Sejarah
filsafat barangkali sepanjang sejarah manusia itu sendiri. Filsafat tidak bisa
dipahami lepas dari sejarahnya. Filsafat muncul dan berkembang dalam
historisitas. Sejarah filsafat merupakan panggung kontestasi filsafat yang
darinya dinamika pengertian dan bisa jadi makna substantif filsafat pada
akhirnya bisa garisbawahi. Oleh karena
itu, cara terbaik untuk mengerti filsafat adalah dengan cara memahami dinamika
maknanya dalam perkembangan sejarahnya. Tidak cukup mengetahui filsafat dari
filosof, tetapi juga dari sejarah yang menjadi saksi dan sekaligus konteks bagi
filsafat mementaskan dan juga menampakkan makna dirinya. Oleh karena itu pada
bagian ini, disampaikan pengenalan awal tentang sejarah filsafat, kapan
sebenarnya filsafat itu pertama kali muncul di planet biru ini, dan bagaimana
mengerti secara filsafat dengan cara yang paling sederhana. Yang pertama akan
dijelaskan dalam subjudul penyoalan asal-usul filsafat dalam makna hakikinya,
dan yang kedua diurai di bawah subjudul periodesasi sejarah filsafat sebagai
pendekatan penyederhanaan pemahaman sejarah filsafat.
A.
Persoalan Asal-Usul Filsafat
Asal-usul filsafat, dalam pengertian cara-cara baru berpikir yang
diberi nama filsafat pertama kali dibuat dan menjadi tradisi besar dan
berpengaruh, mulai dari peradaban Yunani Kuno. Asal-usul filsafat dalam
pengertian ini biasanya lebih tepat asal-usul filsafat Barat, yang bermula dari
Yunani Kuno sekitar Abad ke-7 dan ke-6 SM ketika Anaximandros, Anaximenes,
Thales dan lain sebagainya disebut-sebut sebagai pemikir-pemikir generasi awal
yang disebut secara embrional dipandang sebagai cikal-bakal filsafat berawal
dan tumbuh hingga dewasa ini. Pythagoras disebut-sebut sebagai pemikir pertama
yang menyebut model berpikir Thales dan kawan-kawannya itu dengan filsafat. Tetapi
jika dari sudut pandang cara-cara yang dipakai Thales dan kawan-kawan, yaitu
cara dari dalam diri manusia memahami realitas atau alam, yang dipandang secara
awal-mula filsafat, sebenarnya cara-cara berpikir yang mirip dengan mereka
sudah ada jauh sebelumnya, misalnya di India.
Pada tahun 1500 – 700 SM, di India, di tengah-tengah usaha memahami
realitas atau alam ini secara mistis dan religius, menurut Velasques, ada
cara-cara baru dalam memahami realitas atau alam seperti bisa ditemui dalam
himne-himne dalam Veda-veda karya para penulis dan pemikir India yang
umumnya tidak diketahui. Cara-cara memahami realitas atau alam adalah upaya
mendeskripsikan asal-usul alam semesta dalam istilah-istilah mistis, namun
dalam saat yang sama juga menggambarkan cara-cara yang nonmistis dan dekat
dengan terma-terma filsofis sebagaimana kita kenal sekarang, misalnya, tentang
eksplanasi Yang Satu yang dipahami yang bukan eksistensi ataupun noneksistensi,
yang tidak di bumi dan tidak dilangit, pendeknya yang takterbedakan dan
taktergambarkan. Mereka berfilsafat tentang hakikat realitas mutlak. Dalam
Uphanishad, tulisan-tulisan yang kemudian ditambahkan dalam Veda, kita bisa
menemukan upaya-upaya pertma para pemikir India memahami realitas mutlak dalam
terma-terma filsofis.[1]
Filsafat dalam pengertian hakikinya, tanpa harus bernama filsafat, yaitu
sebagai upaya mengerti secara rasional tentang dunia luar dan dunia dalam
manusia, barangkali tidak bisa hanya disebut bermula dari masyarakat India,
Mesir, Yunani atau yang lainnya. Kata-kata yang bijak untuk mengatakan
asal-usul filsafat yang sesungguhnya, tanpa terjebak pada istilah, adalah
semenjak manusia itu ada. Sejak manusia ada, berfilsafat atau sebut saja
berpikir mendalam dan mendasar mengenai realitas barangkali telah menjadi
bagian dari hidup manusia itu, meski mungkin pengertian filsafatnya tidak
sedalam yang bisa dimengerti orang di jaman sekarang. Tidak bijak kiranya
mengatakan bahwa berfilsafat hanya mungkin dimengerti orang setelah sekian masa
perjalanan umat manusia. Tidak bijak kalau kita bilang, orang-orang primitif
tidak mungkin bisa berfilsafat, hanya orang setelah jaman filosof-filosof
Yunani saja yang bisa berfilsafat. Berfilsafat adalah bagian cari cara hidup
manusia dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya, dan awal-mula filsafat,
dalam makna hakikinya tanpa melihat namanya karena sebelum ada nama filsafat
orang sudah berfilsafat, adalah pertama kali manusia ada.
B.
Periodesasi Sejarah Filsafat sebagai Pendekatan
Penyederhanaan Pemahaman Sejarah Filsafat
Penulisan sejarah ideal tentang sejarah filsafat mestinya mencakup
seluruh pikiran semua filosof yang ada dalam sejarah hidup manusia. Jika
mengikuti sejarah ideal tentang filsafat ini, tentu tulisan yang akan
dihasilkan membutuhkan banyak waktu dan tidak cukup hanya ratusan atau ribuan
jilid buku. Di antara mereka yang mencoba memasuki penulisan sejarah filsafat
ideal ini adalah Copleston. Dia mencoba menulis tentang sejarah filsafat dari
awal sejak filsafat pada masanya, dan hasilnya adalah buku sejarah filsafat yang
berjumlah …. Jilid?
Dalam bagian ini kita hanya akan mencoba memahami sejarah filsafat
dengan cara yang sangat sederhana dan serba ringkas, karena yang penting kita
setidaknya bisa mengerti sejarah filsafat secara sekilas dengan
karakter-karekter dasar berfilsafatnya. Salah satu cara melakukan
penyederhanaan pemahaman tentang sejarah filsafat adalal melalui pendekatan
periodisasi sejarah filsafat. Yang dimaksudkan pendekatan periodisasi sejarah
filsafat adalah upaya menemukan ciri-ciri fundamental pemikiran filosofis yang
sama dilakukan oleh para filosof dalam kurun waktu tertentu, dan di kurun waktu
berikutnya bisa ditemukan tanda perubahan ciri-ciri fundamental pemikiran
filsofis yang berbeda yang menunjukkan kontinuitas kritisnya terhadap kurun
sebelumnya, demikian seterusnya. Kemudian masing-masing kurun yang menunjukkan
kesamaan atau setidaknya kecenderungan berfilsafat yang sama diberi nama-nama
yang membedakan periode pertama dengan periode-periode berikutnya.
Sejarah filsafat dengan penggunaan pendekatan periodisasi sejarah ini
banyak dilakukan para penulis filsafat. Umumnya sejarah filsafat di bagi ke
dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan, dan modern. Munitz menyebut
ada empat periode besar sejarah filsafat, yaitu periode klasik (ancient
period), periode pertengahan (medieval
period), periode modern (modern
period), dan periode kontemporer (contemporary period).[2] Tulisan
ini akan menggunakan periodisasi Munitz tersebut dengan menambahkan satu
periode lagi, yaitu periode sebelum periode klasik, yang disebut di sini
periode pra-sejarah. Periode ini untuk membari pengakuan adanya eksistensi
aktivitas berfilsafat yang tak pernah sampai kepada kita karena tidak ada
peninggalan tertulisnya, atau secara singkat untuk memasukkan periode
berfilsafat sebelum masa Yunani yang biasa disebut sebagai periode klasik.
1.
Filsafat dalam Periode Pra-Sejarah
Yang sampai pada kita tentang informasi historis mengenai filsafat
dalam periode paling awal adalah dari tradisi Yunani Kuno, ketika Thales dan
kawan-kawan mencoba menjawab misteri asal-usul alam semesta dengan cara-cara
rasional yang kemudian tradisi berpikir ini oleh Pythagoras disebut ФіλοσοФіα atau Philosophia. Informasi ini sampai karena
pikiran-pikiran mereka terekam dalam bentuk tulisan. Thales dan pemikir-pemikir
semasanya waktu itu juga tidak pernah menyebut pemikirannya dengan filsafat,
namun cara-cara berpikir mereka yang baru dalam mengerti dunia yang berbeda
dengan cara-cara orang yang hanya mengerti dunia dengan mengikuti mitos-mitos
yang ada ini oleh orang setelahnya dinamai aktivitas berpikir awal yang disebut
filsafat.
Boleh jadi orang-orang yang berpikir seperti cara-cara berpikir Thales
dan kawan-kawannya juga bisa ditemukan jauh sebelum Thales dan kawan-kawannya.
Sayangnya, tidak ada jejak tertulis untuk mengenali tradisi berpikir
orang-orang dulu jauh sebelum era Yunani Kuno yang pantas dipayungi dengan
istilah filsafat. Untuk mengapresiasi mereka dalam periodisasi sejarah
filsafat, mereka perlu diberi tempat masuk dalam periode sejarah filsafat
pra-sejarah.
2.
Filsafat dalam Periode Klasik
Periode klasik dari sejarah filsafat biasanya banyak disebutkan dimulai
dari filosof-filosof pra-Socrates, seperti Thales, Anaximenes, Anaximander,
Parmenides, Heraclitus, Pythagoras, dan
Democritos. Dari filosof-filosof pre-Socrates, kemudian diikuti filosof-filosof
Yunani legendaris, seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Setelah mereka,
periode klasik sejarah filsafat diakhiri dengan serentetan filsafat mulai dari
neoplaonisme, epicureanisme, skeptisisme, stoisisme, dan rumusan-rumusan paling
awal dari pemikiran-pemikiran orang-orang Yahudi dan Kristen.[3]
Oleh karena itu, sejarah filsafat periode klasik, yaitu pada jaman
Yunani Kuno, sering dalam literatur-literatur filsafat dibagi menjadi dua
peiode. Ada yang menyebut Periode Klasik I dan Periode Klasik II, ada yang menamai
Periode Yunani Kuno dan Yunani Setelah Klasik, dan lain sebagainya. Tulisan ini
lebih suka menggunakan Yunani Periode Sebelum Socrates, Yunani Periode Trio
Filosof Legendaris, dan Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.
a.
Yunani Periode Sebelum Socrates (600-400 SM)
Zaman Yunani sebelum Socrates (600-400 SM) merupakan masa
pertumbuhan pemikiran filosofis yang membedakan diri dari kondisi pada saat itu
yang didominasi pemikiran-pemikiran mitologis. Para filosof cenderung
menawarkan pemikiran rasional yang penuh dengan argumen logis yang sebelumnya
menganggap bahwa alam tercipta karena adanya dewa Apollo, atau dewa-dewa yang
ada di planet lain.
Argumen yang ditawarkan para filosof masa ini cenderung menganggap alam
ini berasal dari air demikian dikemukakan oleh Thales (625-545 BC)[4]. Bahkan
Thales menambahkan bahwa air adalah segala sesuatu, sebab air dibutuhkan oleh
semua yang ada. Air dapat diamati dalam bentuknya yang bermacam-macam. Air
dapat berbentuk benda halus (uap), sebagai benda cair (air), sebagai benda
keras (es). Air dapat diamati di mana-mana, di laut, di danau atau di tempat
amndi bahkan di makanan sekalipun. Berbeda dengan Thales, Anaximandros (610-540
BC) mengatakan bahwa realitas terdasar bukanlah air melainkan to apeiron
yaitu sesuatu yang tidak terbatas. Sebab air masih ada lawannya adalah api. Api
tidak mungkin berasal dari air. Oleh sebab itu to apeiron pada dasarnya
adalah sesuatu yang tidak terbatas. Alam terjadi dari to aperion
disebabkan oleh adanya penceraian (ekliresis) dari yang tidak terbatas (to
apeiron), dilepas unsur-unsur yang berlawanan seperti panas dan dingin,
kering dan basah dan sebagainya, selain itu juga ada hukum keseimbangan.
Anaximenes (538-480 BC) berpendapat lain bahwa alam ini berasal hawa dan udara.
Heraklitos (540-475 BC) mengatakan bahwa segala sesuatu menjadi, segala yang
ada bergerak terus menerus, bergerak secara abadi artinya perubahan adalah
pangkal dari yang ada. Lain halnya Parmindes (540-475 BC) yang bertolak
belakang dari Heraklitos.
Filosof-filosof awal pada periode ini mengenalkan suatu cara baru dalam
memahami dunia di sekitarnya. Cara baru mereka adalah berpikir memahami dunia
atau alam semesta dengan cara yang non-mitologis. Mereka menggunakan daya nalar
rasional untuk menjelaskan alam semesta. Mereka tidak memahami alam dari luar
diri manusia, seperti hanya mengambil jawaban dari mitos-mitos yang sudah ada,
melainkan dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni dengan menggunakan rasio
atau akal manusia itu sendiri.
b.
Yunani Periode Trio Filosof Legendaris
Periode ini adalah masa yang terbentang antara 500-300 SM di Yunani
Kuno. Era ini merupakan pola pemikiran Yunani Klasik yang sangat menonjol dari
segi analisis rasionalnya. Era ini bersinar dan berpengaruh luas ke seluruh
dunia karena pemikiran tiga filosof Yunani yang legendaris, yaitu Socrates
(470-400 SM), Plato (428-348 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).
Trio filosof besar diataslah yang banyak memberikan kontribusi besar
terhadap dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa
puncak filsafat Yunani dicapai pada zaman ini[5]. Banyak
sekali temuan filosofis yang disumbangkan pada zaman ini antara lain Sokrates
menyumbangkan tentang nilai kebaikan yang dicapai melalui pengetahuan tentang
apa yang baik itu. Plato merupakan penggabung pemikiran Heraklitos dan
Parminedes dan melahirkan tentang faham idealisme. Idealisme Plato menekankan
tentang alam idea yang menjadi sumber dari yang tampak sebagai fenomena. Ia
berkesimpulan sebenarnya realitas yang tampak itu secara empiris itu bukan
merupakan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya adalah apa
yang ada dibalik realitas yang tampak. Plato meyakini bahwa dalam pikiran
manusia terdapat ide-ide bawaan. Ide-ide ini akan terpanggil kembali ketika
melihat hal-hal, benda-benda, atau realitas yang bisa dipersepsi. Pengetahuan
tidak lebih dari proses rekoleksi ide-ide yang telah ada secara bawaan melalui
pengamatan terhadap benda-benda atau kejadian-kejadian empiris.
Berbeda dengan Plato yang berbicara tentang sesuatu yang ada secara
hakiki dalam ide, Aristoteles murid dari Plato berseberangan dengan pandangan gurunya.
Dia cenderung mengabaikan ide sebagai sesuatu yang ada secara sejati, dan mengatakan
bahwa benda-benda dan kejadian-kejadian ada dan terjadi secara empiris yang
bisa dilpersepsi merupakan realitas-realitas yang ada secara nyata, bukan
fatamorgana. Dari pemikirannya ini lahir paham realisme. Realisme merupakan paham
filsafat yang mengakui bahwa yang ada secara empiris adalah ada meskipun ia
tidak dipersepsi atau dipikirkan, sebagaimana nyatanya pemikiran yang
menghasilkan gagasan atau ide.
Ketiga tokoh inilah sebagai cikal bakal pengembangan ilmu pengetahuan,
karena merekalah yang memulai berpikir mikrokosmos yakni memasuki alam dan
seisinya termasuk manusia. Aristoteles membagi filsafat menjadi empat : Logika,
Filsafat Teoritik : metafisika, fisika dan matematika, Filsafat Praktik :
politik, ekonomi dan etika, serta Filsafat Poetika yakni estetika[6] . Inilah
landasan ontologik ilmu pengetahuan dan sekaligus juga landasan epistimologik.
Pandangan Aristoteles memetakan adanya konsep filsafat sebagai landasan
pengembangan ilmu pengetahuan.
c.
Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.
Gagasan trio filosofis ini diteruskan oleh filosof-filosof berikutnya
sebagai upaya meneruskan dan mengembangkan pemikiran mereka. Tercatat adanya
Stoisisme berbicara tentang etika, juga Epikurisme tentang etika. Selanjutnya
yang paling berpengaruh adalah Neo-Platonisme filosof dari Mesir yang bernama
asli Plotenus (205-270 BC) yang merupakan pendukung Trio Filosof. Ia cenderung
mengatakan bahwa seluruh kenyataan ini merupakan suatu proses emanisasi, yang
berasal dari yang Esa. Yang Esa adalah sumber dari yang ada. Konsep ini banyak
dikembangkan kedalam nilai-nilai dari doktrin agama. Sebab ada relevansinya
dengan kaidah agama, untuk memperkuat doktrin agama digunakan argument akal
seperti yang ada dalam pandangan Neo Platonisme. Jadi ilmu pengetahuan pada
saat ini bukan hanya bergerak dari masalah makrokosmos ke mikroskosmos bahkan
melampaui pada hal-hal yang berada pada masalah metafisik. Zaman ini
berlangsung hingga awal abad pertama masehi.
Dilihat secara sederhana, secara umum filsafat di jaman Yunani sebagai
awal mulainya filsafat secara akademik memiliki setidaknya karakter-karakter
berpikir seperti dijelaskan di bawah ini:
a.
Pemahaman mitologis ke pemahaman rasional
Ciri mendasar dari filsafat pada awal kelahirannya di Yunani kuno
adalah penggeseran cara memahami alam atau dunia dan realitas yang berkenaan
dengan manusia dan kehidupannya dari cara pemahaman mitologis ke cara pemahaman
rasional. Melawan tradisi memahami alam dan persoalannya “dari luar” manusia,
yakni selalu merujuk pada kepercayaan-kepercayaan mitologis yang ada dalam
masyarakat Yunani yang menyembah banyak dewa-dewi, para filosof awal mencoba
untuk memahami alam dan persoalannya “dari dalam”, yakni dari kemampuan yang
ada dalam diri manusia yang berupa akal.
Dengan percaya pada kemampuan rasio, mereka mencoba memberikan
jawaban-jawaban spekulatif tentang asal-usul alam, tentang siapa manusia dan
eksistensinya di tengah alam semesta. Pergeseran ke cara berpikir dan memahami
dunia melalui kemampuan rasional manusia itu sendiri secara otonom dan
independen tanpa hegemoni pengetahuan di luar manusia yang sudah ada menjadi
ciri yang menonjol di periode klasik dalam sejarah filsafat ini. Munculnya cara
baru ini menimbulkan ketegangan dan konflik antara masyarakat kelas dominan
yang sarat dengan keyakinan mitologis-religius dan para pemikir dan kritikus
yang dikenal sebagai filosof. Contoh nyata konflik ini adalah eksekusi mati
filosof besar pertama Yunani, Socrates.
b.
Akal sebagai instrument otoritatif pemahaman
Para filosof awal Yunani mengenalkan bagaimana mereka memulai untuk
mempercayai akal yang ada dalam diri manusia dalam memahami misteri kehidupan
manusia. Akal menjadi instrumen otoritatif pemahaman manusia dalam menjawab
persoalan-persoalan manusia dalam hubungannya dengan alam dan dunia di
sekitarnya. Mereka lebih percaya pada kekuatan akal, bahkan Socrates sendiri
meyakini dalam diri manusia terdapat kebenaran, yang ia bisa didorong
termanifes keluar melalui proses dialektik, bertanya dan menjawab, bertanya dan
menjawab demikian seterusnya sampai hakikat kebenaran bisa dimengerti.
Socrates menyebut cara ini dengan cara seperti seorang bidan yang
membantu keluar bayi dari perut ibunya. Berpikir dialetik adalah cara membantu
mengeluarkan kebenaran yang sudah ada dalam diri manusia, atau dalam akal
manusia, yang kemudian cara akal menemukan kebenarannya sendiri ini populer
dikenal dengan metode maieutik dialektis kritikal. Maieutika artinya kebidanan.
Ibu Socrates berprofesi sebagai bidan, cara ibunya ini dipakainya untuk konteks
pencarian kebenaran dalam dan melalui pikiran manusia. Dialektika berasal dari
bahasa Yunani, dialegesthai yang berarti bercakap-cakap. Kritikal
berarti mengajukan keberatan-keberatan yang dipandang ganjil, kontradiktif, dan
tidak make sense atau masuk akal.
Dengan metode maieutik dialektis kritikal, dalam upaya menemukan
hakikat kebenaran tentang sesuatu, Socrates melakukan percakapan dengan orang
lain, bertanya untuk mendapatan jawaban, dan menyoal jawaban yang masih sulit
untuk diterima dengan bertanya yang lebih dalam dengan berharap ada jawaban
baru yang lebih bisa diterima akal, demikian seterusnya. Proses ini membantu
manusia mengeluarkan kebenaran yang ada dalam jiwanya sendiri. Apa yang
dilakukan Socrates yang terpenting yang perlu digarisbawahi adalah menempatkan
akal sebagai alat otoritatif dalam menemukan kebenaran atau dalam memahami
hakikat realitas. Cara ini telah menradisi sebelumnya dalam diri Thales,
anaximenes, Pythagoras, dan lain sebagainya, dan semakin menguat sesudah
Socrates.
c.
Kosmosentrisme otonom
Filsafat Yunani awal lebih banyak berupa upaya menjawab persoalan
tentang alam semesta. Para filosof mencoba menjawab asal-usul alam, bahan
terdasar yang darinya alam ini tersusun, apakah hakikat gerak itu sebagaimana
mereka mengamatinya sebagai fenomena alam, dan seterusnya. Seperti telah
dikatakan, mereka menjawab sepenuhnya bergantung pada kekuatan akal, bukan
bergantung pada pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada dalam
kepercayaan-kepercayaan mitologis masyarakatnya. Filsafat mereka bercorak
sangat kosmosentris.
Coraknya secara lebih tepat disebut kosmosentrisme otonom.
Kosmosentrisme karena berfilsafatnya berpusat pada persoalan alam semesta.
Otonom karena dalam menjawab masalah-masalah tentang alam semesta para filosof
menggunakan kekuatan pemahaman rasional dalam diri manusia, tidak mengambil
pengetahuan yang sudah ada di luar pikiran manusia. Mereka berpikir independen
dengan kekuatan akal manusia dalam memahami alam semesta.
3.
Filsafat dalam Periode Pertengahan
Periode pertengahan dari sejarah filsafat adalah periode antara Abad
ke-8 sampai dengan Abad ke-15. Periode pertengahan biasanya memasukkan
pemikiran filosof-filosof seperti St. Anselm, St. Thomas Aquinas, Duns Scotus,
William of Ockham, Maimonide, dan termasuk para filosof muslim, seperti Ibnu
Sina, Al-Farabi, Ibnu Rushd, dll.[7]
Zaman (abad) pertengahan dikenal sebagai abad keemasan bagi dunia
Kristen dan dibalik itu dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi kemunduran
(jumud) bahkan pada masa ini filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identik
dengan agama. Sebab agama (Kristen) yang bersifat dogmatik cenderung menolak
keberadaan filsafat dan ilmu, dianggap gerejalah sebagai pusat kebenaran (The
Trust is in The Church). Jadi ukuran kebenaran adalah apa yang menjadi
keputusan gereja, gereja sangat otoriter dan otoritas gereja harus ditegakkan.
Ekses yang dirasakan pada saat ini adalah tidak adanya kebebasan
berpikir seperti yang dialami pada masa Trio filosof dan hasilnya banyak para
pemikir yang dijebloskan kedalam penjara seperti Galile Galilio, Cicero adalah
ilmuan dan pemikir kondang pada saat itu dan tidak ketinggalan adalah
Copernicus seorang astronom.
Sedemikian berkuasanya dan dominannya gereja maka masa ini dikenal juga
sebagai zaman Patristik dan Skolastik. Disebut zaman Patristik diambil dari
kata Patres artinya Bapa-Bapa Gereja, yang mana fase ini dikuasai oleh para
teolog dan tokoh gerejani, seperti Augustinus (354-430 AC). Kemudian disebut
Skolastik berarti guru[8], atau
sarjana yang menjadi pengajar seperti Thomas van Aquinas (1225-1274 AC) dan
Bonaventura (1217-1274 AC).
a.
Pemahaman rasional ke pemahaman dogmatis religius
Abad
pertengahan sering disebut sebagai jaman agama-agama. Agama-agama telah menjadi
cara pandang dunia manusia. Para filosof pada era ini memang tidak sepenuhnya
menolak berpikir rasional, namun mereka tidak mempercayai kebenaran akal
kecuali sejalan dengan dogma-dogma religius. Mereka menempatkan dogma religius
lebih dulu daripada kebenaran rasional. Pemikiran rasional dalam periode
Pertengahan dari sejarah filsafat tidak berjalan otonom dan independen, dan
sebagai gantinya ia menjadi budak teologi. Salah satu karakter dasar dari
filsafat Abad Tengah adalah ketiadaan kemandirian yang penuh dari akal, dia
bekerja sebagai pembenar dogma-dogma agama. Pemikiran rasional digeser oleh
pemahaman dogmatis religius. Sejarah telah memberitahu kita bagaimana kasus
Galileo yang menyuarakan kembali teori astronomi heliosentrisme harus
menghadapi hujatan dan ancaman Gereja yang menetapkan teori geosentrisme
sebagai kebenaran dogmatis Gereja.
b.
Dogmatisme religius sebagai kebenaran otoritatif
Fakta rasio
sebagai abdi dogmatisme teologis di Abad Pertengahan telah menempatkan
dogmatisme religius sebagai sebagai kebenaran otoritatif. Kebenaran rasional
yang dipandang tidak bisa dipegangi mendorong para filosof menggunakan akal
sebagai alat pendukung dan justifikasi atas kebenaran dogmatisme religius yang
telah ditetapkan oleh para otoritas religius. Berfilsafat pada era ini adalah
berteologi. Kritik terhadap dogmatisme religius merupakan suatu kesalahan.
Padahal boleh jadi agamanya sendiri belum tentu mengatakan seperti yang
diberikan oleh hasil pemahaman religus, yakni suatu dogmatisme religus
tertentu. Kritik akal terhadap teologi tidak harus dimengerti menentang
kebenaran religius, melainkan bisa dimengerti sebagai pelurusan kesalahan
pemahaman religius. Namun, dalam era ini, dogimatisme religius telah menjadi
ukuran kebenaran yang harus diikuti. Ini merupakan kenyataan sejarah yang tak
bisa diingkari pada sejarah filsafat dan Gereja di Abad Pertengahan.
c.
Teosentrisme dan kosmosentrisme heteronom
Filsafat Abad
Pertengahan yang tabu melakukan kritik terhadap teologi atau dogmatisme
religius yang dipegangi saat itu telah mendorong filsafat berkarakter pembenar
teologi. Seluruh realitas dijelaskan dan dibenarkan oleh dogma-dogma agama, dan
filsafat hanya berusaha menguatkan kebenaran dogma-dogma agama tersebut.
Dogma-dogma religius diyakini sebagai benar yang tak boleh disalahkan karena
datang dari Tuhan. Filsafat di era ini, oleh karenanya dicirikan secara
fundamental dengan teosentrisme, karena pusat filsafat mereka adalah teologi.
Mereka juga mencoba menjawab persoalan-persoalan terkait dengan alam semesta
atau kosmos seperti para filosof Yunani, hanya saja cara filosof-filosof Abad
Pertengahan menjawab persoalan-persoalan tersebut tidak menggunakan rasio
secara independen seperti halnya para filosof Yunani, karena mereka menjawabnya
dengan menggunakan dogma-dogma religius yang ada. Kosmosentrisme pada era ini
bukan bersifat otonom, melainkan heteronom, yakni menjawab misteri alam dengan
menggantungkan jawabannya pada jawaban yang sudah ada di dalam dogma-dogma
agama.
4.
Filsafat dalam Periode Modern
Periode modern dari sejarah filsafat biasanya dimulai dari
filosof-filosof pada Abad ke-16 sampai Abad ke-19. Periode modern mulai dari
filosof-filosof Abad ke-16 seperti Francis Bacon dan Thomas Hobbes; kemudian
filosof-filosof Abad- ke-17 seperti Rene Descartes, Baruch de Spinoza, dan
Leibnizt; lalu filosof-filosof Abad ke-18 seperti John Locke, George Berkeley,
dan David Hume, dan akhirnya filosof-filosof Abad ke-19, seperti Immanuel Kant,
Hegel, Schopenhauer, dan Nietzsche.[9]
Filsafat modern membalikkan paradigma filsafat abad tengah,
skolastisisme. Karakter dari filsafat abad pertengahan memandang alam semesta
dalam logika hirarkhi wujud atau konsepsi organis tentang alam semesta ini yang
berujung pada Tuhan sebagai puncak dari hirarkhi ini. Segala penyingkapan
pengetahuan dihubungkan dengan keberadaan Tuhan. Filosof-filosof modern tidak
berarti menyalahkan begitu saja proses berfilsafat seperti ini, namun yang
menjadi pertanyaan besar mereka adalah ketidakterbukaannya pada cara-cara
objektif dalam melihat dan mengetahui alam dan kebebasan kritis manusia dalam mengupayakan
kebenaran.
Francis Bacon, misalnya, di masa kemunduran filsafat abad pertengahan,
mengritik cara-cara mengetahui yang mencampuradukkan gejala-gejala alam
objektif dengan kepercayaan-kepercayaan mitologis dan religius. Cara-cara ini
telah membengkokkan ilmu-ilmu perbintangan dan planet-planet yang
seharusnya berupa astronomi menjadi
astrologi; ilmu-ilmu alam yang seharusnya dibangun pada penyelidikan empiris
menjadi ilmu-ilmu alam magis. Francis Bacon menawarkan cara mengetahui alam
dengan mengamati gejala-gejalanya secara induktif. Menemukan hukum-hukum alam
dari alam itu sendiri, sehingga manusia bisa menguasai dan mengontrol alam;
bukan memahami alam dengan mengkaitkan dengan cerita-cerita mitologis sehingga
manusia di bawa pada ketakutan dan ketidakberdayaan pada alam.
Jika Francis Bacon bereaksi terhadap filsafat abad pertengahan dengan
mengambil fokus pada cara-cara induktif mengetahui alam, Réné Descartes
bereaksi dengan mengambil fokus pada ketiadaan kebebasan manusia dalam
berpikir. Dalam memahami realitas manusia selalu dipaksa tunduk pada
doktrin-doktrin pengetahuan yang sudah ada, dan seolah potensi pengetahuan
dalam diri manusia sendiri tidak boleh diaktualisasikan berseberangan dengan
teori-teori pengetahuan yang sudah ada. Rasionalismenya dengan slogan
filosofisnya yang sangat terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir maka
aku ada, telah menggugah masyarakat Eropa waktu itu bahwa ada bergantung pada
manusia itu sendiri selama dia mau berpikir. Sejak saat itu, subjektivisme
menjadi ciri filsafat baru. Subjektivisme yang dimaksud adalah kesadaran baru
bahwa manusia adalah subjek realitas atau pusat realitas, menggantikan Tuhan
yang selalu menjadi pusat pembicaraan. Kebebasan berpikir berkembang dan
karenanya humanisme, paham yang mencoba menggali pengertian manusia dan maksud
menjadi manusia, berkembang pesat. Karena pikirannya inilah, kemudian Descartes
disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Sebenarnya, Francis Bacon pun
pantas disebut sebagai filsafat modern dari segi tawaran barunya dalam mengerti
alam yang bukan lagi dalam logika organisisme melainkan mekanisme; yakni dari
memahami alam yang hanya sekedar berupa hubungan antar wujud-wujud yang
digerakkan dan dihidupkan oleh Wujud Tertinggi berubah memahami alam dari alam
secara objektif dengan mencari hukum-hukum dan mekanika-mekanika alam secara
objektif yang ditemukan dengan cara-cara induktif.
Bocheński menggarisbawahi filsafat modern dua prinsip fundamental,
yaitu mechanism dan subjectivism. Mekanisme sebagai prinsip dari
filsafat modern adalah pemahaman alam sebagaimana diinginkan oleh Francis
Bacon. Yang perlu dikembangkan manusia dalam memahami alam dengan paradigma
mekanisme adalah tidak lagi memperpanjang cara mengetahui alam sebagai diciptakan
dan dikuasai oleh Tuhan atau kekuatan-kekuatan mitologis dari
kepercayaan-kepercayaan animistik, dan sebagai gantinya, mengatahui alam dengan
melihat alam dari alam itu sendiri, belajar dari alam untuk mengerti
hukum-hukum pastinya dan hidup dengannya. Subjektivisme yang dia maksudkan
adalah pandangan yang mengalihkan manusia dari konsentrasi sebelumnya pada
Tuhan dan menggantinya dengan manusia atau subjek sebagai pusat perhatiannya.[10]
Dengan mengamati karakter pokok dari filsafat modern yang lahir dari
respon kritikal terhadap cara berfilsafat Abad Pertengahan, dapat disimpulkan
bahwa ciri-ciri dasar dari filsafat modern adalah sebagai berkut:
a.
Reformasi keagamaan
Filsafat
modern tidak akan lahir jika tanpa ada gerakan internal keagamaan yang
menentang hegemoni Gereja Abad Tengah. Dalam padangan para Kristiani yang melakukan
gerakan protes keagamaan, Gereja tidak hanya bermasalah dengan kebebasan
berpikir, kebebasan berpolitik, dan kebebasan berilmu pengetahuan, namun juga
bermasalah dengan kemurnian agama Kristen itu sendiri. Gerakan protes keagamaan
ini dikenal dengan gerakan reformasi keagamaan yang dipimpin oleh Martin Luther
King. Inti dari gerakan ini adalah purifikasi keagamaan. Kristen telah dinodai
oleh Gereja penguasa waktu itu. Mereka bermaksud membongkar borok-borok praktek
keagamaan Gereja waktu itu yang menurut mereka telah menyimpang dari pesan
substansial dari agam Kristen. Gerakan ini kemudian memuculkan aliran keagamaan
baru yang dikenal dengan Kristen Protestan.
Kritik dan
protes dari orang-orang beragama sendiri telah menggoyang hegemoni Gereja dari dalam.
Gerakan reformasi keagamaan ini mengawali keruntuhan kekuasaan Gereja Abad
Pertengahan yang sangat dominan. Gerakan kritik dan protes ini memberi dorongan
yang kuat bagi komunitas lain selain agamawan, yaitu filosof, seniman, dan
ilmuwan.
b.
Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mengabaikan
tabu-tabu yang menyelimuti perkembangan pemikiran manusia
c.
Meningkatnya otoritas Ilmu (science)
d.
Pergeseran otoritas pemerintahan: Negara-bangsa
menggantikan gereja
e.
Pergeseran paradigma sosial: Feodalisme ke kapitalisme/labour
intensive to capital intensive
f.
Humanisme liberal/manusia sebagai fokus
sentral/antroposentrisme
g.
Akal mengkondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument
objektivasi realitas/uniformisasi-homogenisasi nalar & nilai
5.
Filsafat dalam Periode Kontemporer
a.
Agama, ilmu, dan sumber pengetahuan lain: masalah
diversitas epistemologi
b.
Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan
mempertimbangkan nilai lingkungan dan tradisi
c.
Paradigma interkoneksitas antara Agama, ilmu (science),
dan sumber pengetahuan lain
d.
Dari nalar objektivisme-justifikatif ke nalar
kritis-komunikatif
e.
Akal dikondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument
pemahaman tidak terlepas atau terkondisikan oleh
realitas/diversitas-pluralitas nalar
& nilai
f.
Pergeseran sosial politik: Monokultulaisme ke
multikulturalisme/nasionalisme ke internasionalisme
[1] Manuel
Velasquez, Philosophy A Text with Readings, 7th ed. (Belmont,
Albany, Bonn, Boston dst: Wadsworth Publishing Company, an International
Thomson Publishing Company, 1999), 44-45.
[2] Milton
K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy (New York: Macmillan
Publishing Co., Inc., 1981), 1.
[3] Milton
K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy, 1.
[4] Harun
Hadiwjono, Sari Filsafat Barat I,
(Yogyakarta, Yayasan Kanisius, 1980), 16.
[5] Harry
Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat
(Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1981), 36.
[6] Lihat
Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat
(Jakarta : Penerbit Widjaja, 1981), 12.
[7] Milton
K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy,1
[8] Lihat
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia
Filsafat …, 38-39.
[9] Milton
K. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy, 1
[10] I. M.
Bocheńsky, Contemporary Eurepean Philosophy, trans. Donald Nicoll and
Karl Aschenbrenner (Berkeley and Los Angeles: the University of California
Press, 1957), 2.
0 komentar:
Posting Komentar