a. Etimologis[1]
1- Hukum
Terma hukum yang kita kenal berasal dari bahasa Arab ‘hukmu’
(mufrad) – ‘ahkam’ (jama') yang diderivasikan dari kata kerja
‘hakama-yahkumu-hukm’ yang berarti al-qadha` bi al-'adl, yakni memutuskan perkara
dengan adil. Orang yang menetapkan hukum disebut al-hakim, dan bentuk jamaknya
adalah al-hukkam.
2- Recht
Recht berasal dari kata rectum (latin) yang berarti
bimbingan, tuntutan, atau pemerintahan. Di samping itu dikenal juga terma ‘rex’
yaitu orang yang memberi bimbingan atau arahan. Rex juga bisa dimaknai Raja.
Terma recht yang bermakna bimbingan atau perintah selalu
meniscayakan adanya kewibawaan, dan kewibawaan berkaitan dengan ketaatan.
Artinya sebuah perintah atau arahan cenderung akan ditaati ketika memiliki
kewibawaan. Dalam bahasa Belanda derivasi dari terma recht memiliki makna
keadilan, artinya hukum juga memiliki kaitan dengan keadilan.
Dengan demikian Recht diartikan sebagai arahan atau perintah
yang memiliki unsur kewibawaan dan keadilan.
3- Ius
Terma Ius berasal dari bahasa Latin ‘Iubere’ yang berarti
mengatur atau memerintah. Mengatur dan memerintah berpangkal pada kewibawaan.
Di sisi lain Ius berkaitan erat dengan ‘Iustitia’ atau keadilan. Dalam legenda
Yunani Iustitia adalah dewi keadilan yang dilambangkan dengan seorang wanita
yang tertutup matanya, tangan kiri memegang neraca dan tangan kanan memegang
pedang. Makna dari lambang ini adalah:
- Kedua mata tertutup, dalam mencari keadilan tidak boleh
membedakan antara si kaya dan si miskin, pejabat atau bukan pejabat, dan lain
sebagainya.
- Neraca melambangkan keadilan.
- Pedang melambangkan keadilan yang mengejar kejahatan
dengan suatu hukum yang tegas.
4- Lex
Lex berasal dari bahasa Latin ‘lesere’ yang berarti
mengumpulkan orang-orang untuk diberi perintah. Terma ini memuat adanya unsur
otoritas atau wibawa.
ð Berdasarkan uraian di atas, maka hukum akan memuat
unsur-unsur keadilan, kewibawaan, ketaatan, peraturan yang berujung pada
keteraturan dan kedamaian.
b. Terminologi Para Sarjana
Hukum.[2]
Mendefinisikan hukum dengan definisi yang dapat mewakili
hukum yang sebenarnya dalam satu definisi adalah sangat sulit. Karena hukum
merasuk dalam setiap lini kehidupan masyarakat, memiliki banyak bentuk
(multifaces), dan sangat kompleks. Para Yuris pun menawarkan definisi dengan
berbagai perspektif yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing
Yuris.
-1- Prof. Dr. van Kan. (Juris dari Belanda)
Menurutnya hukum adalah "keseluruhan peraturan hidup
yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam
masyarakat".
-2- Prof. Mr. E. M. Meyers.
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan
kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang
menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya."
-3- Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldoorn. (Juris Belanda)
Ia membedakan pengertian hukum berdasarkan 2 sudut pandang:
- Hukum menurut kalangan terpelajar adalah rentetan pasal
demi pasal yang termuat dalam aturan atau perundang-uandangan.
- Hukum menurut orang awam (the man in the street) ketika
mendengar istilah hukum, maka ia akan teringat akan polisi, jaksa, pengadilan,
hakim, dan aparat penegak hukum lainnya.
-4- Prof. Paul Scholten.
Sarjana hukum asal Belanda ini memandang hukum berdasarkan
kepentingan individual (perorangan) dan sosial (masyarakat). Dia tidak
memberikan tawaran definisi tunggal mengenai hukum, namun ia memberikan batasan
bahwa, "Recht is bevel, Recht is verlof, Recht is belofte, Recht is depositie".
-5- Dr. E. Utrecht, SH.
-6- S. M. Amin, SH.
"Kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan
sanksi-sanksi yang bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan
manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara."
-7- J. C. T. Simorangkir.
"Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh
badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi
bereakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu."
* Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh
yang berwenang, dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang
mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan
menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
hukum terkandung unsur-unsur:
- Peraturan mengenai tingkah laku manusia
- Dibuat atau diciptakan oleh otoritas yang berwenang
- Bersifat memaksa agar ditaati
- Bertujuan mengatur tata tertib kehidupan
- Sanksi terhadap pelanggaran
Fungsi dan Tujuan Hukum (Teori Etis, Utilitis, dan Campuran)
à Fungsi Hukum[3]
Di mana ada masyarakat di sana ada hukum (ubi societas ibi ius). Hukum
ada pada setiap masyarakat, kapan pun, di manapun, dan bagaimanapun keadaan
masyarakat tersebut. Artinya eksistensi hukum bersifat sangat universal,
terlepas dari keadaan hukum itu sendiri sangat dipengaruhi oleh corak dan warna
masyarakatnya (hukum juga memiliki sifat khas, tergantung dengan perkembangan
dan perubahan yang terjadi dalam sebuah komunitas).
Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum, terdapat dua paham
mengenai fungsi dan peran hukum dalam masyarakat:
Pertama, mengatakan bahwa fungsi hukum adalah mengikuti dan
mengabsahkan (justifikasi) perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat,
artinya hukum sebagai sarana pengendali sosial. Maka yang tampak, hukum
bertugas mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada. Paham ini dipelopori
ahli hukum mazhab sejarah dan kebudayaan dari Jerman yang diintrodusir oleh
Friedrich Carl von Savigny (1799-1861).
Kedua, menyatakan hukum berfungsi sebagai sarana untuk
melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Paham ini dipelopori oleh ahli hukum
dari Inggris, Jeremy Bentham (1748-1852), untuk kemudian dipopulerkan oleh
Juris Amerika dengan konsepsi "hukum (harus juga) berfungsi sebagai sarana
untuk mengadakan perubahan masyarakat" (law as a tool of social
engineering).
à Tujuan Hukum[4]
Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan
perubahan sosial, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat
yang tertib, damai, adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga
kepentingan individu dan masyarakat dapat terlindungi. Dalam beberapa literatur
Ilmu Hukum para sarjana hukum telah merumuskan tujuan hukum dari berbagai sudut
pandang, dan paling tidak ada 3 teori:
1- Teori etis
Teori etis pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani,
Aristoteles, dalam karyanya ethica dan Rhetorika, yang menyatakan bahwa hukum
memiliki tujuan suci memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Menurut teori ini hukum semata-mata bertujuan demi keadilan. Isi hukum
ditentukan oleh keyakinan etis kita mana yang adil dan mana yang tidak. Artinya
hukum menurut teori ini bertujuan mewujudkan keadilan.
Mengenai isi keadilan, Aristoteles membedakan adanya dua
macam keadilan; justitia distributive (keadilan distributif) dan justitia
commulative (keadilan komuliatif). Keadilan distributif adalah suatu keadilan
yang memberikan kepada setiap orang berdasarkan jasa atau haknya masing-masing.
Makna keadilan bukanlah persamaan melainkan perbandingan secara proposional.
Adapun keadilan kumulatif adalah keadilan yang diberikan kepada setiap orang
berdasarkan kesamaan. Keadilan terwujud ketika setiap orang diperlakukan sama.
2- Teori Utilitis
Menurut teori ini hukum bertujuan untuk menghasilkan
kemanfaatan yang sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan kesenangan dan
kebahagiaan. Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham dalam bukunya
"Introduction to the morals and legislation". Pendapat ini dititik
beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa
memperhatikan aspek keadilan.
3- Teori Campuran
Menurut Apeldoorn tujuan hukum adalah mengatur tata tertib
dalam masyarakat secara damai dan adil. Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa
kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat pokok (fundamental) bagi adanya
masyarakat yang teratur dan damai. Dan untuk mewujudkan kedamaian masyarakat
maka harus diciptakan kondisi masyarakat yang adil dengan mengadakan
perimbangan antara kepentingan satu dengan yang lain, dan setiap orang (sedapat
mungkin) harus memperoleh apa yang menjadi haknya. Dengan demikian pendapat ini
dikatakan sebagai jalan tengah antara teori etis dan utilitis.
Sumber-Sumber Hukum[5]
A. Arti tentang Sumber Hukum
Terma sumber hukum dalam kajian ilmu hukum sering kali
dipergunakan dalam berbagai pengertian. Oleh karena itu, ketika membincang
persoalan sumber hukum maka harus ditegaskan terlebih dahulu dalam kerangka apa
sumber hukum itu kita bincangkan.
1- Sumber hukum dalam pengertian asal hukum, yaitu:
Keputusan otoritas yang berwenang mengenai sebuah keputusan hukum, bisa berupa
peraturan atau ketetapan. Pengertian ini membawa pada suatu penyelidikan
tentang kewenangan.
2- Sumber hukum dalam pengertian tempat ditemukannya
peraturan hukum. Sumber hukum dalam pengertian ini membawa pada satu
penyelidikan tentang maca, jenis, atau bentuk-bentuk dari peraturan. Misalnya:
apakah sumber hukum tersebut Undang-Undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, atau
bentuk yang lainnya.
3- Sumber hukum dalam pengertian hal-hal yang dapat
mempengaruhi penguasa dalam menentukan hukum. Misalnya: Keyakinan hukum, rasa
keadilan baik dari penguasa atau rakyat, dan juga teori-teori atau ajaran dari
ilmu Pengetahuan hukum. Hal-hal yang dapat mempengaruhi penentuan hukum
meliputi semua bidang kehidupan masyarakat, baik itu sosial, politik, budaya,
maupun ekonomi.
Di samping ketiga makna sumber hukum di atas, terdapat juga
kategori sumber hukum lain, yakni;
1- sumber hukum material adalah faktor yang membantu
penentuan/pembentukan hukum. Sumber hukum ini dapat ditinjau dari berbagai
aspek.
Misalnya: seorang sosiolog akan mengatakan bahwa yang
menjadi sumber hukum ialah peristiwa sebagai hasil interaksi dalam masyarakat.
Namun seorang ekonom akan mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam
masyarakat meniscayakan adanya hukum. Lain halnya dengan seorang ahli agama, ia
akan mengatakan bahwa sumber hukum adalah kitab suci dan sumber ajaran agama
yang lain.
2- Sumber hukum formal adalah tempat atau sumber di mana
hukum positif dapat ditemukan. Dari segi bentuk berupa Undang-Undang,
Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi, dan doktrin.
a. Undang-Undang
"Undang-Undang" sering digunakan dalam 2
pengertian, yaitu Undang-Undang dalam arti formal dan Undang-Undang dalam arti
material.
UU dalam arti formal adalah keputusan atau ketetapan yang
dilihat dari bentuk dan cara pembuatannya disebut UU. Dilihat dari bentuknya,
UU berisi konsideran dan diktum (amar putusan). Sementara dari cara
pembuatannya, UU adalah keputusan atau ketetapan produk lembaga yang berwenang.
Di Indonesia lembaga yang berwenang adalah Presiden dan DPR (UUDS 1950 psl 89,
UUD 1945 psl 5 (1) jo. psl 20 (1), sementara di Amerika lembaga yang berwenang
adalah Congress.
UU dalam arti material adalah keputusan atau ketetapan yang
dilihat dari isinya disebut UU dan mengikat setiap orang secara umum. Dalam
pengertian ini yang menjadi perhatian adalah isi peraturan yang sifatnya
mengikat tanpa mempersoalkan segi bentuk atau siapa pembentuknya. UU dalam arti
material sering juga disebut dengan peraturan (regeling) dalam arti luas.
=> UU dalam arti formal tidak dengan sendirinya sebagai UU
dalam arti material. Demikian sebaliknya.
Syarat mutlak berlakunya suatu Undang-Undang ialah ketika
telah diundangkan dalam lembaran negara (LN) oleh Menteri/Sekertaris negara,
sejak tanggal yang ditentukan sendiri dalam Undang-Undang (pada saat diundangkan,
pada tanggal tertentu, ditentukan berlaku surut, atau berlakunya akan
ditentukan kemudian hari dengan peraturan lain), atau jika tidak dicantumkan
maka, Undang-Undang berlaku 30 hari setelah diundangkan.
Adapun masa berlakunya Undang-undang berakhir, karena;
ditentukan oleh Undang-Undang sendiri, dicabut secara tegas, Undang-Undang lama
bertentangan dengan Undang-Undang baru, atau timbulnya hukum kebiasaan yang
bertentangan dengan Undang-Undang atau Undang-Undang tidak ditaati lagi.
Asas berlakunya suatu Undang-Undang:
* Undang-Undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang yang kedudukannya lebih tinggi dalam mengatur
hal yang sama (lex superior derogat legi in feriori).
* Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan
Undang-Undang yang bersifat umum, apabila Undang-undang tersebut kedudukannya
sama. (lex speciales derogat legi generali).
* Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan
Undang-Undang yang terdahulu, sejauh Undang-Undang tersebut mengatur hal yang
sama (lex posterior derogat legi priori).
* Undang-Undang yang telah diundangkan dianggap telah
diketahui oleh setiap orang.
Hierarki perundang-undangan
Undang-Undang dalam arti material memiliki tata urutan
peraturan sesuai dengan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 jo. No. V/MPR/1973 :
- UUD 1945
- Ketetapan MPR
- UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan Pelaksana lainnya, seperti peraturan menteri
atau instruksi menteri.
b. Kebiasaan (Custom)
Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang
tetap, ajeg, dan normal di dalam suatu masyarakat atau komunitas hidup
tertentu.
Sebagai sebuah prilaku yang tetap (ajeg) kebiasaan merupakan
prilaku yang selalu berulang hingga melahirkan satu keyakinan atau kesadaran
bahwa hal itu patut dilakukan dan memiliki kekuatan normatif yang mengikat.
Tidak semua kebiasaan dapat menjadi sumber hukum, kebiasaan
yang dapat menjadi sumber hukum meniscayakan beberapa syarat:
1- Syarat materiil adanya perbuatan tingkah laku yang
dilakukan berulang-ulang
2- Syarat intelektual adanya keyakinan hukum dari masyarakat
yang bersangkutan
3- Adanya akibat hukum apabila kebiasaan dilanggar.
Di Indonesia kebiasaan diatur dalam beberapa Undang-Undang:
- Pasal 15 AB: "Selain pengecualian-pengecualian yang
ditetapkan mengenai orang-orang Indonesia
dan orang-orang yang dipersamakan, maka kebiasaan tidak merupakan hukum kecuali
apabila UU menetapkan demikian."
- Pasal 1339 KUH Perdata: "Perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan, atau Undang-Undamg."
- Pasal 1347 KUH Perdata: "Hal-hal yang menurut
kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam
persetujuan, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan."
- Pasal 1571 KUH Perdata: "Apa yang meragu-ragukan
harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di
tempat persetujuan telah dibuat."
- Pasal 22 AB: "Hakim yang menolak untuk mengadili
dengan alasan Undang-Undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat
dituntut karena menolak untuk mengadili."
- Pasal 14 UU No 14 Tahun 1970: "Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya."
Kelemahan Hukum Kebiasaan:
a. Hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis oleh karenanya
tidak dapat dirumuskan secara jelas dan sukar menggantinya.
b. Hukum kebiasaan tidak menjamin kepastian hukum dan sering
menyulitkan dalam beracara karena kebiasaan sangat beraneka ragam.
Hubungan Hukum kebiasaan dan hukum adat:
Adat istiadat adalah peraturan-peraturan atau kebiasaan
sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata tertib.
Pada umumnya adat istiadat bersifat sakral serta merupakan tradisi. Artinya;
hukum adat termasuk bagian hukum kebiasaan, dan tidak semua adat merupakan
hukum.
c. Traktat (treaty)
Traktat adalah perjanjian yang dibuat antarnegara yang
dituangkan dalam bentuk tertentu. Pasal 11 UUD menentukan: "Presiden
dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain." Perjanjian dengan negara lain yang dikehendaki dalam
diktum pasal 11 UUD adalah perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional
yang kekuatan hukumnya sama dengan UU. Mengingat secara prosedural perjanjian
antarnegara dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Berdasarkan Surat Presiden no. 2826/HK/60 yang dimaksud
dengan perjanjian dalam pasal 11 UUD adalah perjanjian yang terpenting saja,
yang terkait dengan persoalan politik dan menyangkut hajat hidup orang banyak,
lazimnya disebut dengan traktat.
Traktat atau perjanjian yang secara prosedural harus
disampaikan pada DPR sebelum diratifikasi adalah perjanjian yang mengandung
materi sebagai berikut:
1- Soal-soal politik atau persoalan yang dapat mempengaruhi
haluan politik luar negeri: perjanjian perbatasan wilayah (traktat bilateral
Indonesia-Papua Nugini mengenai batas wilayah) , perjanjian persahabatan.
2- Ikatan yang mempengaruhi haluan politik luar negeri
seperti perjanjian ekonomi dan teknis pinjaman uang.
3- Persoalan yang menurut sistem perundang-undangan harus diatur
dengan Undang-Undang: kewarganegaraan dan soal kehakiman.
Adapun perjanjian yang lazim disebut agreement adalah
perjanjian yang mengandung materi lain cukup disampaikan pada DPR sebatas untuk
diketahui setelah diratifikasi oleh Presiden
Ketika sebuah perjanjian telah diratifikasi maka berlakulah
apa yang dinamakan "pakta Servada" artinya perjanjian mengikat para
pihak yang mengadakan perjanjian. Persoalannya apakah traktat itu secara
langsung mengikat seluruh warga negara? Pendapat pertama, traktat tidak dapat
secara langsung mengikat penduduk di suatu wilayah negara. Agar traktat dapat
mengikat seluruh warga negara maka traktat harus terlebih dahulu dituangkan
dalam hukum nasional. Pendapat yang dikemukakan Laband dan Telders (ahli Hukum
Belanda) ini dinamakan teori inkorporasi. Adapun pendapat kedua, traktat
mengikat secara langsung penduduk di wilayah negara yang meratifikasi suatu
perjanjian. Pendapat ini dianut oleh van Volenhoven, Hamaker dan dianut oleh
Kerajaan Belanda pada tahun 1906. Teori ini mengakui "Primat hukum
antarnegara" yaitu mengakui hukum antarnegara lebih tinggi derajatnya dari
hukum Nasional.
Proses Pembuatan traktat:
1. Perundingan isi perjanjian oleh para utusan pihak-pihak
yang bersangkutan, hasil perundingan ini dinamakan konsep traktat
(sluitings-oorkonde). Sidang perundingan biasanya melalui forum konferensi,
kongres, muktamar, atu sidang-sidang lainnya.
2. Persetujuan masing-masing parlemen bagi negara yang
memerlukan persetujuan dari parlemen.
3. Ratifikasi atau pengesahan oleh kepala negara, Raja,
Presiden, atau Perdana Menteri dan diundangkan dalam lembaran negara.
4. Pertukaran piagam antar pihak yang mengadakan perjanjian,
atau jika itu perjanjian multilateral piagam diarsip oleh salah satu negara
berdasarkan kesepakatan atau diarsip di markas besar PBB.
d. Yurisprudensi
Yurisprudensi memiliki beberapa kandungan makna:
- Yurisprudentia (latin) = pengetahuan hukum.
- Yurisprudentie (Perancis) = peradilan.
- Jurisprudence (Inggris) = teori ilmu hukum.
Dari segi praktik peradilan Yurisprudensi adalah keputusan
hakim yang selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus
yang sama.
Sebuah putusan pengadilan pada dasarnya hanya mengikat para
pihak yang bersengketa (psl 1917 BW) dan tidak mengikat setiap orang pada
umumnya seperti UU. Putusan adalah hukum sejak dijatuhkan hingga dilaksanakan.
Dan setelah dilaksanakan putusan pengadilan hanyalah merupakan sumber hukum.
Sebab-sebab seorang hakim mempergunakan putusan hakim lain:
- Pertimbangan psikologis
- Pertimbangan praktis
- Memiliki pendapat yang sama
Arti Pentingnya Yurisprudensi menurut beberapa aliran hukum:
1- Aliran legisme adalah aliran yang mengangap UU adalah
aturan yang sempurna sehingga segala persoalan hukum di masyarakat pada dasarnya
sudah tertampung dalam UU. Adapun posisi hakim dalam memutuskan suatu perkara
sebagai penyambung lidah dari UU. Hakim dalam melaksanakan tugas terikat pada
UU sehingga yang ia lakukan adalah melakukan suatu upaya deduksi logis dari
sebuah diktum UU. Artinya, menurut aliran legisme pengetahuan UU adalah primer
sementara Yurisprudensi adalah sekunder.
2- Aliran Freie Rechtbewegung mengatakan bahwa mempelajari
Yurisprudensi lebih penting daripada UU. Karena yurisprudens adalah wujud
konkrit dari sebuah putusan hukum. Dan aliran ini memberikan kebebesan pada
hakim untuk menciptakan hukum.
3- Aliran Rechtvinding adalah jalan tengah dari 2 aliran di
atas. Menurutnya hakim memiliki kebebasan yang terikat untuk menyelaraskan UU
dengan keadaan masyarakat dengan cara penafsiran jika peraturan tidak jelas
atau mengkonstruksi hukum jika UU tidak mengaturnya.
Asas-Asas Yurisprudensi
1- Asas Presedent; Hakim terikat pada putusan yang lebih
dulu dari hakim yang sama derajatnya atau hakim yang lebih tinggi. Asas ini
dianut oleh negara-nega anglo-Saxon (Inggris- Amerika)
2- Asas Bebas: Hakim tidak terikat pada keputusan hakim
terdahulu pada tingkatan sejajar atau yang lebih tinggi.
e. Doktrin
UU, perjanjian internasioanl dan Yurisprudensi adalah sumber
hukum. Tidak mustahil sumber-sumber hukum ini tidak dapatmemberikan jawaban
mengenai hukumnya, maka hukum dicari dari pendapat para sarjana hukum atau ilmu
hukum.
Ilmu hukum bukanlah hukum, karena tidak memiliki kekuatan
mengikat, namun ilmu hukum memiliki wibawa karena didukung oleh para ahli hukum
(yuris) dan sebagai sebuah ilmu, ilmu hukum memiliki sifat obyektif. Selaras
dengan sifat yang harus dimiliki sebuah hukum yakni wibawa dan obyektif.
Doktrin sebagai sumber hukum tampak jelas dalam hukum
internasional. Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional pasal
38 (1) mengakui pendapat-pendapat ahli hukum sebagai pedoman dalam
mempertimbangkan dan memutuskan suatu sengketa atau perselisihan. Dan di
Indonesia khususnya dalam pengadilan Agama, pendapat para fukaha (ahli Hukum
Islam) banyak digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan perkara di
Pengadilan Agama.
0 komentar:
Posting Komentar