Soal Pengawasan terhadap Perbankan
Kelemahan dalam masalah pengawasan (supervisi) perbankan di
masa lalu tampaknya memang membuat BI banyak berbenah.
Namun, banyak pihak yang masih meragukan efektifitas supervisi BI
hingga saat ini. Sebagian pengamat menyoroti keterbatasan teknis BI,
seperti: kelemahan sumber daya manusia (kuantitas dan kualitasnya)
dan kurangnya jumlah kantor cabang. Sebagian lainnya mengkhawatirkan
kemungkinan konflik kepentingan (conflict of
interest). Kekhawatiran ini terkait dengan fungsi lainnya dari BI,
yakni sebagai otoritas moneter (antara lain dengan membuat
regulasi) dan pelaksana LLR (berdasar pengalaman BLBI).
Belajar dari pengalaman krisis, soal pengawasan sebenarnya
mendapat perhatian penting dalam UU No.23/1999 tentang Bank
Indonesia. Ketentuan agar fungsi pengawasan ini dilaksanakan oleh
badan tersendiri yang terpisah dari BI dinyatakan secara eksplisit.
Lembaga pengawasan independen ini akan melakukan pengawasan
terhadap semua lembaga jasa keuangan seperti bank, asuransi, dana
pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan serta
badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana
masyarakat. Menurut UU itu pula, lembaga dimaksud harus segera
terbentuk dan sudah beroperasi pada tahun 2003. Akan tetapi hingga
saat ini, masalahnya justeru kembali menjadi wacana diskusi.
Bagi pihak yang menginginkan segera dibentuk, penyebutan
institusi pengawasan dimaksud pun masih beragam. Diantaranya
Bank Indonesia 87
adalah : Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK), Otoritas
Pengawas Jasa Keuangan (OPJK), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Diperdebatkan pula soal apakah bersifat independen, langsung di
bawah Presiden, atau bagian dari departemen Keuangan. Pihak BI
sendiri mulai bersikukuh bahwa sebaiknya supervisi tersebut tetap
berada di tangan mereka dengan alasan antara lain: kesiapan,
pengalaman dan sinkronisasi kebijakan. Ditambahkan pula oleh
mereka bahwa forum stabilitas sistem keuangan sudah memungkinkan
untuk pihak lain di luar BI memberi masukan kebijakan
terkait hal itu, tanpa melanggar ketentuan soal independensi.
Sebagai catatan, ada perkembangan menarik di banyak negara
tentang hal serupa. Perkembangan ini memiliki latar belakang
dinamika perbankan yang semakin kompleks sehingga sering
terjadinya konflik kepentingan dalam pengelolaan bank sentral.
Mulai ada kecenderungan untuk memisah fungsi supervisi dari tugas
bank sentral. Sebagai contoh, ada the Financial Services Authority
(Inggris), ada the Financial Supervision Agency (Jepang), dan ada
The Australian Prudential Regulation Authority (Australia). Tentu
saja, ada perbedaan lingkup wewenang dan kepada siapa mereka
harus bertanggung jawab.
Category:
Bank dan L Keuangan
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar