Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

Uang bukan komoditas


Sebagai gejolak moneter belakangan ini melahirkan kesadaran akan perlu adanya redefenisi, reinterpretasi dan reposisi uang sebagaimana fungsi dan hakekatnya, sehingga kabijakan dan perilaku pasar yang berkait dengannya akan berbuah kemakmuran dan kemajuan ekonomi bukan sebaliknya berupa kesengsaraan dan krisis ekonomi akibat penjungkirbalikan paradigma dan visi tentang uang itu sendiri. Perdagangan valas yang cenderung mengarah kepada spekulasi yang memanfaatkan rumor-rumor politik untuk mengeruk keuntungan sempit sesaat yang dapat merugikan sendi-sendi perekonomian secara mekro menggambarkan sebuah distorsi terhadap paradigma tentang uang dan fungsi substansialnya.

Dalam literatur ekonomi Islam, uang dibahas sebagai salah satu alat transaksi, perantara untuk menilai barang dan jasa, dan ia tidak boleh memainkan peranan sebagai barang.[1] Akibat langsung dari penggunaan uang sebagai ukuran harga adalah kondisi dimana kuantitasnya mempengaruhi berbagai transaksi. Hal ini sudah menjadi pokok bahasan dalam litaratur ke-Islaman, baik yang kuno maupun yang modern. Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah (2:240,274) menegaskan bahwa dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah, kenaikan harga atau penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan barang. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya. Menurutnya, kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang dinegara tersebut tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif.
Menurut Imam Ghozali (Ihya, 4:91-93) bahwa adanya uang sebagai ukuran nilai suatu barang maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurutnya uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Artinya uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang dan jasa. Atau dalam istilah ekonomi klasik dikatakan uang tidak memiliki kegunaan langsung. Hanya, bila uang itu digunakan untuk membeli barang maka barang itu akan memberi kegunaan. Dalam teori ekonomi neo-klasik dikatakan kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang memberikan kegunaan tidak langsung.
Dalam konsep Islam menurut Monzer Kahf (1979) bahwa permintaan uang terutama untuk memenuhi kebutuhan transaksi, bukan untuk kegiatan yang bersifat spekulatif.[2] Uang adalah milik masyarakat, oleh karena itu manusia dilarang  untuk menimbun uang atau dibiarkan tidak produktif, karena akan mengakibatkan berkurangnya jumlah uang beredar. Menurut Islam, uang merupakan flow concept, maka uang harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian berarti akan semakin banyak transaksi yang terjadi, yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Secara singkat uang harus digunakan untuk transaksi-transaksi yang menghasilkan barang dan jasa.
Islam tidak mengenal konsep time value of money, karena konsep ini melihat bahwa dengan berlalunya unsur waktu, uang akan bertambah walaupun tanpa melakukan apa-apa terhadap uang tersebut.[3] Pemilik uang akan memperoleh suku bunga karena selama penantiannya dalam jangka waktu tertentu, uang yang dimiliki saat ini akan bertambah dibelakang hari. Sebaliknya menurut Rahman (1995) Islam justru mengenal konsep money value of time, yaitu waktu memiliki nilai uang atau nilai ekonomi.[4] Dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk bekerja dan berusaha akan menghasilkan pendapatan yang dapat dinilai dengan uang. Dapat juga dijelaskan bahwa bila waktu yang tersedia digunakan untuk memutarkan uang dalam kegiatan usaha dapat memberikan tambahan uang yang dimiliki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada konsep yang terdahulu fokusnya ada pada penambahan nilai uang dengan berlalunya waktu, sedangkan konsep yang terakhir penambahan uang dapat terjadi karena waktu yang tersedia dipakai untuk memutar uang dengan berusaha.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa uang merupakan flow concept, yaitu uang harus berputar dalam perekonomian untuk dimanfaatkan dalam kegiatan produktif yang         menghasilkan barang dan jasa.[5] Untuk dapat memanfaatkan atau memutarkan uang untuk menghasilakan sesuatu, maka diperlukan keahlian dalam memproduksi barang dan jasa. Masalahnya adalah tidak semua orang memiliki keahlian dan waktu untuk memproduksi., karena keterlibatannya dalam kegiatan sebagai pekerja yang memperoleh hasil dalam bentuk/pendapatan yang dapat diukur dengan uang. Maka bagi pelaku ekonomi seperti ini dapat mempercayakan uang yang dimilikinya kepada yang memiliki keahlian dalam memproduksi sesuatu. Ada beberapa pilihan yang dapat dilakukan orang tersebut:
Ber-musyawarah atau mudharabah adalah dengan menempatkan uangnya (dana) pada orang yang mempunyai keahlian produksi barang dan jasa (mudharib) untuk memperoleh bagi hasil sesuai dengan nisbah bagi hasil yang diperjanjikan sebelumnya. Dengan cara ini mudharib tidak menjanjikan sejumlah persentase tertentu dari uang yang ditempatkan oleh pemilik dana, melainkan yang diperjanjikan adalah bila mudharib memperoleh untung, pemilik dana akan memperoleh persentase tertentu dari keuntungannya. Oleh karena itu pemilik dana menghadapi resiko usaha bila mudharib mengalami kerugian, sehingga pemilik dana bisa jadi tidak mendapat imbalan apa-apa atau bahkan kehilangan dana yang diputarkan oleh mudharib.
            Bila mereka tidak mau mengambil resiko berbagi hasil, maka pemilik dana dapat meminjamkan dananya kepada orang yang memiliki keahlian yang berkewajiban mengembalikan pinjaman tersebut tanpa imbalan apapun. Hal ini dikenal dengan qard yang merupakan prinsip pinjam meminjam dalam Islam. Ditinjau secara mikro, qard tidak meberikan manfaat langsung kepada pemilik dana. Namun ditinaju secara makro, qard merupakan tambahan uang beredar yang digunakan untuk transaksi, yang pada gilirannya akan mengakibatkan perputaran uang akan semakin cepat yang dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan nasional dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sehingga dengan meningkatnya pendapatan nasional pemilik dana secara tidak langsung dapat merasakan manfaat qard.
Ber-shadaqah adalah dengan memberikan dananya kepada orang yang memerlukan, dimana pemakai dana tidak berkewajiban mengembalikan dana tersebut. Dampaknya secara mikro maupun makro sama dengan qard.

Dari paparan di atas kembali ditegaskan bahwa menurut ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan sebagai komoditas sebagaimana yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan transaksi bisnis valuta asing. Menurut ekonomi syariah, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan sektor riil, seperti membeli barang untuk kebutuhan impor, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri, dan sebagainya.
Jual beli valas  untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam perspektif syariah. Jual beli valas untuk kepentingan spekulatif menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian , antara lain menimbulkan ketidakstabilan mata uang, sehingga menggusarkan para pengusaha dan masyarakat umum, malah kegiatan jual beli valas  cendrung mendorong jatuhnya nilai mata uang rupiah dan selanjutnya berakibat bagi terjadinya inflasi adalah realitas ekonomi yang tidak diinginkan ekonomi syariah.

Dalam ekonomi syariah, segala bentuk transaksi maya dilarang. Bila transaksi ini dibolehkan, maka pasar uang akan tumbuh jauh lebih cepat daripada pertumbuhan pasar barang dan jasa. Pertumbuhan yang tidak seimbang akan menjadi sumber krisis seperti yang terjadi sekarang ini. Transaksi mudharabah ( Trust financing / trust invesment ) dan musyarakah ( joint  financing ) yang diterapkan Bank Syariah, jelas mengaitkan sektor moneter  dan sektor riil. Demikian pula transaksi jual beli murabahah (deferred payment sale), salam  ( in – front payment sale ), istisna ( purchase by order or manufacture ), dan ijarah ( leasing ), semakin tampak keterkaitan antara sektor moneter dan sektor riil.
Oleh kerena itu pula, salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang ( ma’kud ‘alaih ). Dengan demikian, future trading dan margin trading yang tidak diikuti dengan pengiriman barang adalah tidak sah, sebagaimana yang banyak terjadi dalam bisnis spot komoditi saat ini. Jelaslah bahwa konsep ekonomi syariah menjaga keseimbangan sektor riil dan sektor moneter. Begitu pula dengan perbankan syariah yang pertumbuhan pembiayaan tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riil yang dibiayainya.
Jadi, Implementasi manajemen moneter dengan mekanisme ”bunga” di bawah sistem moneter fiduciary (misalnya, uang kertas) telah menyebabkan, tidak hanya inflasi tinggi, ketidakstabilan nilai kurs, serangkaian kriminal bisnis sepanjang periode 1971-1990, tetapi juga frustasi tidak tercapainya tujuan sosio ekonomi, pertumbuhan optimal, kesempatan kerja penuh, distribusi yang merata dan stabilitas makro ekonomi. [6]
Ahli ekonomi Islam kontemporer ingin mencoba menganalisa secara mendalam mengenai sifat, fungsi dan manajemen uang. Namun, pada umumnya mereka tidak mengakui fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value). Misalnya, Baqir Al Sadr menganggap fungsi uang sebagai penyimpan nilai adalah sumber kekacauan. Sedangkan Umer Chapra berpendapat bahwa sebenarnya dalam Qur’an dan Sunnah sendiri tidak ada keharusan menggunakan logam sebagai mata uang, namun kita harus menggarisbawahi fenomena-fenomena yang tidak diinginkan seperti tingkat inflasi yang tinggi, ketidakstabilan nilai mata uang yang terus menyertai sistem moneter fiduciary sejak 1971 sampai sekarang. Chapra berargumen bahwa sebenarnya kegagalan sistem moneter fiduciary berasal dari manajemen moneter yang berbasiskan bunga.[7]
Sebagaimana disebut di atas, Indonesia  adalah salah satu contoh aktual negara muslim yang mengalami krisis ekonomi  tersebut. Krisis moneter yang mulai terjadi pada Juli 1997, ternyata masih dirasakan sampai saat ini. Pada saat itu, nilai mata uang rupiah anjlok secara tajam. Tekanan terhadap rupiah yang dipicu oleh kegiatan spekulasi yang dilakukan oleh spekulan asing yang berawal di Thailand telah memperparah ekonomi Indonesia. Financial panic yang terjadi di Thailand merembet ke negara-negara lainnya  termasuk Indonesia. Kepanikan tersebut ikut juga di manfaatkan oleh para spekulan dalam negeri yang turut berkontribusi memperburuk keadaan.
Krisis moneter di Indonesia, yang selanjutnya diiringi krisis ekonomi yang berkepanjangan, telah memerosotkan pamor Indonesia di mata dunia. Indonesia, yang sebelumnya diramalkan akan menjadi salah satu macan Asia menyusul Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura, terpuruk secara sangat drastis menjadi negara miskin yang disejajarkan dengan Bangladesh. Gerak roda pembangunan yang digelindingkan sejak Orde Baru berkuasa hancur lebur berantakan oleh krisis ekonomi yang menjadikan Indonesia seolah-olah negara yang baru akan melaksanakan pembangunan setelah lepas dari penjajahan  kolonial. Dengan musibah krisis ekonomi yang menimpa Indonesia ini sangat tepat ungkapan yang mengatakan bahwa membongkar barang memang sangat mudah tetapi membangun kembali itu sangat sulit dan lama.
Banyak sudah para pakar, teoritisi maupun praktisi, dalam dan luar negeri, yang mencoba menjelaskan, memetakan, mengalisis dan menganatomi krisis ekonomi yang menimpa Indonesia. Pada umumnya mereka memandang dari sudut ilmu ekonomi dan  perbankan.
Selanjutnya krisis semakin parah karena spekulasi utang swasta luar negeri yang sangat besar dengan tempo jangka pendek, hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan dalam sistem devisa bebas yang diterapkan di Indonesia. Krisis pun semakin dalam dengan terungkapnya kebobrokan sistem perbankan nasional yang memperlihatkan jati diri yang sebenarnya, yaitu berperilaku investasi yang spekulatif, beroperasi seperti pegadaian, manajemen tradisional dan terus beroperasi dengan browwing short dan lending long.
Akibat krisis moneter tersebut, adalah terjadinya inflasi secara luar biasa. Harga-harga barang dan jasa naik, bukan karena  hukum permintaan dan penawaran (supply and demand), tapi karena suku bunga perbankan naik, tarjadinya depresiasi rupiah atau bahkan karena faktor psikologis seperti yang diakui oleh paa pedagang kecil yang tidak tahu menahu mengapa harga barang naik, akhirnya uga harus ikut menaikkan  harga barang dagangannya bila tida ingin merugi.
Yang  paling berat agaknya adalah sektor properti. Karena suku bunga pinjaman naik, banyak proyek properti yang terbengkalai. Terhenti di tengah jalan atau tidak lalu, lantaran pengusaha dan konsumen tak mampu lagi meminjam uang ke bank dengan beban bunga yang cukup tinggi.; Akhirnya ratusan ribu buruh dan karyawan sektor properti  kehilangan pekerjaan. Ini jelas akan menambah penganguran.
Sementara itu, harga-harga kebutuhan pokok juga ikut merangkak naik Sektor otomotif juga terpukul. Angka penjualan mobil juga terus menurun Bila bulan Agustus 1997  di awal krisis  terjual 43.000 unit mobil dari berbagai merek, maka pada bulan September hanya terjual 35.000 unit. Bulan-bulan berikutnya permintaaan terus semakin menurun. Apalagi pengusaha otomotif dengan terpaksa harus menaikkan harga mobil sekitar 10 %, suatu langkah yang sulit dihindari, karena ongkos produksi dan biaya penyediaan komponen impor terus melonjak seiring meningkatnya nilai dollar.

0 komentar:

Posting Komentar