Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

Sejarah Sastra


Kuntowijoyo, Sastra Profetik
dan Sastra Islam


Membaca kover depan Majalah Sastra Horison, No 5, terbitan bulan Mei 2005 lalu, tepatnya ketika saya masih di pesantren, saya terakejut, karena tertera surat Kontowijoyo—barangkali itu surat terakhirnya kepada Redaksi majalah sastra nusantara tersebut. Karena, tiga minggu setelahnya, Kontowijoyo wafat. Kurang lebih, demikian isi surat yang ditulisnya tersebut:

Assalamualaikum war. wab.
Redaksi Horison Yth.
Bersama ini saya kirimkan naskah “Maklumat Sastra Profetik” meskipun terlalu panjang untuk format majalah. Karena itu, mohon jangan merasa di-fait accompli dan dipaksakan pemuatannya. Anggap saja kiriman ini sebagai pemberitahuan bahwa saya sudah menulisnya. Semua itu saya kerjakan karena saya terlanjur dikabarkan – terutama lewat Horison sebagai penganjur Sastra Profetik. Dan, saya merasa “berdosa” kalau tidak saya kirim ke Horison terlebih dahulu. Sekali lagi, jangan segan-segan untuk tidak memuat. Mohon berita lewat telepon 0274-881-XXX, terutama selepas pukul 08.00 malam
Wassalamualaikum war.wab.

Sebelum wafat, Kuntowijoyo ingin menjelaskan tentang kredo yang disebutnya sebagai “maklumat”, sebagai pengumuman atau penjelasan kepada orang lain dan masyarakat sastra tentang karya-karya yang dilahirkannya.

Dalam “Maklumat Sastra Profetik”-nya ia menjelaskan: “Keinginan saya dengan sastra ialah sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas “objektif” dan universal. Demikianlah, “sastra ibadah” saya sama dan sebangun dengan sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang dan tidak lebih.”[1]
Apa yang dinyatakan oleh Kuntowijoyo di atas adalah sebuah pilihan di tengah aneka ragam pilihan yang ada di dunia ini. Jadi, jika orang lain boleh memilih paham yang lain, kenapa Kuntowijoyo tidak boleh memilih suatu pilihan yang lahir dari kejujuran hati nuraninya?
Pandangan-pandangan yang lain yang berbeda bisa melakukan dialog dengan pandangan Kuntowijoyo. Karena dengan pandangan-pandangan lain itulah perjalanan kebudayaan adalah dialog kreatif tak kunjung berhenti.
Kenapa sastra sebagai ibadah? Menurut Kuntowijoyo, Islam yang utuh itu harus meliputi seluruh muamalahnya. Kuntowijoyo berangkat dari firman Allah dalam al-Qur’an: “Masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan)” (Q.S. 2:208). Pengarang yang shalat dengan rajin, zakat dengan ajeg, haji dengan uang halal, tetapi pekerjaan sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah, menurut Kuntowijoyo, Islamnya tidak kaffah.[2]
Pandangan itu bisa dirujuk dengan tauhid, meskipun dalam maklumatnya Kuntowijoyo lebih sering menyebut iman, kaffah, profetik dan lain-lain. Tauhid di sini, tidak saja menyembah satu-satunya Dzat, satu-satunya Pencipta alam semesta, yaitu Allah. Lebih dari itu, tauhid bermakna menomorsatukan nilai-nilai yang dari Allah. Alasannya, karena manusia itu milik Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kuntowijoyo tidak pernah merasa memiliki dirinya sendiri karena itu ia harus muslim (menyerah, damai) kepada Allah. Berdamai dengan Allah untuk mengupayakan hidup yang bermakna, maka muncullah “Sastra Profetik” karena ingin meniru Nabi yang rahmah li al-’alamin (rahmat bagi alam semesa) sekaligus sebagai uswah al-hasanah (teladan yang baik). Meniru akhlak Nabi bagi Kuntowijoyo adalah cara yang paling benar dalam mengabdi kepada Allah. Hati yang bertauhid, taqarrub (dekat) kepada Allah, berdzikir akan membuat hati menjadi jernih dan mudah untuk mendapatkan jalan kebenaran (shirath al-mustaqim).

Tiga Konsep Karya-karya Kuntowijoyo
Bila kita membaca dengan cermat karya-karya Kuntowijoyo—Kumpulan Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Mantra Penjinak Ular, Wasripin dan Satinah, dll— maka setidaknya dapatlah kita memiliki sebuah gambaran tentang sikap pengarang terhadap karya yang dihasilkannya. Dalam sastra, misalnya, Kuntowijoyo memetakan dua macam sastra yang bertentangan; pertama, sastra universal humanistik-emansipatoris-liberasi. Kedua, sastra religius-transendental-spiritual. Melihat peta semacam ini, maka sastra yang dipilih dan dicita-citakan oleh Kuntowijoyo adalah jenis sastra (Islam) profetik, yang menggabungkan keduanya. Meminjam pengertian Amin Wangsitalaja tentang pemahaman profetik Kuntowijoyo, bahwa sastra profetik adalah jenis sastra yang bisa menggabungkan keduanya, yaitu sastra yang sekaligus mengandung emansipasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi mungkar), dan transendensi (iman billah). Konsep ini didasarkan pada Qur;an Surat Ali Imran: 110.[3]
Karena itu, Kuntowijoyo menyatakan, kekuasaan Tuhan itu berbeda dengan kekuasaan manusia. Kekuasaan Tuhan itu membebaskan, ikatan yang membebaskan. Menurut Kuntowijoyo, itu “sebuah kebenaran paradoksal”.
Iman, transendensi, ruh selalu menjadi perhatian Kuntowijoyo. Kesadaran itu dipeluknya dengan kuat, berdasarkan ayat suci, ia meyakini perjanjian dengan Tuhan di alam azali bahwa sebelum manusia lahir ke dunia telah menyatakan beriman kepada Allah. Karena itu, kelahiran ke dunia untuk tetap memelihara kesaksian itu dengan menjaga kesucian fitrah.

Sastra Islam di Indonesia
Berbicara mengenai sastra Islam di Indonesia, hampir selalu mengundang polemik. Polemik tersebut bahkan tak beranjak dari hal yang itu-itu juga, yaitu pro dan kontra mengenai apa yang disebut sebagai "pengkotak-kotakan sastra", serta masalah definisi dan kriteria sastra Islam. Uniknya, pihak yang tidak setuju dengan istilah atau konsep "sastra Islam" justru didominasi oleh kalangan muslim sendiri.
Pembahasan tentang sastra Islam saat ini di Indonesia menjadi sangat minim, kalau boleh dikatakan nyaris tak ada. Mati?. Jangankan pembahasan karya, apa itu sastra Islam saja sampai saat ini masih kabur alias tak ada rujukan yang jelas, baik dari para sastrawan sendiri, kritikus maupun ulama.
Sebenarnya cukup banyak beberapa sastrawan muslim yang memberi istilah sendiri pada karya sastra yang dibuatnya yang mengarah pada "sastra Islam" Istilah-istilah tersebut berakar pada wacana keimanan atau religiusitas yang dibawanya. Ada yang menyebutnya sastra pencerahan (Danarto), sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra sufistik (Abdul Hadi WM), sastra zikir (Taufiq Ismail), sastra terlibat dengan dunia dalam (M. Fudoli Zaini), sastra transenden (Sutardji Calzoum Bachri), dan sebagainya. Namun selain Abdul Hadi WM, tak satu pun yang mengidentikkan penyebutan tersebut dengan sastra Islam, walau sebenarnya hal tersebut, tak bisa dinafikan, merupakan tafsir lain dari sastra Islam. [4]
Polemik tentang sastra Islam selama ini membuat cukup banyak kalangan bingung dan terus mencari-cari informasi tentang hal tersebut. Apalagi perihal sastra Islam jarang disinggung oleh para sastrawan, kritikus bahkan ulama karena tidak atau belum dianggap sebagai sesuatu yang penting.
Padahal dalam konteks Islam, semua yang dilakukan seorang muslim seharusnya merupakan bentuk dari ibadahnya kepada Allah, termasuk dalam berkesenian dan bersastra, sebagaimana yang dikatakan Allah "Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku.
Dalam Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam 13 Desember 1963 di Jakarta, yang dideklarasikan untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963 para seniman, budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaludin Malik, menyatakan bahwa yang disebut dengan kebudayaan, kesenian (kesusastraan) Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan ummat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allah untuk umat manusia yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran wahyu Ilahi dan fitrah insani.

Batasan Beragama dan Berkarya Kuntowijoyo
Sastra Kuntowijoyo dalam pemikirannya lebih cenderung religius dan sufistik dengan menentangkan kehidupan yang ideal dengan yang tak ideal. Ini merupakan pemikiran Kunto yang bercorak religius dan cenderung sufistik dalam era pemikirannya, dan berakhir pada tahun 1990-an. Sedangkan dari puisinya yang bercorak religius

Angin gemuluh di hutan 
Memukul ranting Yang lama juga
Tak terhitung  jumlahnya
Mobil di jalan Dari ujung ke ujung
Aku ingin menekan tombol
Hingga lampu merah itu Berhenti
Angin, mobil dan para pejalan
Pikirkanlah, ke mana engkau pergi 
(Suluk Awang Uwung)

Makna yang diinginkan oleh penulis merupakan nasehat bahwa kita sering terjebak pada rutinitas dunia, sehingga lupa kemana arah tujuan hidup ini. Seperti pada kata aku ingin menekan tombol hingga lampu merah itu berhenti bermakna ia berusaha ingin menghentikan ritualitas manusia yang kehilangan makna hidup. Sedangkan pada kata angina, mobil dan para pejalan pikirkanlah kemana engkau pergi merupakan sikap untuk merenungi apa yang telah dilakukan dan apa yang direncanakan, sehingga tidak terjebak dengan rutinitas kehidupan. Selanjutnya pemikiran yang bercorak profetis dalam puisi yang dibuat oleh Kunto.

Sebagai hadiah
Malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan
di atas mega
dan aku menolak
karena kakiku masih di bumi
sampai kejahatan terakhir dimusnahkan
sampai dhuafa dan mustadh’afin
diangkat Tuhan dari penderitaan
(Makhrifat Daun Daun Makhrifat)

Sajak tersebut ditulis pada tahun 1995 ketika kesehatan Kuntowijoyo masih terganggu. Dalam keadaan sakit, ia melihat malaikat berkelebat sambil menawarkan hadiah kepadanya. Tetapi, Kuntowijoyo menolak tawaran tersebut. Sebab, konsekuensi menerima tawaran itu adalah ‘terbang dari bumi’. Maka ada semacam perjuangan melawan maut barangkali. Bagaimanapun, pengalaman sakitnya yang lama membuatnya berusaha untuk sembuh. Ia terserang Meningo encephalitis, radang selaput otak kecil yang menyebabkan kelumpuhan.
Sejak 1992 ia sempat dirawat di Ruang Gawat Darurat RS Sardjito, Yogyakarta, selama 35 hari dan mesti beristirahat untuk waktu yang cukup lama.Itulah sejarah Kuntowijoyo, yang sempat menuliskan pengalamannya dalam bentuk puisi. Puisi tersebut selain bercerita pengalaman mistisnya kepada pembaca, juga ingin mengabarkan bahwa di dunia ini masih dipenuhi kejahatan dan penderitaan. Terlihat ia sangat peduli pada dunia. Meminjam kata-kata Leonardo da Vinci, Kuntowijoyo seperti ingin memperbaiki bumi yang rusak, ingin melukis langit agar menjadi indah, tidak ikhlas diberi hadiah malaikat (nikmat-ketenteraman) jikalau bumi masih carut marut. Dari puisi tersebut, dapat saya tulis tiga hal tentang sastra dan sejarah. Pertama, bahwa puisi bukan semata lukisan peristiwa-peristiwa, namun memungkinkan makna dari peristiwa-peristiwa.

Penutup
Demikian kiranya gagasan-gagasan Kuntowijoyo dalam membangun keanekaragaman sastra yang berakembang di Indonesia. Bagaimanapun, maklumat tentang ”Sastra Profetik”-nya benar-benar memiliki ruh, yang seolah-olah mewakilinya untuk membenarkan bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh Kuntowijoyo. Di dalamnya terdapat strukturisasi pengalaman yang cukup tinggi, beserta strukturisasi imajinasi yang melebihi kognisi pengalamannya. Dengan demikian, keduanya akan menghasilkan strukturisasi nilai yang terkandung dan terbentuk sedemikian rupa dalam karya-karyanya.


[1] Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra”, dalam Majalah Horison, No. 5, Mei 2005, hal. 8.
[2] Ibid, hal. 9.
[3] Wangsilataja, Amien, “Dua Budaya Tiga Resep”, dalam Majalah Horison/Kakilangit, No. 142, Oktober 2008, hal. 8.
[4] El-Moezany, Matroni, “Benarkah Sastra Islam Ada?”, dalam website http://www.fordisastra.com

0 komentar:

Posting Komentar