Sebagai gejolak moneter belakangan ini melahirkan kesadaran akan perlu adanya redefenisi, reinterpretasi dan reposisi uang sebagaimana fungsi dan hakekatnya, sehingga kabijakan dan perilaku pasar yang berkait dengannya akan berbuah kemakmuran dan kemajuan ekonomi bukan sebaliknya berupa kesengsaraan dan krisis ekonomi akibat penjungkirbalikan paradigma dan visi tentang uang itu sendiri. Perdagangan valas yang cenderung mengarah kepada spekulasi yang memanfaatkan rumor-rumor politik untuk mengeruk keuntungan sempit sesaat yang dapat merugikan sendi-sendi perekonomian secara mekro menggambarkan sebuah distorsi terhadap paradigma tentang uang dan fungsi substansialnya.
Dalam
literatur ekonomi Islam, uang dibahas sebagai salah satu alat transaksi,
perantara untuk menilai barang dan jasa, dan ia tidak boleh memainkan peranan
sebagai barang.[1] Akibat
langsung dari penggunaan uang sebagai ukuran harga adalah kondisi dimana kuantitasnya
mempengaruhi berbagai transaksi. Hal ini sudah menjadi pokok bahasan dalam
litaratur ke-Islaman, baik yang kuno maupun yang modern. Ibnu Khaldun dalam
kitab Muqaddimah (2:240,274)
menegaskan bahwa dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah, kenaikan harga
atau penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan
permintaan barang. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya.
Menurutnya, kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang dinegara
tersebut tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca
pembayaran yang positif.
Menurut
Imam Ghozali (Ihya, 4:91-93) bahwa adanya uang sebagai ukuran nilai suatu
barang maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran. Uang diciptakan untuk
melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran
tersebut. Menurutnya uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi
dapat merefleksikan semua warna. Artinya uang tidak mempunyai harga, tetapi
merefleksikan harga semua barang dan jasa. Atau dalam istilah ekonomi klasik
dikatakan uang tidak memiliki kegunaan langsung. Hanya, bila uang itu digunakan
untuk membeli barang maka barang itu akan memberi kegunaan. Dalam teori ekonomi
neo-klasik dikatakan kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang
memberikan kegunaan tidak langsung.
Dalam
konsep Islam menurut Monzer Kahf (1979) bahwa permintaan uang terutama untuk
memenuhi kebutuhan transaksi, bukan untuk kegiatan yang bersifat spekulatif.[2] Uang
adalah milik masyarakat, oleh karena itu manusia dilarang untuk menimbun uang atau dibiarkan tidak
produktif, karena akan mengakibatkan berkurangnya jumlah uang beredar. Menurut
Islam, uang merupakan flow concept, maka
uang harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar
dalam perekonomian berarti akan semakin banyak transaksi yang terjadi, yang
pada gilirannya meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Secara singkat uang harus digunakan untuk transaksi-transaksi yang
menghasilkan barang dan jasa.
Islam tidak
mengenal konsep time value of money,
karena konsep ini melihat bahwa dengan berlalunya unsur waktu, uang akan
bertambah walaupun tanpa melakukan apa-apa terhadap uang tersebut.[3]
Pemilik uang akan memperoleh suku bunga karena selama penantiannya dalam jangka
waktu tertentu, uang yang dimiliki saat ini akan bertambah dibelakang hari.
Sebaliknya menurut Rahman (1995) Islam justru mengenal konsep money value of time, yaitu waktu
memiliki nilai uang atau nilai ekonomi.[4] Dengan
memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk bekerja dan berusaha akan menghasilkan
pendapatan yang dapat dinilai dengan uang. Dapat juga dijelaskan bahwa bila
waktu yang tersedia digunakan untuk memutarkan uang dalam kegiatan usaha dapat
memberikan tambahan uang yang dimiliki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
konsep yang terdahulu fokusnya ada pada penambahan nilai uang dengan berlalunya
waktu, sedangkan konsep yang terakhir penambahan uang dapat terjadi karena
waktu yang tersedia dipakai untuk memutar uang dengan berusaha.
Sebagaimana
dijelaskan di atas bahwa uang merupakan flow
concept, yaitu uang harus berputar dalam perekonomian untuk dimanfaatkan
dalam kegiatan produktif yang menghasilkan barang dan jasa.[5] Untuk
dapat memanfaatkan atau memutarkan uang untuk menghasilakan sesuatu, maka
diperlukan keahlian dalam memproduksi barang dan jasa. Masalahnya adalah tidak
semua orang memiliki keahlian dan waktu untuk memproduksi., karena
keterlibatannya dalam kegiatan sebagai pekerja yang memperoleh hasil dalam
bentuk/pendapatan yang dapat diukur dengan uang. Maka bagi pelaku ekonomi
seperti ini dapat mempercayakan uang yang dimilikinya kepada yang memiliki
keahlian dalam memproduksi sesuatu. Ada beberapa pilihan yang
dapat dilakukan orang tersebut:
Ber-musyawarah
atau mudharabah adalah dengan menempatkan uangnya (dana) pada orang yang
mempunyai keahlian produksi barang dan jasa (mudharib) untuk memperoleh bagi
hasil sesuai dengan nisbah bagi hasil yang diperjanjikan sebelumnya. Dengan
cara ini mudharib tidak menjanjikan sejumlah persentase tertentu dari uang yang
ditempatkan oleh pemilik dana, melainkan yang diperjanjikan adalah bila
mudharib memperoleh untung, pemilik dana akan memperoleh persentase tertentu
dari keuntungannya. Oleh karena itu pemilik dana menghadapi resiko usaha bila
mudharib mengalami kerugian, sehingga pemilik dana bisa jadi tidak mendapat
imbalan apa-apa atau bahkan kehilangan dana yang diputarkan oleh mudharib.
Bila
mereka tidak mau mengambil resiko berbagi hasil, maka pemilik dana dapat
meminjamkan dananya kepada orang yang memiliki keahlian yang berkewajiban
mengembalikan pinjaman tersebut tanpa imbalan apapun. Hal ini dikenal dengan qard yang merupakan prinsip pinjam meminjam dalam
Islam. Ditinjau secara mikro, qard tidak meberikan manfaat langsung kepada
pemilik dana. Namun ditinaju secara makro, qard merupakan tambahan uang beredar
yang digunakan untuk transaksi, yang pada gilirannya akan mengakibatkan
perputaran uang akan semakin cepat yang dapat memberikan sumbangan bagi
pendapatan nasional dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sehingga dengan
meningkatnya pendapatan nasional pemilik dana secara tidak langsung dapat
merasakan manfaat qard.
Ber-shadaqah
adalah dengan memberikan dananya kepada orang yang memerlukan, dimana pemakai
dana tidak berkewajiban mengembalikan dana tersebut. Dampaknya secara mikro
maupun makro sama dengan qard.
Dari paparan di
atas kembali ditegaskan bahwa menurut ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan
sebagai komoditas sebagaimana yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan
transaksi bisnis valuta asing. Menurut ekonomi syariah, transaksi valas hanya
dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan sektor riil, seperti membeli
barang untuk kebutuhan impor, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri, dan
sebagainya.
Jual beli
valas untuk kepentingan spekulasi, amat
dilarang dalam perspektif syariah. Jual beli valas untuk kepentingan spekulatif
menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian , antara lain menimbulkan
ketidakstabilan mata uang, sehingga menggusarkan para pengusaha dan masyarakat
umum, malah kegiatan jual beli valas
cendrung mendorong jatuhnya nilai mata uang rupiah dan selanjutnya
berakibat bagi terjadinya inflasi adalah realitas ekonomi yang tidak diinginkan
ekonomi syariah.
Dalam ekonomi syariah, segala bentuk transaksi maya dilarang. Bila
transaksi ini dibolehkan, maka pasar uang akan tumbuh jauh lebih cepat daripada
pertumbuhan pasar barang dan jasa. Pertumbuhan yang tidak seimbang akan menjadi
sumber krisis seperti yang terjadi sekarang ini. Transaksi mudharabah (
Trust financing / trust invesment ) dan musyarakah ( joint financing ) yang diterapkan Bank Syariah,
jelas mengaitkan sektor moneter dan
sektor riil. Demikian
pula transaksi jual beli murabahah (deferred payment sale), salam ( in – front payment sale ), istisna (
purchase by order or manufacture ), dan ijarah ( leasing ), semakin
tampak keterkaitan antara sektor moneter dan sektor riil.
Oleh
kerena itu pula, salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang (
ma’kud ‘alaih ). Dengan demikian, future trading dan margin
trading yang tidak diikuti dengan pengiriman barang adalah tidak sah,
sebagaimana yang banyak terjadi dalam bisnis spot komoditi saat ini. Jelaslah bahwa konsep ekonomi syariah menjaga keseimbangan sektor riil dan
sektor moneter. Begitu pula dengan perbankan syariah yang pertumbuhan
pembiayaan tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riil yang dibiayainya.
Jadi, Implementasi manajemen moneter dengan mekanisme ”bunga” di bawah
sistem moneter fiduciary (misalnya,
uang kertas) telah menyebabkan, tidak hanya inflasi tinggi, ketidakstabilan
nilai kurs, serangkaian kriminal bisnis sepanjang periode 1971-1990, tetapi
juga frustasi tidak tercapainya tujuan sosio ekonomi, pertumbuhan optimal,
kesempatan kerja penuh, distribusi yang merata dan stabilitas makro ekonomi. [6]
Ahli ekonomi Islam kontemporer ingin mencoba menganalisa secara mendalam
mengenai sifat, fungsi dan manajemen uang. Namun, pada umumnya mereka tidak
mengakui fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value). Misalnya,
Baqir Al Sadr menganggap fungsi uang sebagai penyimpan nilai adalah sumber
kekacauan. Sedangkan Umer Chapra berpendapat bahwa sebenarnya dalam Qur’an dan
Sunnah sendiri tidak ada keharusan menggunakan logam sebagai mata uang, namun
kita harus menggarisbawahi fenomena-fenomena yang tidak diinginkan seperti
tingkat inflasi yang tinggi, ketidakstabilan nilai mata uang yang terus
menyertai sistem moneter fiduciary sejak 1971 sampai sekarang. Chapra
berargumen bahwa sebenarnya kegagalan sistem moneter fiduciary berasal dari manajemen moneter yang berbasiskan bunga.[7]
Sebagaimana
disebut di atas, Indonesia adalah salah
satu contoh aktual negara muslim yang mengalami krisis ekonomi tersebut. Krisis moneter yang mulai terjadi
pada Juli 1997, ternyata masih dirasakan sampai saat ini. Pada saat itu,
nilai mata uang rupiah anjlok secara tajam. Tekanan terhadap rupiah yang dipicu
oleh kegiatan spekulasi yang dilakukan oleh spekulan asing yang berawal di
Thailand telah memperparah ekonomi Indonesia. Financial panic yang terjadi di Thailand merembet ke negara-negara lainnya termasuk Indonesia . Kepanikan tersebut ikut
juga di manfaatkan oleh para spekulan dalam negeri yang turut berkontribusi
memperburuk keadaan.
Krisis moneter di Indonesia ,
yang selanjutnya diiringi krisis ekonomi yang berkepanjangan, telah
memerosotkan pamor Indonesia
di mata dunia. Indonesia, yang sebelumnya diramalkan akan menjadi salah satu
macan Asia menyusul Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura, terpuruk
secara sangat drastis menjadi negara miskin yang disejajarkan dengan
Bangladesh. Gerak roda pembangunan yang digelindingkan sejak Orde Baru berkuasa
hancur lebur berantakan oleh krisis ekonomi yang menjadikan Indonesia seolah-olah negara yang
baru akan melaksanakan pembangunan setelah lepas dari penjajahan kolonial. Dengan musibah krisis ekonomi yang
menimpa Indonesia
ini sangat tepat ungkapan yang mengatakan bahwa membongkar barang memang sangat
mudah tetapi membangun kembali itu sangat sulit dan lama.
Banyak sudah
para pakar, teoritisi maupun praktisi, dalam dan luar negeri, yang mencoba
menjelaskan, memetakan, mengalisis dan menganatomi krisis ekonomi yang menimpa Indonesia .
Pada umumnya mereka memandang dari sudut ilmu ekonomi dan perbankan.
Selanjutnya
krisis semakin parah karena spekulasi utang swasta luar negeri yang sangat
besar dengan tempo jangka pendek, hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan
dalam sistem devisa bebas yang diterapkan di Indonesia. Krisis pun semakin
dalam dengan terungkapnya kebobrokan sistem perbankan nasional yang
memperlihatkan jati diri yang sebenarnya, yaitu berperilaku investasi yang
spekulatif, beroperasi seperti pegadaian, manajemen tradisional dan terus
beroperasi dengan browwing short dan lending long.
Akibat krisis moneter tersebut, adalah terjadinya inflasi secara luar
biasa. Harga-harga barang dan jasa naik, bukan karena hukum permintaan dan penawaran (supply and
demand), tapi karena suku bunga perbankan naik, tarjadinya depresiasi
rupiah atau bahkan karena faktor psikologis seperti yang diakui oleh paa
pedagang kecil yang tidak tahu menahu mengapa harga barang naik, akhirnya uga
harus ikut menaikkan harga barang
dagangannya bila tida ingin merugi.
Yang paling berat agaknya adalah
sektor properti. Karena suku bunga pinjaman naik, banyak proyek properti yang
terbengkalai. Terhenti di tengah jalan atau tidak lalu, lantaran pengusaha dan
konsumen tak mampu lagi meminjam uang ke bank dengan beban bunga yang cukup
tinggi.; Akhirnya ratusan ribu buruh dan karyawan sektor properti kehilangan pekerjaan. Ini jelas akan menambah
penganguran.
Sementara
itu, harga-harga kebutuhan pokok juga ikut merangkak naik Sektor otomotif juga
terpukul. Angka penjualan mobil juga terus menurun Bila bulan Agustus 1997 di awal krisis terjual 43.000 unit mobil dari berbagai
merek, maka pada bulan September hanya terjual 35.000 unit. Bulan-bulan
berikutnya permintaaan terus semakin menurun. Apalagi pengusaha otomotif dengan
terpaksa harus menaikkan harga mobil sekitar 10 %, suatu langkah yang sulit
dihindari, karena ongkos produksi dan biaya penyediaan komponen impor terus
melonjak seiring meningkatnya nilai dollar.
0 komentar:
Posting Komentar