WALI SONGO - MISTERI
ISLAMISASI JAWA
Sebelum
saya sampaikan tanggapan dan komentar saya terhadap buku berjudul "Syekh
Siti Jenar, Ajaran dan Jalan Kematian", karya Dr Abdul Munir Mulkhan, saya
sampaikan dulu mengapa saya bersedia ikut menjadi pembahas buku tersebut. Tentu
saja saya mengucapkan terima kasih kepada panitia atas kepercayaan yang
diberikan kepada saya di dalam acara launching buku yang katanya sangat laris
ini.
Saya
masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih Jurusan Manajemen Hutan.
Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah lulus mengajar Perencanaan
dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta
tahun 1978, orientasi sistem pengelolaan hutan mengalami perubahan secara
fundamental. Kehutanan tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik
kehutanan konvensional, melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi
masyarakat. Sebagai dosen di bidang itu saya lalu banyak mempelajari hubungan
hutan dengan masyarakat mulai jaman kuno dulu. Di situ saya banyak berkenalan
dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam mempelajari sejarah hutan di
Jawa, banyak masalah sosiologi dan antropologi yang amat menarik.
Kehutanan
di Jawa telah menyajikan sejarah yang amat panjang dan menarik untuk menjadi
acuan pengembangan strategi kehutanan sosial (social forestry strategy) yang
sekarang sedang dan masih dicari oleh para ilmuwan. Belajar sejarah kehutanan
Jawa tidak dapat melepaskan diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari
sejarah Belanda itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku
dan Sunan Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya
dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang buku
tersebut masih tersimpan rapi di Leiden ,
diberi nama "Het Book van Mbonang", yang menjadi sumber acuan bagi
para peneliti sosiologi dan antropologi.
Buku
serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia . Kolektor buku serupa
juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia . Jadi seandainya tidak
ada "Het Book van Mbonang", kita tidak mengenal sama sekali sejarah
abad ke-16 yang dilandasi dengan data obyektif Kenyataan sampai kita tidak
memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijogo, dan
juga tentang Syekh Siti Jenar.
Oleh
karena itu yang berkembang lalu kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk
misteri Syekh Siti Jenar yang hari ini akan kita bicarakan. Kisah Walisongo
yang penuh dengan mistik dan takhayul itu amat ironis, karena kisah tentang awal
perkembangan Islam di Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti
kemusyrikan.
Pembawa
risalah Islam, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang lahir 9 abad sebelum
era Wallsongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di Tha'if,
beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang Uhud. Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika
diserang pasukan Majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak
itu dengan melemparkan sebuah bollpoint ke pasukan Majapahit. Begitu dilemparkan
bollpoint tersebut segera berubah menjadi keris sakti, lalu berputar-putar
menyerang pasukan Majapahit dan bubar serta kalahlah mereka. Keris itu kemudian
diberi nama Keris Kolomunyeng, yang oleh Kyai Langitan diberikan kepada
Presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi Sidang
Istimewa MPR yang sekarang sedang digelar, dan temyata tidak ampuh.
Kisah
Sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang
masjid dari tatal dan sebagai penjual rumput di Semarang yang diambil dari Gunung Jabalkat.
Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi; salah seorang pembantunya mampu melihat
Masjidil Haram dari Surabaya
untuk menentukan arah kiblat. Pembuat ceritera ini jelas belum tahu kalau bumi
berbentuk bulat sehingga permukaan bumi ini melengkung. Oleh karena itu tidak
mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya .
Islam
juga mengajarkan bahwa Nabi lbrahim ‘Alaihi Sallam, yang hidup sekitar 45 abad
sebelum era Walisongo, yang lahir dari keluarga pembuat dan penyembah berhala,
sepanjang hidupnya berdakwah untuk anti berhala.
Ini
menunjukakan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan jaman dibanding
dengan kisah yang dialami oleh orang-orang yang menjadi panutannya, pada hal
selisih waktu hidup mereka sangat jauh.
"Het
Book van Mbonang" yang telah melahirkan dua orang doktor dan belasan
master bangsa Belanda itu memberi petunjuk kepada saya, pentingnya menulis
sejarah berdasarkan fakta yang obyektif "Het Book van Bonang" tidak
menghasilkan kisah Keris Kolomunyeng, kisah cagak dan tatal, kisah orang
berubah menjadi cacing, dan sebagainya.
Itulah
ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari sejarah Islam di
Indonesia. Saya tertarik untuk ikut menulis tentang Syekh Siti Jenar dan
Walisongo. Tulisan saya belum selesai, tapi niat saya untuk terlibat adalah
untuk membersihkan sejarah Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurafat
dan kemusyrikan. Itulah sebabnya saya terima tawaran panitia untuk ikut
membahas buku Syekh Siti Jenar karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin
ikut mengajak masyarakat untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki
dunia ilmu.
Dunia
mitos tidak saja bertentangan dengan akidah Islamiyah, tetapi juga sudah
ketinggalan jaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan. Secara
umum dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau
setidak-tidaknya awal abad ke-20. Apakah kita justru ingin kembali ke belakang?
Kalau kita masih berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan
menghasilkan pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan
sesuatu.
Siapa
Syekh Siti Jenar ? Kalau seseorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha
untuk mengenal jatidiri penulis tersebut, mininal bidang keilmuannya. Oleh
karena itu isi buku dapat dijadikan tolok ukur tentang kadar keilmuan dan
identitas penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwama kuning, penulisnya juga
berwama kuning. Sedikit sekali terjadi seorang yang berfaham atheis dapat
menulis buku yang bersifat relijius karena dua hal itu sangat bertentangan.
Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi, karena
antara pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi tidak mustahil kalau
Isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya. Buku
tentang Bertemak Kambing Ettawa menerangkan seluk-beluk binatang tersebut,
manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan
kambing Ettawa.
Judul
buku karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini adalah: "Ajaran dan Jalan Kematian
Syekh Siti Jenar. Pembaca tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi
tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaiamana dia mati.
Penulis buku juga setia dengan ketentuan seperti itu.
Bertitik-tolak
dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai dengan 6 Bab Satu tidak relevan. Bab
Satu diberi judul: Melongok Jalan Sufi: Humanisasi Islam Bagi Semua. Mungkin
penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini,
tetapi apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6
itu banyak pemyataan (statements) yang mencengangkan saya sebagai seorang
muslim.
Pernyataan
di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau
dari orang lain. Pemyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya; oleh karena
itu peryataan yang tidak ada sumbemya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan
dari penulis. Peryataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak dan
pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan
pendapatnya. Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan
yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan
yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan
sistematika pernyataan musti disusun menurut logika keilmuan yang dapat
diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk
mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului
dengan uraian tentang asal-usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr
Abdul Munir Mulkhan (Paragraf I Bab Satu, halaman 3-10). Di dalam paragraf
tersebut diterangkan asal-usul Syekh Siti Jenar tidak jelas. Seperti telah
diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga
penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar
Shofiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti
Jenar adalah putera seorang raja pendeta dari Cirebon bemama Resi Bungsu. Nama
asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau
seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian,
pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak
semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Di dalam uraian tentang
asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan
kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut.
Kejanggalan-kejanggalan itu adalah:
1
. Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta benama Resi Bungsu. Istilah
raja pendeta ini kan
tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi beritanya saja sudah
tidak jelas sehingga meragukan.
2.
Di halaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa
ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang
disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha.
Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum
masyarakat memang mengangap agama Hindu dan Budha sama. Pada hal ajaran kedua
agama itu sangat berbeda, dan antara keduanya pernah terjadi perseteruan akut
selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh
perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi
perkembangan Indonesia .
Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian
yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10
sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu,
bahkan selama beberapa abad Indonesia
(termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.
3.
Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi
nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang "raja
pendeta" yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama
Islam, tentu hal itu janggal terjadi.
4.
Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi
seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan
tersebut, sehinga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk
akalkah seorang ayah yang "raja pendeta" menyihir anaknya menjadi
cacing. Ilmu apakah yang dimiliki "raja pendeta" Resi Bungsu untuk
merubah seseorang menjadi cacing? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak
menyihir para penyebar Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan
ketenteraman batinnya? Ceritera seseorang mampu merubah orang menjadi binatang
ceritera kuno yang mungkin tidak pemah ada orang yang melihat buktinya. Ini
hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu
(Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5.
Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada
tanah yang digunakan untuk menembel perahu Sunan Mbonang yang bocor. Sunan
Mbonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu gaib kepada Sunan Kalijogo.
Betapa luar biasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di
Tuban, sedang cacing Syekh Siti Jenar dibuang di sungai daerah Cirebon . Di tempat lain dikatakan bahwa Sunan
Mbonang mengajar Sunan Kalijogo di perahu yang sedang terapung di sebuah rawa.
Adakah orang menembel perahu bocor dengan tanah? Kalau toh menggunakan tanah,
tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh katutan
(membawa) cacing.
6.
Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri
mengikuti pelajaran ilmu gaib kepada para muridnya. Tidak pemah diterangkan,
bagaimana hubungan Hasan Ali dengan Sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik.
Karena tidak boleh, Hasan Ali lalu merubah dirinya menjadi seekor burung
sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu gaib.
Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat
oleh para wali. Untuk apa Hasan Ali
belajar ilmu gaib dari Sunan Giri, pada hal dia sudah mampu merubah dirinya
menjadi seekor burung.
Alhasil,
seperti dikatakan oleh Dr Abdul Munis Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang
lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu banyak pula
orang yang meragukan, sebenarnya Syek Siti Jenar itu pernah ada atau tidak.
Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan
dengan, di samping tempat lahimya, di mana sebenamya tempat tinggal Syekh Siti
Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar
adalah: Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama sering
dikaitkan dengan tempat tinggal. Di mana letak Siti Jenar atau Lemah Abang itu
sampai sekarang tidak pemah jelas; padahal tokoh terkenal yang hidup pada jaman
itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan
satupun petilasan.
Karena
keraguan dan ketidak-jelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti
Jenar memang tidak pemah ada. Lalu apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu? Sekali
lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti. Kalau Syekh Siti Jenar
tidak pernah ada, mengapa kita bertele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa
kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pemah ada. Apalagi diskusi itu dalam
rangka memperbandingkan dengan Al-Qur'an dan Hadits yang amat jelas
asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh ke depan jangkauannya, tinggi muatan
ipteknya, sakral dan dihormati oleh masyarakat dunia.
Sebaliknya,
Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang
Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan orang Islam yang telah
kaffah bertauhid, maka mau tidak mau lalu sebagian orang Islam harus
melayaninya. Oleh karena itu sebagai orang Islam yang tidak lagi ragu terhadap
kebenaran Al-Qur'an dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saya
akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan
jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif yang
berusaha untuk merusak akidah Islamiyah ini.
Sunan Kalijogo
Semua
orang di Indonesia ,
apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama
Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung
Wilatikta atau Raden Sahur Yang beragama Islam.
Silsilah
Raden Sahur ke atas adalah putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II,
putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario
Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah asal usul
Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenamya merupakan
versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau atau tidak dijumpai
dalam media cetak sehingga tidak diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar,
1992).
Di
depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh
dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinil tentang kisah tersebut tidak
tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa,
menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data
yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari
cerita rakyat yang versinya banyak sekali. Mungkin cerita rakyat itu bersumber
dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas,
lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum
atau penentangnya.
Namun
demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang satu
sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo
Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat
Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Saya pertama kali
melihat wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5
SR, di desa kalahiran ibu saya Pelempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki
dalang Marijan. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang
sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angkan sendiri, setelah kurang
puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai
sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut Kejawen, yang
sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.
Kalau
Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut
Serat Dewo Ruci akan kecelek. Mengapa demikian? Isi Suluk Linglung temyata
hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun
fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung
pentingnya orang untuk melakukan shalat dan puasa, sedang hal itu tidak ada
sama sekali di dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar,
Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung
disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang pegawai
Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku
tersebut, dan ternyata disimpan oleh Ny Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo
ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo
sendin' menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia .
Saat
ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya sangat
bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata Sunan
Kalijogo menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya Sunan Kalijogo tidak setia
menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang
dilakukan oleh Sunan terkenal ini buka shalat lima waktu melain shalat da'im. Menurut
Ustadz Mustafa Ismail LC, da'im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo
tidak shalat lima
waktu melainkan shalat da'im dengan membaca Laa illaha ilallah kapan saja dan
di mana saja tanpa harus wudhu dan rukuk-sujud. Atas dasar itu untuk sementara
saya membuat hipotesis bahwa Syekh Jenar sebenamya adalah Sunan Kalijogo.
Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak
kaum muslimin Indonesia
untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar.
Sayang, waktu saya masih banyak terampas untuk menyelesaikan buku-buku saya
tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak
dapat berjalan lancar. Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi
tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan
ini, menjadi tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku
karya Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai
tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjatidiri seperti tertulis di dalam
Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berfaham manunggaling kawulo Gusti
(seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya),
sedang setelah kaffah murid dengan tauhid murni, yaitu Joko Katong yang
ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan
tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas sampai sekarang,
termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R Ng Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS
Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie termasuk Ny Ainun Habibie.
Walisongo
Sekali
lagi kisah Walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan mistik. Namun
Widji Saksono dalam bukunya "Mengislamkan Tanah Jawa" telah
menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak terlarut
dalam cerita mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang hal-hal yang
tidak masuk akal atau yang bertentangan dengan akidah Islamiyah.
Widji
Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat dengan dua
temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaja dengan tarian oleh penari putri
yang tidak menutup aurat. Melihat itu Raden Rachmat selalu komat-kamit, tansah
ta'awudz. Yang dimaksudkan pemuda tampan terus istighfar melihat putri-putri
cantik menari dengan sebagian auratnya terbuka. Namun para pengagum Walisongo
akan "kecelek" (merasa tertipu, red) kalau membaca tulisan Asnan
Wahyudi dan Abu Khalid.
Kedua
penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari sumber orisinil
yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki. Menurut sumber tersebut,
temyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I. Berdasarkan
laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan
Muhammad I lalu ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang
memiliki kemampuan di berbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja.
Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat
kepada pembesar di Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim
beberapa ulama yang mempunyai karomah.
Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu
lalu dibentuk tim beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada
tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan
ahli mengatur negara dari Turki. Berita ini tertulis di dalam kitab Kanzul 'Hum
karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al
Maghribi. Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2.
Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand ,
Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3.
Maulana Ahmad Jumadil Kubra, dari Mesir.
4.
Maulana Muhammad Al Maghrabi, berasal dari Maroko.
5.
Maulana Malik Isra'il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6.
Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia
(Iran ),
ahli pengobatan.
7.
Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8.
Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9.
Syekh Subakir, dari Iran ,
Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat (??).
Dengan
informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Wallsongo versi Jawa. Ternyata
memang sejarah Walisongo versi non-Jawa, seperti telah disebutkan di muka,
tidak pemah diekspos, entah oleh Belanda atau oleh siapa, agar orang Jawa,
termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari
kenyataan yang sebenamya. Dengan informasi baru itu menjadi jelaslah apa
sebenamya Walisongo itu. Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan
Islam. Oleh karena gerakan ini mendapat perlawanan dengan gerakan yang lain,
termasuk gerakan Syekh Siti Jenar.
Latar Belakang Gerakan
Syekh Siti Jenar
Tulisan
tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja,
yang mula-mula tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga ada,
misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung. Buku berjudul Ajaran Syekh
Siti Jenar karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku induk karya Dr Abdul
Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku
dengan judul yang sama karya Ki Panji Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah
samaran mantan Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar. Ki Panji
Notoro memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan Adipati seangkatannya
ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini menunjukkan bahwa
setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal di masyarakat tidak
berkembang sama sekali.
Memahami
Al-Qur'an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak disadari dengan ilmu. Penafsiran
Al-Qur'an tanpa ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah
nampaknya yang terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan
Hadiwidjojo agama yang dianut kerajaan adalah agama manunggaling kawulo Gusti.
Di samping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata
pertentangan antar agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di
dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh
(telah diterangkan sebelumnya). Sampai dengan era Singasari, masih ada tiga
agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha dan Animisme yang juga sering disebut
Agama Jawa. Untuk mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro,
raja besar dan terakhir Singasari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat
agama baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkat
Buda dan Ja mewakili agama Jawa.
Nampaknya
sintesa itulah yang, ditiru oleh politik besar di Indonesa akhir decade 1950-an
dulu, Nasakom. Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak
pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme yang melakukan perlawanan secara tidak
terang-terangan. Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco,
Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal
Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di-dhompleng-kan
kepada salah satu anggota Walisongo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo seperti
telah disebutkan di muka.
Jadi
Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan
dari Hindu-Budha-Jawa ke Islam. Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis
terhadap ajaran Islam, dan hanya diambil potongan-potongannya yang secara
sepintas nampak tidak masuk akal. Potongan- potongan ini banyak sekali disitir
oleh Dr Abdul Munir Mulkhan tanpa telaah yang didasarkan pada dua hal, yaltu
logika dan aqidah.
Pernyataan-pernyataan
Masalah
pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini telah saya singgung di muka.
Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku
ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah Ketua sebuah organisasi Islam
besar. Misalnya pernyataan yang menyebutkan: "ngurusi" Tuhan, semakin
dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan
dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan
sebagainya.
Setahu
saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh orang-orang dari
gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang
pemah menggelar kethoprak dengan lakon "Patine Gusti Allah" (matinya
Allah,red) di daerah Magelang tahun 1965-an awal. Bahkan ada pernyataan yang
menyebutkan bahwa syahadat, shalat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah
haji itu tidak perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan.
Ini
jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak
oleh Islam. Rasulullah juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara
formalistik, secara ritual saja. Dengan Islam mengajarkan kepada penganutnya
untuk berbuat baik, karena kehidupan muslimin harus memenuhi dua aspek, yaitu
hablum minannaas wa hablum minallah.
Di
dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa
untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa sebenarnya misi yang akan
dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan dengan menulir buku Syekh Siti Jenar itu.
Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari ajaran
Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibanding dengan mempelajari fikih atau
syariat. Islam tidak mengkotak-kotakkan antara fikih, sufi dan sebagainya.
Islam adalah satu, yang karena begitu kompleksnya maka orang harus belajar
secara bertahap. Belajar syariah merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.
Penulis
juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al-Qur'an. Bukan hanya orang Islam dan
orang yang tahun bahasa Arab saja yang boleh belajar Qur'an. Di sini nampaknya
penulis lupa bahwa untuk belajar Al-Qur'an ada, dua syarat yang harus dipenuhi,
yaitu muttaqien (Al-Baqarah ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah
dicontohkan oleh Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jadi sebenamya boleh
saja siapapun mengkaji Al-Qur'an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri,
tanpa melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada
siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belaiar Al-Qur'an yang memenuhi
kedua syarat itu, misalnya kepada Ustadz Umar Budiargo, ustadz Mustafa Ismail,
dan banyak lagi, khususnya alumni universitas Timur Tengah. Jangan belajar
Al-Qur'an dari pengikut ajaran Syekh Siti Jenar karena pasti akan tersesat
sebab Syekh Siti Jenar adalah gerakan untuk melawan Islam.
0 komentar:
Posting Komentar