Hadirin yang utama !
Masuknya Agama Islam ke tanah air kami Indonesia, yang dahulunya biasa
dinamai orang “Pulau-pulau Hindia Timur”, amat jauh berbeda dengan
masuknya ke negeri yang lain. Memancarnya sinar Islam di negeri kami itu
bukanlah karena dibawa oleh suatu misi tertentu atau angkatan perang
tertentu. Kalau sejarah masuknya Islam ke negeri Mesir ini dimulai dengan
datangnya Sayyidina Amr ibn Al-Ash, dan masuknya ke Afrika karena
kedatangan Sayyidina Okbah bin Nafi’, dan masuknya ke Andalusia karena
Thariq bin Ziyad mengharung lautan menepat kepada bukit yang kemudian
dinamai dengan namanya1, dan masuknya ke India dengan kedatangan
Muhammad bin Qasim, maka yang membawa Islam ke Indoensia adalah
“Pahlawan yang tidak dikenal”!
Pembawa obor Islam yang mula-mula ke Indonesia adalah kaum saudagar,
yang disamping mereka berniaga berjual-beli, langsung menyiarkan agama
Islam. Sebagaimana tuan-tuan ketahui, hubungan perniagaan diantara India
dengan Tiongkok sudah lama benar, melalui Laut Merah dan Selat Malaka.
Oleh sebab itu tidaklah dapat ditentukan dengan pasti bilakah masa, tahun
dan tanggal mulai masuknya Islam ke Indonesia.
Ahli sejarah ada yang berkata bahwa di zaman pemerintahan Yazid bin
Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah yang kedua, telah didapat sekelompok
keluarga orang Arab di Pesisir Barat pulau Sumatera. Artinya sebelum habis
100 tahun setelah Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat.
Tetapi di kurun-kurun ketiga dan keempat Hijriah, di zaman keemasan Daulah
Bani Abbas di Baghdad sudahlah banyak pelajar dan pengembara bangsa
1 Yaitu bukit Jabal Tariq, sekarang dikenal dengan nama Gibraltar
- 1 -
arab itu memperkatakan2 pulau Sumatera, ketika mereka membicarakan
suatu Kerajaan Buddha yang dikenal dalam kitab-kitab mereka dengan nama
“Syarbazah” atau Kerajan Sriwijaya yang terletak di Palembang, Ibu Negeri3
Sumatera Selatan sekarang ini.
Tetapi setelah Indoensia jatuh ke bawah cerpu telapak kaki penjajah Belanda,
mereka menetapkan saja bahwa Islam masuk ke Indonesia di dalam kurun
Ketiga Belas Masehi, karena di abad itulah berdiri Kerajaan Islam di Pasai,
Aceh. Memang sudah menjadi adapt penyusun sejarah di masa lampau,
memulai sejarah dengan berdirinya satu kerajaan. Padahal sudah barang
tentu bahwa bukanlah kerajaan yang berdiri lebih dahulu sebelum ada rakyat.
Didalam abad-abad keempat belas dan kelima belas Masehi, berdirilah dan
tegak dengan megahnya Kerajaan Islam di Semenanjung Tanah Melayu,
yaitu Kerajaan Malaka. Bersamaan dengan itu berdiri pula Kerajaan Islam di
Maluku (yang waktu itu meliputi juga Irian Barat) yang terletak di Ternate. Dan
sebelum itu, sebagaimana saya katakana tadi, yang tertua ialah Kerajaan
Pasai di Aceh itu.
Tetapi dipermulaan abad keenam belas, yaitu tahun 1511, didorong oleh rasa
benci yang sangat mendalam diantara kerajaan-kerajaan Kristen bekas
Perang Salib dan sesudah runtuhnya Kerajaan Islam di Andalus, bangsa
Portugis telah menyerang Malaka sehingga jatuh. Dan diakhir abad itu, yaitu
tahun 1596, masuklah Belanda ke pelabuhan Banten yang permai, terletak di
Pulau Jawa sebelah Barat. Setelah itu, satu demi satu masuklah pengaruh
mereka menaklukkan, kadang-kadang secara kekerasan dan kadang-kadang
secara tipuan, baik di Jawa atau di Sumatera atau di pulau-pulau yang lain.
Maka dengan segala daya dan upaya, tipu dan daya, berusahalah mereka
menghapus pengaruh Islam yang menjadi sendi kekuatan bangsa Indonesia
itu, baik denganpedang ataupun dengan siasat lain. Maka dalam masa 442
tahun di Semenanjung Tanah Melayu (yang telah mencapai kemerdekaannya
31 Agustus 1957 yang lalu)4, dan 350 tahun di Indonesia, mereka berusaha
keras memadamkan cahaya Islam. Tetapi Allah tidak mau melainkan
2 menyebut-nyebut
3 ibukota
4 maksudnya Malaysia
- 2 -
disempurnakanNya juga cahayaNya, bagaimanapun juga orang kafir
menolaknya!
Tuan-tuan yang utama!
Sesudah masuknya Portugis sebagai pembuka jalan, datanglah gelombang
penjajah yang lain; Belanda, Perancis, Inggris, dan Spanyol di pulau-pulau
Pilipina. Hampir 4 abad lamanya kami berjuang untuk tetap hidup, kami
berjuang untuk mempertahankan supaya agama kami jangan hapus karena
pengaruh kekuasaan asing yang berbeda agama itu. Segala sesuatu telah
diambil dengan paksa dari tangan kami, sejak dari kekuasaan raja-raja kami
sampai kepada kekayaan tanah kami yang subur dan pusaka nenek moyang
kami. Sehinga yang tinggal pada kami hanyalah satu saja lagi, yng mereka
tidak sanggup mengambilnya, yaitu Iman dan kepercayaan kami yang dalam
dan teguh, yaitu “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah!”.
Itulah dia obor kami, yang menerangi kami jalan menuju Kebebasan dan
Kemerdekaan. Dan akhirnya keduanya dapat juga kami capai, Alhamdulillah!
Sesudah Perang Salib dan sesudah runtuhnya kerajaan Bani Abbas di
Baghdad ditangan Moghul5 dan Tartar, dan sesudah riwayat sedih Kaum
Muslimin di Spanyol, boleh dikatakan Islam menghadapi pengalamanpengalaman
yang pahit, dan nyarislah Matahari Islam pudar cahayanya di
seluruh Alam Islamy. Tetapi kami bangsa Indonesia dan Melayu menderita
lebih sengsara dan lebih pahit. Karena cengkeraman penjajahan itu, kamilah
yang lebih dahulu menderita, sebelum negara-negara Islam yang lain. Dan
senjata kami yang tinggal satu-satunya, sebagaimana saya nyatakan tadi,
hanyalah Iman yang teguh kepada Allah!
Tetapi darimana kami akan mencari batu ujian peneguhan Iman itu? Padahal
negeri kami jauh dari pusat-pusat kegiatan Islam? Dan Alam Islamy itu sendiri
yang akan kami jadikan suri tauladan telah jatuh pula ke jurang yang
membawa kebekuan berfikir. Diwaktu itu ajaran tasawuf yang salah, yang
membawa jumud dan menyerah diri, yang mengajarkan “Muutu qabla an
tamuutu” (matilah sebelum mati) telah berpengaruh di mana-mana. Dan
5 Mongol
- 3 -
musuh belum juga berpuas hati sebelum kekuatan kami mereka hancurkan.
Dan bekas dari ajaran-ajaran yang lama, baik Brahmana ataupun Buddha
belum pula hilang sama sekali.
Meskipun begitu nasib kami di waktu itu, namun semasa demi semasa
meletus juga pemberontakan melawan penjajahan itu, dan pemimpinnya ialah
Pahlawan-pahlawan Islam belaka. Seumpama Al-Amir6 Diponegoro ditanah
Jawa yang bercita-cita hendak mendirikan sebuah Daulah Islamiyah buat
seluruh Jawa. Dan Tuanku Imam di Bonjol, Sumatera Barat, Minangkabau,
yang terpengaruh oleh ajaran Wahhabi, dan Syeikh di Tiro di Aceh yang
hendak membersihkan Aceh dari kafir dan lain-lain. Semuanya memanggul
senjata memerangi pemerintahan asing dan penjajahan Belanda, mengambil
sumber kekuatan dari Iman kepada Allah yang pasti akan menolong mereka,
cepat atau lambat! Karena Tuhan berjanji “Jika kamu menolong agama Allah,
niscaya Allah akan menolongmu pula dan memperteguh tegakmu”7.
Maka adalah diantara mereka yang mencapai syahidnya di medan perang
dan diantara mereka yang meninggal di tanah pembuangan. Perlawanan itu
semuanya dapat dipatahkan, karena musuh lebih banyak bilangannya dan
lebih lengkap senjatanya. Tetapi mereka itu tetap kekal dalam ingatan dan
jiwa bangsa Indonesia dan kepahlawanan mereka menjadi obor pemancar
sinar dalam ingatan dan jiwa bangsa Indonesia didalam menuju kemuliaan
dan kemerdekaan. Dan nyaris juga kekalahan-kekalahan pahlawan
itumenimbulkan putus asa dan patah semangat, tetapi obor itu tidaklah
sampai padam, untuk menimbulkan cita-cita dan mengembalikan kemuliaan
Islam.
Dalam masa-masa demikian berangkatlah beberapa anak Indonesia ke
Makkah Al-Mukarramah untuk menunaikan rukun haji dan menambah ilmu
pengetahuan Islam. Diantaranya ialah Syeikh Nawawi Bantam8, Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan lain-lain. Mereka pelajari tafsir, Hadits,
Fiqh, Ushul Fiqh dan lain-lain. Maka ada diantara mereka yang pulang ke
Indonesia, tetapi tidaklah mereka membawa fikiran baru untuk kebangkitan,
6 Pangeran
7 Surah Muhammad : 7
8 Maksudnya Syeikh Nawawi Al-Bantani, pengarang kitab Safinat An-Najiyah yang banyak digunakan
di pesantren Indonesia
- 4 -
karena Makkah pada waktu itupun masih diliputi suasana taqlid9. Dan guruguru
mereka mengajarkan bahwa Pintu Ijtihad telah tertutup buat selamalamanya,
sebab orang yang dahulu tidak ada lagi meninggalkan perkara yang
akan dibicarakan. Dan setengah dari mereka pula tidak mau pulang lagi ke
Indonesia, karena tidak tahan hati melihat negerinya yang telah terjajah, lalu
berdiam di Makkah sampai wafatnya, memilih mati di tanah suci.
Saudara-saudaraku yang utama!
Inilah gambaran alam fikiran kami, saya hamparkan dihadapan tuan-tuan,
terutama sepanjang abad-abad kesembilan belas, suasana yang diliputi gelap
gulita. Kegelapan fikiran akhirnya menular pula ke dalam alam politik.
Memang! Kami masih mempunyai raja-raja Islam, tetapi raja-raja itu tidak lain
daripada alat-alat yang tidak berdaya saja dalam tangan kekuasaan Belanda,
untuk ipakai memperbudak dan menekan rakyat Indonesia. Belanda tidak
keberatan memberi mereka gelar yang mentereng, seumpama gelar “Syah
9 yaitu pasca kekalahan Kerajaan Saud dari gempuran komandan Pasya Mesir dari Kerajaan Turki
Utsmani
- 5 -
‘Alam”, “Badrul ‘Alam” dan lain-lain, tetapi gelar tidaklah ada kekuasaan apaapa.
Seakan-akan lidah sikap penjajah berkata: “Berikan kepadaku tanahmu,
hartamu, dan kekuasaanmu, aku berikan bagimu gelar untuk gantinya”. Dan
disebut nama mereka didalam khutbah Jum’at. Dan disamping raja-raja itu
ada pula orang-orang yang disebut ‘ulama, diberi hadiah, diberi pakaian
angkatan dan terkadang dada mereka dihias dengan bintang-bintang. Untuk
membalas kurnia itu mereka pun memberikan pula fatwa-fatwa yang
menyesatkan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Dan sebagai lawan daripada itu ada pula setengah ‘ulama yang telah putus
harapannya daripada mahligai dan singasana raja-raja, lalu mereka
mengundurkan diri jauh-jauh, hidup dalam kebekuan dan “mati sebelum mati”.
Mereka mengutuk dunia semuanya, dunia yang baik atau dunia yang jahat,
semuanya telah mereka pandang dengan mata benci. Maka berpalinglah
umat daripada dunia seluruhnya karena berpaling ‘ulama mereka, dan
salahlah mereka memahamkannya karena kesalahan faham gurunya. Oleh
karena demikian mudahlah bagi si penjajah tadi menguasai dunia yang telah
mereka benci itu. Dan Islam sebagaimana tuan-tuan hadirin lebih maklum
amat jauh daripada hidup apatis dan semangat yang mati itu. Tetapi Islam
menghasung berusaha, bekerja, beramal, dan berjuang, untuk mencapai
hidup yang lebih berbahagia dan mulia, disamping bermal untuk hidup
akhirat, menurut contoh sabda nabi kita: “Bekerjalah buat dunia, seakan-akan
engkau akan hidup selamanya dan bekerjalah buat akhirat seakan-akan
engkau akan mati besok!”.
Keadaan bertambah kacau balau lagi setelah pemerintah Belanda pada tahun
1905 mengeluarkan sebuah undang-undang, bahwa siapa-siapa yang hendak
mengajarkan agama Islam, hendaklah terlebih dahulu mendapat izin dari
pemerintah Belanda, dengan syarat-syarat tertentu. Diantaranya sekali-kali
tidak boleh mengajarkan kepercayaan bahwa Imam Mahdi akan turun diakhir
zaman mengembalikan keadilan kedunia ini. Karena ajaran yang demikian itu
dipandang sangat berbahaya oleh pihak kekuasaan, dapat membuka pintu
kepada memberontak!
Daripada gambaran yang saya kemukakan selayang pandang itu, dapatlah
kita memahamkan bagaimana sangat perlunya pembersihan aqidah daripada
- 6 -
syirik dan bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa negeri
kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan fikiran dan
memperbaharui fahan tentang ajaran Islam sejati. Dan dari sini nampaklah
betapa pentingnya ajaran Al-Ustadzul Imam Syeikh Muhammad ‘Abduh yang
berpuncak pada kemerdekaan fikiran. Dan dalam ajaran Islam sumber
kemerdekaan berfikir itu ialah daripada ‘Aqidah Tauhid, yang memerdekakan
manusia daripada rasa takut, dan rasa tunduk kepada yang lain dari Allah!
Category:
Islam
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar