Dengan di-demonetesinya emas oleh Amerika Serikat merupakan masa berakhirnya Bretton Woods System dan merupakan awal mula dari fully-fledged managed money standard yang sama sekali tidak terkait dengan nilai emas.[1] Dengan sistem managed money yang berlaku sekarang tidak mengharuskan disiplin moneter yang ketat, sehingga memungkinkan bagi negara untuk memiliki defisit anggaran. Konsekwensi dari hal tersebut, sejak berlakunya managed money standart terlihat dua fenomena utama yang terjadi, yaitu tingginya tingkat inflasi dan tidak stabilnya nilai tukar. Sebagaimana diketahui uang merupakan alat ukur yang penting dalam kehidupan karena penurunan nilai riil dari pada uang akan memiliki efek buruk bagi kehidupan sosial ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Stabilitas nilai dari pada mata uang merupakan prioritas utama dalam kegiatan manajemen moneter, karena stabilitas tersebut yang tercermin dari stabilitas tingkat harga sangat berpengaruh terhadap realisasi pencapaian tujuan pembangunan ekonomi suatu negara, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan, tingkat pertumbuhan ekonomi riil yang optimum, perluasan kesempatan kerja dan stabilitas ekonomi. Sehingga kegiatan manajemen moneter harus memiliki kontribusi yang positif terhadap pencapaian dari tujuan-tujuan tersebut diatas.
Pembahasan manajemen moneter mencakup money demand dan money
supply karena equibilirium dari kedua hal tersebut sangat penting
dalam menciptakan ekonomi yang kondusive dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan
ekonomi yang disebutkan terlabih dahulu. Money
demand dipengaruhi oleh berbagai variabel seperti interest rate, output total, transaksi total, pendapatan,
pendapatan permanent, kekayaan, tingkat upah, tingkat inflasi yang diharapkan,
perubahan-perubahan kelembagaan, dan inovasi di bidang keuangan. Kesemua
variabel tersebut sangat penting, namun dalam pembahasan ini hanya difokuskan
pada dampak dari interest rate sebagai harga bagi financial intermediary dalam bertransaksi dan sejauh mana
penggunaan harga tersebut dapat mempengaruhi pencapaian tujuan – tujuan yang
ingin dicapai.
Dengan menggunakan model keynes, permintaan akan uang berdasarkan tiga
motive sebagai berikut:
·
Sebagai medium of exchange untuk membiayai
transaksi-transaksi yang dilakukan rumah tangga, perusahaan-perusahaan dan
pemerintah guna memenuhi kebutuhan konsumsi, investasi, import dan eksport (transaction
motive)
·
Sebagai alat untuk
menanggulangi hal-hal yang tidak diperkirakan sebelumnya (precautionary motive)
·
Sebagai alat untuk
mengambil keuntungan dari kegiatan-kegiatan spekulasi pada pasar komoditi, mata
uang asing dan keuangan ( spekulative motive)[2].
Namun tidak semua rumah
tangga, perusahaan maupun pemerintah memiliki cukup dana untuk membiayai
motive-motive tersebut, sebagian merupakan deficit spending unit dan sebagian
lagi surplus spending unit. Interaksi dari kedua unit tersebut dan adanya money
supply menentukan tingkat suku bunga, yang pada gilirannya suku bunga tersebut
berpengaruh terhadap permintaan akan uang untuk memenuhi ketiga motive
tersebut.
Dalam Keynesian approach
permintaan riil akan uang ditentukan atau dipengaruhi oleh riil output total
(y) dan tingkat suku bunga (r) yang tercermin dalam persamaan berikut :
·
Output total (y)
memiliki peengaruh positif terhadap Md/P, sedangkan tingkat suku bunga
berpengaruh negatif terhadap permintaan uang riil. Dalam pembahasan pengaruh
tingkat suku bunga kali ini akan ditinjau sampai sejauh mana dampak tingkat
suku bunga pada berbagai komponen permintaan uang (chart terlampir), khususnya
pemenuhan kebutuhan dasar dan investasi yang produktif, yang mana kedua
komponen tersebut merupakan bagian penting dari pencapaian tujuan-tujuan
pembangunan ekonomi suatu negara.[3]
Pada tingkat money
supply tertentu, bila permintaan akan uang untuk spekulative dan
precaotionary motives ( yang tidak untuk mengantisipasi misfortune/bencana)
meningkat maka ketersediaan uang untuk keperluan transaksi akan berkurang. Hal
ini dapat mengakibatkan berkurang atau bahkan terganggunya kebutuhan uang bagi
transaksi –transaksi untuk memenuhi kebutuhan pokok daan kegiatan investasi
yang produktive karena dana yang ada dialokasikan pada conspicuous
consumption (konsumsi barang lux, barang yang hanya untuk status symbol dan
pengeluaran yang tidak untuk memenuhi kebutuhan dasar) dan investasi yang tidak
produktive.[4] Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa bila ekonomi memiliki kemampuan
untuk mengurangi permintaaan uang untuk speculative dan precoutionary
motives serta untuk conspicuous consumption dan investasi yang tidak
produktive, diharapkan permintaan uang dapat lebih digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan dasar dan kegiatan investasi produktive sehingga tercipta iklim
ekonomi yang non-inflationary yang memudahkan pencapaian tujuan-tujuan
tersebut di atas. Di sisi lain bila permintaan uang meningkat untuk semua
motives, dimungkinkan akan terjadinya
ketidakseimbangan makro ekonomi, meningkatnya suku bunga dan adanya
tekanan inflasi. Dalam keadaan perekonomian yang sedemikian rupa, kegiatan
menabung dan investasi akan menurun yang dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan
ekonomi, dan meningkatnya unemployment rate.
Selanjutnya money
demand yang kondusive terhadap pencapaian tujuan-tujuan ekonomi haruslah
efesien dan fair, sedangkan money demand yang tidak memberikan konstribusi pada
pencapaian tujuan-tujuan tersebut merupakan money demand yang tidak esensial
dan produktive. Meningkatnya kecendrungan untuk mendahulukan money demand yang
tidak esensial dan produktive akan
mengakibatkan sulitnya pencapaian tujuan-tujuan ekonomi. Strategi terbaik dalam
manajemen moneter adalah menciptakan money demand yang efesien dan fair serta
terciptanya equibilirium yang tanpa tekanan inflasi dari money supply.
Dikarenakan money supply cenderung dipengaruhi oleh money demand, maka yang
lebih penting dalam manajemen moneter adalah bagaimana mengelola (mange) money
demand yang efesien dan fair.[5]
Seandainya ada keyakinan
bahwa money demand telah dikelola
dengan efesien dan fair dalam perekonomian dunia, maka tidak lagi diperlukan
pembahasan mengenai alternatife manajemen moneter yang berbeda dengan yang
berlaku pada saat ini. Namun menurut Enzler Conrad dan Johnson
(1981) menemukan bukti bahwa di Amerika Serikat terjadi misaalokasi sebagai
berikut : the existing capital stock is
misllocated-problaly seriously-among sectors or the economi and types of
ccapital. Misalokasi tersebut juga mungkin tidak hanya di alami oleh
Amerika Serikat, namun juga negara-negara lain.
Berbagai macam alasan bisa diajukan
mengapa misalokasi tersebut terjadi, namun menurut Umer Charpa[6] (1996)
penyebab utama adalah interest rate. Menurut beliau hampir semua agama termasuk
Hindu, Yahudi, Kristen dan Islam melarang penggunaan interest rate dalam
bertransaksi karena penggunaan interest
rate dalam alokasi money supply untuk
berbagai komponen money demand merupakan penyebab utama terjadinya misalokasi
dana. Maka pada kesempatan ini akan dibahas bagaimana interest rate berpengaruh
terhadap pencapaian tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan dasar, pertumbuhan
ekonomi yang optimum, perluasan kesempatan kerja, pemerataan distribusi
pendapatan dan stabilitas ekonomi.
Pemenuhan kebutuhan dana bagi deficit
spending unit melalui penyaluran kredit dengan tingkat suku bunga tertentu
yang berdasarkan kemampuan peminjam memberikan jaminan kredit guna meng-cover
pinjaman yang diberikan dan kecukupan cash flow untuk memenuhi kewajiban
tersebut. Kedua syarat ini yang menjadi dasar utama penyaluran
kredit sedangkan kriteria 5 Cs tidak menjadi hal yang penting. Dikarenakan hal
tersebut, dana akan mengalir cenderung kepada golongan orang kaya yang umumnya
mampu memenuhi kedua syarat tersebut dan juga pemerintah yang diasumsikan tidak
akan mengalami kebangkrutan. Namun, golongan kaya umumnya memanfaatkan dana
tersebut tidak hanya untuk investasi yang produktive, tetapi juga untuk
conspicuous consumption dan spekulasi, sedangkan pemerintah menggunakan dana tidak
hanya untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga untuk
pengeluaran yang berlebihan di sektor pertahanan dan perusahaan-perusahaan
pemerintah yang tidak menguntungkan.
Keadaan ini mengakibatkan
cepatnya ekspansi money demand untuk
keperluan yang tidak produktive dan pengeluaran-peneluaran yang tidak
bermanfaat, juga hal ini berpengaruh terhadap ketidak seimbangan makro ekonomi
dan eksternal dan selain dari pada itu hal ini memperkecil ketersediaan dana
untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan pembangunan. Peningkatan interest rate
tidak hanya mempengaruhi kegiatan investasi yang tidak produktive dan
pengeluaran yang tidak bermanfaat, tetapi juga mempengaruhi kegiatan konsumsi
untuk kebutuhan dasar yang akhirnya cenderung mengakibatkan semakin sulitnya
kehidupan golongan miskin. Fenomena seperti inilah yang dapat menjelaskan
mengapa Amerika Serikat yang termasuk dalam kelompok negara kaya dengan
resources yang berlimpah namun tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok/mendasar
semua rakyatnya.[7]
Salah satu masalah yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia dan perluasan kesempatan kerja tidak
berlangsung dengan optimum adalah menurunnya tingkat tabungan masyarakat ketika
kebutuhan untuk investasi meningkat dengan pesat.
Di negara-negara OECD
gross saving sebagai persentase dari GDP menurun dari 25.2% pada tahun 1973
menjadi 21,2% pada tahun1993 (The World Bank, World Tables, 1995). Penurunan tabungan tersebut juga terjadi pada
negara-negara yang berkembang yang sebenarnya membutuhkan lebih banyak lagi
tabungan untuk percepatan pembangunan, yaitu dari 26% menjadi 23,5% pada
periode yang sama (IMF, International
Fianancial Statistics, 1995 Yearbook).[8] Salah satu penyebab utama menurunnya tabungan masyarakat adalah
meningkatnya konsumsi masyarakat yang dibiayai oleh kredit yang berdasarkan
collateral dan interest rate. Sehingga memungkinkan masyarakat dapat
mengkonsumsi lebih dari pendapatan yang diperolehnya.
Selanjutnya akibat dari
menurunnya tabungan masyarakat mengakibatkan meningkatnya interest rate dan
rendahnya tingkat investasi, menurunnya pertumbuhan ekonomi dan perluasan
kerja. Pada tahun 1994 tingkat pengangguran pada negara-negara OECD menjadi
8,1% yang hampir mendekati tiga kali dari tingkat pengangguran pada tahun
1971-1973 yang hanya 2,9% (OECD, Desember 1995).[9] Dengan keadaan yang sedemikian rupa ditambah lagi keterbatasan anggaran
dan ancaman inflasi, maka dapat dibayangkan bahwa harapan pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang diperlukan untuk perluasan kerja pada
negara-negara barat tidaklah begitu cerah. Hanya dengan penurunan deficit
anggaran dan penurunan pengeluaran masyarakat yang tidak bemanfaat yang
disertai dengan peningkatan tabungan dan investasi disektor-sektor yang
produktive yang dapat membuat harapan tersebut menjadi kenyataan.
Namun harapan akan tetap
tinggal harapan bila sistem nilai masyarakat yang berlangsung pada sector
public dan private masih memungkinkan pola konsumsi yang berlebihan yang
membuat mereka hidup melampaui dari apa yang diperolehnya. Pola konsumsi yang
sedemikian rupa memungkinkan, karena ketersediaan kredit dari financial
intermediation yang berdasarkan interest rate yang tidak peduli kredit tersebut
digunakan untuk apa.
Tidak meratanya alokasi
dana pada sistem keuangan yang berdasarkan interest rate telah disadari
oleh peneliti. Menurut Bigsten (1987) the distribution of capital is even more unequal than that of land dan
the banking system tends to reinforce the
unequal distribution of capital.[10]
Alasan yang utama adalah seperti telah dijelaskan diatas adalah financial
intermediation yang berdasarkan interest rate yang sangat tergantung
pada collateral dan kurang memperhatikan kelayakan proyek dan pemafaatan
dari pada dana yang disalurkan. Yang pada akhirnya
dana yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat mengalir hanya pada golongan
kaya. Selanjutnya,
menurut Mishan (1971): Given that
differences in wealth are substantial, it would be irrational for the lender to
be willing to lend as much to the impecunious as to the richer members of
society, or to lend the same amounts on
the same terms to each[11].
Sehingga apa yang dilakukan perbankan adalah menyalurkan pinjaman terutama
kepada individu-individu atau perusahaan-perusahaan yang memiliki collateral
yang cukup, seperti yang diamati oleh Lester Thurow (1980) largeinternal savings, regardless of whether they are earning above
average rates of return on their investment, yang pada akhirnya menciptakan
winners are, as in lottery, lucky rather
than smart meritocratic[12].
Bahkan menurut Morgan Guarantee Trust Company yang termasuk dalam enam bank
besar di Amerika Serikat telah mengakui bahwa sistem perbankan telah gagal
untuk finance either maturing smaller
companies or venture capitalists, and though awash with funds, is not
encouraged to deliver competitively priced funding to any but the largest, most
cash-rich comapies. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku
lembaga-lembaga keuangan yang berdasarkan interest
rate cenderung membuat semakin tidak meratanya distribusi pendapatan dan
kekayaan.
0 komentar:
Posting Komentar