Utilitarisme adalah faham atau aliran dalam filsafat moral yang
menekankan prinsip manfaat atau kegunaan (the
principle of utility) sebagai prinsip moral yang paling mendasar.
Dengan prinsip kegunaan dimaksudkan prinsip yang menjadikan kegunaan sebagai
tolok ukur pokok untuk menilai dan mengambil keputusan apakah suatu tindakan
itu secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Tindakan yang secara moral benar
adalah tindakan yang berguna. Suatu tindakan dinilai berguna kalau akibat
tindakan tersebut, secara keseluruhan, dengan memperhitungkan semua phak yang
terlibat dan tanpa membeda-bedakan, membawa akibat baik berupa keuntungan atau
kebahagiaaan yang semakin besar bagi semakin banyak orang. The greatest good to the greatest number.
Faham ini menyatakan bahwa di antara semua tindakan yang kita ambil atau di
antara semua peraturan yang kita pegang, yang dapat dibenarkan secara moral
adalah tindakan atau peraturan yang, sejauh dapat kita perhitungkan, akan
paling memajukan kepentingan banyak orang, paling menguntungkan atau paling
membawa kebahagiaan mereka.
2.
Ciri Umum
Kalau mengingat pengertian di atas, maka ciri umum aliran ini adalah
bersifat kritis, rasional, teleologis, dan universal. Utilatarisme
sebagai teori etika normatif merupakan suatu teori yang kritis, karena
menolak untuk taat terhadap norma-norma atau peraturan moral yang berlaku
begitu saja dan sebaliknya menuntut agar diperlihatkan mengapa sesuatu
itu tidak boleh atau diwajibkan. Teori etika ini tidak mengakui abahwa ada
tindakan-tindakan yang pada dirinya sendiri wajib untuk dilakukan atau yang
pada dirinya sendiri dilarang. Pada dirinya sendiri semua tindakan ataupun
peraturan itu netral. Yang memberi nilai moral kepada tindakan-tindakan atau
peraturan tersebut adalah akibat-akibatnya. Sebagai contoh misalnya, para
penganut aliran ini tidak dapat menerima bahwa hubungan seks di luar perkawinan
itu bagaimanapun juga pada dirinya sendiri tidak pernah dapat dibenarkan secara
moral. Mereka akan bertanya, mengapa tidak boleh melakukan hubungan seks di
luar perkawinan; mereka menuntut agar diberikan alasan-alasan yang masuk akal.
Karena tuntutan ini, Utilitarisme juga berciri umum rasional. Bagi kaum
Utilitarian, hubungan seks di luar perkawinan itu secara moral tidak dapat
dibenarkan baru kalau ada alasan yang masuk akal, yakni bila setelah
dipertimbangkan, dalam kenyataan, akibat-akibat buruk dari hubungan seks di
luar perkawinan lebih banyak daripada akibat baiknya. Akan tetapi kalau setelah
dipertimbangkan ternyata bahwa akibat baik dari hubungan seks di luar
perkawinan itu lebih banyak daripada akibat buruknya, maka, menurut kaum
Utilitarian, hubungan seks di luar perkawinan justru wajib dilaksanakan.
Karena sifat kritis dan rasional yang seperti itu, Utilitarisme dalam
kalangan etika tradisional dialami sebagai kritik yang membahayakan. Daripada
menerima aturan-aturan tradisional begitu saja, Utilitarisme menuntut agar
peraturan-peraturan yang ada dipertang-gungjawabkan berdasarkan manfaatnya bagi
banyak orang, dan apabila pertanggungjawaban itu tidak dapat dilakukan,
peraturan tersebut supaya dilepaskan saja.
Utilitarisme juga bersifat teleologis, karena benar-salahnya
suatu tindakan secara moral dikaitkan dengan tujuan (telos) yang mau
dicapai atau dengan memperhitungkan apakah akibat baik tindakan tersebut lebih
banyak daripada akibat buruknya. Hal ini berbeda sekali dengan etika normatif
yang bersifat deontologis. Seperti masihh akan kita lihat kemudian, bagi para
penganut etika deontologis ada tindakan-tindakan tertentu yang pada dirinya
sendiri tidak pernah dapat dibenarkan secara moral, entah apa pun akibat
tindakan tersebut. Bagi mereka norma-norma moral selalu wajib diataati begitu
saja tanpa mempertimbangkan apakah akibatnya menguntungkan atau merugikan.
Dalam kasus di atas, bagi para penganut etika deontologis, melakukan hubungan
seks di luar perkawinan bagaimanapun juga secara moral tidak pernah dapat
dibenarkan. Mereka secara prinsipial menolak bahwa tujuan menentukan kualitas
moral, maka tidak dapat dipersoalkan lagi dari segi akibat tindakan.
Utilitarisme juga bersifat universal dalam arti teori etika ini
memperhatikan kepentingan umum dan bukan hanya kepentingan pribadi si pelaku
moral sebagaimana dikemukakan oleh Egoisme Etis. Dibandingkan dengan Egoisme
Etis maupun Etika Pengembangan Diri Aristoteles yang masih belum bebas dari
ciri egoistik, Utilitarisme menekankan agar pertimbangan mengenai akibat baik
atau manfaat yang akan diperoleh dari suatu pilihan tindakan itu, sedapat
mungkin, sejauh dapat diperhitungkan, memperhatikan semua orang yang terlibat
dalam tindakan tersebut atau terkenai olehnya. Suatu tindakan secara moral
benar dan wajib dilakukan kalau akibat tindakan tersebut membawa keuntungan
yang semakin besar bagi semakin banyak orang (the greatest good to the
greatest number). Dengan demikian Utilitarisme mengatasi egoisme dan
membenarkan sikap-sikap sosial. Utilitarisme membenarkan bahwa pengorbanan
kepentingan atau nikmatnya sendiri demi orang lain dapat merupakan tindakan
yang paling tinggi nilai moralnya.
Berkaitan dengan tekanan pada memperhatikan kepentingan umum dan
membenarkan adanya pengorbanan kepentingan dan nikmat pribadi demi kepentingan
dan nikmat orang banyak, Utilitarisme sebagai dasar berargumentasi seringkalai,
sadar atau tidak sadar, dijadikan acuan dalam banyak pengambilan kebijakan
sosial-politik. Kalau kita melakukan alanisis sosial untuk mengkaji mengapa
pemerintah memutuskan untuk menggusur sebuah perkampungan demi pembuatan jalan
atau demi pengaturan tata kota dan pembangan kawasan bisnis, alasan yang
dikemukakan biasanya bersifat utilitarian. Kerugian yang diderita oleh
sekelompok orang yang terkena penggusuran dapat dibenarkan demi keuntungan bagi
semakin banyak orang. Karena prinsip utilitarian banyak digunakan dalam
pengambilan kebijakan soail-politik dan dalam kehidupan bersama sehari-hari,
maka kiranya baik bahwa prinsip ini kita analisis secara cermat dan kita
tanggapi secara kritis.
3.
Macam
Biasanya dibedakan dua macam teori etika normatif Utilitarisme, yakni
Utilitarisme Tindakan dan Utilitarisme Peraturan.
a.
Utilitarisme Tindakan
Utilitarisme sebagaimana lazimnya dipahami adalah Utilitarisme
Tindakan. Kaidah dasarnya dapat dirumuskan sebagai berikut: "Bertindaklah
sedemikian rupa sehingga setiap tindakanmu itu menghasilkan akibat-akibat baik
yang lebih besar di dunia daripada akibat buruknya". Bagi penganut aliran
ini, pertanyaan pokok yang perlu diajukan dalam mempertimbangkan suatu tindakan
tertentu adalah: "Apakah tindakanku yang tertentu ini, pada situasi
seperti ini, kalau memperhatikan semua pihak yang tersangkut, akan membawa
akibat baik yang lebih besar daripada akibat buruknya?" Bagi Utilitarisme
Tindakan tidak ada peraturan umum yang dengan sendirinya berlaku; setiap
tindakan mesti dipertimbangkan akibatnya.
Utilitarisme Tindakan sudah banyak dikritik dan hampir tidak ada yang
membelanya lagi. Alasanyannya adalah: dalam praktek orang tidak setiap kali
membuat pertimbangan baru untuk melihat akibat-akibat dari setiap tindakan.
Sulit dibayangkan bahwa orang dapat hidup tanpa peraturan sama sekali. Setiap
pernyataan moral mengandung unsur bahwa pada prinsipnya dapat berlaku untuk
tindakan-tindakan lain yang sejenis walaupun akibatnya mungkin tidak persis
sama. Utilitarisme tindakan dengan mudah dapat dipakai untuk membenarkan
tindakan yang melanggar hukum dengan alasan bahwa akibatnya membawa keuntungan
bagi lebih banyak orang daripada akibat buruknya. Misalnya berdasarkan prinsip
itu seseorang dapat dibenarkan untuk mencuri satu kaleng roti dari supermarket
Hero untuk diberikan kepada beberapa orang gelandangan yang kelaparan. Kalau
hanya memperhitungkan akibatnya, kerugian yang diderita oleh supermarket Hero
akan tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan memberi makan pada beberapa orang
gelandangan yang kelaparan.
Selain itu, seperti pernah ditunjukkan oleh Ross dan Butler,[1]
kalau hanya akibat dari tindakan saja yang diperhitungkan tanpa memperhitungkan
apakah sesuai atau tidak dengan peraturan atau norma yang berlaku, maka orang akan
sampai pada suatu kesimpulan yang aneh. Sebagai contoh, misalnya tindakan A
membawa akibat yang persis sama dengan tindakan B. Akan tetapi tindakan B
melibatkan suatu pelanggaran peraturan (misalnya dengan berlaku tidak adil atau
tidak jujur), sedangkan yang A tidak. Kalau dasar pertimbangannya hanya
berdasarkan akibat dari tindakan saja, padahal akibat tindakan A persis sama
dengan tindakan B, maka logis orang secara moral bebas memilih A atau B. Dalam
praktek sudah jelas bahwa tindakan A lah yang benar dan B salah.
b.
Utilitarisme Peraturan
Untuk mengatasi kelemahan pokok di atas, maka kemudian dikembangkanlah
macam etika Utilitarian yang kedua, yakni Utilitarisme Peraturan. Dalam teori
ini yang diperhitungkan bukan lagi akibat baik dan buruk dari masing-masing
tindakan sendiri, melainkan dari peraturan umum yang mendasari tindakan itu.
Jadi yang dipersoalkan sekarang adalah akibat-akibat baik dan buruk dari suatu
peraturan kalau berlaku umum. Kaidah dasarnya sekarang berbunyi:
"Bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penerapannya
menghasilkan akibat baik yang lebih besar di dunia ini daripada akibat
buruknya."
Kalau kaidah ini diterapkan pada kasus pencurian satu kaleng roti di
supermarket Hero tadi menjadi nyata bahwa tindakan itu tidak dapat dibenarkan
secara moral. Hal ini menjadi jelas dari kenyataan bahwa pernyataan
"Mengambil barang dari toko besar tanpa bayar boleh dilakukan asal untuk
orang miskin" tidak dapat kita jadikan sebagai kaidah atau peraturan yang
berlaku umum. Sebab kalau pernyataan itu kita jadikan kaidah yang berlaku umum,
dapat dipastikan bahwa akibat buruknya justru lebih besar daripada akibat
baiknya. Demikianlah Utilitarisme Peraturan jauh lebih keras dan lebih dapat
diterima daripada Utilitarisme Tindakan.
4.
Tanggapan kritis
a.
Kesulitan menentukan nilai suatu akibat
Karena Utilitarisme mengkaitkan moralitas suatu tindakan dengan jumlah
akibat baik yang melebihi akibat buruknya, maka pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimana nilai suatu akibat itu dapat ditentukan. Pertanyaan ini harus dapat
dijawab kalau kaidah utilitarisme mau dipakai. Kalau kita mau memakai kelebihan
akibat baik terhadap akibat buruk sebagai tolok ukur moral, maka kita harus
tahu apa arti "lebih besar" dalam hubungan dengan nilai. Bagaimana
cara menghitung lebih besarnya akibat-akibat baik atau buruk? Kalau kita
membatasi diri pada pembandingan akibat tindakan dari segi nilai kenikmatan
(hedonistik) saja rupanya perbandingan kuantitas sudah menghadapi kesulitan.
Rasa nikmat ada bermacam-macam dan sulit dibandingkan: kenikmatan karena
memuaskan nafsu makan, nafsu seks, nafsu marah, nafsu balas dendam; kenikmatan
tidur, kenikmatan merokok, naik gunung, berenang dsb. Kesulitan menjadi lebih
besar lagi kalau masih harus membandingkan besar-kecilnya akibat baik dan
akibat buruk yang ditimbulkannya. Sebagai contoh misalnya, sulit sekali untuk
menentukan mana dari kemungkinan tindakan berikut yang paling besar
membawa kenikmatan sebagai akibatnya:
pergi menonton film, makan sate ayam bersama teman, baca-baca sambil
mendengarkan musik yang kita senangi, mendengarkan siaran wayang sambil main
gaple?
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, Jeremy Bentham
(1748-1832), seorang tokoh Utilitarian yang hedonis dari Inggris, misalnya
mencoba untuk memperhitungkan "nilai senang: dari pelbagi kegiatan manusia
guna dapat diperbandingkan jumlahnya satu sama lain. Ia mengemukan ada tujuh
dimensi yang perlu diperhatikan dalam perhitungan (hedonic calculus)
tersebut, yakni intensitasnya, lamanya berlangsung, kepastiannya, kedekatannya
dengan kecondongan pribadi, kesuburannya, kemurniannya, dan keluasannya. Hasil
perhitungan semacam itu tidak meyakinkan. Maka tokoh Utilitarian lain, John
Stuart Mill (1806-1873) dalam karangannya yang terkenal Utilitarianism
(yang pertama-tama merumuskan teori Utilitarisme secara khusus) mengakui bahwa
usaha semacam itu tidak dapat berhasil. Ia memasukkan unsur baru ke dalam
perhitungan, yaitu unsur "kualitas" di samping unsur
"kuantitas". Akan tetapi, dengan berbuat demikian suatu
"perhitungan" tepat tentang jumlah akibat baik dan akibat buruk
menjadi sama sekali tidak mungkin lagi.
Di lain pihak kesulitan itu tidak boleh dilebih-lebihkan. Dalam teori
memang sulit sekali memperbandingkan nilai-nilai yang berlainan secara
kualitatif. Namun dalam praktek hidup sehari-hari biasanya kita kurang lebih
dapat menentukannya, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Dalam
praktek hidup sehari-hari kurang lebih kita dapat menentukan mana yang akan
membawa akibat baik lebih besar (dalam arti lebih menyenangkan): pergi menonton
film, makan sate ayam bersama teman, atau baca-baca di rumah sambil
mendengarkan musik yang kita senangi. Mana yang baik dan mana yang buruk
(dilihat dari kuantitas dan kualitas rasa senangnya) akan sangat tergantung situasi.
Pergi menonton film bisa sangat menyenangkan, tetapi kalau untuk itu harus
pergi dengan naik sepeda di tengah hujan lebat ya lebih baik tinggal di rumah
untuk baca-baca sambil mendengarkan musik yang kita senangi.
c.
Bertentangan dengan prinsip keadilan
Keberatan paling pokok yang biasa dikemukakan terhadap teori etika
Utilitarisme adalah bahwa kaidah dasar yang dikemukakan oleh teori tersebut
dapat bertentangan dengan prinsip keadilan. Keberatan ini adalah keberatan yang
secara kritis dapat dikemukakan terhadap penentuan kebijakan pemerintah atau
penguasa yang mengambil prinsip atau kaidah utilitarian sebagai pokok acuan
untuk berargumentasi. Sebagai contoh misalnya dalam suatu proyek pembuatan
jalan tol, keluarga Sukri terkena gusur. Ia tidak mau membongkar rumahnya dan
berpindah tempat karena ia merasa diperlakukan tidak adil. Uang ganti rugi yang
ia peroleh jauh dari mencukupi untuk dapat membeli rumah yang kurang lebih sama
di tempat lain. Ia juga merasa jengkel karena ini sudah kedua kalinya ia terkena
gusur. Dulu sebelum membeli tanah dan membangun rumah di tempat itu ia sudah
bertanya pada dinas tatakota tentang rencana pembangunan kota, dan ia mendapat
jawaban bahwa daerah itu aman. Ternyata, baru beberapa tahun sudah ada
perubahan.
Setelah perundingan yang alot, akhirnya pemerintah daerah memberikan
ultimatum pada Sukri bahwa bagaimanapun juga proyek harus jalan, dan kalau pada
tanggal tertentu Sukri dan keluarganya tidak pindah, maka rumahnya akan
dibuldozer dengan paksa. Dalam membela tindakannya, pihak pemda selalu
menyatakan bahwa Sukri terlalu mendahulukan kepentingannya sendiri dan tidak
mempedulikan kepentingan umum. Pemda sebenarnya tidak mau merugikan Sukri,
tetapi tidak ada jalan lain. Sukri semestinya sadar bahwa kerugian yang dia tanggung
tidaklah seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang akan dapat dinikmati oleh
orang banyak dengan adanya jalan tol di daerah itu.
Berdasarkan prinsip Utilitarian, penalaran aparat pemda di atas logis
dan dapat dibenarkan. Akan tetapi prinsip tersebut bertentangan dengan prinsip
keadilan, karena menurut prinsip keadilan setiap manusia sebagai seorang
pribadi (persona) itu bernilai dan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri.
Manusia sebagai seorang pribadi tidak pernah boleh dikorbankan demi manusia lain.
Ia mempunyai hak asasi yang sama dengan manusia lain. Ini berarti bahwa dalam
kasus di atas, Sukri sebagai seorang pribadi mempunyai hak-hak asasi yang harus
dihormati pula oleh pihak pemda. Menjadikan dia dan keluarganya sebagai
"tumbal" yang harus dikorbankan demi kesejahteraan banyak orang lain,
secara moral tidak dapat diterima.
Tidak memadainya prinsip Utilitarian sebagai prinsip moral karena
bertentangan dengan prinsip keadilan juga nampak dalam kasus lain sebagai
berikut: Menjelang Pemilu biasanya situasi agak rawan dan adanya
"gang" atau kelompok-kelompok "gali" yang merampok dan
membuat kerusuhan akan mudah ditunggangi oleh mereka yang sengaja mau
mengacaukan keadaan. Maka demi menjaga ketenangan masyarakat dan mengamankan
Pemilu diadakanlah operasi penertiban keamanan masyarakat. Orang-orang yang
dicurigai sebagai "gali" dan perusuh langsung diculik dan dijebloskan
ke dalam penjara atau malah ada yang secara misterius hilang dan tahu-tahu
sudah diketemukan sebagai mayat di suatu tempat. Operasi tersebut secara
pragmatik-utilitarian sepertinya menguntungkan bagi masyarakat. Banyak anggota
masyarakat merasa senang karena mereka tidak diganggu lagi oleh para
"gali" tersebut. Yang dirugikan hanyalah orang-orang yang dituduh
ataupun dicap sebagai "gali".Apa yang secara pragmatik-utilitarian
nampaknya menguntungkan banyak orang itu sebenarnya secara moral tidak dapat
dibenarkan, karena bertentangan dengan prinsip keadilan. Orang yang dituduh
"gali" pun adalah manusia yang memiliki hak-hak asasi yang tidak
dapat dilanggar begitu saja. Kendati jumlah mereka relatif sedikit dibandingkan
dengan keseluruhan penduduk, dan di antara mereka memang mungkin ada yang
sungguh-sungguh jahat, secara hukum mereka memiliki hak yang disebut
"praduga tak bersalah", artinya sebelum terbukti melalui proses
pengadilan bahwa seseorang itu bersalah, orang tidak boleh langsung menjatuhkan
hukuman kepada mereka; apalagi hukuman yang tidak setimpal dengan perbuatan
mereka. Bahwa banyak orang diuntungkan oleh tindakan menghukum orang-orang itu,
secara moral tidak dengan sendirinya membenarkan tindakan tersebut. Tambahan
pula, secara hukum pun tindakan macam itu dalam jangka panjang dapat merugikan,
karena kepastian hukum lalu digoyahkan. Masyarakat akan dicengkam oleh rasa
takut terhadap kesewenangan penguasa yang sepertinya dapat bertindak di luar
jalur hukum bila dipertimbangkan bahwa kepentingan umum menuntutnya.
0 komentar:
Posting Komentar