Sebagai bagian dari sejarah revolusi industri di daratan Eropa,
kegiatan perdagangan pun tumbuh pesat. Pada saat itu banyak
muncul lembaga perbankan, seperti Bank van Leening di
negeri Belanda yang kemudian dibawa oleh VOC ke Jawa pada 1746.
De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en
Bank van Leening pada 1752 itu adalah bank pertama yang lahir di
nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya.
Kemudian lahir berbagai bank, yang cukup besar dan penting, dalam
praktek perbankan dan perekonomian kala itu. Tercatat ada dua
bank dimana peran pemerintah kolonial besar, terutama karena
memiliki saham pengendali. Kedua bank itu adalah De Postpaarbank
yang didirikan tahun 1898, dan De Algemene Volkscredietbank yang
didirikan tahun 1934. Sedangkan bank swasta Belanda antara lain
adalah Nederland Handels Maatscappi (NHM), Nationale
Handlesbank (NHB), dan De Escomptobank NV.
Sebagaimana perkembangan perbankan di dunia, sampai dengan
akhir abad ke-19, tidak ada konsepsi yang baku tentang bank sentral
seperti saat ini. Biasanya hanya ada satu atau beberapa bank yang
diberi wewenang oleh pemerintah untuk menjalankan fungsi tertentu,
yang nantinya dikenal sebagai fungsi bank sentral. Contohnya
adalah wewenang untuk mengedarkan uang kertas dan uang logam.
Juga posisi sebagai bankir atau agen pemerintah. Istilah yang lebih
cocok pada kondisi ini adalah bank sirkulasi. Dalam pengertian itu,
26
pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank
sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB).
Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda itu
sendiri telah dicetuskan beberapa tahun sebelumnya, yakni menjelang
keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout
ke Hindia Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap
telah memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran
dalam bentuk lembaga bank. Pada saat yang sama kalangan pengusaha
di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak didirikannya lembaga
bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun
demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja
Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia
Belanda pada 9 Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang
kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk suatu
bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau lazim
disebut oktroi. Dengan surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia
Belanda mulai mempersiapkan berdirinya DJB. Pada 11 Desember
1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph
Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28
tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB. Barulah
kemudian pada 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan Komisaris
Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan akte pendirian De
Javasche Bank (DJB). Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C. de
Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai sekretaris DJB.
Sejak itu, selama berpuluh-puluh tahun DJB beroperasi dan
berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan
Belanda. Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam
menjalankan usahanya. Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun
sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang
sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi keenam, DJB
Sejarah Perbankan Indonesia 27
melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris
Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru
DJB, status bank diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.).
Dengan perubahan akte tersebut, DJB dianggap sebagai perusahaan
baru. Oktroi kedelapan adalah oktroi DJB terakhir hingga berlakunya
DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini, DJB banyak
mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran
yang mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di
Hindia Belanda. Oktroi kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan
hanya diperpanjang selama satu tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
Pada 31 Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB
Wet). Bankwet 1922 ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU
tanggal 30 April 1927 serta UU 13 November 1930. Pada dasarnya DJB
Wet adalah perpanjangan dari oktroi kedelapan DJB yang berlaku
sebelumnya. Masa berlakunya adalah 15 tahun ditambah dengan
perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada pembatalan oleh
gubernur jenderal atau pihak direksi.
Pimpinan DJB pada periode DJB Wet adalah direksi yang terdiri
dari seorang presiden dan sekurang-kurangnya dua direktur, satu di
antaranya adalah sekretaris. Selain itu terdapat jabatan presiden
pengganti I, presiden pengganti II, direktur pengganti I, dan direktur
pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan oleh rapat
bersama antara direksi dan dewan komisaris. Pada periode ini DJB
terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistik,
sekretaris, bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.
Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang,
antara lain: Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta,
Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang,
Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, serta kantor perwakilan
di Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini terus berlaku sebagai
28 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang Pokok
Bank Indonesia 1 Juli 1953.
Sementara itu, disamping bank-bank milik Belanda atau
bermodal Belanda itu, terdapat pula bank-bank milik pribumi, Cina,
Jepang dan Eropa lainnya. Bank-bank milik pribumi antara lain: Bank
Abuan Saudagar didirikan tahun 1932 di Bukit Tinggi, dan NV Bank
Boemi di Jakarta. Bank milik Inggris antara lain: The Chartered Bank
of India (sebagai cabang dari kantor pusatnya di London), dan The
Hongkong and Shanghai Banking Corporation (sebagai cabang dari
kantor pusatnya di Hongkong). Bank milik Jepang antara lain: The
Yokohama Species Bank dan The Mitsui Bank. Bank milik Cina
antara lain: the Bank of China, Batavia Bank, dan NV
Bankvereeniging Oei Tiong Ham.
Sebagian besar bank yang beroperasi tersebut terkait erat dengan
kepentingan bisnis tertentu. Kebanyakannya memang dikelola
untuk pengelolaan modal kelompok bisnis tersendiri (biasanya
berhubungan dengan soal kewarganegaran orang dan badan usaha),
atau untuk memastikan kelancaran sistem pembayaran bisnis
bersangkutan (khususnya untuk yang bersifat transaksi internasional).
Tentu saja, upaya penghimpunan dana dari masyarakat tetap
dilakukan, namun umumnya masih memiliki keterkaitan dengan
bisnis yang ditopang. Sebagai contoh, rekening simpanan umumnya
dimiliki oleh pihak (orang dan badan usaha) yang terlibat dalam
jaringan bisnis inti yang ditopang bank itu.
Pada era kolonial ini perlu dicatat beberapa kejadian dalam perbankan
akibat pendudukan militer Jepang. Tercatat bahwa menjelang
kedatangan Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van
Buttingha Wichers, berhasil memindahkan semua cadangan emasnya
ke Australia dan Afrika Selatan. Pemindahan tersebut dilakukan
lewat pelabuhan Cilacap. Setelah menduduki Pulau Jawa pada bulan
Sejarah Perbankan Indonesia 29
Februari-Maret 1942, tentara Jepang memaksa penyerahan seluruh
aset bank kepada mereka. Selanjutnya, pada bulan April 1942, diumumkan
suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan
pembayaran kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian,
pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta,
mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh
bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina. Ordonansi serupa
juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura untuk
bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank
di Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di
Tokyo. Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian
diambil alih oleh bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie
Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya
dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank
sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko.
Category:
Bank dan L Keuangan
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar