Kembali kepada persoalan currency
(mata uang) kertas yang sering tidak stabil, perlu ditegaskan bahwa pada
dasarnya, ekonomi syariah mentolerir terjadinya perubahan – perubahan dalam
nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing, sepanjang
perubahan itu terjadi karena sunnatullah, artinya naik turunnya nilai
tukar disebabkan oleh mekanisme pasar secara normal, misalnya ; permintaan
terhadap mata uang asing meningkat, karena kebutuhan masyarakat terhadap barang
impor meningkat, kenaikan harga – harga umum (inflasi ), dan sebagainya.
Namun, bila perubahan nilai tukar
itu telah “ keluar “ dari sunnatullah, misalnya karena rekayasa pasar oleh para
spekulan atau karena cuaca politik yang mengandung ketidakpastian, atau juga
tekanan politik oleh pihak yang ingin menjatuhkan sebuah rezim melalui mata
uang, maka nilai sistem tukar floating exchanger rate sangat berbahaya
bila dipertahankan. Sebab dalam waktu relatif singkat nilai mata uang rupiah
bisa meroket secara dahsyat, misalnya dari Rp 2.500,- menjadi Rp. 17. 000,-.
Jadi, sistem floating exchanger rate menimbulkan dampak yang sangat
merugikan bagi negara yang tak normal cuaca politiknya. Sistem ini telah
terbukti membuka peluang hancurnya ekonomi suatu negara bangsa melalui
permainan spekulan atau siasat jahat pihak luar yang tak senang dengan figur
politik disuatu negara. Akhirnya, banyak rakyat yang menjadi korban.
Sistem floating exchanger rate dalam
kondisi politik yang tak menentu tersebut adalah sebuah sistem yang zalim. Al –
Quran sebagaimana yang dikutip Prof. Dr. Umer Chapra dalam buku, Toward
Ajust Monetery System, mengatakan, “ Dan berikanlah ukuran yang lurus (
adil )” ( QS. 6: 152 ). Dalam ayat lain difirmankan, “ maka berikanlah ukuran
dan timbangan secara sempurna dan adil “. Menurut M. Umer Chapra, stabilitas
mata uang , tak bisa dipisahkan dari tujuan syariah. Al- Qur’an menekankan
perlunya keadilan dalam semua ukuran, termasuk dalam ukuran mata uang. Jangan
sampai ukuran mata uang yang tak jelas dan tak menentu itu menimbulkan kesengsaraan bagi suatu komunitas
atau negara, seperti yang dialami di Indonesia, dolar naik, ekonomi negara dan
rakyat hancur.
Ukuran – ukuran yang sebagaimana
yang diperhatikan Al- Quran, tidak hanya berlaku bagi individu, tetapi juga
bagi masyarakat dan negara. Dan ayat di atas, meliputi semua ukuran. Uang juga
merupakan ukuran dari harga barang tertentu. Karena itu, ukuran uang menurut
ekonomi syariah harus adil dan sempurna, lurus, tetap, tidak mudah terombang –
ambing. Ukuran mata uang yang tidak adil, disebut sebagai membuat kerusakan
dimuka bumi. (QS. 7 : 85 ). “Maka
berikanlah ukuran dan timbangan secara sempurna dan jangan merugikan manusia,
serta jangan membuat kerusakan di muka bumi setelah stabil. Hal itu lebih baik
bagimu, jika sekalian kamu beriman “. ( QS. 7 : 85 )
Ukuran mata uang (sistem kurs) yang
tidak adil, pasti merugikan orang banyak, seperti yang dialami rakyat Indonesia
dengan kejatuhan rupiah. Berdasarkan, konsep moneter Islam diatas, maka dapat
disimpulkan, bahwa ekonomi syariah menginginkan terciptanya stabilitas mata
uang dan keadilan dengan segala hal, termasuk nilai tukar. Tegasnya, sistem floating
exchanger rate, terbukti telah membawa kondisi ekonomi Indonesia kepada
jurang kehancuran. Kita jangan dulu menyalahkan para pemimpin yang tak
dipercayai pasar, atau alasan – alasan lainnya. Para ahli ekonomi sekuler,
selalu mengkaitkan menguat dan melemahnya nilai tukar, dengan tingkat
kepercayaan pasar pada pemerintah. Oleh sebab itu, setiap rupiah anjlok, yang
dipermasalahkan adalah tingkat kepercayaan pasar terhadap penguasa.
Kalau pasar yang menjadi raja dan
menjadi faktor determinan, maka kondisi ini sangat berbahaya bagi politik suatu
negara. Sebab, bila yang menjadi pemimpin di sebuah negara yang tidak disenangi
oleh pasar, (walaupun disenangi mayoritas rakyat secara demokratis), sementara
orang – orang pasar adalah oknum Barat, maka pemimpin tersebut bisa goyang
dengan tekanan terhadap rupiah secara dahsyat dan terus menerus. Dengan
demikian sistem nilai tukar mengambang, bisa menjadi senjata ampuh untuk
menghancurkan orang yang tidak disenangi, dengan menaikkan kurs dolar secara
uang lainnya oleh spekulan raksasa. Contoh kasus, ketika Barat tak senang
kepada Habibie. Ekonomi Indonesia babak belur lantaran meroketnya dolar.
Tegasnya, dengan sistem nilai tukar mengambang ini, sebuah negara menjadi
rawan dan tidak aman dari krisis. Juga menjadi lahan dan permainan empuk bagi
para spekulan, sedangkan ekonomi syariah sangat mengutuk para perilaku spekulan,
karena dapat merugikan rakyat banyak.
Menerapkan kembali sistem fixed exchange rate, bukanlah merupakan
ide yang kontroversial, karena mayoritas negara dunia saat ini menggunakan
sistem kurs tetap tersebut. Kita tak perlu trauma karena mengalami devaluasi
disaat rezim fixed exchange rate, karena devaluasi saat itu bukan karena
sistem yang dianut, tetapi karena faktor – faktor lain. Kalaupun Indonesia
takut menerapkan sistem fixed exchange rate, kita bisa melirik sistem
Bretton Wood, bukan karena kemunduran, karena memang situasi dan kondisi telah
banyak berubah. Dalam acara memperingati Bretton Wood ke 50 misalnya, selain
gelar khusus dalam seminar, juga banyak pemikiran baru yang dikembangkan untuk
tidak apriori melihat dan mengkaji kembali sistem nilai tukar.
Bahkan
kini banyak dikaji, standar emas sebagai konversi terhadap nilai mata uang.
Pemerintah bisa saja meninggalkan emas sebagai suatu standar dalam nilai tukar,
tetapi masyarakat, tidak akan meninggalkannya. Harga emas sudah seperti harga
saham yang selalu dipantau setiap saat oleh masyarakat sebagai alternatif indikasi nilai tukar.
Lebih dari itu masyarakat luas juga lebih mengetahui bahwa semua bank sentral
di dunia masih menggunakan emas sebagai cadangan moneternya.
Menelaah
kembali sistem fixed exchange rateversi Bretton Wood, sebenarnya dalam
pelaksanaan dapat dilakukan secara fleksibel sehingga sering disebut sebagai
adjustable peg system. Artinya, nilai tukar tetap, tidal dipatok secara kaku,
tetapi tetap ada fleksibelnya. Fleksibelitas tersebut dalam bentuk
diperbolehkan nilai par atau kurs yang ditetapkan untuk berfluktuasi sebesar
satu persen diatas atau dibawah nilai
per fleksibilitas dalam rentang fluktuasi sebesar satu persen sebagaimana
ditolerir dalam sistem Bretton Wood, hakikatnya bukan juga harga mati. Dengan
pertimbangan situasi dan kondisi masing – masing negara, sebenarnya rentang
fluktuasi tersebut bisa saja dikembangkan, misalnya menjadi lima persen.
Moneter
syariah menginginkan terwujudnya stabilitas nilai mata uang, agar terciptanya
kepastian, harga barang impor tidak naik, inflasi tidak melejit. APBN tidak
semakin defisit, pengusaha bisa membuat perhitungan ramalan (prediksi), suku bunga tidak naik, PHK tidak
merajalela sehingga full employment terwujud,
dan berbagai manfaat lainnya. Untuk mewujudkan stabilitas dan kembali kepada
kestabilan, maka permainan spekulasi harus dicegah dan kepercayaan pasar harus
diwujudkan secara optimal. Jadi, usaha
melarang bisnis valas – walaupun bertentangan dengan arus besar (mainstream)
dunia harus dilakukan . Arus besar itu adalah sistem kapitalis yang
membahayakan ekonomi negara berkembang yang cuaca politiknya belum stabil.
0 komentar:
Posting Komentar