur untuk menguji benar tidaknya suatu
kaidah tindakan, tetapi tidak membantu mengetahui dari mana seorang pelaku
moral memperoleh kaidah yang mau diuji tersebut. Dengan demikian moralitas
dalam teori etika Kant mengandaikan adanya suatu praktek moral yang sudah
berlaku.
4. Keberlakuan
prima facie
Salah
satu jalan keluar dari konflik prinsip moral dalam teori etika deontologis Kant
ditunjuk oleh Sir W.D. Ross (1877-1971). Ross membedakan antara kewajiban yang sungguh-sungguh
berlaku. Menurut Ross, semua kewajiban moral memang berlaku tanpa kekecualian,
tetapi hanya prima facie. Berlaku prima facie berarti: berlaku kalau masalahnya
hanya dilihat dari segi kewajiban itu saja, jadi kalau tidak ada alasan-alasan
moral dari segi kewajiban lain yang perlu diperhatikan. Dengan demikian suatu
kewajiban hanya mengikat, kalau tidak ada kewajiban lain yang juga mengikat.
Kalau ada kewajiban yang bertentangan, orang yang bersangkutan harus memilih
menurut keinsafannya sendiri, dan untuk itu tidak ada peraturan lagi. Jadi
suatu norma moral dengan sendirinya hanya berlaku prima facie, tidak
sungguh-sungguh. Manakah kewajiban yang sungguh-sungguh berlaku bagi seseorang,
artinya yang betul-betul mengikat dia dalam batin, tidak dapat dipastikan
secara teoretis. Jadi kita secara teoretis hanya dapat mengatakan norma mana
saja yang berlaku dan sejauh mana kekuatannya, tetapi bagaimana suatu tabrakan
antara dua norma yang seimbang dipecahkan hanya dapat disadari dan diputuskan
oleh yang bersangkutan, jadi yang berada secara konkret dalam situasi itu. Dengan
demikian teori deontologis menurut paham Ross juga menjamin apa yang menjadi
inti usaha Etika Situasi: bahwa tidak mungkin suatu masalah konkret dapat
dipecahkan seratus persen dari balik meja saja.
5. Kritik
Hegel terhadap teori moral Kant
Kritik Hegel terhadap
teori moral Kant dapat ditemukan dalam bukunya:
(1) Phenomenologie des Geistes
(Fenomenologi Roh), pada bagian yang membicarakan tentang "Akalbudi"
('Akalbudi sebagai pemberi hukum', 'Akalbudi sebagai hakim atas hukum', dan
pada bagian tentang "Roh", waktu bicara tentang 'Moralitas'.
(2) Philosophie der Recht
Bagi
Hegel teori moral Kant yang menekankan otonomi kehendak manusia yang rasional
dan yang memandang akalbudi sebagai pemberi hukum merupakan teori yang cukup
maju dan lebih memadai daripada misalnya teori moral Hedonisme ataupun
Utilitarisme. Pengertian Kant tentang norma moral sebagai 'tugas' yang mengikat
mutlak dan universal setiap manusia sebagai mahluk rasional bagi Hegel
merupakan suatu pengertian etika yang benar. Dalam pola pemahaman Hegel, yang
memandang teorinya sendiri sebagai suatu sintesis, teori moral Kant merupakan
antitesis, sedangkan tesisnya adalah tatamoral tradisional sebagaimana
terungkap dalam adat kebiasaan Yunani kuno (the Greek immemorial customs).
