Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) diakui merupakan
pelaksanaan peran BI sebagai the lender of last resort (LLR).
Khasanah teori memang membenarkan bank sentral berupaya
mengatasi krisis perbankan dengan memberikan pinjaman dalam
rangka perannya sebagai LLR. Menurut catatan sejarah bank sentral
di dunia, fungsi LLR telah dikenal sejak akhir abad ke-19, dengan
tujuan mencegah terjadinya krisis finansial yang sistemik dalam
suatu perekonomian. Terdapat banyak contoh praktek LLR yang
sukses di negara-negara maju dan di sebagian negara berkembang.
BLBI juga memiliki alasan yuridis yang kuat. UU No.13/1967, yang
berlaku saat itu, mengatakan bahwa Bank Indonesia berwenang
memberikan pinjaman darurat kepada bank-bank yang mengalami
kesulitan likuiditas yang berat. Akan tetapi, tidak terdapat peraturan
dan prosedur yang jelas tentang bagaimana fungsi ini dilaksanakan.
Bahkan, istilah BLBI itu sendiri baru dikenal pada saat itu.
Sementara itu, khasanah teori (mengenai bank sentral) mengemukakan
prinsip umum bahwa bantuan likuiditas seharusnya hanya
Kebijakan Akuntansi yang dianut Bank Indonesia diatur dalam Pedoman
Akuntansi Keuangan Bank Indonesia (PAKBI). PAKBI disusun dengan
mengacu kepada SAK, IAS, Peraturan Intern BI dan praktik-praktik yang lazim
oleh bank sentral, serta kesepakatan antara BI, BPK dengan Dewan Standar
Akuntansi Keuangan IAI.
84 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven. Dan untuk
mengurangi kemungkinan kerugian, bank sentral direkomendasikan
untuk meminta agunan yang memadai. Selain itu, bank sentral musti
memiliki batasan yang jelas dalam pemberian pinjaman tersebut,
mengingat kesulitan likuiditas yang serius cenderung menunjukkan
adanya masalah solvensi.
Dalam kasus Indonesia, setelah penutupan bank pada November
1997, pemerintah menyatakan bahwa tidak akan ada lagi penutupan
bank. Akibatnya, BI terpaksa terus memberikan bantuan likuiditas.
Bantuan yang diberikan kepada banyak bank akhirnya tidak mensyaratkan
agunan yang memadai dengan membolehkan saldo debet
rekening giro mereka di BI. Sebagian besar bank hanya dimintai
jaminan pribadi (personal guarantee) dari pemiliknya bahwa pinjaman
tersebut digunakan untuk keperluan likuiditas dan menjaga
kepatuhan terhadap seluruh regulasi kehati-hatian (prudensial).
Masalahnya kemudian, BLBI ternyata membutuhkan dana yang
amat besar. Jauh lebih besar daripada yang tampaknya diperkirakan
oleh BI dan pemerintah. Pemegang saham bank-bank yang mendapat
bantuan harusnya bertanggung jawab atas pengeluaran biaya itu.
Ternyata, mereka tidak mampu atau tidak mau (menjadi sulit
dibedakan dalam praktiknya) menanggung seluruh beban itu.
Akibatnya, sebagian besar dana untuk BLBI menjadi beban negara
(biaya fiskal).
Biaya fiskal semacam itu kemudian terus membengkak jumlahnya.
Setelah BLBI, masih ada banyak kebijakan penyelamatan dan
pemulihan perbankan yang juga membutuhkan dana besar. Pada
akhirnya, biaya total (dihitung untuk kurun waktu sekitar tiga
tahun) penanganan krisis perbankan mencapai separoh dari GDP
(rata-rata tahunan sewaktu biaya dikeluarkan). Biaya sebesar itu
menempati posisi tertinggi di antara Negara-negara Asia yang
Bank Indonesia 85
mengalami krisis dalam waktu hampir bersamaan. Sebagai
perbandingan adalah: Thailand (32,8%), Korea Selatan (26,5%),
dan Malaysia (16,4%).
Ada pula yang mencatat bahwa Indonesia menempati posisi
tertinggi kedua di dunia selama seperempat abad terakhir, setelah
Argentina dengan biaya 55,1% dari PDB tahunan ketika krisis tahun
1980-1982.
Mengenai jumlah BLBI yang jauh melebihi perkiraan semula
diindikasikan antara lain oleh perbedaan pendapat antara pemerintah
dan BI. Perbedaan mengenai jumlah dan siapa yang bertanggung
jawab atas BLBI tersebut sempat berlarut-larut. Setelah melalui
proses negosiasi panjang, tercapai kesepakatan antara BI dan pemerintah
(yang juga melibatkan DPR) untuk menyelesaikan kasusnya
dengan perjanjian bagi beban (burden-sharing) dan jumlah yang
dianggap sebagai BLBI. Hasilnya, pemerintah tetap mendapat porsi
beban yang jauh lebih besar. Menurut sebagian pengamat, ada
campur tangan IMF dalam skema kesepakatan tersebut.
Salah satu kritik utama terhadap proses pemberian BLBI adalah
kelemahan BI dalam penentuan siapa dan dalam jumlah berapa
dikeluarkannya, yang antara lain dikemukakan dalam Laporan BPK.
BI juga dikritik banyak pihak karena lemahnya pengawasan atas
penggunaan dana BLBI oleh bank penerima. Ada indikasi kuat,
sebagian pinjaman tidak benar-benar digunakan untuk membayar
penarikan simpanan nasabah.
Sejauh pengakuannya, BI memang berupaya melakukannya
dengan menempatkan beberapa orang pengawas di masing-masing
bank bermasalah. BI mengakui kesulitan untuk memeriksa seluruh
transaksi bank untuk memastikan tidak terdapat penyalahgunaan
BLBI oleh pengurus dan pemilik bank. Belakangan, hasil pemeriksaan
bank menunjukkan bahwa terdapat indikasi moral hazard
86 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
yang ditunjukkan oleh transaksi yang mencurigakan antar bank
pada beberapa bank yang ditutup. Bagi sebagian pihak, besar
kemungkinan oknum BI pun terlibat dalam hal ini. Sampai saat ini,
kasus-kasus penyalahgunaan BLBI belum diproses secara konsisten
akibat lemahnya proses peradilan dan law enforcement, serta
sebagian pelakunya telah kabur ke luar negeri.
Category:
Bank dan L Keuangan
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar