Pengertian Pajak
Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak
langsung dari pemerintah pusat yang
dipungut pada seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berda di
wilayah Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir
tahun atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam
undang-undang diantaranya adalah
- Undang-undang
nomor: 7 tahun 1991tentangperubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983
tentang pajak penghasilan
- Undang-undang
nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang
pribadi yang bertolak keluar negri
- UUD 1945 pasal23
ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
- UU No. 6 Tahun
1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
- UU No. 7 Tahun
1983 ttg PPh jo. UU No. 10/1994
- UU No. 8 Tahun
1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
- UU No. 12 Tahun
1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
- UU No. 13 Tahun
1985 ttg Bea Materai
- UU No. 21 Tahun
1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
Dalam Undang-Unadang Pajak
Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek PPh, namun
secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh
menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh yaitu:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi
sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan
Komanditer, perseroan lainya, BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk
apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan atau
organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk Badan Usaha lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang
pribadi yang tidak beretempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di
Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang
tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
3.1 Perlakuan PPh atas pengalihan tanah.
Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2). “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
UU No. 10/1994 tersebut
merupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983. Dalam UU
No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito
berjangka dan tabungan lainnya. Kemudian di dalam perubahan UU yang dituangkan
dalam UU No.10/1994, cakupan Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga mencakup juga
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta
penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-penghasilan
yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada
kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final. Pengenaan
pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut
diatur dengan peraturan pemerintah.
Perlakuan pajak atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah mengalami
perubahan sejak diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP
79/1999, khususnya yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orang
pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh final
sebesar 5% dari jumlah bruto. Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua
orang pribadi, tanpa membedakan apakah orang yang bersangkutan mempunyai
kegiatan usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perlakuan PPh ini kemudian
diubah dengan PP 27/1996 yang membedakan antara orang pribadi yang usaha
pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang
pribadi selain yang mempunyai usaha tersebut.
Berdasarkan PP 27/1996
pengenaan PPh final diterapkan terhadap:
1. orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan
2. orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas
PTKP, yang melakukan pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp60 juta.
PP 27/1996 tidak secara
jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila dilakukan
oleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai
pengalihannya melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP
dimaksud maka perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua kelompok wajib
pajak sebagaimana disebutkan di atas.
Dengan
demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan
menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan dari pengalihan
tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama dengan
ketentuan dari PP 79/1999. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha
pokoknya bukan jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan memperoleh perlakuan
yang kurang adil bila dibandingkan dengan orang pribadi yang mempunyai usaha
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final
berarti bahwa PPh yang disetor sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakan
pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang terutang dalam tahun yang
bersangkutan.
Kesulitan akan timbul
dalam menghitung keuntungan dari pengalihan tersebut, terutama untuk harta yang
telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan
ketidakadilan dari segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk harta yang
sudah dimiliki dalam kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauh
lebih rendah dari harga peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang lebih
tinggi. Faktor penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak
menerapkan indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan harga perolehan dari
harta tetap untuk keperluan perpajakan.
Di samping
itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha cenderung untuk
tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit untuk mentrasir
kembali harga perolehan dari harta dimaksud termasuk dokumen pendukungnya.
Sebaliknya wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha jual beli tanah dan
bangunan diterapkan pengenaan pajak yang bersifat final, padahal wajib pajak
kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan, sehingga harga
perolehannya seharusnya dapat diketahui.
PP 27/1996 kemudian diubah
dengan PP 79/1999 yang sepanjang menyangkut orang pribadi, memberi penegasan
bahwa wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak
atas tanah dan/atau bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak
tetapi tidak final.
3.2 Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat
terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh
mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto
dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan,
termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang
diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya
pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya
lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada dana
pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian karena
penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan pengembangan
perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan,
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat
tertentu;
Rincian dari biaya-biaya
yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut
"kerugian" adalah: kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs
mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapat
dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang
dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui mekanisme
yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur
dua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut dijual atau dialihkan dan
penarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka
penarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila
harta tersebut adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa
bukunya dibebankan sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka
jumlah penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan.
Bagaimana perlakuannya
terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalam
usaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UU
ini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya
pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas
dasar pemikiran yang demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang
disebabkan oleh bencana alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya.
Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan,
seharusnya wajib pajak dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah
menghitung besarnya kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang
tersebut.
UU PPh mengatur tentang
penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal itu
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis
barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi,
bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk
keperluan penghitungan harga pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengan
cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugian
yang diderita karena bencana cara yang sama juga sebaiknya diperbolehkan.
Penerapan cara penilaian barang yang sama terhadap kerugian karena rusaknya
persediaan barang akan memberikan perlakuan yang seimbang dan netral. Apabila
ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi kesempatan mengklaim
kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-dokumen yang
harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana.
Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena
terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk:
penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25);
kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat
dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila
diperlukan).
0 komentar:
Posting Komentar