Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

IDENTITAS NASIONAL



A. IDENTITAS
1. Pengertian Identitas
Secara etimologis,identitas berasal dari kata “identity” yang memiliki
arti harfiah: ciri,tanda,atau jati diri yang melekat pada seseorang,kelompok
atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Dengan demikian
identitas berarti ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang dimiliki seorang
kelompok, masyarakat bahkan suatu bangsa sehingga dengan identitas itu
bisa membedakan dengan yang lain.
Dalam terminologi antropologi, identitas adalah sifat khas yang
menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan
sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri. Mengacu
pada pengertian ini identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi
berlaku pula pada suatu kelompok.
Identitas bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang
mengukuhkan keberadaan mereka dengan sebuah nama, profesi dan
kedudukan. Memperhatikan khaos yang terjadi selama sepuluh tahun
terakhir, saya merasa ada perlunya untuk mendalami makna identitas.
Karena identitas ternyata adalah biang yang memporakporandakan berbagai
negara, memecahbelahkan bangsa-bangsa, dan memposisikan manusia yang
paling tidak politis sekali pun di satu sudut ruang berseberangan dengan
berbagai perbedaan yang berpotensi konflik.

Apa yang membedakan kita atas nama kepercayaan, suku, dan bangsa,
sudah terjadi sejak kita dilahirkan. Tanpa kita sadari ketika kita dilahirkan
sebuah predikat langsung melekat pada keberadaan kita. Nama kita
mengikat kita pada satu keluarga, satu kepercayaan, satu komunitas dan satu
bangsa.
Identitas adalah sebentang Mobius yang melilit. Di satu sisi, ia
mengukuhkan kebersamaan satu kelompok, keselarasan visi dan ambisi,
namun atas atas nama kemajuan, prestasi dan kebersamaan, ia juga mampu
secara brutal menghancurkan pihak yang dinilai mengancam azas-azas yang
mengukuhkan kelompoknya. Tindakan anarkis dianggap sah karena ia
membela kedaulatan kelompok. Tak ayal lagi, inilah insting survival purba
yang kita wariskan dari leluhur kita sejak zaman Neolitik.
Sebaliknya, kita bisa memaknakan identitas dengan parameter yang
lebih luas. Identitas, menurut Amin Maalouf, sekaligus inklusif dan
eksklusif. Sebagai contoh, sebagai warga Indonesia beretnis Cina, maka
saya dianggap warga minoritas. Tetapi sebagai anak turunan Cina, saya
termasuk golongan warga terbesar di dunia. Perbedaan perspektif ini
tergantung dari sudut referensi mana kita meneropong kedudukan kita.
Sebaliknya, sebagai anak turunan Cina, dilahirkan di Tebing Tinggi,
Sumatera Utara, menulis tiga novel dalam bahasa Inggris, membesut sebuah
film tentang seorang pegawai kecil di bagian arsip dan bermukim di
kawasan Lebak Bulus, saya menjadi sangat unik, karena tidak ada manusia
lain selain saya yang menyandang predikat seperti ini. Tetapi kalau kita
meneliti ini lebih dalam, maka kita akan menyimpulkan bahwa
individualitas ini sebenarnya tidak secara keseluruhan murni, karena ia juga
bermuatan berbagai elemen eksklusif yang bertautan dengan berbagai
manusia, lepas dari kepercayaan, suku maupun kebangsaan. Sebagai contoh,
saya berbagi satu hobi membaca dengan berjuta-juta manusia lain. Saya
juga punya kesamaan seperti mereka yang suka bakmi, tahu, ataupun kue
putu atau dengan mereka yang suka lagu-lagu Jeff Buckley.
Perumpamaan di atas secara gamblang menunjukkan betapa fleksibel
sebenarnya identitas itu. Dalam skala makro, keberadaan kita mau tidak mau
bertautan dengan begitu banyak manusia dari latar yang berbeda-beda dan
tidak terbatas oleh demarkasi lokasi ataupun bangsa. Ironisnya, secara
individu pun kita tidak mungkin dikelompokkan dalam satu kelompok
karena pada dasarnya kita semua sangat berbeda. Ini terbukti beberapa
waktu yang lalu oleh penelitian proyek genome manusia, di mana
ditegaskan bahwa DNA manusia adalah sebuah keajaiban dari ribuan
permutasi yang sama sekali tidak mungkin direplikasi. DNA kita ibaratnya
hasil dari sekali tekanan tombol mesin jackpot dengan ratusan ikon yang
berbeda. Kemungkinan untuk memreplikasi susunan DNA yang sama, sama
sekali tidak ada.
Ilmu pengetahuan yang tadinya kita harapkan sebagai bintang
penyelamat untuk membebaskan kita dari ortodoksi identitas, ternyata
malah membuat kita semakin terjerumus dalam jurang pemisah.
Pengetahuan, menurut Michel Foucault, hanya bisa membangkitkan lebih
banyak pengetahuan. Michel Foucault memberi contoh seperti ini: seorang
dokter yang kena flu tahu bagaimana mengobati dirinya dengan memilih
obat yang tepat, tapi untuk kesehatan jiwanya ia tidak mampu memberikan
preskripsi untuk dirinya. Karena untuk mengobati jiwanya ia membutuhkan
lebih dari obat, ia perlu melakukan pelatihan-pelatihan “ tehkne tou biou”
untuk mencapai satu titik konversi “metanoai”. Tehkne tou biou ini bukan
sebuah antidote, seperti antidote untuk flu, tetapi sebuah perjalanan
spiritualitas yang perlu ditekuni dalam hidup masing-masing. Pengetahuan
dalam hal ini tidak mampu banyak membantu, karena ia justru
mengakibatkan kita terperangkap dalam sejarah, tradisi dan segala embelembel
kepurbaan yang semakin mengikat kita pada satu identitas. Ia tidak
mendorong kita untuk lebih mendekat pada realitas kehidupan dalam arti
sebenarnya.
Alain Badiou dalam bukunya Ethics mengupas apa yang disebutnya
sebagai akronim usang. Seperti kata-kata Keadilan, Demokrasi, Cinta, dan
dalam hal ini Identitas juga bisa kita masukkan dalam deretan akronim
abstrak ini. Sebagai sebuah term kata Identitas seperti juga Keadilan tidak
punya makna yang konkret. Karena ia hanya sebuah term abstrak. Badiou
ingin menjelaskan kepada kita bahwa ketika sebuah kegiatan dibakukan
menjadi sebuah simbol ia kehilangan makna aslinya. Ketika kita
mengatakan Keadilan maka makna asli dari kata itu, yaitu berlaku adil,
segera kehilangan makna aslinya. Kita tenggelam dalam sebuah semesta
makna yang begitu luas sehingga keaslian makna itu sendiri menjadi kabur.
Kita lupa bahwa Identitas berangkat dari kata kerja yang punya makna
memperkenalkan diri, mengidentifikan diri orang lain, atau menyatukan diri
dengan orang lain. Dengan kata lain, dengan merangkul kata identitas kita
menjadi lupa melakukan hal-hal yang berlaku untuk makna itu.
Identitas juga bercermin pada Yang Lain (The Other). Ia tidak bisa
lepas dari pengakuan/pengukuhan orang lain. Identitas manusia selama
hidupnya dicerminkan oleh seperangkat opini orang lain. Identitas dalam hal
ini terkandung kesemuan yang menjadi kenyataan ketika kita
mengkonfirmasi predikat-predikat dari orang lain. Ini paradoks yang kita
bawa dari lahir yang akan terus melekat kecuali kita melakukan sesuatu
untuk membebaskan diri dari tirani penafsiran Yang Lain. Dari penelitian
proyek genome manusia, kita diajarkan bahwa kita tidak mungkin bisa sama
seperti orang lain, sekalipun kita berusaha keras. Keunikan setiap individu
sekaligus adalah kekuatan diri dan kelemahannya. Kekuatan karena dengan
memahami keunikan itu kita tidak tergoyahkan oleh penafsiran Yang Lain.
Kelemahannya adalah ketika kita berupaya untuk mengukuhkan identitas
itu.
Seperti jalan menuju kesejahteraan jiwa harus melewati tehkne tou
biou, pengasahan subjektivitas, maka untuk menjangkau orang lain kita juga
perlu bekerja keras. Langkah pertama adalah membebaskan diri dari
identitas. Manusia bebas identitas tidak memandang perbatasan negara,
perbedaan suku atau pun kepercayaan sebagai jurang pemisah. Karena
manusia pada dasarnya terikat dalam kebersamaan yang tak terelakkan,
yaitu sebagai kelompok manusia berakal sehat dengan nilai-nilai kebaikan
hakiki, mengemban visi yang sama, yakni dunia yang lestari dan damai.
Dunia tanpa perbatasan dan identitas memungkinkan manusia untuk
berpadu dalam satu komunitas dunia, bahu membahu menyelesaikan
persoalan satu kasus demi satu kasus, tidak saling menyalip demi
kepentingan bangsa, suku mau pun kepercayaan masing-masing. Alain
Badiou menyimpulkan dengan elegan, â€oeSatu bertaut dalam Dua.
Kebersamaan berada dalam pergelutan perbedaan.â€ı Ungkapan ini
mengingatkan kita bahwa yang perlu kita lakukan bukan menyatu dengan
orang banyak tetapi berusaha keras untuk mengembangkan simpati dan
empati pada orang lain tanpa kekalutan historis, suku, maupun kepercayaan.
Dari satu individu ke individu yang lain. Tanpa baliho yang meneriakkan
slogan kebesaran ini dan itu.
Imajinasi juga sangat berperan dalam pendekatan kita pada Yang
Lain. Dalam novelnya Identity, Milan Kundera memberi sebuah contoh
bagaimana paras seseorang yang tak dikenal di sebuah kafe meninggalkan
impresi yang begitu dalam pada tokoh utama novel sehingga ia berkembang
dan menjadi seorang karakter yang terasa begitu akrab, seperti seseorang
yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun. Melalui imajinasi, simpati
dan empati kita akan terpicu, terlepas dari belenggu pradugaan dan
keterbatasan identitas sehingga kita bisa bebas melebur pada yang lain.

0 komentar:

Posting Komentar