Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

SEJARAH PONDOK PESANTREN DI INDONESIA DAN PONPES SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


A. Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan
Islam
1. Pengertian Pondok Pesantren
Pondok Pesantren dalam penyelenggaraan
pendidikannya berbentuk asrama yang merupakan
komunitas khusus di bawah pimpinan kyai dan dibantu
oleh ustadz yang berdomisili bersama-sama santri
dengan masjid sebagai pusat aktivitas belajar mengajar,
serta pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para
santri dan kehidupan bersifat kreatif, seperti satu
keluarga.1
Ada statemen yang sinonim dengan pesantren,
antara lain : pondok, surau, dayah dan lainnya. Tepatnya
istilah Surau terdapat di Minangkabau, Penyantren di
Madura, Pondok di Jawa Barat dan Rangkang di Aceh.2
Ziemek mengatakan, kata pondok berasal dari
kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma

sederhana, karena pondok merupakan tempat
1Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS,
Jakarta, 1994, hlm. 6
2Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat,
Mizan, Bandung, 1995, hlm. 17
penampungan sederhana bagi pelajar yang jauh tempat
tinggalnya, sedangkan kata pesantren berasal dari kata
santri. Atau gabungan dari suku kata sant (manusia baik)
dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata
pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baikbaik.
3
Pondok pesantren merupakan satu bentuk
pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia.
Kata pondok (kamar, gubug, rumah kecil) dipakai dalam
bahasa Indonesia dengan menekankan pada
kesederhanaan bangunan.4
Dalam perkembangannya, menampakkan
keberadaan sebagai lembaga pendidikan Islam yang
mumpuni, di dalamnya didirikan sekolah, baik secara
formal maupun nonformal, bahkan sekarang pesantren
mempunyai trend baru dalam rangka memperbaharui
sistem yang selama ini digunakan yaitu :
(a)Mulai akrab dengan metodologi kegiatan modern.
(b)Semakin berorientasi pada pendidikan fungsional,
artinya terbuka atas perkembangan di luar
dirinya.
(c)Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka
dan ketergantungannyapun absolut dengan
kyai sekaligus dapat membekali para santri
dengan berbagai pengetahuan di luar mata
3Ziemek, Loc. Cit. , Lihat juga Zamakhsyari Dhofier , Op. Cit ,
hlm. 18
4Soedjoko Prasodjo, Profil Pesantren , LP3ES, Jakarta, 1974,
hlm . 11
pelajaran agama, maupun ketrampilan yang
diperlukan di lapangan kerja.
(d)Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan
masyarakat.5
Imam Bawani mengungkapkan:
Pondok (asrama) merupakan bukti tradisional
suatu pesantren. Maka suatu pesantren dikatakan
lembaga pendidikan Islam tradisional jika memiliki
pondok atau asrama santri yang berstatus mukim.
Kecenderungan untuk berkelana dalam menuntut ilmu
dan menetap di sebuah tempat dimana seorang guru
berada, merupakan tradisi yang menyatu dengan ulama
masa lalu.6
Pengertian-pengertian di atas sudah representatif
tetapi konvensional, apalagi tahun 1996-an semarak
dengan pesantren-pesantren kilat. Fenomena ini apabila
dikomparasikan dengan muatan definisi di atas
kurang valid. Sebab terdapat instrumeninstrumen
yang dalam definisi tersebut tidak terpenuhi.
Jadi definisi yang bisa mewakilkan untuk terminologi
pesantren dalam konotasi konvensional dan kontemporer
5Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia, dalam
Transformasi Sosial Budaya (Editor: Muslih Musa) , Hasbullah , Kapita
Selekta Pendidikan Islam , PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999,
hlm. 58
6Al Syaikh Muhammad Al Khudori Beik, Tarikh Al Tasyri’ Al-
Islami, Mesir : Math ba’ah Al Sa’adah, 1954, hlm. 230 – 261. Dalam
Imam Bawani, Pesantren Tradisional, Al-Ikhlas , Surabaya , 1983,
hlm. 129
adalah suatu komunitas ulama/ kyai, guru, serta santri
atau murid, dalam lingkungannya yang berupa
pesantren atau asrama, masjid, atau gedung-gedung,
sebagai tempat pendidikan yang mengajarkan dan
mengajarkan ajaran Islam.
Sifat organisasi ini bila permanen (dalam waktu
relatif lama) atau insidental (sebentar) seperti pesantren
kilat, kehidupannya bersifat kolektif (menyatu seperti
keluarga), integritas pesantren dapat independen dan
bisa dependen serta menyatu dengan kehidupan sosial
masyarakatnya.
Dari pengertian di atas, pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan Agama Islam, dengan
sistem asrama yang di dalamnya berisikan sekurangkurangnya
tiga unsur pokok yaitu : kyai, sebagai
pengasuh sekaligus pengajar, santri yang belajar dan
masjid sebagai tempat beribadah dan sentral kegiatan.
2. Tinjauan Sejarah tentang Pesantren di Indonesia
Pondok pesantren merupakan bapak dari pendidikan
Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan
kebutuhan zaman, hal ini bisa di lihat dari perjalanan
historisnya, sesungguhnya pesantren dilahirkan atas
kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan
dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak
kader-kader ulama dan da’i.7
Menurut penelitian para ahli, pesantren diperkirakan
muncul sekitar tahun 1949 M. Pelopornya adalah Syekh
Maulana Malik Ibrahim, yakni wali pertama dari sembilan
wali di Jawa yang menyebarkan ajaran Islam. Hal ini
dikarenakan belum banyak referensi yang menjelaskan
tentang kapan pondok pesantren pertama berdiri dan
bagaimana perkembangannya pada zaman permulaan,
bahkan istilah pesantren, kyai dan santri masih
diperselisihkan.8
Meskipun begitu tokoh yang dianggap berhasil
mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam
arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan
Ampel). Ia mendirikan pesantren di Kembang Kuning yang
pada waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu:
Wiro Suroyo, Abu Hurairoh dan Kyai Bangkuning.
Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya dan
mendirikan pondok pesantren di sana. Akhirnya beliau
dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Misi keagamaan dan pendidikan Sunan Ampel
mencapai sukses, sehingga beliau dikenal oleh masyarakat
Majapahit. Kemudian bermunculan pesantren-pesantren baru
7Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1999, hlm. 40
8Wahyoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren (Pendidikan
Alternatif Masa Depan), Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm. 70
yang didirikan oleh para santri dan para putra beliau,
misalnya pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak
oleh Raden Fatah dan pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.
Dari sekian banyak santri Sunan Ampel, hanya
Raden Fatah dan Sunan Giri yang berkhusus mempergiat
usaha-usaha pendidikan dan pengajaran Islam secara
berencana dan teratur.
Pada sekitar tahun 1476, Raden Fatah telah
membentuk organisasi pendidikan dakwah “Bhayangkari
Ishlah” (angkatan pelopor kebaikan) yang merupakan
organisasi pendidikan dan pengajaran Islam yang pertama di
Indonesia. Bhayangkari Ishlah sebenarnya sudah dirintis
oleh Sunan Ampel dalam proses penyebaran ulama, tetapi
baru berlangsung formal dan terencana sebagai wadah
pendidikan dengan berbagai taktik dan strategi setelah
diwujudkan oleh Raden Fatah pada tahun 1416 H.9
Setelah kerajaan Demak berdiri pada tahun 1500 M,
program kerja bhayangkari Ishlah lebih disempurnakan
dengan mengadakan tempat-tempat strategis yang dimiliki
sebuah masjid di bawah pimpinan seorang Badal
(pembantu), tempat-tempat ini menjadi sumber ilmu dan
pusat pendidikan
Islam seperti pondok pesantren. Wali (pemimpin)
suatu daerah digelari Sunan dan biasanya di beri tambahan
nama daerahnya, misalnya : Sunan Ampel, Sunan Bonang,
9Hasbullah, Op. Cit., hlm. 71
Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Tembayat dan Sunan
Ngudung. Sedangkan Badal diberi gelar resmi Kiai Ageng,
misalnya Kiai Ageng Selo, Kiai Ageng Gresik dan Kiai
Ageng Tarub. Kiai-kiai tersebut maksudnya kyai.
Bhayangkari Ishlah yang disebarkan melalui jalan
kebudayaan ini dikendalikan oleh nilai Islam yang ketat,
sehingga semua cabang kebudayaan nasional kala itu sepeti
filsafat hidup, kesenian, kesusilaan, adat istiadat, ilmu
pengetahuan dan sebagainya, ia ajarkan di masjid dengan
anasir-anasir pengajaran dan pendidikan Islam.10
Kedudukan dan fungsi pesantren pada saat itu belum
sebesar dan sekompleks sekarang. Pada masa awalnya,
pesantren hanya berfungsi sebagai alat Islamisasi dan
sekaligus mamadukan 3 unsur pendidikan yakni : ibadah,
tabligh dan amal.11
Dalam perkembanganselanjutnya pesantren
mengalami pasang surut. Perkembangan yang cukup pesat
terjadi pada masa pemerintahan Mataram. Oleh karena itu
pada masa ini sebagai zaman keemasan pendidikan Islam di
tanah Jawa. Pada masa itu pendidikan dan pengajaran telah
mempunyai organisasi yang teratur dalam pemerintahan
negara Islam.
10Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,,
1983, hlm. 73
11Wahyutomo, Op. Cit.., hlm. 171
Didukung sistem yang terbentuk dengan sendirinya.
Pada waktu itu jika anak-anak tidak belajar mengaji, maka ia
akan diolok-olok oleh teman sebayanya.12
Pada tahun 1596, kerajaan Demak jatuh dan
pemerintahan Islam pindah ke Pajang di bawah kekuasaan
Sultan Adiwijoyo (Joko Tingkir). Akan tetapi usaha
memajukan masjid dan pesantren tidak berkurang. Kalangan
kerajaan tetap memelopori pendirian masjid dan pesantren.
Akan tetapi, setelah pusat kerajaan Islam berpindah dari
Pajang ke Mataram pada tahun 1588, mulai terjadi
perubahan-perubahan dalam pengajaran Islam terutama pada
masa pemerintahan Sultan Agung (1613).
Perubahan tersebut bersifat persuatif-adaptif di
bidang kebudayaan yang disesuaikan dengan agama dan
kultur Islam, misalnya Grebeg Poso, Grebeg Maulud,
Ruwahan, Sekatenan, Peralihan dari kultur Jawa ke kalender
Arab (Hijriah), sistem numerology perhitungan dan primbon.
Dalam proses persuatif-adaptif ini terjadi asimilasi antara
kepercayaan setempat yang dipengaruhi Hindu-Budha
dengan tradisi Islam, misalnya hari kematian seseorang yang
ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000, tumpengan dan
tingkeban.13
Namun berdasarkan hasil pendekatan yang
dilaksanakan oleh Departemen Agama tahun 1984-1985
12Mahmud Yunus, Op. Cit., hlm. 227
13Hasbullah, Op. Cit., hlm. 71
diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada
tahun 1062 di Pamekasan Madura dengan nama Pesantren
Jan Tampes II. Akan tetapi hal ini masih diragukan, karena
tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang lebih tua
kandatipun demikian, pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia yang peran sertanya
tidak diragukan lagi, adalah sangat besar bagi perkembangan
Islam di Nusantara.
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, yaitu sekitar
abad ke-18, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan
rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam penyiaran
agama Islam. Kelahiran pesantren baru, selalu diawali
dengan cerita perang antara pesantren-pesantren yang akan
berdiri dengan masyarakat sekitarnya dalam kehidupan
moral, bahkan dengan kehadiran pesantren dengan jumlah
santri yang banyak dan datang dari berbagai masyarakat lain
yang jauh, maka terjadilah semacam kontak budaya antara
berbagai suku dan masyarakat sekitarnya. Keadaan ekonomi
masyarakat di sekitar makin ramai dan tentu saja akan
bertambah maju.14
Namun semenjak Belanda memerintah Indonesia,
pendidikan Islam dan pesantren mengalami banyak
hambatan, bahkan dikatakan zaman kemunduran. Hal ini
disebabkan kebijaksanaan pemerintah yang cenderung
memberatkan, misalnya tahun 1755 tanah Lungguh yang
14Ibid.., hlm. 42
dijadikan sebagai tempat belajar semua harus dihapuskan
dan dijadikan tanah pemerintahan (Gubernemen), sejak
perjanjian Gianti. Kemudian pada tahun 1900 Belanda
menghilangkan pengajaran sistem pesantren, diganti dengan
sistem kelas atau sekolah. Hal ini dengan dalih politik.15
Hal ini menimbulkan reaksi dari santri yang belajar
di Mekkah sekembalinya ia ke Indonesia. Mereka
mendirikan pengajaran sistem madrasah sebagai langkah
tandingan bagi pengajaran sistem sekolah.16
Setelah madrasah berjalan beberapa lama, pada tahun
1925, keluarlah ordonasi guru, yang isinya mengharuskan
guru dan kyai yang akan mengajar untuk memohon izin
langsung kepada pemerintahan. Hal ini cukup menjadi
pukulan berat bagi rakyat Indonesia.17
Namun pesantren masih tetap bertahan dengan
mendirikan pondok di tempat yang terpencil, untuk
menghindari jangkauan Belanda. Dengan cara seperti ini,
pesantren mampu mengembangkan sayap, terbukti sampai
sekarang dengan menjamurnya pesantren di tanah air,
khususnya di Jawa.
3. Unsur-unsur Pesantren
Pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam
klasik dan kyai merupakan unsur-unsur dari tradisi
15Wahyutomo, Op. Cit., hlm. 76
16Ibid., hlm. 71
17Ibid., hlm. 80
pesantren. Ini berarti bahwa suatu lembaga pengajian yang
telah berkembang hingga memiliki kelima elemen dasar tadi
akan berubah statusnya menjadi pesantren.18
Demikian perkembangan pesantren selalu
menampilkan ciri khas sebagai lembaga pendidikan yang
ditunjukkan oleh unsur-unsur pokok tersebut serta
membedakan dengan lembaga lainnya sebagai berikut :
1. Pondok
Disinilah kyai tinggal bersama para santri
untuk bekerja sama memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan kegotongroyongan
sesama warga pesantren. Pesantren
menampung santri-santri yang berasal dari daerah
jauh untuk bermukim. Pondok bukan hanya tempat
tinggal (asrama), tetapi juga untuk mengikuti dengan
baik pelajaran yang diberikan oleh kyai dan sebagai
tempat latihan bagi santri agar mampu mandiri dalam
masyarakat.19
Menurut Sugarda Poerbawakatja :
“ Pondok adalah suatu tempat pemondokan bagi
pemuda-pemudi yang mengikuti pelajaranpelajaran
agama Islam. Pemuda-pemudi itu
dikenal sebagai santri dan tempat tinggal
mereka bersama-sama disebut pesantren atau
pondok”. 20
18Zamakhsyari, Op. Cit., hlm.. 44
19Hasbullah, Op. Cit., hlm. 46-47
20Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Cet. III,
CV. Gunung Agung, Jakarta, 1982, hlm. 287
2. Masjid
Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan
belajar mengajar, di samping sebagai tempat
melakukan shalat berjamaah setiap waktu shalat. Dan
waktu belajar mengajar dilaksanakan sebelum atau
sesudah shalat berjamaah.
Dalam perkembangan terakhir menunjukan
adanya ruangan–ruangan khusus untuk halaqohhalaqoh,
juga ruangan-ruangan yang berupa kelaskelas
sebagaimana yang terdapat pada madrasahmadrasah.
Hal ini disesuaikan dengan jumlah santri
dan tingkat pelajaran. Pada sebagian pesantren,
masjid juga sebagai pesantren juga sebagai tempat
i’tikaf, melaksanakan latihan-latihan, suluk dan
dzikir maupun amalan-amalan lain dalam kehidupan
tarekat dan sufi.
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat
dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai
tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri,
terutama dalam praktek sembahyang lima waktu,
khutbah dan sembahyang Jum’ah dan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik.
Seorang kyai yang ingin mengembangkan
sebuah pesantren biasanya pertama-tama akan
mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini
biasanya di ambil atas perintah gurunya yang telah
menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah
pesantren.21
Secara etimologis, masjid berarti sebagai
tempat sujud. Sedangkan secara terminologis, masjid
adalah tempat melakukan aktifitas ibadah dalam
makna luas.
Al-‘Abdi dalam kitabnya Al-Madkhal,
menyatakan bahwa masjid merupakan tempat yang
paling baik bagi kegiatan pendidikan dan
pembentukan moral keagamaan. Dengan
memusatkan segala aktifitas umat Islam di masjid,
akan tampak hidupnya sunnah-sunnah Islam dan
berkembangnya kehidupan yang sesuai dengan
hukum Allah.22
3. Santri
Merupakan unsur pokok dari pesantren,
biasanya terdiri dari dua kelompok,23 yaitu :
1) Santri mukim ialah santri yang
berasal dari daerah yang jauh dan
menetap dalam pondok pesantren.
21Zamakhsyari, Op. Cit., hlm. 49
22Wahyoetomo, Op. Cit., hlm. 46-47
23Hasbullah, Op. Cit.., hlm. 143 Lihat juga Zamaksyari, hlm.
52
2) Santri kalong yaitu santri-santri
yang berasal dari daerah-daerah sekitar
pesantren dan biasanya mereka tidak
menetap dalam pesantren. Mereka pulang
ke rumah masing-masing setiap selesai
mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
4. Pengajian Kitab-kitab Islam Klasik
Kitab-kitab Islam klasik yang sekarang
dikenal dengan kitab kuning sebagai karangan ulama
terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu
pengetahuna agama Islam dan bahasa Arab.24
Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam
klasik, terutama karangan ulama yang menganut
faham Syafi’iyah merupakan satu-satunya
pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan
pesantren. Tujuan utama pengajaran ini untuk
mendidik calon-calon ulama.25
Para santri yang bercita-cita ingin menjadi
ulama, mengembangkan keahliannya dalam bahasa
Arab, melalui sistem sorogan, sebelum mereka pergi
ke pesantren untuk mengikuti sistem bandongan.
Kebanyakan sarjana keliru menyamakan lembagalembaga
pesantren sebagai sekolah belajar membaca
Al-Qur’an. Dalam struktur pendidikan Islam
24Ibid., hlm. 50
25Zamakhsyari, Op. Cit., hlm. 50
tradisional di Jawa, pengajaran pembacaan Al-
Qur’an diberikan dalam pengajian dan merupakan
dasar dari pendidikan awal walaupun benar
pesantren-pesantren kecil mengajari pembacaan Al-
Qur’an, namun pengajaran ini bukan tujuan utama
sistem pendidikan pesantren. Kebanyakan pesantren
sekarang ini secara formal menentukan syarat bahwa
para calon santri harus sudah menguasai pembacaan
Al-Qur’an.
Pesantren telah memasukkan pengajaran
pengetahuan umum sebagai suatu bagian penting
dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran
kitab-kitab Islam klasik tetap diberikan sebagai
upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren
mendidik calon-calon ulama yang setia kepada
paham Islam tradisional.
Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di
pesantren dapat digolongkan ke dalam delapan
kelompok : 1. Nahwu (syntax) dan Shorof
(morfologi), 2. Fiqih, 3. Ushul fiqh, 4. Hadis, 5.
Tafsir, 6. Tauhid, 7. Tasawuf dan Etika dan 8.
Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghoh.
Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat
pendek sampai teks yang terdiri dari berjilidjilid
tebal mengenai hadis, tafsir, fiqh, ushul
fiqh dan tasawuf.26 Kesemuanya ini dapat
digolongkan pula ke dalam tiga kelompok yaitu
26Ibid., hlm. 51
: 1. Kitab-kitab dasar, 2. Kitab-kitab ringkat
menengah, 3. Kitab-kitab besar.27
Kesamaan kitab yang diajarkan dan sistem
pengajaran tersebut menghasilkan homogenitas
pandangan hidup, kultural dan praktek-praktek
keagamaan di kalangan santri di seluruh Jawa dan
Madura. Para kyai sebagai pembaca dan
penterjemah kitab tersebut, bukanlah sekedar
membaca teks, tetapi juga memberikan pandanganpandangan
pribadi, baik mengenai isi maupun
bahasa dari teks. Dengan kata lain, para kyai
tersebut memberikan komentar atas teks sebagai
pandangan pribadinya. Oleh karena itu, para
penerjemah tersebut haruslah menguasai tata bahasa
Arab, literatur dan cabang-cabang pengetahuan
agama Islam yang lain.28
Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang
sederhana, kemudian dilanjutkan tentang berbagai
ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan
pelajarannya, biasanya diketahui dari enis-jenis kitab
yang diajarkan.29
5. Kyai
Adanya kyai dalam pesantren merupakan
hal yang sangat mutlak, bagi sebuah pesantren, sebab
27Hasbullah , Op. Cit., hlm. 50, lihat juga Zamakhsyari, hlm. 51
28Zamakhsyari, Op. Cit., hlm. 51
29Hasbullah, Op. Cit., hlm. 50
dia adalah tokoh sentral yang memberikan
pengajaran, karena kyai menjadi satu-satunya yang
paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren.30
Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam
bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang
saling berbeda:
- Kyai merupakan tokoh sentral yang memberikan
pengajaran.
- Kyai merupakan elemen paling esensial sebagai
pendiri dan penentu pertumbuhan perkembangan
pesantrennya.
- Kyai merupakan julukan atau gelar
yang diberikan oleh masyarakat
bahwa umumnya tokoh-tokoh
tersebut alumni dari pesantren.
4. Pergulatan Pesantren dalam Perubahan Masyarakat
Perubahan masyarakat terjadi setiap waktu
berkenaan dengan proses tingkah laku anggota-anggota
masyarakat (pedesaan ataupun kota).
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat sangat
mempengaruhi perkembangan budaya setempat. Adapun
kehadiran pesantren di tengah-tengah masyarakat ikut
memberikan macam-macam corak dalam masyarakat
sekitarnya. Karena pada awal berdirinya pesantren telah
30Ibid., hlm. 49
didukung masyarakat sehingga perubahan yang terjadi di
masyarakat pun akan melibatkan keberadaan pesantren.
Perubahan masyarakat berjalan secara kontinyu
dan berkesinambungan. Ada yang berubah secara cepat,
ada juga yang berubah secara lambat sehingga terkesan
statis. Memahami perubahan sosial sangat penting bagi
masyarakat, terutama generasi muda yang sedang
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk siap menjadi
pewaris perjuangan bangsa. Memang dalam kehidupan
intelek dan juga hubungan antar masyarakat, ada prinsipprinsip
dasar yang hampir tidak mengalami perubahan.
Perubahan tersebut bersifat menyempurnakan. Dari
prinsip-prinsip dasar itu seperti aqidah atau pendidikan
agama Islam (syariat, akhlak, dsb.)
Pendidikan Islam yang diterapkan di pesantren
harus mampu mensikapi dapat memerangi dan mengatasi
perubahan sosial dan kebudayaan yang ada di
masyarakat. Pendidikan Islam yang bersumber dari Al-
Quran, seyogyanyalah mampu melahirkan manusia yang
mencapai kesuksesan di dunia dan akherat.
Pada tahun 2000 lalu sudah banyak orang
Indonesia yang meramalkan pengaruh dan akibat dari
pertambahan penduduk, perubahan struktur ekonomi dan
sosial yang ditimbulkan dari adanya dikotomi ilmu
pengetahuan, dekadensi moral sebagai akibat dari
perkembangan ilmu dan teknologi.
Makin dinamisnya kebangkitan Islam yang akan
menimbulkan berbagai perbedaan pemikiran,
pendapat serta penafsiran yang akhirnya melahirkan
berbagai masalah dan konflik sosial sebagai akibat
perubahan zaman, sosial dan budaya.31
Peran pesantren dalam kultur masyarakat dapat
mengarahkan tujuan perubahan itu ke masa depan yang
lebih baik daripada kehidupan masyarakat sebelumnya
sehingga perubahan masyarakat berpengaruh positif bagi
pertumbuhan zaman, sosial dan budaya. Berangkat dari
pesantren sebagai lembaga masyarakat yang berorentasi
kepada manusia yang sempurna dalam pandangan agama
Islam, maka gejala ini dapat dirumuskan sebagai
santrinisasi Islam.32
Karena kata santri memberi muatan kepada
istilah pesantren sedangkan pesantren sendiri mengacu
kepada ajaran Islam maka dapat diartikan juga sebagai
penyantren - mengambil istilah dari Madura - membina
manusia dengan nilai-nilai Islam.
Pesantren juga sebagai lembaga pendidikan Islam
tradisional dalam membentuk menusia muslim yang baik
dan sholeh. Oleh karena itu lembaga pendidikan Islam
ini berusaha untuk mewujudkan suasana yang
31Antisipasi pendidikan Islam dan perubahan sosial
menjangkau tahun 2000, Soeroyo dalam Muslih Musa, Pendidikan
Islam di Indonesia, PT Tiara Wacana Yogya,Yogyakarta, 1991, hlm.
43 – 45
32Ibid., hlm. 206
melingkunginya dalam pesantren.33 Hal ini dilihat dari
unsur-unsur tradisi pesantren, apakah sifat khas lembaga
ini masih bisa dipertahankan dalam lembaga pendidikan
Islam modern tersebut.34
Pondok pesantren telah ada dan tumbuh di
Indonesia dalam waktu yang panjang. Selama itu pula ia
telah ikhlas dan tekun mengabdikan dirinya kepada
masyarakat. Untuk masa mendatang peran pesantren
masih dapat diperbesar dan diperluas sebagai lembaga
pendidikan, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga
sosial.35
Pengaruh globalisasi yang berdampak merusak
moral manusia membuat dunia terasa menjadi kecil dan
transparan. Hampir tidak ada rahasia suatu negara yang
tidak diketahui oleh negara lain. Apa yang terjadi disuatu
negara saat ini, hari ini juga diketahui oleh negara lain.
Dunia benar-benar menjadi semakin kecil. Begitu
dramatisnya kekuatan yang dihasilkan oleh globalisasi,
sampai-sampai menjungkirbalikkan orientasi kehidupan
dan orientasi lama menjadi baru.
Tantangan semacam itu adalah pengaruh tidak
langsung dari pandangan dunia pesantren yang bercorak
sufistik. Ketidakmampuan mengakses pengaruh budaya
modern sebagai pijakan untuk memahami ajaran-ajaran
33Ibid., hlm. 15 - 18
34Ibid., hlm. 206
35Op. Cit., hlm. 94
Islam secara komprehensif dan didukung oleh tingkat
kemiskinan sosial budaya masyarakat agraris yang relatif
tinggi. Ketidakmampuan pesantren untuk mengakses
pengaruh budaya modern membawa dampak terhadap
paradigma Islam yang ditawarkannya.
Pemahaman mereka tentang teks-teks suci Al-
Quran dan sunnah cenderung “kaku” dan kurang
memperhatikan perkembangan ilmu-ilmu modern.36
Kuntowijoyo berharap, pemahaman ajaran agama
(Islam) hendaknya dijadikan sebagai sebuah proses
yang di dalamnya terdapat makna-makna
transendental diterjemahkan dalam praksis sosial.
Dengan demikian melalui lembaga-lembaga yang
memperjuangkannya, agama tidak akan
meninggalkan dan lebih-lebih ditinggalkan
masyarakatnya.37
Terjadinya transformasi masyarakat Indonesia
dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrialis
memunculkan berbagai macam jenis jabatan dan
pekerjaan. Hal ini sering menimbulkan berbagai benturan
antara nilai-nilai sosial yang sudah melekat di
masyarakat dan nilai-nilai baru.
Globalisasi menyebabkan persaingan antar
bangsa diberbagai bidang., baik politik, ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hanya bangsa-bangsa yang
36Mastuhu, Op. Cit., hlm. 130
37Septy Gumiandari, Transformasi Pesan Santri Vis-à-vis
Hegemoni Modernitas dalam Pesantren Masa Depan, Pustaka
Hidayah, Bandung, Cet. I, 1999, hlm. 117
unggul dalam ekonomi dan penguasaan IPTEK saja yang
bisa mengambil manfaat besar dari globalisasi ini.
Dari pesantren ingin selalu mengembangkan
kurikulum pendidikan agar lebih unggul bila dibanding
dengan lembaga pendidikan lainnya. Dikatakan
pesantren dapat mencapai kesejahteraan duniawinya
sekaligus akhiratnya.
Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar