Imam
Ali r.a. adalah seorang yang tidak pernah berbuat sesuatu yang berlainan
antara ucapan dan perbuatan. Ia menolak keras hasil perundingan antara Abu
Musa dengan Amr, tetapi karena ia telah menyatakan kesediaan menerima
"tahkim" --walaupun hanya karena ia ditekan oleh pengikutnya--
prinsip itu dipertahankan dengan konsekuen, selama fihak lawan benar-benar
hendak mencari penyelesaian berdasarkan hukum Al-Qur'an.
Hal ini dapat dibuktikan dengan penjelasan-penjelasan yang diberikan kepada
beberapa orang pengikutnya yang mengajukan pertanyaan. Dalam penjelasannya
itu Imam Ali r.a. mengatakan:
"Kami menerima tahkim. Oleh karena itu tahkim harus didasarkan kepada
Kitab Allah, Al-Qur'an. Al Qur'an itu tertulis pada lembaran-lembaran.
Al-Qur'an tidak berbicara dengan lisan dan tidak bisa tidak memerlukan
penafsiran. Penafsiran itu sudah tentu keluar dari ucapan orang. Setelah
mereka minta kepada kami supaya kami mengadakan penyelesaian berdasarkan
tahkim Al-Qur'an, kami tidak mau menjadi fihak yang berdiri di luar
Al-Qur'an. Sebab Allah 'Azaa wa Jalla telah berfiman, artinya: "Jika
kalian bertengkar mengenai sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah
dan Rasul-Nya." (S. An Nisa: 59).
"Mengembalikan persoalan kepada Allah," kata Imam Ali r.a.
seterusnya, "berarti kami harus mencari penyelesaian hukum di dalam
Kitab Allah. Dan mengembalikan persoalan kepada Rasul-Nya, berarti kami harus
mengambil sunnah Rasul Allah. Jika persoalan benar-benar hendak diselesaikan
berdasar hukum yang ada dalam Kitab Allah, sesungguhnyalah kami lebih berhak
berbuat daripada orang lain. Dan kalau hendak diselesaikan berdasarkan sunnah
Rasul Allah, pun kami jugalah yang lebih berhak daripada orang lain."
"Adapun ucapan mereka yang mengatakan: 'mengapa diadakan tenggang waktu
(gencatan senjata) dalam menempuh jalan tahkim?' Kata Imam Ali r.a. lebih
lanjut, hal itu kami lakukan agar menjadi jelas bagi orang yang tidak
mengerti, dan agar menjadi mantap bagi orang yang sudah mengerti.
Mudah-mudahan selama gencatan senjata itu Allah akan memperbaiki keadaan
ummat, agar menjadi terang, dan awal kesesatan itu dapat segera
diluruskan."
"Sesungguhnya yang paling afdhal di sisi Allah," kata Imam Ali r.a.
pula, "ialah orang yang lebih menyukai berbuat kebenaran walau kebenaran
itu mendatangkan kesukaran dan kerugian baginya. Yaitu orang yang pantang
berbuat kebatilan, walau kebatilan itu akan mendatangkan kemudahan dan
keuntungan baginya. Jadi, bagaimanakah kalian sampai menjadi bingung, dan
dari manakah keraguan yang menghinggapi fikiran kalian?"
Imam Ali r.a. Digugat
Sekarang, setelah ternyata politik tahkim itu benar-benar hanya tipu muslihat
Muawiyah, kelompok kontra tahkim yang terdapat dalam pasukan Imam Ali r.a.
menggugat, mengungkit dan melemparkan segala kesalahan kepada pundak Imam Ali
r.a. Lebih aneh lagi karena banyak yang tadinya pro tahkim, setelah kelompok
kontra tahkim bergerak, mereka ikut-ikutan menentang Imam Ali r.a. dan
bergabung dengan kelompok kontra tahkim.
Kelompok kontra tahkim itu dalam sejarah dikenal dengan nama Khawarij
(orang-orang yang keluar meninggalkan barisan Imam Ali r.a.). Pada suatu hari
kelompok ini berkumpul di rumah Abdullah bin Wahb Ar Rasibiy. Di tempat
pertemuan ini tampil tokoh-tokoh mereka bergantian beragitasi membakar
semangat perlawanan terhadap Imam Ali r.a.
Abdullah Ar Rasibiy dalam pidatonya mengatakan: "Saudara-saudara, bagi
kaum yang beriman kepada Allah Ar Rahman, yang patuh kepada hukum Al-Qur'an,
kehidupan dunia ini harus diisi dengan amr ma'ruf dan nahi mungkar, serta
dengan perkataan yang benar walau pahit dan berbahaya. Sekalipun pahit dan
berbahaya, tetapi pada hari kiyamat kelak orang akan memperoleh keridhoan
Allah dan kekal menikmati kehidupan sorga. Oleh karena itu marilah kita
keluar meninggalkan negeri yang penduduknya sudah menjadi dzalim ini dan
pergi ke daerah lain! Kita harus menolak bid'ah yang sesat ini (yakni:
tahkim) dan menentang hukum yang durhaka!"
Sedang Hurqush bin Zuhair berkata: "Saudara-saudara, kesenangan di dunia
ini sungguh amat sedikit. Tidak ayal lagi, kita ini pasti akan berpisah
dengan dunia. Oleh karena itu kalian jangan sampai merasa terikat oleh
keindahan dan kegemerlapannya, atau ingin tetap hidup selama-lamanya! Janganlah
kalian lengah dari kewajiban menuntut kebenaran dan menentang kebatilan.
Sesungguhnya Allah senantiasa beserta orang yang bertawa dan orang-orang yang
berbuat kebajikan. Hai saudara-saudara, kita sudah bersepakat bulat mengenai
kebenaran itu. Sekarang angkatlah salah seorang dari kalian sebagai pemimpin.
Sebab bagaimana pun juga kalian tetap memerlukan tiang untuk bersandar, dan
membutuhkan adanya suatu lambang di mana kalian akan berhimpun di sekitarnya
dan kembali kepadanya."
Habis berkumpul di rumah Abdullah Ar Rasibiy, mereka pergi bersama-sama ke
rumah Zafr bin Hushn At Tha'iy. Di rumah ini Zafr beragitasi dengan hebatnya:
"Hai saudara-saudara, sebenarnya kita ini telah berjanji setia kepada
Allah s.w.t. untuk berbuat amr ma'ruf dan nahi mungkar, berkata benar dan
berjuang menegakkan jalan yang lurus. Allah sudah memerintahkan kepada
Rasul-Nya, Daud: "Hai Daud, engkau telah kami jadikan Khalifah di bumi,
maka laksanakanlah hukum dengan adil di antara sesama manusia, dan janganlah
engkau menuruti hawa nafsu, sebab hal itu akan menyesatkan engkau dari jalan
Allah. Orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan memperoleh siksa amat
berat" (As Shad:26).
"Juga Allah telah berfirman," kata Zafr: "Barang siapa tidak
menetapkan hukum menurut apa yang telah diturunkan Allah, mereka itu adalah
orang-orang kafir." (Al-Ma'idah: 44).
"Oleh karena itu", kata Zafr selanjutnya, "bersumpahlah kalian
untuk melawan orang yang dulu kita dukung ajarannya. Orang itu sekarang sudah
mengikuti hawa nafsu, mengabaikan hukum Allah, berlaku dzalim dalam
menetapkan hukum dan melaksanakannya. Oleh karena itu perjuangan melawan
orang-orang seperti itu adalah wajib bagi kaum mukminin.
"Aku bersumpah, demi Allah, seandainya tak ada seorang pun yang mau
berjuang menghapus kemungkaran itu, atau tidak ada orang yang mau membantu
perjuangan melawan orang-orang bathil dan durhaka itu, aku akan memerangi
mereka seorang diri sampai aku berjumpa dengan Allah s.w.t. Biarlah Allah
sendiri yang menjadi saksi, dengan lidah aku telah berjuang memperbaiki
keadaan sesuai dengan kehendak-Nya dan menurut keridhoan-Nya."
"Saudara-saudara, hantamlah muka dan kepala mereka dengan pedang, sampai
Allah 'Azaa wa Jalla ditaati oleh mereka. Jika orang itu sudah mau taat
kepada Allah sebagaimana yang kalian inginkan, Allah akan mengaruniakan
pahala kepada kalian sebagai orang-orang yang telah membuktikan ketaatan dan
telah melaksanakan perintah-Nya. Jika kalian mati terbunuh, apakah yang lebih
penting daripada berjalan menuju keridhoan Allah dan sorga-Nya?
"Ketahuilah saudara-saudara, mereka sekarang sudah siap untuk
mempertahankan hukum yang sesat. Marilah kita semua keluar menuju ke sebuah
daerah yang telah kita sepakati dalam pertemuan kita ini. Kalian telah
menjadi pembela-pembela kebenaran di tengah-tengah ummat manusia. Sebab
kalian sudah mengumandangkan kebenaran dan tetap bertekad hendak berkata
benar."
"Marilah kita pergi ke Madain yang telah kita sepakati itu, kita buka
pintunya dan kita kerahkan penduduknya, kemudian kita kirimkan utusan kepada
saudara-saudara kita di Bashrah, agar mereka mau bergabung dengan kita!"
Sesudah agitasi Zafr ini, tampil Zaid bin Hushn At Tha'iy, saudara Zafr,
dengan kata-kata: "Di daerah itu nanti akan ada orang-orang yang
merintangi kalian masuk, dan mereka pun akan mencegah kalian menduduki daerah
itu. Oleh karena itu sebaiknya kita segera menulis surat kepada
saudara-saudara kita di Bahsrah. Beritahukan mereka tentang keluarnya kalian
sekarang ini. Setibanya di sana, berhentilah kalian di Nehrawan!"
Semua pidato itu mendapat sambutan hangat dan yang hadir menyatakan
persetujuan bulat. Kemudian ditulislah sepucuk surat kepada teman-teman
mereka di Bashrah. Isinya sebagai berikut : "…Orang-orang yang dulu kami
dukung seruannya (yakni Imam Ali) sekarang sudah mengangkat orang untuk
menetapkan tahkim terhadap agama Allah. Mereka membiarkan orang-orang durhaka
menguasai hamba-hamba Allah. Oleh sebab itu kami sekarang menentang mereka
dan sudah meninggalkan mereka. Dengan cara itu kami hendak mendekatkan diri
kepada Allah, dan sekarang kami sudah berada di jembatan Nehrawan. Kami ingin
memberi tahukan kalian, agar kalian dapat ikut ambil bagian untuk memperoleh
pahala. Wassalaam."
Jawaban dari teman-teman mereka di Bashrah mengatakan, bahwa mereka mendukung
dan membenarkan tekad mereka, serta siap menjalankan perintah Allah dan
bersedia ambil bagian dalam perjuangan melawan Imam Ali r.a. dan
pendukungnya. Surat itu diakhiri dengan kata-kata: "Kami sudah
bersepakat untuk segera berangkat guna bergabung dengan kalian."
Menurut rencana, mereka hendak berangkat pada malam Kamis. Sebelum berangkat
mereka berkumpul sekali lagi di rumah Hurqush bin Zuhair. Setelah mengadakan
pembicaraan sejenak, akhirnya mereka sepakat mengundurkan waktu keberangkatan
menjadi malam Jum'at. Kesepakatan itu berubah lagi berdasarkan saran Hurqush:
"Malam Jum'at sebaiknya kalian tinggal di sini saja dulu untuk
banyak-banyak beribadah kepada Allah, dan pergunakanlah sebagai kesempatan
untuk meninggalkan wasiyat-wasiyat. Malam Sabtu barulah kalian berangkat,
seorang-seorang atau dua-dua, agar jangan sampai menyolok mata orang
banyak."
Ke Nehrawan
Untuk berusaha menginsyafkan kaum Khawarij yang sudah mulai berangkat ke
Nehrawan guna mempersiapkan pemberontakan bersenjata, Imam Ali r.a.
cepat-cepat menulis surat kepada mereka, dibawa oleh seorang kurir. Dalam
surat tersebut Imam Ali r.a. menjelaskan seperti yang sudah pernah
dikemukakan dalam khutbah-khutbahnya. Sebelum menutup suratnya dengan
kata-kata "Wassalaam", Imam Ali r.a. menegaskan ajakannya: "Seterimanya
surat ini, hendaknya kalian segera kembali kepada kami. Kami sudah siap untuk
berangkat menghadapi musuh kami dan musuh kalian, dan kami tetap memegang
pimpinan seperti semula!"
Surat Imam Ali r.a. itu cepat dijawab oleh kaum Khawarij dengan penuh ejekan
dan tuduhan tak semena-mena: "Engkau marah bukan karena Allah. Engkau
marah hanya karena dirimu sendiri! Allah tidak akan menyelamatkan tipu-daya
orang-orang yang berkhianat!"
Setelah membaca surat jawaban Khawarij yang seperti itu, Imam Ali r.a. putus
harapan mengajak mereka bersatu kembali. Tadinya ia berniat hendak berangkat
menghadapi pasukan Muawiyah di Shiffin, tetapi sekarang..., apa boleh buat!
Daripada tertusuk dari belakang, lebih baik kaum Khawarij
"dibenahi" lebih dahulu. Usaha memberi pengertian sudah ditempuh.
Mengajak bersatu kembali telah dicoba. Ajakan untuk berjuang lagi melawan
pasukan Syam sudah ditolak. Bahkan mereka sekarang siap mengacungkan pedang.
Bahaya harus ditanggulangi satu demi satu. Yang lebih ringan perlu disingkirkan
lebih dulu.
Sekarang Imam Ali r.a. merobah niat semula. Menangguhkan perlawanan terhadap
pasukan Syam dan menumpas kaum Khawarij lebih dulu. Pasukan disiapkan untuk
berangkat mengejar kaum Khawarij. Lalu Imam Ali r.a. mengucapkan amanat yang
berisi petunjuk dan komando:
"Barang siapa meninggalkan perjuangan dan menjauhi perintah Allah, ia
berada di tepi jurang bahaya, sampai Allah sendiri menyelamatkan dengan
rahmat-Nya. Oleh karena itu, hai para hamba Allah, bertaqwalah kalian semua
kepada-Nya. Perangilah orangorang yang bertindak memerangi kaum pengemban
Amanat Allah. Perangilah mereka yang mengubah agama Allah, orang-orang yang
tidak mau mengerti Kitab Allah, dan tidak mau mengerti isyarat-isyarat
Al-Qur'an, yaitu mereka yang tidak mau melihat persoalan dari sudut agama.
Mereka itu sesungguhnya orang-orang yang belum begitu lama memeluk agama
Islam."
"Demi Allah," kata Imam Ali r.a. seterusnya, "seandainya
mereka itu sampai dapat menguasai kalian, mereka pasti akan berbuat seperti
Kisra dan Kaisar (raja-raja Persia dan Romawi). Berangkatlah sekarang dan
siap bertempur. Aku sudah mengirim utusan ke Bashrah agar saudara-saudara
yang ada di sana bergabung dengan kalian. Insya Allah, mereka akan segera
datang!"
Waktu Imam Ali r.a. bersama sejumlah pasukan pengejar berangkat, kaum
Khawarij sudah sampai di sebuah pedusunan yang bernama Harura. Walaupun
segalanya telah siap untuk menumpas pemberontakan bersenjata, tetapi Imam Ali
r.a. masih tetap ingin supaya orang-orang Khawarij itu dapat diajak bersatu kembali
dan berjuang bersama-sama melawan pasukan Syam.
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok Khawarij itu banyak berasal dari
prajurit-prajurit berpengalaman. Mereka mempunyai keyakinan yang sangat teguh
dan keras sekali terhadap lawan. Lebih-lebih karena mereka semua adalah bekas
pengikut Imam Ali r.a. sendiri. Dengan ketangguhan luar biasa mereka telah
menyumbangkan andil besar dalam perjuangan mematahkan pemberontakan Thalhah
dan Zubair. Dalam menghadapi pemberontakan Muawiyah mereka pun telah memberikan
jasanya, walau belum sepenuhnya.
Sudah menjadi kepribadian Imam Ali r.a., bahwa ia tidak melihat orang hanya
dari segi kekurangan dan kesalahannya saja, tetapi juga tidak melupakan
kebaikan dan kebenarannya. Selain itu, walau kelompok Khawarij sekarang
berbalik menentang Imam Ali r.a., namun mereka itu tidak menyeberang atau
berfihak kepada Muawiyah. Harus disayangkan, dalam keadaan sedang
genting-gentingnya menghadapi lawan yang kuat, Syam, kelompok yang sangat
ekstrim itu hendak menusuk dari belakang atau menggunting dalam lipatan.
Dengan berbagai perasaan yang serba resah seperti itu, Imam Ali r.a. masih
ingin mencoba sekali lagi mengembalikan mereka tanpa kekerasan. Mereka hendak
diajak bertukar-fikiran mengenai masalah gawat yang sedang mencekam perhatian
mereka, yaitu "tahkim". Lewat seorang kurir Imam Ali r.a. minta
supaya kaum Khawarij mengirimkan seorang wakil untuk diajak bertukar-fikiran,
dengan jaminan bahwa wakil itu akan dilindungi keamanan dan keselamatannya.
Dalam permintaannya itu Imam Ali r.a. menyatakan janji, jika hujjah
(argumentasi) yang dikemukakan oleh wakil mereka itu kuat dan benar, Imam Ali
r.a. bersedia mohon pengampunan kepada Allah dan bertaubat atas kesalahannya
menerima "tahkim". Sebaliknya, jika ternyata hujjah Imam Ali r.a.
yang kuat dan benar, mereka pun harus bersedia mohon pengampunan dan
bertaubat kepada Allah s.w.t.
Permintaan Imam Ali r.a. dapat disetujui kaum Khawarij. Mereka mengirim Ibnul
Kawwa sebagai wakil. Berlangsunglah diskusi panjang lebar. Masing-masing
mengemukakan alasan dan hujjah untuk memperkuat dan membenarkan pendiriannya
sendiri-sendiri. Tetapi akhirnya dengan mengadu hujjah berdasar Kitab Allah
dan sunnah Rasul-Nya, Ibnul Kawwa tergiring ke sudut sampai tidak dapat lagi
menemukan alasan untuk menyanggah hujjah-hujjah yang dikemukakan Imam Ali
r.a. secara terperinci.
Selesai diskussi, Ibnul Kawwa kembali kepada kaumnya. Dengan jujur Ibnul
Kawwa mengatakan, bahwa berdasar hujjah-hujjah yang dikemukakan, Imam Ali
r.a. berada di fihak yang benar menurut hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya.
Semua hujjah Imam Ali r.a. wajib diterima oleh mereka. Demikian kata Ibnul
Kawwa kepada kaumnya.
Kaum Khawarij tak dapat menerima hasil diskusi yang telah berlangsung antara
Imam Ali r.a. dengan Ibnul Kawwa. Ibnul Kawwa dikatakan bukan imbangannya
untuk berdiskusi dengan Imam Ali r.a. Ibnul Kawwa tidak boleh diberi
kesempatan lagi untuk menghadapi diskusi dengan Imam Ali r.a., karena ia
tidak akan mampu menghadapi hujjah, logika dan kesanggupan berfikir Imam Ali
r.a. Mereka menuntut pertukaran-fikiran seperti itu dihentikan saja.
Kaum Khawarij bersikeras untuk tetap melancarkan pemberontakan bersenjata dan
tidak mau menerima apa yang datang dari Imam Ali r.a. Mereka tetap memandang
Imam Ali r.a. sebagai orang yang sudah murtad dan menjadi kafir karena
menerima "tahkim". Oleh karena itu mereka memandang Imam Ali
sebagai orang yang telah keluar dari rel agama dan harus diperlakukan sebagai
musuh Allah! Begitulah pendirian kaum Khawarij yang sudah tidak dapat berubah
lagi.
Betapa pilu hati Imam Ali r.a. menghadapi pendirian orang-orang yang kemarin
masih menjadi pendukung dan pembelanya, tetapi hari ini sudah berbalik
menjadi lawan yang sangat keras kepala. Ia sangat menyesal karena mereka
sekarang sudah dikuasai oleh fikiran kacau, sampai mereka buta melihat
kebenaran.
Jalan Kekerasan
Akhirnya Imam Ali r.a. yakin tak ada jalan lain lagi yang bisa ditempuh,
selain terpaksa harus menghadapi kekerasan dengan kekerasan. Lebih-lebih
setelah ada kenyataan bahwa mereka ketika meninggalkan Kufah telah banyak
merenggut nyawa kaum muslimin yang tidak berdosa. Tiap orang yang tidak
sependapat dengan mereka dicap "kafir". Setiap orang yang sudah
terkena cap itu, oleh mereka dihalalkan darahnya, harta bendanya dan keluarganya.
Abdullah bin Khabbab bersama isterinya yang sedang hamil tua mereka bantai di
tepi sungai bersama seekor babi, hanya karena waktu ditanya tentang sebuah
hadits menjawab: "Ayahku menyampaikan sebuah hadits berasal dari Rasul
Allah s.a.w.: 'Sepeninggalku akan terjadi suatu fitnah (bencana). Dalam
fitnah itu hati orang akan menjadi mati, sama seperti tubuhnya yang juga
mati. Sore hari ia menjadi orang yang beriman dan di pagi hari ia menjadi
orang kafir'…"
Sebelum membantai dua orang suami isteri itu mereka sudah membantai lebih
dulu 3 orang wanita, hanya karena tidak sependapat dengan mereka. Salah
seorang di antara tiga wanita itu ialah: Ummu Saman, yang pada masa hidupnya
Rasul Allah s.a.w. pernah menjadi sahabat setia.
Sekalipun sudah sejauh itu tindakan kaum Khawarij, Imam Ali r.a. tidak
meninggalkan kebiasaannya, yaitu lebih suka bersikap baik sebelum diserang.
Kepada para sahabat dan pasukannya ia berpesan: "Janganlah kalian
menyerang lebih dulu sebelum kalian diserang!"
Kini Imam Ali r.a. dan pasukannya telah tiba di Nehrawan. Sebelum pasukan
Imam Ali r.a. datang, kaum Khawarij sudah tiba lebih dahulu dan terus siaga
untuk mengangkat senjata. Jumlah anggota pasukan Khawarij lebih kurang 1.500
orang, termasuk anggota-anggota pasukan penunggang kuda. Orang-orang yang
sekarang menjadi komandan mereka sejak dulu terkenal cekatan, pemberani,
gigih dan pantang mundur dalam pertempuran.
Imam Ali r.a. telah mengatur pasukannya. Pimpinan sayap kanan diserahkan
kepada Hujur bin Addiy, sedang pimpinan sayap kiri diserahkan kepada Syabatah
bin Rab'iy. Pimpinan pasukan berkuda diserahkan kepada Ayyub Al Anshariy,
sedang pasukan infantri (pejalan kaki) pimpinannya diserahkan kepada Abu
Qatadah. Pengikut lainnya pimpinannya diserahkan kepada Qeis bin Sa'ad bin
Ubadah. Imam Ali r.a. sendiri berada di bagian tengah memimpin pasukan Bani
Mudhar.
Bendera tanda-aman kemudian ditancapkan tiangnya oleh Ayyub Al Anshariy
sambil berseru kepada pasukan Khawarij yang sudah berada di hadapan pasukan
Imam Ali r.a.: "Barang siapa dari kalian yang mendekati bendera ini,
dijamin keselamatannya. Barang siapa pergi masuk kota atau berangkat ke Iraq
(Kufah) dan keluar dari gerombolan, akan dijamin keselamatannya! Kami
dilarang menumpahkan darah kalian, selama kalian tidak menumpahkan darah kami!"
Pasukan berkuda Imam Ali r.a. kemudian maju menjadi barisan terdepan. Sedang
pasukan pejalan kaki memecah diri menjadi dua barisan, berjalan di belakang
pasukan berkuda. Pasukan panah mengatur barisannya sendiri secara berlapis.
Imam Ali r.a. masih tetap mengingatkan perintahnya: "Jangan menyerang
sebelum kalian diserang!"
Pasukan Khawarij mulai bergerak maju. Setelah agak dekat dengan pasukan Imam
Ali r.a., pasukan Khawarij berteriak-teriaka: "Tidak ada hukum selain
Allah." Sahut menyahut, silih berganti sampai sedemikian hiruk pikuk dan
gaduh.
Mendengar teriakan-teriakan itu Imam Ali r.a. berkata kepada beberapa orang
sahabat: "Kata-kata benar diartikan secara bathil. Yang mereka maksud
sebenarnya tidak perlu ada imarah. Imarah (pemerintahan) tidak bisa tidak
harus ada. Soalnya apakah imarah itu baik atau tidak!"
Pasukan Khawarij berganti teriakan. Sekarang yang satu berteriak kepada yang
lain: "Mari berangkat ke sorga! Mari berangkat ke sorga!"
Di tengah-tengah gemuruhnya teriakan itu mereka serentak bergerak menyerang
pasukan Imam Ali r.a. Mereka juga menempatkan pasukan berkuda di barisan
depan dan di belakangnya pasukan pejalan kaki. Serangan serempak mereka itu
disambut dengan hujan anak panah yang dilepaskan pasukan pemanah Imam Ali
r.a. yang diatur secara berlapis. Pasukan Khawarij terpaksa mundur
meninggalkan banyak korban.
Menurut Ats Tsa'labiy, ketika ia menceritakan pengalamannya sendiri
mengatakan: "Waktu kulihat Khawarij dihujani anak panah, mereka
kelihatan seperti iring-iringan kambing yang berusaha menghalangi hujan
dengan tanduk. Pasukan berkuda Imam Ali kemudian menikung dari arah kanan ke
kiri. Imam Ali sendiri bersama sejumlah pasukan yang dipimpinnya melancarkan
serangan menerobos ke jantung pasukan Khawarij dengan pedang dan tombak. Demi
Allah, kulihat belum sempat kaum Khawarij menyelesaikan serangan serentaknya,
banyak sekali dari mereka yang sudah jatuh bergelimpangan."
Masing-masing fihak bertempur mati-matian. Ketangguhan mental kaum Khawarij
ternyata memang tinggi. Sungguhpun demikian tidak sanggup menangkis serangan
pasukan Imam Ali r.a. Peperangan ini berakhir dengan kemenangan di fihak
pasukan Imam Ali r.a. Kurang lebih pasukan Khawarij yang masih hidup sebanyak
400 orang. Semuanya dalam keadaan luka parah. Mereka itu orang-orang yang
sangat keras dan berpendirian teguh. Semboyan "Menang atau Mati"
sudah menjadi perhiasan mereka sehari-hari.
Imam Ali r.a. tidak sampai hati membiarkan mereka dalam keadaan luka parah
dan tidak berdaya. Ia memerintahkan anggota-anggota pasukannya, supaya semua
mereka itu diserahkan kepada sanak famili atau handai tolannya, agar cepat
memperoleh pengobatan dan perawatan. Semua yang ditinggalkan oleh kaum
Khawarij diambil oleh pasukan Imam Ali r.a. Senjata-senjata dan hewan
tunggangan dibagi-bagi, sedang barang-barang lain yang jelas dirampas oleh
kaum Khawarij pada waktu lari dari Kufah, dikembalikan kepada para pemiliknya
semula.
|
0 komentar:
Posting Komentar