Pertanyaan ini masih menjadi
misteri dan bahan silang pendapat di antara para pakar sejarah hingga hari ini.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di
Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat
dengan Sunan Gunung Jati. Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon
untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya –seperti gelar Sunan Gunung
Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena beliau tinggal di kaki Gunung
Jati.
Fakta menunjukan bahwa
ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga sebagai ciri khas dusun
itu. Padahal, tempat-tempat
di Jawa umumnya dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu.
Misalnya nama Cirebon yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama
Pekalongan karena banyaknya kalong (Kelelawar). Logikanya, nama ‘Dusun
Kalijaga’ itu justru muncul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun
itu. Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.
Riwayat lain datang dari
kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali
ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga
kali”. Riwayat Kejawen lainnya menyebut nama ini muncul karena Joko Said pernah
disuruh bertapa di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun. Pendapat
yang terakhir ini yang paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film
‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham
dengan kedua pendapat ini.Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau
Jawa (Sunda dan Jawa) dan segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan
kata benda di depan kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku
sebagai subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga
bila ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali yang
menjaga sesuatu’. Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal.
Bila benar bahwa nama itu
diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau karena beliau pernah
menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun non-stop (seperti dalam film), maka
seharusnya namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”. Kemudian
secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang da’i
menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang hari? Tentu saja
tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan Syi’ar-nya, tentu ada banyak hal
berguna yang dapat beliau lakukan. Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama
sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk
akal. Bagaimana bisa seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa
melaksanakan shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam
pendapat saya, kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pendapat yang paling masuk
akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’
dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko
Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah
(Perwalian) Demak didirikan tahun 1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli
(hakim) di Demak oleh Wali Demak saat itu, Sunan Giri. Masyarakat Jawa memiliki
riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya
istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’),
Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan
masih banyak istilah lainnya. Maka tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian
tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.
Posisi Qadli yang dijabat oleh
Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan
pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan
Giri sebagai Wali di Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama
jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga
sebenarnya; ia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam,
Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik
Kita kembali ke Sunan Kalijaga
alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa masa hidup Sunan
Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir
pada 1546) serta awal kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka
kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip dan
babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga zaman
Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di dusun Kalijaga.
Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan
Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut. Logikanya
ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu beliau akan dilibatkan dalam
masalah imamah di Pulau Jawa karena pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat
Jawa. Fakta menunjukan bahwa makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan
di Pajang atau di kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya) –tempat-tempat di
mana Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih
berdiri.
Riwayat-riwayat yang batil
banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan Kalijaga –selain kisah
pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah aneh itu antara lain,
bahwa beliau bisa terbang, bisa menurunkan hujan dengan hentakan kaki,
mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak dan kisah-kisah
lain yang bila kita pikirkan dengan akal sehat nan intelek tidak mungkin bisa
masuk ke dalam otak manusia. Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya
oleh orang gila yang gemar sihir. Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan
berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan
Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak
sekali. Sunan Kalijaga adalah perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan
Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari
tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin
seorang kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas
merupakan tempat peribadatan Islam.
Paham keagamaan Sunan Kalijaga
adalah salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan
‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari sikap tegas beliau yang ikut
berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’
Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat
yang sama.
Kesenian dan kebudayaan
hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang
sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam
masalah akidah. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, beliau menerimanya. Wayang beber kuno ala Jawa yang
mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang
samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa
menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah
haram hukumnya. Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering
bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit
dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan
wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat.
Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap. Pertama
berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan
pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Lakon-lakon yang dibawakan
Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam
Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama
(Pandawa, Kurawa, dll.) beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya
Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang
kuat. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan
karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan
yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat
dengan muatan Keislaman.
- Istilah
‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya
menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang
‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal
Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan
kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri
–Sahih Bukhari)
- Karakter
‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam
hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh bagai paku
yang tertancap, Simaaruddunyaa.
- Karakter
‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya
‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan
kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
- Karakter
‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘teman’.
Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya
untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
- Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.
Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan
sekatenan, grebeg maulud, serta seni suara suluk yang diciptakannya merupakan
sarana dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat
dalam kalbu dan dinilai sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu
sebagai metode semata, metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya. Secara
filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah Saw yang mengandalkan keindahan
syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati
suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.
Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung
dan memberikan hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni,
pun memiliki nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan
Khalifah Umar ibn Khattab ra. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk
memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang
membutuhkannya. Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah
pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa
dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli Kejawen.
Budaya sebanarnya dapat dijadikan media untuk memahami
agama, apalagi untuk bangsa atau daerah yang mempunyai kebudayaan local yang
begitu kental. Di daerah pedalaman atau yang peradabannya sedikit tertinggal
biasanya kebudayaan local lebih memiliki dampak yang serius dibandingakan
agama, peraturan pemerintah dan lain-lain.
Akan mudah diterima jika kita mengajarkan hal yang baru
kepada seseorang ataupun kepada suatu kelompok bila ajaran itu tidak berbau
pemaksaan. Bila lebih lembut dan mengikuti apa yang dianut oleh orang yang kita
ajarkan akan lebih mudah. Karena
mereka akan merasa nyaman dan secara tidak langsung mereka akan terbawa apa
yang kita ajarkan.
Begitu juga dalam mengajarkan
agama. Sebagai islam adalah agama yang moderat, tidak ada pemaksaan dalam
penyebaran dan memahami islam. Semua dilakukan dengan lemah lebut dan tindakan
yang baik. Metode ini pun diterapkan oleh tokoh terkemuka di Indonesia, yaitu
para wali songo yang mengajarkan islam dengan menggunakan budaya local untuk
memudahkan pemahaman agama islam.
Harian Duta Masyarakat mengungkap,
sebenarnya Islam masuk Nusantara sejak zaman Rasulullah. Yakni berdasarkan
literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab
Islam di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat
persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab
menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathuthah, pengembara muslim, yang ketika
singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar
mazhab Syafii. Tapi baru abad 9 H (abad 15 M) penduduk pribumi memeluk Islam
secara massal (Duta Masyarakat, 28-30 Maret 2007). Masa itu adalah masa
dakwah Walisongo.
0 komentar:
Posting Komentar