Dalam
tesis, unsur isi atau substansi moral, sebagaimana terungkap dalam tradisi yang
sudah berabad-abad berlaku, sudah terkandung, tetapi kesadaran individu belum
muncul, sehingga individu tenggelam dalam moralitas kelompok. Dalam teori moral
Kant, sebagai antitesis, kesadaran moral individu sudah muncul, bahkan
moralitas dalam pemikiran Kant pada dasarnya ditentukan oleh subjek yang
berakal budi. Akan tetapi, dengan prinsip moralnya yang melulu bersifat formal,
isi atau substansi moral sebagaimana terungkap dalam tradisi yang menjamin
kelangsungan suatu komunitas, oleh Kant kurang diindahkan. Dalam sintesis,
Hegel bermaksud untuk memberi tempat pada otonomi dan kesadaran individu
sebagai warga suatu komunitas, tetapi sekaligus individu-individu tersebut tidak
berdiri sendiri-sendiri melainkan merupakan bagian organis suatu komunitas
dengan nilai-nilai dan tujuan yang disetujui bersama.
Secara
garis besar kritik Hegel terhadap teori moral Kant bisa dirinci menjadi dua.
Pertama, kritiknya atas prinsip dasar moral Kant (imperatif kategoris) sebagai
terlalu formal mengandung bahaya ke arah individualisme subjektif atau
liberalisme. Dalam teori etika Kant, moralitas didasarkan atas penentuan
akalbudi murni. Hukum moral diturunkan secara apriori dari akalbudi, lepas dari
segala kondisi empiris. Hanya akalbudi lah yang menjadi otoritas yang berwenang
untuk menentukan dan mengevaluasikan apa yang secara universal baik untuk
dilakukan oleh pelaku moral. Hegel berpendapat bahwa akalbudi sebagai prinsip
yang melulu abstrak tidak dapat secara syah mengatur tingkah laku. Tidak betul
bahwa akalbudi murni bisa secara langsung mengenali apa yang berlaku secara
universal dalam situasi konkret.
Karena
imperatif kategoris itu melulu formal, maka berdasarkan prinsip tersebut seorang
pelaku moral tidak dapat menentukan secara jelas apa yang dalam situasi konkret
mesti dia lakukan. Karena kekosongan ini, maka dalam keadaan konkret,
seringkali lalu apa yang dianggap sebagai kewajiban objektif sebenarnya
hanyalah apa yang ditentukan oleh subjek pelaku tindakan itu sendiri. Di
sinilah terkandung bahaya jatuh ke dalam individualisme subjektif. Bahaya ini
semakin menjadi lebih tajam dengan prinsip Kant yang sangat menekankan kehendak
baik sebagai penentu moralitas tindakan. Tanpa memperhatikan konteks
sosial-historis yang merupakan medan konkretisasi penentuan akalbudi, adanya
kehendak atau maksud baik dari si pelaku moral saja tidaklah mencukupi.
Misalnya tidak jarang penentuan-penentuan dan pembatasan yang diberikan oleh
orang tua terhadap anaknya, ataupun negara terhadap masyarakatnya, diberikan
dengan kehendak baik, tetapi akibatnya malah fatal, karena kondisi faktual
empiris tidak diindahkan.
Prinsip
universalitas sebagai pedoman untuk menilai apakah suatu kaidah tindakan bisa dibenarkan
secara moral, sebagaimana dikemukakan oleh Kant, juga belum mencukupi untuk
dapat dipakai sebagai pedoman menentukan tindakan mana yang wajib diambil.
Prinsip tersebut seringkali juga tidak effektif, karena tidak semua kaidah yang
bisa diuniversalisasikan dengan sendirinya merupakan suatu kaidah moral atau
suatu kewajiban yang mengikat. Sebagai contoh misalnya, kaidah untuk menggosok
gigi terlebih dulu sebelum mandi dan bukan sebaliknya dapat saja dijadikan
kaidah yang berlaku umum, tetapi kaidah itu bukanlah kaidah moral dan bukan
merupakan suatu kewajiban yang mengikat setiap orang.
Pokok
kritik Hegel yang kedua menyatakan bahwa teori moral Kant dengan ketiga
postulatnya membawa ke dualisme yang bersifat kontradiktif. Menurut Hegel
pemahaman Kant akan moralitas sebagai penekanan (suppression)
kecenderungan kodrati, karena memandang kecenderungan kodrati sebagai sesuatu
yang melulu negatif atau irrasional, membawa ke pemahaman dualistik tentang
manusia. Hegel mengakui bahwa kadang-kadang ada pertentangan antara akalbudi
dan dorongan-dorongan kodrati (termasuk keinginan-keingininan dan nafsu-nafsu),
antara hukum moral yang berlaku umum dan keinginan masing-masing individu.
Kendati begitu, tidak semua dorongan kodrati itu jahat dan perlu ditekan (suppressed).
Dorangan-dorongan tersebut memang perlu disalurkan dan diatur oleh akalbudi,
tetapi tidak dimatikan. Manusia dalam teori moral Kant terpecah atau hilang kesatuannya sebagai
pribadi, karena ada pemisahan antara diri manusia empiris (the empirical
self) dan diri manusia moral (the moral self).
Menurut
Hegel postulat-postulat moralitas dalam Kant membawa ke situasi kontradiktif.
Postulat pertama akan adanya keabadian jiwa untuk mengalami harmoni antara
moralitas dan kodrat. Pelaksanaan kewajiban moral di dunia ini tidak dengan
sendirinya membawa kebahagiaan. Seandainya jiwa tidak abadi, tetapi habis
dengan habisnya kehidupan di dunia ini, maka hidup menjadi tragis. Dari
postulat ini nampaknya Kant mengharapkan adanya kebahagiaan. Di lain pihak ia
menekankan bahwa pelaksanaan kewajiban moral, untuk menjaga kemurnian motivasi,
harus melulu atas dasar sikap hormat terhadap hukum atau demi kewajiban itu
sendiri. Si pelaku moral harus mengalahkan segala keinginan kodrati, termasuk
keinginan untuk bahagia. Tetapi supaya kewajiban bisa dilaksanakan pelaku moral
perlu merasa bahagia dalam melaksanakan kewajibannya. Pelaksanaan kewajiban
senantiasa membawa rasa bahagia pada si pelaku. Menolak adanya dorongan atau
keinginan kodrati untuk bahagia samasekali, sama saja menggagalkan apa yang
diinginkan si pelaku moral tersebut.
Postulat
kedua adalah adanya kebebasan; dalam kaitan dengan ini Hegel menunjuk
pertentangan antara penentuan akalbudi dengan kecenderungan rasa sebagai suatu
hal yang sentral dalam moralitas Kant. Hidup moral = hidup bebas = sepenuhnya
menentukan diri berdasarkan prinsip akalbudi. Kontradiksinya menurut Hegel
terletak dalam pemikiran berikut. Di satu pihak, setiap orang wajib untuk
berjuang mencapai kesempurnaan dengan sepenuhnya hidup menentukan diri melulu
berdasarkan prinsip akalbudi dan berjuang menundukkan segala kecenderungan
perasaan. Di lain pihak kalau kesempurnaan/ kebebasan penuh ini tercapai,
moralitas sudah tidak ada artinya lagi, karena inti moralitas justru terletak
dalam kenyataan bahwa ada konflik antara penentuan akalbudi dengan
kecenderungan perasaan. Tugas untuk menjadi sempurna rupanya suatu tugas yang
terus tidak ada habisnya.
Postulat
ketiga, mengenai adanya Tuhan sebagai penjamin keluhuran pelaksanaan tugas dan penjamin
kebahagiaan bagi mereka yang bertindak moral, karena Tuhan pada dasarnya
penguasa segala hukum alam semesta. Postulat ini, menurut Hegel, bertentangan
dengan usaha Kant untuk menekankan otonomi moral melawan segala bentuk
heteronomi, termasuk heteronomi etika teonom. Sebab, dengan postulat akan
adanya Tuhan yang diharapkan sebagai penjamin kebahagiaan bagi mereka yang
bertindak moral karena Tuhan merupakan penguasa hukum alam semesta, apa yang
semula dimaksudkan sebagai otonomi ternyata pada akhirnya jatuh ke heteronomi.
0 komentar:
Posting Komentar