Pertanyaan:
Assalamu`alaikum wr wb
Pak Ustadz saya ingin bertanya, bagaimana cara mendekati seorang
akhwat dengan cara Islami dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam?
Frian
Jawaban:
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil
Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Akhwat adalah wanita muslimah. Dan sebagaimana wanita muslimah
lainnya, bila seseorang tertarik untuk menikahi mereka, maka jalannya harus
secara syar'i dan sesuai etika yang berlaku di suatu lingkungan.
Standar baku
dari sisi syariahnya adalah dengan mendatangi orang tua kandungnya yang dalam
hal ini sebagai wali yang syah. Maksud dan niat untuk menikahinya harus
disampaikan kepada sang ayah. Beliaulah pihak yang memeliki wewenang dan
otoritas secara syar'i untuk menerima lamaran dan juga yang berhak untuk
menikahkan puterinya.
Namun biasanya setiap negeri dan komunitas memeliki 'urf / kebiasaan
yang terjalin erat dengan etika dan tatakrama. Sehingga bisa jadi langkah demi
langkah yang berlaku di suatu tempat agak sedikit berbeda dengan di tempat
lainnya.
Dan selama secara prinsip tidak bertentangan dengan syariat, maka
tidak ada salahnya mengikuti norma dan etika serta 'urf / kebiasaan yang sudah
berlaku di tempat tertentu.
Sebagai contoh, di suatu tempat ada yang menganggap bahwa bila
seorang gadis memilih sendiri atau mendapatkan sendiri calon yang akan menjadi
suaminya, maka hal itu dianggap tabu atau kurang etis. Tapi di negari lainnya,
hal itu mungkin tidak mengapa. Asal mereka memang tidak melakukan hal yang
melanggar koridor syariah.
Termasuk juga di dalam komunitas akhwat. Ada dari mereka yang agak men'tabu'kan bila seorang akhwat
mendapatkan sendiri begitu saja calon yang akan menjadi suaminya. Dalam
komunitas itu barangkali sudah menjadi kelaziman bahwa bila ada laki-laki yang
ingin menikahinya, maka ada perantara yang secara birokratis perlu dihubungi
untuk menyampaikan maksud dan keinginannya. Misalnya melalui murabbi atau
ustaznya.
Namun ini bukanlah standar yang berlaku untuk semua komunitas.
Karena ada pula yang membolehkan untuk melakukan kontak langsung dengan orang
tua tanpa harus melalui formalitas birokrasi seperti itu. Yang penting calon
suami itu muslim yang baik dan hanif (meminjam isitilah yang sering digunakan)
dan tidak terjadi pacaran atau khalwat antara mereka. Karena bisa jadi mereka
bertemu dalam suatu kesempatan dan tertarik untuk menikahinya. Dan bila orang
tuanya setuju, maka sama sekali tidak ada bagian dari syariat yang dilanggar.
Apalagi bila komunitasnya menganggap bahwa pendekatan seperti itu wajar dan
boleh dilakukan. Sehingga tanpa harus melalui 'birokrasi murabbi' yang terlalu
prosedural pun, pernikahan itu bisa dilaksanakan.
Disini diperlukan keluasan wawasan dan juga kearifan dari
masing-masing pihak. Bahwa setiap komunitas punya 'urf, pendekatan dan juga
etika yang berbeda-beda. Sehingga kita tidak bisa menggeneralisir suatu standar
yang berlaku di suatu komunitas harus sama dengan komunitas lainnya.
Dan bahwa setiap komunitas itu perlu dihormati etika dan 'urf yang
berlaku di tengah mereka. Karena bila kita main hantam kromo dengan hanya
berbekal standar baku
hitam putih syariatnya, bisa-bisa terjadi kesalah-pahaman. Dalam beberapa sisi,
benarlah kaidah yang berbunyi : Al-'Adatu Muhakkamah, maknnya bahwa suatu
kebiasaan yang sudah terbiasa dilakukan itu bisa bernilai hukum.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
0 komentar:
Posting Komentar