Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis
di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak
sekitar abad ke-18.17 bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur
dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian
berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar
(santri), yang kemudian disebut pesantren.18 Pesantren pertama didirikan oleh
Syekh Maulana Malik Ibrahim.19 Meskipun bentuknya masih sangat
sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya
lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini dianggap
sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami
doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.20
Lembaga ini semakin berkembang pesat dengan adanya sikap non
kooperatif para ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah kolonial
Belanda dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat.
Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, hanya sekitar 3%
penduduk Indonesia. Berarti sekitar 97% penduduk Indonesia buta huruf.
Sikap para ulama tersebut dimanifestasikan dengan mendirikan pesantren di
daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi Belanda
serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum mendapat pendidikan.21
Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren mengalami peledakan jumlah
yang sangat signifikan, terutama di Jawa yang diperkirakan 300 buah
Perkembangan tersebut ditengarai berkat dibukanya terusan Suez pada 1869
sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di
Mekkah. Sepulangnya ke kampung halaman, mereka membentuk le,baga
pesantren di daerahnya masing-masing.22
Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat
signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama, peningkatan secara
kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa
pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384
orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397
orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah tersebut menjadi 15.900
pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun
1985.23Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan
bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi
empat, yaitu:
1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
formal dengan menerapkan kurikulum nasional,
baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan
maupun yang juga memiliki sekolah umum.24
Seperti Pesantren Denanyar Jombang,
Pesantren Darul Ulum Jombang, dan lain-lain.
2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan dalam bentuk Madrasah dan
mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum
meski tidak menerapkan kurikulum nasional.
Dengan kata lain, ia mengunakan kurikulum
sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor
Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.
kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern
Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.25
3. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu
pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah
Diniyah,26 seperti Pesantren Lirboyo Kediri,
Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Sumber Sari
Kediri, dan lain sebagainya.
4. Pesantren yang hanya sekedar manjadi tempat
pengajian,27 seperti Pesantren milik Gus
Khusain Mojokerto.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren
ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara
turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi yang berarti, kecuali
sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan
sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu
singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang kurikulumnya
berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.28
Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak
mencerabut pesantren dari akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap
memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan
transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai
islam (Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol
sosial (social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa
sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren diatas hanya
berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran ini
Category:
Pengetahuan
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar