Bahwasannya
konstitusi atau Undang-Undang Dasar dianggap memegang peranan yang penting bagi
kehidupan suatu negara, terbukti dari kenyataan sejarah ketika Pemerintah
Militer Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Rakyat Indonesia . Sesuai janji Perdana
Menteri Koiso yang diucapkan pada tanggal 7 September 1944, maka dibentuklah
badan yang bernama Dokuritsu Zyunbi Choosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) pada tanggal 29 Arpil 1945 yang
diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat dan Ketua Muda R.P. Soeroso, yang
tugasnya menyusun Dasar Indonesia Merdeka (Undang-Undang Dasar). Niat
Pemerintah Militer Jepang tersebut dilatarbelakangi kekalahan balatentara
Jepang di berbagai front, sehingga akhir Perang Asia Timur Raya sudah berada di
ambang pintu. Janji Jenderal
Mc Arthur “I shall return” ketika meninggalkan Filipina (1942) rupanya
akan menjadi kenyataan.
Para anggota BPUPKI yang dilantik pada tanggal 28
Mei 1945 bersidang dalam dua tahap: pertama, dari tanggal 29 Mei
sampai dengan 1 Juni 1945 untuk menetapkan dasar negara dan berhasil
merumuskan Pancasila yang didasarkan pada pidato anggota Soekarno pada 1
Juni 1945, kedua, dari tanggal 10 sampai dengan 17 Juli 1945 yang
berhasil membuat Undang-Undang Dasar (Harun Al Rasid, 2002). Pada akhir
sidang pertama, ketua sidang membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 8 orang
dan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang disebut Panitia Delapan. Pada tanggal 22
Juni 1945 diadakan pertemuan antara gabungan paham kebangsaan dan golongan
agama yang mempersoalkan hubungan antara agama dengan negara. Dalam rapat
tersebut dibentuk Panitia Sembilan, terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. A. Subardjo, Mr. A. A. Maramis, Ir. Soekarno, KH. Abdul
Kahar Moezakir, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, dan
Mr. Muh. Yamin. Panitia Sembilan
berhasil membuat rancangan Preambule Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muh. Yamin
disebut dengan istilah Piagam Jakarta.
Pada
tanggal 14 Juli 1945 pada sidang kedua BPUPKI, setelah melalui perdebatan dan
perubahan, teks Pernyataan Indonesia Merdeka dan teks Pembukaan UUD 1945
diterima oleh sidang. Teks Pernyataan Indonesia Merdeka dan teks Pembukaan UUD
1945 adalah hasil kerja Panitia Perancang UUD yang diketuai oleh Prof. Soepomo.
Setelah selesai melaksanakan tugasnya, BPUPKI melaporkan hasilnya kepada
Pemerintah Militer Jepang disertai usulan dibentuknya suatu badan baru yakni Dokutsu
Zyunbi Linkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI), yang bertugas
mengatur pemindahan kekuasaan (transfer of authority) dari Pemerintah
Jepang kepada Pemerintah Indonesia. Atas
usulan tersebut maka dibentuklah PPKI dengan jumlah anggota 21 orang
yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan Wakil Ketuanya Drs. Moh. Hatta. Anggota
PPKI kemudian ditambah 6 orang. tetapi lebih kecil daripada jumlah anggota
BPUPKI, yaitu 69 orang. Menurut rencana, Jepang akan memberikan kemerdekaan
kepada Rakyat Indonesia
pada tanggal 24 Agustus 1945. Namun terdapat rakhmat Allah yang tersembunyi (blessing
in disguise) karena, sepuluh hari sebelum tibanya Hari-H tersebut, Jepang
menyatakan kapitulasi kepada Sekutu tanpa syarat undconditional surrender).
Dalam
tiga hari yang menentukan, yaitu pada tanggal 14, 15, dan 16 Agustus 1945
menjelang Hari Proklamasi, timbul konflik antara Soekarno-Hatta dengan kelompok
pemuda dalam masalah pengambilan keputusan, yaitu mengenai cara bagaimana (how) dan
kapan (when) kemerdekaan itu akan diumumkan. Soekarno-Hatta masih ingin berembuk dulu dengan
Pemerintah Jepang sedangkan kelompok pemuda ingin mandiri dan lepas sama sekali
dari campur tangan Pemerintah Jepang.
Pada hari Kamis pagi, tanggal 16 Agustus 1945,
Soekarno-Hatta dibawa (diculik) oleh para pemuda ke Rengasdengklok, namun pada
malam harinya dibawa kembali ke Jakarta lalu mengadakan rapat di rumah
Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Pada malam itulah dicapai
kata sepakat bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan di Jalan Pegangsaan
Timur 56, yaitu rumah kediaman Bung Karno, pada hari Jum’at 17 Agustus 1945 (9
Ramadhan 1364), pukul 10.00 WIB.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 petang hari datanglah
utusan dari Indonesia bagian Timur yang menghadap Drs. Moh. Hatta dan
menyatakan bahwa rakyat di daerah itu sangat berkeberatan pada bagian kalimat
dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “Ke-Tuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam
menghadapi masalah tersebut dengan disertai semangat persatuan, keesokan
harinya menjelang sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dapat diselesaikan oleh
Drs. Moh. Hatta bersama 4 anggota PPKI, yaitu K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus
Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan. Dengan demikian tujuh
kata dalam pembukaan UUD 1945 tersebut dihilangkan.
Untuk
lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut: bahwa badan yang merancang UUD
1945 termasuk di dalamnya rancangan dasar negara Pancasila adalah BPUPKI yang
dibentuk pada tanggal 29 April 1945. Setelah selesai melaksanakan tugasnya
yaitu merancang UUD 1945 berikut rancangan dasar negara, dan rancangan
pernyataan Indonesia merdeka, maka dibentuklah PPPKI pada tanggal 7 Agustus
1945.
Pada era Orde Baru, pembangunan hanya
mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi,
dan sosial yang demokratis dan berkeadilan. Meskipun berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, namun secara fundamental pembangunan nasional sangat
rapuh.
Di bidang politik, pemerintah Orde
Baru memiliki cara tersendiri untuk menciptakan stabilitas yang diinginkan,
salah satunya dengan menjadikan Golkar sebagai mesin politik. Di dalam tubuh
Golkar terdapat tiga jalur yang menjadi tumpuan kekuatannya, yaitu ABRI,
birokrat, dan Golkar (jalur ABG). Keberadaan Golkar yang sebenarnya diperlukan
sabagai sarana dan arena penyaluran aspirasi rakyat, ternyata dijadikan sebagai
alat kekuasaan atau alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Sistem
perwakilan pun bersifat semu, bahkan hanya dijadikan sarana untuk melanggengkan
sebuah kekuasaan seecra sepihak. Otoritarianisme merambah segenap aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk kehidupan politik,
banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR tidak mengenal rakyat dan daerah yang
diwakilinya karena demokratisasi yang dibangun melalui KKN.
Ketidakberesan juga dapat dilihat dari
konsep Dwifungsi ABRI yang telah berkembang menjadi kekaryaan. Peran kekaryaan
ABRI semakin masuk kedalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,
bahakan dunia bisnis pun tak lepas dari intervensi TNI/POLRI. Segala produk
kebijkan ekonomi dan politik selama Orde Baru teramat birokratis, tidak
demokratis, dan cenderung KKN. Kondisi kian diperparah oleh upaya penegakan
hukum yang sangat lemah.
Kondisi sosial-politik tersebut semakin
diperburuk oleh krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan Juli
1997. Di pasaran mata uang dunia nilai rupiah terus merosot terhadap dollar
Amerika. Krisis moneter memicu terjadinya kemerosotan ekonomi secara meluas.
Perbankan nasional terpuruk dan banyak bank beku operasi (BBO). Dunia usaha
tidak berkutik dan banyak yang gulung tikar. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
terjadi di banyak tempat. Haraga sembako yang menjadi kebutuhan masyarakat
sehari-hari melambung tinggi, bahkan sempat terjadi kelangkaan.
Berawal dari gerakan moral, aksi
bergeser memasuki ranah politik, yaitu menuntut Soeharto mundur dari jabatan
presiden. Semua ini merupakan puncak kekecewaan rakyat atas krisis yang melanda
Indonesia. Aksi mahasiswa di sejumlah kota besar semakin berani dengan turun ke
jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 petang, aksi mereka menimbulkan bentrok dengan
pihak aparat keamanan hingga terjadi peristiwa tragis yaitu tragedi Trisakti.
Dalam peristiwa itu, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas setelah bentrok
dengan petugas yang berusaha membubarkan mimbar bebas dan aksi duduk di Jalan
S. Parman, Grogol, Jakarta Barat dan puluhan orang lainnya luka parah. Keempat
mahasiswa yang terbunuh adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan
Sie, dan Hafidhin Royan.
Akibat peristiwa Trisakti dan
kerusuhan massal pada tanggal 13-14 Mei 1998, muncul tuntutan rakyat agar MPR
segera mengadakan sidang istimewa dengan meminta pertanggungjawaban presiden
atau pengunduran diri secara konstitusional. Para mahasiswa semakin gencar
melakukan aksi menuntut diadakan reformasi menyeluruh termasuk penggantian
kepemimpinan nasional. Mereka mengarahkan perhatian utama kepada wakil-wakil
rakyat di DPR/MPR RI dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran di gedung DPR/MPR
RI.
Menanggapi hal tersebut Presiden
Soeharto berupaya membentuk komite reformasi, perubahan kabinet, tetapi tidak
mendapat tanggapan positif dari mahasiswa dan kelompok kritis. Oleh karena itu,
pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.05 pagi, di Istana Merdeka Jakarta, Presiden
menyatakan berhenti, setelah 32 tahun, 7 bulan, dan 3 minggu masa kekuasaannya
sebagai Presiden Republik Indonesia.
Selesai Presiden Soeharto mengumumkan
pernyataan berhenti, B. J. Habibie mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden
RI. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan dan menghindari kekosongan pimpinan
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, maka B. J. Habibie , mengucapkan
sumpah jabatan Presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.
Gerakan reformasi belum selesai, para
pengunjuk rasa tetap menuntut diadakannya reformasi secara menyeluruh serta
memberantas praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Untuk itu Presiden B. J. Habibie menyatakan akan
mengadakan pemilu yang dipercepat, selambat-lambatnya pertengahan tahun 1999
(Sekretariat, 2001:26).
Pada era Presiden Habibie, Timor Timur
yang menjadi provinsi ke-27 lepas dari NKRI. Terlepasnya Timor Timur menjadi
faktor utama penolakan MPR atas pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie pada
bulan Oktober 1999, B. J. Habibie akhirnya mengundurkan diri dari bursa calon
presiden.
0 komentar:
Posting Komentar