Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

Sejarah Perbankan Indonesia Era 1998-Sekarang



Pada awal tahun 1998, ketika krisis perbankan sudah cukup
terasa, pemerintah sebenarnya telah mengambil beberapa kebijakan
n Paket kebijakan Juni 1983 yang menghapuskan sistem kontrol langsung
di sektor moneter, diikuti oleh paket lain di bidang perbankan
yang bernuansa liberalisasi. Perubahan aturan main di sektor perbankan
yang terpenting adalah: kemudahan pembukaan kantor
cabang, kemudahan pendirian bank baru, dan penurunan reserve
requirement.
n Paket kebijakan liberalisasi perbankan diperkuat oleh UU No.7 Tahun
1992 tentang Perbankan yang menggantikan UU tahun 1967.

n Sejak kebijakan liberalisasi perbankan, terutama Pakto 88, jumlah
Bank dan kantornya mengalami perkembangan pesat, yang diikuti
oleh pertumbuhan tinggi dalam penghimpunan dana dan penyaluran
Kredit.
n Aspek negatif yang berkembang adalah pelanggaran terhadap prinsip
kehati-hatian oleh banyak bank, seperti: pelanggaran BMPK,
overcredit dan overvalue, pelanggaran ketentuan CAR dan reserve
requirement.
n Krisis perbankan segera terjadi ketika krisis moneter mulai berlangsung,
sekaligus berperan dalam memperluas eskalasi krisis.
42 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
untuk segera memulihkan kepercayaan terhadap perbankan.
Pemerintah memberikan jaminan pembayaran atas kewajiban bankbank
umum kepada deposan dan kreditur dalam dan luar negeri
(blanket guaranty), serta membentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) untuk melakukan langkah penyehatan bank-bank
yang bermasalah. Namun, kedua kebijakan pemerintah tersebut
ternyata tidaklah memadai. Krisis perbankan tetap saja meluas dan
mengarah pada lumpuhnya sistem perbankan nasional.
Kesulitan likuiditas menyebabkan pelanggaran Giro Wajib
Minimum oleh hampir semua bank, bahkan saldo negatif pada
rekening giro di BI telah dialami oleh sebagian besar bank.
Sebenarnya, sesuai peraturan perundang-undangan, BI dan pemerintah
bisa mengenakan sanksi stop kliring kepada mereka. Akan
tetapi, kebijakan pemerintah adalah melakukan penyelamatan,
sesuai kesepakatan dengan IMF. Alasan utamanya, kebijakan menutup
bank bukanlah opsi yang realistis dalam suasana krisis yang
sudah menjalar ke banyak aspek (multidimensi). Dalam kondisi
demikian, jika banyak bank ditutup secara masal maka diyakini
keadaan bisa menjadi lebih buruk lagi.
Statistik menunjukkan bahwa pangsa bank-bank yang seharusnya
dikenakan sanksi stop kliring mencapai 55,2% dari total seluruh
industri perbankan. Eksposure kewajiban yang harus dibayar sangat
besar mencapai sekitar Rp 293,1 triliun atau Rp 395 triliun (dengan
memasukkan BEII, BCA dan BPD) dengan jumlah rekening 12,6 juta
dan kantor sejumlah 2220. Efek domino yang dapat terjadi, menurut
perhitungan pihak BI, adalah apabila bank-bank itu di-stop kliring,
tagihan antar bank sekitar Rp 29,4 triliun tak akan terbayar yang pada
gilirannya akan menimbulkan dampak negatif bagi bank-bank
pemilik tagihan. Sedangkan biaya yang harus dibayar apabila opsi
penutupan bank diperkirakan mencapai Rp 395,0 trilyun.
Sejarah Perbankan Indonesia 43
Situasi yang dihadapi bank-bank pada waktu itu dianggap BI
sebagai illiquid, bukan insolvent. Apabila tidak diberikan bantuan
kepada perbankan, maka akan terjadi rush. Dalam kondisi rush, bank
yang sehat pun tidak akan mampu mengatasi kesulitan likuiditas
tanpa bantuan Pemerintah. Apabila tidak diberikan bantuan kepada
perbankan, menurut pihak BI, maka akan terjadi rush sebesar
Rp.454,4 triliun (Desember 1997) atau Rp.680,2 triliun (Desember
1998). Semua ini belum memperhitungkan ongkos gejolak sosial yang
timbul sebagai akibat kepanikan masyarakat.
Pertimbangan lainnya, dari pemerintah dan BI, adalah masalah
sektor riil dan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Di sektor riil,
stop kliring itu akan memutus sebagian besar sistem pembayaran
sehingga lalu lintas perdagangan akan terhenti. Sedangkan dalam
konteks perdagangan luar negeri, pemerintah khawatir karena
kepercayaan bank-bank di luar negeri kepada bank-bank di dalam
negeri telah jauh berkurang, maka impor terancam. Begitu pula
dengan ekspor, karena masih membutuhkan bahan baku impor yang
tinggi, serta bergantung pada mekanisme pembayaran luar negeri.
Akhirnya, pemerintah dan BI melakukan pilihan untuk tidak
menutup bank, meskipun juga membutuhkan biaya yang besar. Bisa
dikatakan bahwa kebijakan ini diambil dengan perhitungan biaya
berapa pun, at all cost. Yang dibayangkan mereka adalah hal
sebaliknya, kemustahilan perekonomian negara tanpa adanya bank.
Oleh karenanya, dalam evaluasi sampai dengan saat ini, langkah
tersebut diklaim cukup tepat oleh pemerintah dan BI. Diutarakan
pula bahwa tahap pemulihan seperti saat ini tidak akan dapat dicapai
jika di masa krisis yang lalu, keruntuhan sistem perbankan dibiarkan,
tanpa tindakan penyelamatan.
Dalam konteks yang demikian lah, kebijakan penyaluran
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dijalankan. Ketika mem-
44 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
bicarakan masalah ini di kemudian hari, pihak BI sering mengingatkan
bahwa dari sisi yuridis, penyaluran BLBI itu sesungguhnya
bukan merupakan kebijakan yang mendadak diciptakan. Kebijakan
itu telah dilakukan jauh sebelum terjadinya krisis moneter dan memiliki
landasan hukum yaitu UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral
dan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. Pasal 32 ayat (3) UU No. 13 tahun
1998 menyebutkan “Bank dapat pula memberikan kredit likuiditas
kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam
keadaan darurat” sedangkan pasal 37 ayat (2) huruf b UU No. 7 tahun
1992 menegaskan “Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas
yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka BI dapat
mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.”
Istilah BLBI itu sendiri memang baru dikenal sejak tanggal 15
Januari 1998 sebagaimana ditegaskan Pemerintah dalam Letter of
Intent (LoI) kepada International Monetary Fund (IMF). Dalam
surat yang ditandatangani oleh Menko Ekkuin itu, Pemerintah menyatakan
pentingnya bantuan likuiditas (liquidity support) BI kepada
perbankan. Dilihat dari sisi ini, BLBI merupakan program
Pemerintah (bersama BI) yang diketahui dan direkomendasikan oleh
IMF. Bahkan, kebijakan itu menjadi salah satu persyaratan (conditionality)
yang ditetapkan oleh IMF untuk bantuannya kepada
Indonesia. Dalam pengertian luas, liquidity support sebenarnya
meliputi juga kredit subordinasi, kredit likuiditas darurat dan fasilitas
diskonto I dan II. Namun, BLBI yang diberikan pada waktu itu hanya
mencakup bantuan likuiditas kepada bank untuk menutup kekurangan
likuiditas, terutama yang berupa: saldo debet, fasilitas
diskonto dan SBPU khusus, serta dana talangan dalam rangka
kewajiban pembayaran luar negeri.
Sejarah Perbankan Indonesia 45
Dalam pelaksanaannya, penyaluran BLBI itu dapat dikategorikan
dalam beberapa kebijakan. Pertama, BLBI yang ditujukan untuk
mengatasi kesulitan likuditas bank yaitu saldo debet, SBPUK dan
fasilitas diskonto (Rp 129,40 triliun). Kedua, dalam rangka pembayaran
seluruh sisa dana masyarakat pada 16 Bank Dalam Likuidasi
dan Bank Beku Operasi (Rp 6,015 trilyun). Ketiga, BLBI berupa dana
talangan untuk pembayaran tunggakan trade finance kepada
kreditur luar negeri (Rp 9,13 triliun). Untuk kategori pertama,
dilakukan berdasarkan kebijakan Pemerintah tidak memberlakukan
stop kliring, sedangkan kategori kedua dan ketiga, berdasarkan
kebijakan penjaminan Pemerintah baik dalam blanket guaranty
(Keppres No. 26 tahun 1998) maupun penjaminan luar negeri
(Keppres No. 120 tahun 1998).
Oleh karena jumlah bantuan dan prosedur bantuan kemudian
menjadi sangat tidak biasa, BI meminta persetujuan pemerintah,
bahkan berkonsultasi dengan DPR, untuk langkah-langkah berikutnya.
Pada akhirnya, pihak BI berhasil meyakinkan DPR-RI bahwa
pilihan kebijakan untuk tidak menutup bank melalui pemberian
BLBI adalah kebijakan pemerintah. Sebagaimana disimpulkan oleh
Pimpinan DPRI dalam rapat konsultasi dengan Gubernur BI tanggal
22 Juni 2000, hal itu adalah berdasarkan kepada kebijakan
Pemerintah yang telah ditetapkan dalam sidang kabinet terbatas
Bidang Ekku Wasbang dan Prodis tanggal 3 September 1997 di Bina
Graha. Didasarkan pula pada salah satu keputusan Presiden yang
menugaskan Gubernur BI dan Menteri Keuangan yaitu untuk
mengambil langkah-langkah untuk membantu bank-bank nasional
yang sehat, tetapi mengalami kesulitan likuiditas, sementara bank
yang nyata-nyata tidak sehat supaya diupayakan penggabungan atau
akuisisi dengan bank-bank yang sehat. Jika upaya ini tidak berhasil,
supaya dilikuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
46 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin para
deposan, terutama deposan kecil.
Lebih jauh lagi, pihak BI mengemukakan bahwa sebenarnya
sempat terjadi beberapa peristiwa sebelumnya, ketika pada bulan
Oktober 1996 dan April 1997, Direksi BI menghadap presiden untuk
mengusulkan perlunya likuidasi beberapa bank bermasalah yang
dinilai insolvent. Usulan tersebut tidak disetujui dengan berbagai
alasan. Memperhatikan sikap pemerintah tersebut dan munculnya
krisis perbankan, pada tanggal 15 Agustus 1997 Direksi BI memutuskan
untuk memberikan dispensasi bank-bank bersaldo debet
tetap ikut kliring. Pada waktu itu, sesuai Undang Undang no. 13 tahun
1968, kedudukan BI adalah sebagai bagian dari Pemerintah.
Singkatnya, menurut pihak BI, secara yuridis, BLBI adalah policy
Pemerintah.
Yang terjadi kemudian pun, dengan pertimbangan yang serupa,
Pemerintah pasca Soeharto melakukan hal yang hampir sama, yakni
menjalankan kebijakan rekapitalisasi perbankan. Pemerintah
merekapitalisasi bank-bank yang memenuhi persyaratan yang
memiliki rata-rata rasio kecukupan modal atau capital adequacy
ratio (CAR) di bawah -25%. Langkah itu diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah, mempercepat
pemulihan ekonomi, dan mengembalikan fungsi intermediasi
perbankan.
Ada perbedaan penting dalam hal ”daya tawar” (bargaining) BI,
tatkala kebijakan rekapitalisasi perbankan diambil dengan ketika
penyaluran BLBI dijalankan terdahulu. Kini, BI memiliki status dan
kedudukan baru berdasar UU No 23/99. Posisi BI menjadi lebih
independen, sehingga dalam operasionalisasinya, pemerintah harus
mengikuti juga berbagai pertimbangan dan keputusan dari pihak BI.
Menurut sebagian pengamat, pihak BI bahkan cenderung berke-
Sejarah Perbankan Indonesia 47
dudukan lebih kuat. Sedangkan dalam kebijakan BLBI, posisi
pemerintah lah yang lebih dominan.
Secara teoritis, kedua kebijakan tersebut memang dapat diterima
sebagai bagian dari restrukturisasi perbankan ketika dan setelah
mengalami krisis. Kebanyakan negara lain yang mengalami keadaan
demikian melakukan langkah-langkah yang serupa, dengan beberapa
perbedaan dalam detilnya. BLBI dan likuidasi bank dapat
dikategorikan sebagai strategi pemulihan kepercayaan kepada
perbankan. Sedangkan rekapitalisasi perbankan merupakan bagian
dari strategi penyelesaian masalah solvabilitas bank.
Untuk membiayai seluruh program restrukturisasi perbankan,
sampai dengan 26 Juli 2002, pemerintah telah mengeluarkan obligasi
sebesar Rp650,226 triliun. Ada obligasi dengan kupon inflationindexed
ditambah 3% nominalnya yang mencapai Rp218,315 triliun,
sebagai konversi dari BLBI. Dan ada dua jenis obligasi untuk membiayai
rekapitalisasi perbankan sekitar Rp 432 triliun, yaitu: obligasi
dengan mengikuti suku bunga SBI dan dengan suku bunga tetap
(antara 10-16,5%). Sekitar setahun kemudian, ada kesepakatan antara
Bank Indonesia dan pemerintah untuk mengubah besaran nominal
dan beban bunga untuk obligasi terkait BLBI tadi.
Program restrukturisasi perbankan yang kadang disebut juga
dengan program penyehatan perbankan dan program peningkatan
ketahanan industri perbankan memiliki sejumlah langkah lainnya
yang juga amat penting. Program penyehatan lembaga perbankan
meliputi penjaminan pemerintah bagi bank umum dan BPR, restrukturisasi
kredit perbankan dan pemulihan fungsi intermediasi perbankan.
Sementara itu, upaya meningkatkan ketahanan sistem perbankan
difokuskan pada pengembangan infrastruktur perbankan,
peningkatan mutu pengelolaan perbankan (good governance) serta
penyempurnaan sistem pengaturan dan pengawasan bank.
48 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
Penyempurnaan ketentuan perbankan ditujukan untuk
meningkatkan praktek-praktek perbankan yang berdasarkan prinsip
kehati-hatian sesuai dengan standar internasional. Penyempurnaan
tersebut meliputi fit and proper test, exit policy, BMPK, restrukturisasi
kredit, penilaian aktiva produktif, kelembagaan bank umum,
pendanaan jangka pendek, perdagangan portofolio obligasi dan bank
syariah. Ketentuan exit policy merupakan penyempurnaan kebijakan
dalam penanganan bank bermasalah yang lebih transparan
dengan menetapkan kriteria bank yang dikategorikan dalam pengawasan
khusus dan tindakan-tindakan korektif yang harus diselesaikan
dalam periode tertentu dan kriteria bank untuk dialihkan
menjadi Bank Dalam Penyehatan di bawah pengawasan BPPN.
Dalam rangka pemantapan pengawasan bank, Bank Indonesia
telah menyempurnakan sistem pengawasan yang semula terfokus
pada compliance based supervision diperluas menjadi pengawasan
yang berbasis risiko (risk based supervision) dan berorientasi ke
depan yang mengacu pada standar internasional. Dalam kaitan tersebut
Bank Indonesia telah menempatkan tenaga pengawas dalam
rangka On-site Supervisory Presence pada beberapa bank. Sementara
itu, untuk lebih meningkatkan kemampuan tenaga pengawas bank
serta penanganan tugas pengawasan khusus (Special Surveillance)
telah dilakukan pelatihan-pelatihan dan persiapan untuk pelaksanaan
consolidated supervision.
Sampai dengan akhir tahun 2000, berbagai kebijakan pokok yang
telah ditempuh di atas menghasilkan berbagai kemajuan dalam
kinerja perbankan nasional. Permodalan bank yang pada tahun 1999
masih negatif telah membaik hingga mencapai Rp53,5 triliun pada
Desember 2000, sehingga meningkatkan CAR bank. Sementara itu
penghimpunan dana bank yang menunjukkan peningkatan sudah
mulai diikuti pula dengan peningkatan penyaluran kredit. Hingga
Sejarah Perbankan Indonesia 49
Desember 2000, rasio non performing loan (NPL) juga membaik
hingga mencapai 18,8% secara gross atau 5,8% secara netto, yang
disebabkan oleh pengalihan kredit bermasalah ke BPPN, restrukturisasi
kredit dan penyaluran kredit baru. Net interest margin (NIM)
yang negatif pada tahun 1999 telah membaik menjadi positif sebesar
Rp22,8 triliun sejalan dengan positive spread yang didukung juga
dengan relatif stabilnya suku bunga dana. Perbaikan CAR,
peningkatan penghimpunan dana dan penyaluran kredit, perbaikan
NPL, dan NIM yang positif kemudian terus berlanjut pada tahuntahun
berikutnya.
Meskipun berbagai langkah telah menghasilkan banyak perbaikan,
tantangan terbesar yang belum bisa diatasi sepenuhnya sampai
saat ini adalah tidak optimalnya fungsi intermediasi perbankan.
Pada tahun-tahun awal era reformasi, hal ini bisa dimaklumi, yang
antara lain memang disebabkan oleh masih tingginya faktor risiko
dan ketidakpastian serta proses restrukturisasi kredit yang belum
berjalan sepenuhnya. Dengan masih terbatasnya penyaluran kredit,
ekses likuiditas yang dialami perbankan lebih banyak ditanamkan
pada SBI, antar bank aktiva serta surat berharga lainnya. Sedangkan
dalam tiga tahun terakhir ini, tatkala kondisi sebenarnya sudah lebih
baik, namun fungsi intermediasi belum membaik secepat aspek lainnya.
Perlu dikritisi apakah sudah cukup optimal upaya yang
dilakukan perbankan, termasuk langkah BI dalam mendorongnya.
Jika fungsi intermediasi perbankan masih tidak optimal pada
satu atau dua tahun mendatang, maka ada dua soal yang harus diwaspadai.
Pertama, perbaikan yang terjadi bersifat semu atau setidaknya
hanya bersifat sementara. Masih perlu dikritisi mengenai kesinambungan
perbaikan kinerja perbankan di masa mendatang. Kedua,
segala langkah dan kebijakan perbankan memang menstimulan
bank untuk lebih fokus kepada bisnis yang tidak mengandalkan
50 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
penyaluran kredit. Ada disinsentif bagi penyaluran kredit ke sektor
riil, karena besarnya insentif bagi pendapatan lainnya bagi bank,
seperti: SBI, SUN, dan fee based income.
Dari sisi lain, jumlah Bank Umum tercatat mengalami penurunan
signifikan setelah krisis perbankan tahun 1997, yang antara lain
disebabkan: likuidasi oleh Pemerintah, merger, dan self-liquidation.
Terdapat 130 bank umum menurut data dari BI pada akhir Desember
2007 dengan 9.680 kantor. Hal yang sama terjadi pada Bank
Perkreditan Rakyat (BPR), yang pada Desember 2007 tercatat
berjumlah 1.817 BPR dengan 3.250 kantor.
Sampai sejauh ini, Bank Indonesia berencana melalui API mengarahkan
agar terjadi pengurangan jumlah bank lagi di masa datang.
Sedangkan kantor bank dan jaringannya distimulan untuk menjadi
lebih banyak dan luas. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi
adalah penguatan modal masing-masing bank. Ada pula pengaturan
mengenai kepemilikan tunggal, dimana salah satu dampak yang
diharapkan adalah pengurangan jumlah bank melalui merger atau
akuisisi. Disamping itu, aspek kehati-hatian bank semakin mendapat
perhatian, terutama dengan implementasi Bassel II.
Satu fenomena penting pula pada era pasca krisis adalah
meningkatnya kepemilikan asing atas perbankan Indonesia secara
dramatis. Awal fenomena ini adalah program restrukturiasasi perbankan,
terutama program rekapitalisasi, sebagai bagian dari penyelesaian
krisis, yang seketika meningkatkan kepemilikan pemerintah
secara luar biasa atas banyak bank umum. Dengan adanya pelaksanaan
Program Divestasi yang dilakukan oleh Pemerintah pada
tahun-tahun selanjutnya sampai dengan sekarang mengakibatkan
terjadinya perubahan lagi pada peta kepemilikan perbankan di
Indonesia. Pihak asinglah yang memiliki dana dan keinginan besar
untuk memanfaatkannya. Selain itu, terjadi pula pembelian saham
Sejarah Perbankan Indonesia 51
bank umum yang telah menjadi perusahaan terbuka (go public)
oleh pihak asing. Sebagai contoh, saham bank Persero sebagiannya
diperjualbelikan secara bebas di bursa, tentu ada yang dibeli oleh
pihak asing. Jadilah kemudian porsi kepemilikan saham oleh pihak
asing menjadi semakin signifikan dalam perbankan nasional, bahkan
cenderung menjadi paling dominan. Dalam berbagai publikasi
statistik perbankan, sebagian fakta ini masih tersamar dalam kategori
Bank Persero, BUSN Devisa maupun BUSN yang Non Devisa.
Bagaimanapun, ada indikasi bahwa kepemilikan asing telah melebihi
50% pada akhir tahun 2007.

0 komentar:

Posting Komentar