Bagaimana keadaan perbankan setelah dilanda krisis, kemudian
dibantu dan di restrukturisasi oleh pemerintah dan Bank Indonesia?
Sebagian besarnya dapat diamati dan dinilai dari berbagai angka
dalam statistik perbankan. Angka-angka mengenai jumlah bank dan
perkantorannya; pangsa kepemilikan; aset dan permodalan; dana
yang berhasil dihimpun dan Kredit yang disalurkan; kualitas kredit,
khususnya yang bermasalah (NPL); soal profitabilitas, soal efisiensi
dan lain sebagainya. Berikut ini diulas fakta-fakta utamanya saja.
Jumlah jaringan kantor Bank Umum khususnya sejak deregulasi
perbankan yang tercantum dalam Paket Oktober tahun 1988 (Pakto
88) mengalami perkembangan yang pesat. Pasca Pakto 88, jumlah
Bank Umum terus bertambah, didominasi oleh pendirian Bank
Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan BUSN Non Devisa, dari
111 bank dengan jumlah kantor sebanyak 1.957 kantor sampai mencapai
puncaknya pada akhir tahun 1996, yaitu 239 bank dengan 7.314
n API merupakan blueprint mengenai tatanan industri perbankan yang
diinginkan oleh BI. API juga bersifat policy direction, sekaligus action
plans, yang isinya menyangkut hampir semua aspek dasar perbankan
seperti: kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan dan lembaga
penunjang lainnya.
n Implementasi API di Indonesia seiring dengan wacana arsitektur
keuangan global yang diprakarsai oleh Bank for Internasional
Settlemen (BIS), yang diaku sebagai pelajaran dari krisis di kawasan
Asia Tenggara.
20 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
kantor. Namun demikian, setelah krisis perbankan tahun 1997 jumlah
Bank Umum terus mengalami penurunan yang disebabkan adanya
likuidasi oleh Pemerintah, merger, dan self-liquidation.
Terdapat 130 bank menurut data dari BI pada akhir Desember
2007. Akan tetapi, jumlah kantor justeru terus meningkat menjadi
9.697 kantor, mengisyaratkan kemampuan yang lebih baik untuk
melayani nasabah. Jumlah Bank Persero sebanyak 5 bank dengan
2765 kantor; BUSN Devisa sebanyak 35 bank dengan 4711 kantor;
BUSN Non Devisa sebanyak 36 bank dengan 778 kantor; Bank
Pembangunan Daerah (BPD) sebanyak 26 bank dengan 1205 kantor;
Bank Campuran sebanyak 17 bank dengan 96 kantor; dan Bank Asing
sebanyak 11 bank dengan 142 kantor. Tercatat bahwa kantor Bank
Asing dan Bank Campuran yang paling pesat pertumbuhannya.
Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan berhasil dipulihkan,
jika dilihat dari pertumbuhan aset dan Dana Pihak Ketiga
(DPK) yang berhasil dihimpun. Aset Bank umum bertambah dengan
pesat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah total aset, selama tahun
2002 sampai dengan tahun 2007, tumbuh rata-rata lebih dari 10% setiap
tahun, sehingga total aset per bulan Desember 2007 adalah sebesar
Rp1.986,5 triliun. DPK yang berhasil dihimpun juga terus meningkat,
sekalipun laju pertumbuhannya mulai melambat, DPK pada bank
umum per 31 Desember 2007 telah mencapai Rp1.510,8 triliun.
Di sisi lain, dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan
yang berhasil disalurkan kembali dalam bentuk kredit juga cenderung
meningkat selama beberapa tahun. Angka Loan to Deposit
Rasio (LDR), yang membandingkan antara kredit yang disalurkan
dengan DPK yang dihimpun dan dinyatakan dalam prosentase, sempat
membaik dalam beberapa tahun. Akan tetapi, selama tahun 2006,
LDR kembali memburuk, dan berangsur membaik kembali pada
tahun 2007. Meskipun membaik, angka LDR masih berfluktuasi di
Tinjauan Umum 21
kisaran 65%, yang berarti fungsi intermediasi sektor perbankan suatu
keadaan yang belum optimal. Masih sangat besar dana yang seharusnya
dapat menjadi “darah segar” bagi sektor riil, jika berhasil disalurkan
kepada kegiatan produktif. Padahal, BI rate atau tingkat
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang cenderung diikuti oleh
suku bunga pinjaman perbankan, terus mengalami penurunan.
Tekanan risiko kredit yang dihadapi bank membaik pada tahun
2007, setelah sempat meningkat selama tahun 2005 dan 2006.
Beberapa tahun sebelumnya, risiko kredit berangsur menurun
secara cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh naik turunnya rasio
kredit bermasalah (NPL).
Profitabilitas perbankan relatif stagnan dalam tiga tahun terakhir,
hanya sedikit mengalami perbaikan, setelah beberapa tahun
sebelumnya terus meningkat. Penyebab utamanya adalah
meningkatnya beban operasional, disamping peningkatan efisiensi
yang sudah mulai lebih berat untuk dilaksanakan. Hal ini tercermin
dari angka-angka Return on Asset (ROA) dan Biaya Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO). Rasio ROA dihitung dari
laba tahun yang berjalan dibandingkan dengan total aset. Sedangkan
BOPO Total beban operasional dibagi Total pendapatan operasional.
ROA sebesar 0,9% (tahun 2000) membaik sampai mencapai 3,5%
(tahun 2004), kemudian menurun menjadi 2,56% (tahun 2005), serta
menjadi 2,64% (2006), dan 2,78% (2007). Sedangkan BOPO sedikit
menurun pada tahun 2006 dan 2007, setelah sebelumnya sempat
meningkat pada tahun 2005. Tentang perkembangan ROA dan BOPO
ini akan dibahas lebih detil pada bab 7.
Sementara itu, rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy
Ratio (CAR) perbankan juga relatif stabil selama beberapa tahun ini.
Setelah peningkatan yang sangat tinggi pada tahun 2001, dan cukup
tinggi pada tahun 2002, sedikit menurun pada tahun 2003, maka pada
22 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
tahun-tahun berikutnya relatif stabil pada angka yang cukup aman.
CAR per Nopember 2007 adalah 20,3%. Selain tergolong cukup tinggi,
sebagian besarnya merupakan modal inti (Tier 1). Dengan demikian,
dari segi permodalan, perbankan Indonesia tampak cukup solvable
menghadapi risiko. Kondisi semacam ini, secara teoritis, sebenarnya
mendukung untuk melakukan ekspansi kredit lebih besar.
Uraian dan data yang lebih lengkap mengenai perkembangan
statistik perbankan diberikan pada bab 7 dan bab 8. Pada kedua bab
itu, interpretasi beserta hal-hal yang berada ”dibalik angka” juga akan
mencermati. Diantaranya adalah mengenai soal profitabilitas,
efisiensi dan soal penyaluran kredit. Kita pun perlu membahas
contoh yang bersifat mikro, mengenai kondisi kelompok bank atau
bank secara individual.
Category:
Bank dan L Keuangan
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar