Kata agama dan kebudayaan merupakan dua kata yang seringkali bertumpang
tindih, sehingga mengaburkan pamahaman kita terhadap keduanya. Banyak pandangan
yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula
yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali
membingungkan ketika kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan
kita sehari-hari.
Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu(i) .
Koentjaraningrat juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yang
terdapat dalam semua kebudayaan yaitu, sistem
religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan(ii).
Pandangan di atas, menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan.
Dengan demikian, agama (menurut pendapat di atas) merupakan gagasan dan karya
manusia. Bahkan lebih jauh Koentjaraningrat menyatakan bahwa unsur-unsur
kebudayaan tersebut dapat berubah dan agama merupakan unsur yang paling sukar
untuk berubah.
Ketika Islam diterjemahkan sebagai agama (religi) berdasar pandangan di atas, maka Islam merupakan hasil dari
keseluruhan gagasan dan karya manusia.
Islam pun dapat pula berubah jika bersentuhan dengan peradaban lain dalam
sejarah. Islam lahir dalam sebuah kebudayaan dan berkembang (berubah) dalam
sejarah. Islam merupakan produk kebudayaan. Islam tidaklah datang dari langit,
ia berproses dalam sejarah
Pandangan tersebut telah melahirkan pemahaman rancu terhadap Islam.
Pembongkaran terhadap sejarah Al-Qur’an, justifikasi terhadap ide-ide sekulerisme,
dan desakan untuk ‘berdamai’ menjadi Islam Inklusif, merupakan produk dari
kerancuan pemahaman tersebut.
Agama yang disebut dalam pandangan Kontjaraningrat di atas tentu tidak
dapat dinisbatkan kepada Islam. Pemaksaan untuk memasukan Islam dalam teori
tersebut akan menghasilkan pemahaman yang rancu. Islam seharusnya diberi
kesempatan untuk menafsirkan dirnya sendiri. Islam pun harus berikan
keleluasaan untuk mendevinisikan kebudayaan.
Islam dan Kebudayaan
Buya Hamka menyatakan bahwa kepercayaan
kepada Yang Maha Kuasa itu sedia telah ada dalam jiwa manusia sendiri(iii).
Hal itulah yang universal dalam diri manusia, fitrah manusia. Manusia melihat
alam yang megah dan berbagai fenomena luar biasa, kemudian mencoba untuk
menjelaskannya.
Dari fitrah itulah menusia kemudian mencari tahu “siapa yang Maha Kuasa?”.
Pencarian manusia tersebut telah melahirkan banyak paham dan pandangan yang
kemudian dipercayai sebagai agama. Agama-agama semacam ini bukanlah agama yang
diturunkan Allah Swt kepada para nabinya, tetapi agama yang berasal dari akal
budi dan gagasan manusia. Agama semacam inilah yang tepat untuk dinisbatkan
kepada teori Kuntjaraningrat di atas.
Hanya Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Buya Hamka menyatakan : Permulaan perjalanan dinamakan fitrah.
Akhir dari perjalanan dinamai Islam(iv). Yang dimaksud dengan kalimat tersebut yaitu, bahwa fitrah manusia
untuk mencari Yang Maha Kuasa, akan tetapi manusia akhirnya menyerah karena
akal tidak cukup untuk memahaminya. Islam memberikan penjelasan apa yang tidak bisa dijelaskan oleh akal.
Itulah kenapa agama ini dinamakan Islam.
…maka
insaflah manusia akan kelemahan dirinja, dan insaf akan ke-Maha Besarnja Jang
Ada itu. Maka menjerahlah dia dengan
segala rela hati. Penjerahan jang
demikian dalam bahasa Arab dinamakan Islam(v).
Lebih jauh
Syed Naquib Al-Attas menyatakan:
…Maka
dengan pengertian faham agama yang bernisbah kepada kebudayaan seperti yang
biasa difahamkan dalam pengalaman Kebudayaan Barat itu tiada pula dapat
dikenakan kepada agama Islam –berbeza dari yang lain yang sesungguhnya
merupakan keagamaan belaka— bukan hasil
renungan atau teori, bukan hasil agung dayacipta insan sebagaimana kebudayaan itu hasil usaha dan dayaciptanya dalam tindakan menyesuaikan
dirinya menghadapi keadaan alam sekeliling. Islam adalah agama dalam erti kata
yang sebenarnya, iaitu agama yang ditanzilkan oleh Allah Yang Mahasuci lagi
Mahamurni dengan perantara wahyu menerusi PesuruhNya yang Terpilih, dan
dasar-dasar akidahnya dinyatakan dalam Kitab Suci Al-Qur’anu’l-Karim, dan
amalan-amalannya dicarakan dalam Sunnah NabiNya yang Agung itu. Dipandang
sebagai suatu peristiwa sejarah pun maka Islam itulah yang mengakibatkan
timbulnya kebudayaan Islam, dan bukan
sebaliknya: bukanlah sesuatu kebudayaan itu yang mengakibatkan timbulnya agama
Islam(vi).
Sementara
Prof. Dr. Amer Al-Roubai menyatakan:
Di Barat, agama
adalah bagian dari kebudayaan, sedangkan di Islam, budaya didefinisikan oleh
agama(vii).
Islam
bukanlah hasil dari produk budaya (seperti yang dituduhkan oleh Nasr Hamd Abu
Zayd). Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban yang
berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan peradaban Islam.
Peradaban Islam memiliki pandangan hidup (worldview) yang berbeda dengan peradaban lain. Cara pandang hidup
yang berbeda inilah yang menghasilkan konsep-konsep yang berbeda pula. Oleh
karena itu, merupakan hak Islam untuk menggunakan pandangan hidupnya (dalam
bahasa Al-Attas: ar-Ruyatul al Islam li
al-wujud) untuk memahami setiap keberadaan, termasuk kebudayaan.
Dengan pemahaman di atas, kita
dapat memulai untuk meletakan Islam dalam kehidupan keseharian kita. Kita pun
dapat membangun kebudayaan Islam dengan landasan konsep yang berasal dari Islam
pula.
Sebagai sebuah kenyatan sejarah,
agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai
dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan.
Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di
dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan
kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang
final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut).
Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa
kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa
kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat[1].
Interaksi antara agama dan
kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi
kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah
kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua,
agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia
mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan
hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol
agama[2].
Agama dan kebudayaan mempunyai dua
persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya
mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu
sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai
konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata
normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.
Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia
(dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan
religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan,
sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar
sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak
yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah
untuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang
dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dan
cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendo”akan kesalehan
anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan.
Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalam
tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi
orang yang meninggal [3].
Oleh karena itu, biasanya terjadi
dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna
(spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama.
Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini
berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat
istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat
yang bersifat absolut.
Epistemologi
Pribumisasi Islam
Gagasan pribumisasi Islam, secara
geneologis dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an.
Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang
normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal
dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada
lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat
muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri
dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri?
Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari
kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak
hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindari
polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak
terhindarkan[4].
Pribumisasi Islam telah menjadikan
agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar
keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta
berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan
budaya.
Pada konteks selanjutnya, akan
tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya,
dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘Islam
Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di
seluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragaman
interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang
berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal,
melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah
sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami
historisitas yang terus berlanjut[5].
Sebagai contoh dapat dilihat dari
praktek ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana digambarkan oleh
Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal yang cukup
erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya, dimaksudkan agar
manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan dari pemahaman
ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dan
sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan
manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini
jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluq
yang mulia[6].
‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban
dari Islam otentik mengandaikan tiga hal. Pertama, ‘Islam Pribumi’
memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait
dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi
kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan mengalami
perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘Islam
Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai
ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi
dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga,
‘Islam Pribumi’ memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi
ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa
melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid
dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.
Dalam konteks inilah, ‘Islam
Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk
pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan
identitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologi
kultural yang tersebar (spread cultural ideology)[7],
yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang
memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat
tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang
oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi
terciptanya perdamaian.
Otentisitas Islam Pribumi
Cuma permasalahanya apakah Islam
pribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam perspektif doktrin Islam. Mengabsahan ini
penting menyangkut sosialisasi dan internalisasi Islam pribumi sebagai wacana
pembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan Islam telah
menuduh Islam pribumi sebagai sebagai pengejawantahan dari praktek bid’ah yang
telah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan ahli
bid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah Islam Jawa telah direkam
bagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam memberangus praktek sufime
yang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.
Ambillah contoh misalnya tentang
konfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak. Seperti
diketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang mempunyai
kecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering
menimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris
resmi Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan ia
meremehkan hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulah
penguasa kerajaan Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk
memadamkan pengaruh mistik, sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu
menyebabkan orang menjadi individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.
Demikianlah, akhirnya Demak
menghukum Syekh Siti Jenar dengan cara membakar hidup-hidup (meskipun pada
akhirnya konon dia tidak mati) yang melambangkan disirnakannya sufisme dan
mistis Islam untuk digantikan dengan syari’at demi ketertiban negara. Walaupun
Kuntowijoyo[8]
menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama antara
keyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang yang
dicontohkan oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena faktor
kekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yang
diusung ke dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status quo
kekuasaan, maka ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran itu
membahayakan kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan kegoncangan
sosial, maka ajaran tersebut diberangus secepatnya.
Klaim-klaim yang dilontarkan
kelompok Islam Puritan perlu mendapat counter discourse untuk sebuah
agenda dialog terbuka yang membuka peluang adanya new paradigm
masing-masing yang berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan mempunyai
pemahaman bahwa al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yang
komprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar manusia sampai
kapanpun, akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalam
pandangan Mark R. Woodward[9]
tidak akan mungkin terjadi. Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi watak
al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lainnya, untuk berbicara secara
komprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika, ritual, dan aspek-aspek
keagamaan lainnya.
Sistem-sistem doktrinal, begitu
kata Mark R. Woodward selanjutnya, yang komprehensif hanya bisa muncul melalui
penafsiran. Teologi dan hukum Islam didasarkan pada penafsiran al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah dimulai tidak lama sesudah Nabi Wafat
dan berpuncak dalam bentuk hadis dan syari’at semikanonik [10].
Hadis dan syari’at termasuk aspek
doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman,[11]
mendefinisikan hadis sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang
pokok isinya memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau
apa yang disetujui dan tidak disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuat
menunukkan bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai praktek-sosial
keagamaan komunitas Muslim awal, berapa diantaranya dapat dilacak langsung ke
Nabi[12].
Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya
prinsip-prinsip al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang
bentuk-bentuk praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk
pernyataan-pernyataan dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi
inpvasi dan interpretasi keagamaan.
Selain itu, hadis dikembangkan
untuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang luas. Penting kaitannya dengan
hal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang berbeda dengan mayoritas
Sunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953) bahwa salah satu dari
tujuan utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan kedudukan-kedudukan
teologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak mengakui, proses
“pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas tanpa
terjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu,
sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dan
temuan-temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enam
kumpulan semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an,
merupakan inti Islam “ortodok”.[13]
Kemunculan literatur hadis
memberikan contoh jernih peran penafsiran dan simbolisasi dalam evolusi
tradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang melaluinya
prinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkan
tradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk menyusun dan
menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untuk
skripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad).
Hadis menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agama
pemujaan (devotional religion), dan ini melengkapi suatu lingkaran
penafsiran.
Sama halnya dengan peran
penafsiran dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher[14]
melihat bahwa perkembangan hukum didorong sebagian besar oleh penaklukan Arab
tas kawasan Byzantium dan Persia, dan syari’at menggunakan yurisprudensi
Romawi. Hukum Islam didasarkan pada empat prinsip fundamental : (1) al-Qur’an,
(2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama (ijma’), (4), analogi (qiyas) (Rahman, 1979 :
68). Ia berupaya untuk memperluas prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’an
atau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk semua segi tingkah laku
keagamaan dan sosial.
Karakter syari’at bersama dengan
penggunaan konsensus dan analogi sebagai prinsip-prinsip penafsiran memunculkan
perdebatan tentang pokok persoalan yang jauh terlepas dari tema sentral
al-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema yang membebaskan
“dari beban yang menyusahkan”.[15]
Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan diperhitungkan
dalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus roh Jawa
(javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungan
dengan keabsahan perkawinan antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwa
bentuk asus hukum ini merupakan salah satu dari faktor utama yang mendorong
berkembangnya sufisme.
Penjelasan panjang tersebut untuk
menjawab klaim kelompok puritan bahwa kelompok mereka yang paling otentik dalam
mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Otentisitas memang menjadi salah satu
kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran agama. Tetapi seringkali diabaikan
di sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi pemikiran
dan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi historis dari ajaran
agama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran agama, seolah-olah
agama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak dan juknis,
padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama sarat
dengan penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana ada
dialektika dengan struktur budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di sini
Islam Pribumi menemukan keabsahannya.
Dakwah dan
Tradisi Lokal
Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsi
kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang
pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam
perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama,
walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.
Kalangan ulama Indonesia memang
telah berhasil mengintegrasikan antara keIslaman dan keindonesiaan, sehingga
apa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan nilai Islam, karena
Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau idiologi apalagi
adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, tidak
perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itu
dilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam ke
dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang mengganti
kebudayaan itu sendiri.
Islam yang hadir di Indonesia juga
tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam
di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur
Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan
mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan
Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup
cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu.
Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk
mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah
ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan
tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.[16]
Berbeda dengan agama-agama lain,
Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan
dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan)
atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid
pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan
dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya
lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan
gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak
memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat
lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahami
nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes dan halus
dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai
budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan
sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama
tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan
kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang
dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak
menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir,
tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan
memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang
lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di
Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena
orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan
hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di
masa lalu cenderung sufistik sifatnya.[17]
Secara lebih luas, dialektika
agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalam
perspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam,
karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokal
setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasi
budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya. Salah satu
contoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi dengan
ajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi oleh
Islam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan dan
yang lainnya.
Dialektika antara agama dan budaya
lokal juga terjadi seperti dalam penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau di
Cirebon), dan hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakan
satu minggu sesudah Idulfitri. Dalam perspektif sejarah Islam Indonesia,
upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan para wali untuk menyebarkan
ajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara penyelenggaraan maulid Nabi
yang ditransformasikan dalam upacara sekaten. Substansinya adalah untuk
memperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan dari syahadatain)
sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya Jawa
Wujud dakwah dalam Islam yang
demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk
mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut
Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi,[18]
sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:
Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur
itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat,
bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akan
memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya.
Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya
sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus
produksi.
Berbeda dengan pandangan Weber
yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini
dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut
pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat.
Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan
makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha
merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala
(ideografik). [19]
Dengan demikian, mengikuti premis
Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau
ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan
bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih
sama.
Demikian pula dengan ritus-ritus
semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua pada
level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas
nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata
ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya.
Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan,
tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain high
tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin
ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang
niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi
tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub
ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang
dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol
kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan
Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak
dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak
menikmati agamanya.
Adalah sebuah kenyataan sejarah yang tak bisa dipungkiri bahwa masuknya
Islam ke Indonesia (baca: Nusantara) lebih banyak mengandalkan jalur-jalur
kultural ketimbang aksi kekerasan. Mulai dari era dakwah para saudagar Arab dan
Gujarat, bahkan komon termasuk para pedagang Cina, di wilayah-wilayah pesisir
Nusantara pada abad ke-7. Banyak artefak dan dokumen sejarah membuktikan bahwa
pada masa itu secara pelan Islam merasuki wilayah nusantara ini. Bahkan
diasumsikan pada masa itu kontak perdagangan antara kerajaan-kerajaan di
Nusantara khususnya Airlangga dan Singosari dengan Tiongkok telah terjalin
dengan baik. Meskipun secara pelan, justru para penyebar Islam itu tidak
memiliki tendensi secara praktis sebagai salah satu ekspansi politik.
Tidak ada sebuah data sejarah yang menjelaskan terjadinya perebutan suatu
wilayah oleh penyebar Islam melalui peperangan seperti yang terjadi di Timur
Tengah.
Setelah para penyebar itu menjalin hubungan yang baik dengan
tradisi kultural masyarakat saat itu dengan memperlihatkan kesantunan ajaran
serta perilaku-perlaku yang meneduhkan, Islam meluas hingga ke pusat-pusat
kekuasaan kerajaan. Ini terbukti, bagaimana Sunan Ampel sangat dekat dengan
raja Brawijaya di era Kerajaan Majapahit. Kiprah Sunan Ampel telah mengantarkan
Walisongo memiliki peranan penting perkembangan Islam selanjutnya. Islam telah
merambah ke pelbagai pelosok tanah Jawa bahkan menyebar ke seluruh Nusantara.
Keberhasilan para Walisongo tidak terlepas dari strategi dakwahnya. Islam
nyaris selalu diperkenalkan kepada masyarakat melalui ruang-ruang dialog, forum
pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya,
yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi, apalagi sampai menumpahkan
darah.
Bahkan sewaktu komunitas muslim terbentuk di wilayah Demak, tepatnya di
daerah Glagahwangi, tak ada bukti sejarah yang menceritakan penguasaan wilayah
itu melalui peperangan. Hingga komunitas itu mendapatkan momentumnya menjadi
sebuah kerajaan Baru dengan hancurnya kerajaan Majapahit. Seketika itu juga
Walisongo mengukuhkan Raden Fatah, putra Raja Brawijaya V menjadi rajanya.
Sejarah barangkali memetakan bahwa kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama
di Jawa, tapi meragukan bagi kita bahwa kerajaan itu benar-benar menjadi
kekhalifahan sepertihalnya imperium yang ada di pusat Islam, Timur Tengah.
Benar bahwa Islam saat itu telah menjadi kekuatan politik yang cukup penting,
tapi bukan berarti para Walisongo bermaksud mendirikan Kerajaan Islam yang
kemudian melakukan ekspansi pengislaman wilayah-wilayah lainnya. Benar,
pemegang tampuk kekuasaan dan para menterinya muslim tapi tidak ditemukan data
sejarah jikalau mereka menerapkan sistem kekhalifahan atau menerapkan syari?at
Islam secara formal. Ada pertanyaan yang menarik untuk direnungkan, kenapa
bukan anggota walisongo yang menjadi rajanya, tapi Raden Fatah yang masih
memiliki kesinambungan dengan raja-raja Nusantara, khususnya Majapahit?
Ini artinya Islam bukan menjadi ideologi politik yang harus diperjuangkan
secara politis, tapi sebagai sumber nilai dan norma-norma untuk menjalankan
perilaku-perilaku para pemegang kekuasaan. Kita bisa membaca bagaimana bentuk
kerajaan dikonstruksi dan bagaimana telah terjadi proses saling mengambil,
belajar serta dialog antara nilai Islam dan manifestasi budayanya. Para
walisongo sangat hati-hati menancapkan bentuk-bentuk keberagamaan bagi rakyat
dengan menyelaraskan tingkap pengetahuan dan budaya saat itu. Munculnya kasus
Siti Jenar sebaiknya dipahami dalam konteks penyelarasan yang memang saat itu
sangat penting bagi komunitas muslim yang masih baru terbentuk. Proses
penyelarasan bukan berarti ?penyeragaman? namun penekanannya lebih pada
kesesuaian dan ketepatan mengajarkan keislaman bagi masyarakat yang
berbeda-beda tingkat pengetahuannya.
Strategi yang kemudian oleh para sejarawan lebih dikenal dengan strategi
akomodatif ini merupakan kearifan para penyebar Islam menyikapi proses-proses
inkulturasi dan akulturasi. Hal yang sama juga terjadi di Samudera Pasai,
Sumatera dengan konteks historis dan budayanya. Namun, di Sumatera
memiliki warna yang lebih integratif antara Islam dan adat setempat. Proses
akomodatif dan integratif ini merupakan upaya-upaya dialogis dan toleransi yang
dikedepankan oleh penyebar Islam. Peperangan-peperangan yang terjadi lebih
disebabkan oleh perebutan kekuasaan, bukan oleh agama. Sekali lagi, tidak ada
dokumen sejarah yang menjelaskan bahwa terjadi ekspansi secara paksa dengan
kekerasan dan peperangan yang dilakukan oleh penyebar Islam awal.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan
telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak
adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau
atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra
Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga
memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap
keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru
beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya
syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan
jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur
asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran
terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian
juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam
Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan.
Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya
dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas
terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur
khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.
Pada periode berikutnya, ketika imperalisme Barat mulai bercokol di bumi
Nusantara ini, masyarakat muslim menjadi tantangan strategis bagi mereka.
Kolonialisme yang telah melakukan praktik-praktik penindasan, kekerasan dan
penguasaan secara paksa mengantarkan masyarakat muslim melakukan perlawanan.
Namun, dalam konteks penyebaran Islam tetap melakukan proses-proses
inkulturasi dengan budaya setempat, dengan keberagamaan lainnya yang ada di
bumi Nusantara. Jadi, secara kultural tidak menjadi problem bagi perkembangan
Islam.
Persoalan muncul justru dari keberbedaan secara politis menyikapi para
kolonialis. Seperti yang ditunjukkan ketika penguasa suatu kerajaan di
Nusantara berpihak kepada kepentingan kolonialis, kemudian membawa masyarakat
Islam terpecah-pecah. Keterpecahan yang semula secara politis kemudian mengarah
ke arah perbedaan keberagamaannya. Berdirinya organisasi keberagamaan
Muhammadiyah dan NU dapat dibaca dalam konteks ini. Dampak kolonialis yang
telah memecah-mecah komunitas Islam itu terlihat jelas ketika terjadi
perdebatan sengit penyusunan dasar negara Indonesia tentang penerapan syari?at
Islam. Saat itu terlihat dua arus besar, arus puritanisasi (pemurnian) Islam
dan arus moderasi Islam. Namun, demi kemerdekaan Indonesia mereka harus
menyatukan visi dan arah perjuangan.
Tidak bisa dipungkiri organisasi apapun yang lahir sebelum 1945 yang
didirikan oleh masyarakat pribumi termasuk yang di luar negeri selalu
mengedepankan kemerdekaan Indonesia sebagai avant garde cita-cita yang
ingin diraih. Demikian juga NU, dengan caranya sendiri, membangun basis gerakan
dan argumentasi tentang kemerdekaan Indonesia. Akhirnya, dasar negara tidak
perlu mencantumkan berlakunya syari?at Islam.
Meskipun demikian bukan berarti arus puritanisme Islam padam. Sejarah
mencatat beberapa peristiwa pemberontakan DI (Darul Islam) di berbagai daerah
di Indonesia. Belum padamnya arus puritanis Islam itu mengemuka kembali ketika
arus modernisasi masuk ke Indonesia. Respon dan penyikapan setiap komunitas
Islam terhadap modernisasi pada akhirnya mewarnai proses perkembangan Islam di
Indonesia. Kita bisa menyimak bagaimana pada tahun 70 dan 80-an kebijakan
Pancasila sebagai asas tunggal menjadi perdebatan.
Hendak dikatakan di sini bahwa semua sikap di atas menunjukkan bahwa
pandangan Islam terhadap negara yang ketika itu sebagai fenomen modernitas
paling jelas, diletakkannya bukan sebagai alternatif dari bentuk Islam
melainkan sebagai instrumen belaka. Sebaliknya, Islam juga bukan sebagai alternatif
dari bentuk negara yang baru itu sendiri. Titik temu paling siginifikan antara
modernitas yang ditampilkan melalui negara dan Islam adalah apakah
masing-masing bisa mengakomodasi pada tingkat substansi. Substansi itu dalam
konteks cara pandang fiqh pesantren adalah jaminan keabsahan keberagamaan yang
esensial dalam Islam yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dan tuntutan
orang per orang umat?menurut fiqh?yang terrepresentasi dalam keabsahan
pernikahan, dan sisi lainnya adalah kebebasan beribadah menurut keyakinan dan
kepercayaannya. Sedangkan kemerdekaan politik merupakan prasyarat utama bagi
berlangsungnya dua hal di atas.
Dalam konteks inilah sebenarnya pesantren memiliki peran yang penting
sebagai benteng perjuangan kemerdekaan politik tersebut. Pesantren adalah salah
satu segmen dalam masyarakat Indonesia yang memiliki akar sangat kuat dalam
masyarakat Indonesia pada umumnya, bahkan bisa disebut subkultur, sebuah
kelompok masyarakat yang memiliki sistem nilai dan pandangan hidupnya sendiri sebagai
bagian dari masyarakat luas. Tetapi karena tempatnya yang pada umumnya di
pedesaan dan menerapkan pendidikan dan tradisi keagamaan (Islam) tradisional,
maka dinamika yang ada di dalamnya kurang mendapatkan ekspose yang secukupnya.
Bahkan pergulatan politik dan kemasyarakatannya pun kurang diperhitungkan
karena dianggap kurang memberikan kontribusi dalam perjalanan bangsa.
Banyak orang tiba-tiba tersentak ketika kelompok tradisionalis yang cukup
banyak pengikutnya ini menggeliat merespon kemodernan dengan kekuatan
tradisinya sendiri tanpa kehilangan akomodasinya terhadap gejala kemodernan.
Salah satu momentum itu adalah ketika NU kembali ke khittah 26 dan menerima
Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi dengan menggeser Islam Ahlusunnah
Waljamaah yang semula asas menjadi aqidah. Ketika itu kelompok-kelompok
Islam lain maupun agama lainnya masih ragu-ragu dan berupaya dengan keras
menyusun argumen dan mencari legitimasi keagamaan untuk itu. Kiat yang
dilakukan NU (pesantren) ini dianggap sebagai terobosan yang di satu pihak
memberikan jalan keluar dari jalan buntu pertemuan Islam dan modernitas dan di
lain pihak tanpa kehilangan kekuatan tradisinya sendiri.
Pengamatan sepintas, akan menggiring orang pada anggapan bahwa
seolah-olah NU hanya mengikuti apa saja kemauan penguasa ketika itu yang
represif dan tidak memberikan pilihan kepada kelompok-kelompok sosial untuk
memilih jalannya sendiri. Di luar sikap bahwa baik untuk tetap bernaung di
bawah partai Islam maupun mengambil langkah mundur adalah sama-sama harus
mengikuti kemauan penguasa, maka itu semua sesungguhnya sebagai sikap kreatif
untuk menghindari tekanan penguasa secara langsung di satu pihak dan menuntut
kemandirian di lain pihak. Sikap demikian kalau ditelusuri lebih jauh ternyata
memiliki dasar-dasar paham keagamaan dan tradisinya sendiri di dalam NU.
Kembali kepada khittah 26, sesunggunya merupakan transformasi lanjutan dari apa
yang telah diperjuangkan NU sejak berdirinya. Selalu ada dua faktor, pengaruh
ekternal dan internal dalam perubahan di dalam NU--atau di dalam organisasi
apapun. Tetapi, tampaknya, untuk menanggapi itu semua pesantren/NU lebih
mengandalkan pada kemampuan dan tradisinya sendiri ketimbang pencomotan tradisi
lain dengan penuh kekaguman.
Ada dua situasi eksternal yang mendorong terbangunnya para ulama
tradisional itu, yaitu kolonialisme dan serangan yang tajam dan terus menerus
oleh kalangan apa yang disebut Islam modernis. Kolonial Belanda melakukan
represi kepada masyarakat di bidang politik dan ekonomi sementara kalangan
Islam modernis melakukan represi di bidang paham dan praktek keagamaan. Semua
ini memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi masyarakat luas, yaitu
kemiskinan dalam ekonomi, kebodohan dalam pendidikan dan politik, serta
kegelisahan dan tekanan dalam beragama.
Ketegangan pun terus terjadi, baik di dalam masyarakat maupun dalam
pertemuan-pertemuan kongres Al-Islam?sebuah kongres yang diikuti oleh sebagian
besar kelompok-kelompok Islam di nusantara?antara kelompok Islam modernis dan
Islam tradisionalis. Salah satu topik diskusi di kalangan Islam yang sedang
hangat ketika itu adalah tentang kekhilafahan Islam internasional sehubungan
dengan penghapusan kekhalifahan Daulah Utsmaniyah oleh penguasa Kemalis
Republik Turki. Di dalam negeri terjadi perdebatan tentang representasi Islam
untuk mengikuti arus internasional tersebut, di samping kecaman dan bahkan
pengrusakan oleh Islam modernis terhadap tradisi-tradisi ritual lokal yang juga
dipraktekkan dan diajarkan oleh kalangan pesantren.
Dengan demikian, kehadiran Islam yang kini menjadi agama mayoritas di
Indonesia sulit disangkal merupakan hasil dari proses panjang penetrasi budaya
yang tentu saja mengandaikan adanya sebuah dialog intensif di dalamnya antara
doktrin-doktrin agama itu sendiri dengan beragam tradisi dan tata nilai lokal
yang lebih dulu hidup dan dianut banyak orang. Kendati agama nabi Muhammad
tersebut awalnya datang dari daratan Timur Tengah, yang penampakan historisnya
pada tingkat tertentu tidak mungkin steril dari pengaruh gaya dan corak
kehidupan bangsa Arab, ia hampir dapat dipastikan mengalami ekskelektisasi
kultural yang khas Indonesia tatkala mewujudkan diri sebagai agama masyarakat
Indonesia.
Lantas kenapa akhir-akhir ini muncul radikalisasi Islam di Indonesia?
maraknya kekerasan yang dilakukan segelintir kalangan Islam garis keras telah
mewarnai halaman sejarah bangsa Indonesia. Fenomena laskar jihad dan
dalam konteks terorisme adalah Jami?iyah Islamiyah telah menggiring wajah Islam
di Indonesia menjadi garang dan radikal. Sehingga banyak kalangan
menyebutnya sebagai kebangkitan fundamentalisme Islam di Indonesia.
Dilatarbelakangi kondisi ini pula, banyak kalangan muslim yang juga membendung
fenomena tersebut. Jaringan Islam Liberal adalah salah satu kelompok yang
secara terbuka menghadang gerakan radikal tersebut.
Seluruh umat Islam sepakat untuk memegang teguh al Qur?an dan Hadis
sebagai pedoman dalam menjalan ajaran Islam, namun bukan tanpa masalah ketika
terbentur oleh batas-batas etnisitas dan rentang waktu. Di Arab sendiri dan
bangsa-bangsa sekitarnya pemahaman atas al Qur?an dan Hadis cukup bervariasi.
Tak pelak juga terjadi di Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Persebaran Islam
telah melewati tradisi-tradisi kultural dan rentang sejarah yang panjang
sehingga otentisitasnya sudah tidak terdeteksi lagi. Dengan demikian, variasi
keberagamaan tersebut terletak pada bagaimana mereka memahami dan menafsirkan
teks baik yang tertulis maupun yang ditangkap dalam historisitas peradaban
Islam. Dari sinilah, dibutuhkan keberagamaan yang inklusif, pluralis dan ramah.
Dalam ilmu sosial, para penguasa menyadari bahwa jika tidak disertai
dengan proses integrasi yang massif dan solid, proses diferensiasi (keberbedaan)
selalu meninggalkan dampak-dampak negatif. Fakta sosial ini ternyata juga
sangat disadari berkembang dalam penyebaran Islam dan persebaran tradisi
kultural Arab sebagai tempat lahirnya Islam. Karenanya, pandangan universalisme
Islam cenderung untuk diusung dalam kerangka formalnya sesuai tradisi kultural
Arab. Padahal universalisme Islam, jika kita bermaksud untuk diterima tradisi
kultural lainnya, harus bertolak dari nilai-nilai (values) yang
menyimpan pesan dan makna universalnya.
Oleh karena itu, yang harus pertama kita sepakati adalah bahwa pesan yang
dibawa oleh Islam bersifat universal. Tetapi di saat yang sama, Islam juga
merupakan respon atas keadaaan yang bersifat khusus di tanah Arab. Oleh
karenanya, kita harus menyadari bahwa Pertama, Islam lahir sebagai
produk lokal yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi sehingga
kemudian menjadi Islam universal. Maksud Islam sebagai produk lokal adalah
Islam lahir di Arab, tepatnya daerah Hijaz, dalam situasi Arab dan pada waktu
itu ditujukan sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di
sana. Hal ini kemudian dikonstruksi sebagai potret dari kecenderungan global.
Kedua, betapapun Islam itu diyakini wahyu Tuhan yang universal,
yang gaib, akhirnya dipersepsi oleh si pemeluk sesuai dengan pengalaman,
problem, kapasitas intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman
masing-masing pemeluk di dalam komunitasnya. Dengan demikian, memang justru
kedua dimensi ini perlu disadari yang tidak mungkin di satu sisi Islam sebagai
universal, sebagai kritik terhadap budaya lokal, dan kemudian budaya lokal
sebagai bentuk kearifan masing-masing pemeluk di dalam memahami dan menerapkan
Islam itu.
Klaim universalitas Islam itulah yang justru membuat Islam bisa dipahami
di dalam beragam sistem budaya, tempat Islam akan ?disemaikan.? Sehingga klaim
standarisasi keislaman seperti yang tercermin di Arab tidak ada, akan tetapi
Islam di Indonesia setara dengan Islam di India, Islam di Persia maupun Islam
di Arab. Bahwa Islam Indonesia misalnya dengan beberapa karakteristiknya tentu
sangat berbeda dengan Islam-Islam di tempat lain meskipun subtansialisnya sama.
Karena tradisi merupakan domain Islam historis, maka sejarah telah
mengkomunikasikan teks Kitab Suci dengan budaya tertentu dengan proses-p9roses
pemahaman, penafsiran dan 4akhirnya penerapan ajaran teks itu sehingga telah membentuk
suatu tradisi yang bervarian.
Dalam konteks sosial tertentu, pandangan keislaman bisa dipertahankan
atau bertahan dengan baik. Hukum syari?at, misalnya, dalam bentuknya yang ada,
sebagai sebuah himpunan (corpus) komprehensif dari peraturan-peraturan
hidup, kini tampak terikat pada asumsi-asumsi sosial tertentu yang sudah
ketinggalan zaman. Banyak muslim ingin ?memodernkan? nya. Tetapi masih perlu
ditunjukkan seberapa jauh kumungkinan kaum muslimin modern untuk memodifikasi
syariat dalam prasangka-prasangkanya yang lebih fundamental tanpa, pada
kenyataannya, meninggalkan kesetiaan yang serius pada riwayat-riwayat hadis
tradisional yang menjadi dasar prasangka-prasangka tersebut. Namun
riwayat-riwayat hadis telah berfungsi untuk menafsirkan al-Qur?an semenjak al
Qur?an berhenti diturunkan pada saat Nabi Muhammad meninggal dunia, sebagai
tafsirnya sendiri yang berkelanjutan: maka dipertanyakan sejauh mana
riwayat-riwayat hadis dapat, pada babak ini dalam sejarah, dipisahkan dari
al-Qur?an sebagai ?dispensible?, tanpa secara menentukan meninggalkan
harapan untuk mendasarkan kehidupan pada al Qur?an dan dalam Islam yang
didukungnya.
Dengan cara yang tidak begitu seksama dirumuskan, hal yang serupa juga
terjadi pada budaya secara umum, dari kompleks pandangan hidup menyeluruh yang
dikaitkan dengan agama. Dalam setiap budaya dapat dilihat adanya cara yang
berbeda dari hidup bersama yang cocok, yang telah memberinya nada atau gaya
yang berbeda. Cara-cara baru yang diperkenalkan bisa saja diasimilasikan dengan
gaya budaya tersebut. Konsepsi Islam yang integral sebagai sebuah budaya yang
menyeluruh menggarisbawahi gayanya yang khas, integritas budayanya sebagai
suatu keseluruhan yang betul-betul koheren, dengan cara menelusuri semua
ranting-rantingnya pada apa yang tampak sebagai fondasi-fondasi yang tidak bisa
ditinggalkan. Kadang-kadang, apa yang kemudian dijalani sebagai Islam, dalam
hal-hal tertentu, malah melanggar integritas kehidupan Islami: yakni,
ia ternyata tidak konsisten dengan prasangka-prasangka budaya yang lebih
fundamental dari Islam, ketika Islam telah dikembangkan; dan karena itu, mau
tidak mau ia menimbulkan konflik yang akan membutuhkan semacam resolusi
psikologis dan historis tertentu.
Meskipun begitu, apa yang telah dirasa sebagai Islam, dipandang dari
sudut historis, dalam segala ramifikasinya dan bahkan dalam
implikasi-implikasinya yang paling penting, tentu saja telah sangat bervariasi.
Kelengkapan visi Islam ketika ia berkembang telah menjamin bahwa ia tidak akan
pernah betul-betul sama dari satu tempat ke tempat yang lainnya atau dari satu
waktu ke waktu yang lainnya. Karena secara historis Islam dan
pandangan?pandangan yang terkait dengannya membentuk sebuah tradisi kultural,
atau sebuah kompleks tradisi-tradisi dan sebuah tradisi kultural dengan
sendirinya tumbuh dan berubah; semakin luas lingkupnya.
Di Indonesia, sebagai mayoritas Islam diharapkan mampu menjadi semacam
"penengah" di antara umat agama-agama lain dan dituntut mampu
mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak hanya peduli dengan kelompoknya
sendiri, tetapi juga peduli dengan kelompok agama lain yang hidup sebagai
tetangga dan saudara sebangsa. Upaya untuk menumbuhkan sikap keberagamaan yang
kritis, dialogis, dan transformatif yang mendukung nilai-nilai demokrasi dan
penguatan civil society tampaknya harus terus mendapat perhatian
serius dari berbagai kalangan.
Radikalisme agama sebagai fenomena yang hangat diperbincangkan
akhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah "laskar" atau
organisasi berlabel agama yang diduga menciptakan kekacauan dan teror,
eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor krisis kebangsaan dan minimnya basis
kultural demokrasi.
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kesadaran
nasional mengenai "Indonesia" lebih dominan dibangun oleh perekat
politik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam hal ini
demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias nasional" tanpa
memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya.
Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas
dengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks
sosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam
beragama.
Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini pada awal
tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik masih
berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan
Orde Baru. Sehingga dalam kaitannya dengan negara, kita dapat melihat
kecenderungan kalangan Islam terporalisasi ke dalam tiga bentuk. Pertama,
kelompok formaslitik yang memperjuangkan penerapan syari?at Islam. Kedua,
kelompok moderat yang lebih mengedepankan nilai-nilai substantif Islam untuk
menjalankan roda pemerintahan. Dan ketiga, kelompok sekulerstik
yang meletakkan agama sebagai urusan privat, dan urusan publik atau masyarakat
dan negara bukan urusan agama.
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi intelektualisme baru
Islam dewasa ini, proses "reproduksi" Islam radikal pun terlihat
tidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema ideologis yang
diusung kalangan Islam radikal yang "lebih vulgar", yang memfokuskan
gerakannya pada empat agenda utama: mendirikan negara Islam dan menegakkan
syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan.
Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespons
nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini.
Ketidakmampuan negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratis
dan menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan
frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakan
fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untuk
mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai
demokrasi "sekuler", yang dianggap sebagai biang berbagai krisis
tersebut, dengan tatanan Islam.
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup, membawa pengaruh
munculnya harapan adanya pemerintahan pasca-Orba yang demokratis. Di antara
harapan yang telah terwujud pada era reformasi ini adalah berdirinya
partai-partai politik, yang setelah dilakukan seleksi kini berjumlah 48 buah;
dan diperbolehkannya penggunaan Islam sebagai nama dan asas partai. Sebagian
dari 48 partai ini merupakan partai-partai Islam, baik yang secara tegas
menggunakan asas Islam atau tidak. Keadaan ini menjadikan banyak ulama masuk
dalam partai-partai ini, meskipun masih banyak juga di antara mereka yang tidak
mau masuk partai tertentu dan lebih mengkonsentrasikan pada pembinaan umat
secara umum.
Keterlibatan banyak ulama dalam partai-partai itu dengan sendirinya
menjadikan mereka ikut berkiprah dalam memenangkan partai tertentu. Memang hal
ini bisa membawa dampak positif, karena mereka akan dapat ikut serta memberikan
pendapat dalam proses pengambilan kebijakan umum. Namun, hal ini juga bisa
membawa dampak negatif, jika mereka kemudian berupaya mempengaruhi umatnya
untuk memilih partainya dengan cara yang tidak bijaksana. Dalam sistem dan
budaya demokrasi di Indonesia yang belum mapan ini, kini memang masih tampak
gejala-gejala perilaku politik yang belum dewasa, baik dilakukan oleh para
tokoh politik maupun oleh publik. Perilaku politik yang tak terpuji ini ada
kalanya dilakukan dengan cara halus, misalnya dalam bentuk money politics;
dan ada kalanya dengan cara kasar, misalnya memaksa seseorang untuk mengikuti
partai tertentu, menjelek-jelekkan partai lain, melakukan penyerangan fisik
terhadap anggota partai lain, dan sebagainya.
Kini sudah mulai ada gejala saling ejek dengan yustifikasi dalil-dalil
agama yang tidak proporsional, misalnya mengatakan bahwa partai tertentu adalah
partai sekular dan kafir, bahwa pendukung partai tertentu akan berdosa, dan
sebagainya. Memang benar bahwa Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara
agama dan negara, dan bahwa setiap Muslim berkewajiban untuk memperjuangkan
aspirasinya dan sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun,
seseorang tidak bisa mengklaim bahwa hanya partainya dan tindakannya yang
benar, apalagi dengan penggunaan yustifikasi keagamaan yang tidak proporsional.
Kalaupun diperlukan yustifikasi dari dalil-dalil keagamaan, hal ini seharusnya
hanya dilakukan terhadap persoalan yang memang benar-benar menunjukkan kemaslahatan
dan keadilan bagi semua warga negara. Bukan terhadap persoalan yang masih
diperdebatkan dengan dalil-dalil yang interpretable, hanya untuk
men-yustifikasi kepentingannya sendiri.
Adalah suatu keharusan, bahwa semua elite politik maupun masyarakat umum
memegang teguh etika politik. Hanya, para ulama terutama yang terlibat dalam
politik praktis, memiliki tanggung jawab ganda untuk membudayakan etika politik
ini, karena kedudukan mereka yang sangat terkait dengan pembinaan akhlak atau
moralitas umat/ bangsa. Oleh karena itu, mereka seharusnya melakukan tugas: (a)
tetap mendorong terciptanya persatuan dan persaudaraan di antara warga negara,
(b) menghindari upaya "mempolitisasi" agama untuk men-yustifikasi
sikap mereka, (c) tidak mengeluarkan pernyataan yang yang dapat menimbulkan
emosi dan agresivitas massa, terutama yang berkaitan dengan sentimen suku agama
ras dan antargolongan (SARA), dan (d) mencegah massa, yang secara umum memang
belum dewasa dalam berdemokrasi itu, melakukan tindakan-tindakan yang anarkis.
Tugas-tugas ini akan sangat mendukung suksesnya negara yang demokratis, jujur
dan adil.
Sementara itu, para ulama yang tidak terlibat dalam politik praktis tetap
memiliki peran politis dalam bentuk pendidikan politik rakyat, sebagai perwujudan
dari peran pencerahan mereka terhadap umat. Mereka juga bisa melakukan tindakan
politik meski dengan jalan non-politik (political action in the
non-political way), yang dilakukan dalam kerangka melaksanakan amr
ma'ruf nahy munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kemunkaran). Dengan
komitmen pada penegakan etika-moral, mereka bisa menjadi pihak independen dalam
melakukan kontrol terhadap pemerintah serta proses dan aktivitas politik yang
berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan pemilu mendatang. Dalam konteks
ini, mereka juga sekaligus ikut berperan dalam memperkuat masyarakat madani
yang memang menjadi salah satu prasyarat bagi terwujudnya sistem demokrasi.
Transisi politik ternyata telah mengubah watak dan paradigma perjuangan
Islam (ulama). Ulama yang pada awalnya bergerak di jalur kultural, yang dalam
bahasa Clifford Greetz disebut cultural broker (makelar budaya), di
tengah arus transisi politik sekarang ini, sudah berubah. Garis perjuangan
ulama pelan-pelan mulai bergeser sering dengan perubahan politik di Tanah Air.
Maka ulama pun mulai merambah wilayah struktural (politik praktis) dengan
segala jargon politiknya yang amat mengesankan.
Dalam konteks inilah, diperlukan reposisi ulama agar kembali ke
habitatnya yang sejati, yakni menjadi cultural broker atau makelar
budaya. Bahkan, peran Ulama tidak sekadar makelar budaya, tetapi sebagai
kekuatan perantara (intermefary forces), sekaligus sebagai agen yang
mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan
masyarakat. Fungsi mediator ini juga dapat diperankan untuk membentengi
titik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan
keseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering bertindak sebagai penyangga atau
penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga
terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan.
Berdasarkan fungsi ini, ulama sebagai pemimpin umat memiliki basis yang
kuat untuk memerankan sebagai mediasi bagi penguatan civil society
melalui aktivitas pemberdayaan (umat), seperti advokasi terhadap pelanggaran
hak-hak rakyat oleh negara. Ini adalah bentuk dari peran ulama sebagai agen
penguatan civil society. Karena ciri pokok civil society
adalah adanya kemandirian masyarakat terhadap negara dan tersedianya ruang publik
yang bebas (a free public sphere). Civil society memang
diarahkan sebagai resistensi dari model otonomi negara (state aotonomy)
yang amat kuat berhadapan dengan masyarakat.
Karena itulah, reposisi ulama mengurusi wilayah kultural (civil
society) menjadi agenda mendesak, agar ulama tidak mengalami kegagapan dan
kegamangan dalam menghadapi transisi politik yang hiruk-pikuk berlangsung.
Konsistensi terhadap sikap ini tentu memberi nilai positif bagi penciptaan
generasi yang kuat dan tidak tergoda permainan politik yang sifatnya sesaat.
Tanpa kesadaran ini, umat akan kehilangan orientasi jangka panjangnya dan
modalitas bangsa akan hilang sia-sia dalam sekejap.
Seperti di kemukakan di atas, Islam adalah agama yang berkarakteristikkan
universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan,
keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme
yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran
Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam. Dengan tema-tema semaam itu,
wajah Islam akan lebih ramah dan lebih toleran terhadap berbagai hal tanpa
harus menghilangkan substansi dari ajarannya.
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi,
Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal,
selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri.
Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Oleh karenanya,
segenap kaum muslimin harus mengembangkan kultur yang lebih progresif dan visioner
baik dalam berpolitik maupun bermasyarakat.
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali
menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak
bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan
populer di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi
konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda
yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga
menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan.
Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah
pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal
dalam khazanah budaya populer. Akankah kaum muslim di Indonesia menafikan
kenyataan historis dan kultural tersebut?
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islam
adalah agama langit yang kemudian "membumi". Ketika masih di
"langit" Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi
ketika "membumi" maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulan
budaya dimana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agama bumi
Islam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi
tingkat kedekatan dengan kebenaran. Dengan demikian maka ada kebudayaan Islam
yang sangat dekat dengan syari`at (budaya syar`iy) disamping ada kebudayaan
yang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke
kebudayaan lokal setempat. Di sisi lain ada kebudayaan ummat Islam yang malah
tidak ada relevansinya dengan Islam.
Nilai Budaya
Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi saya
memilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan,
nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam
upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.
Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbeda
dengan hewan, manusia tidak puas hanya
dengan
apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia
berusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia
merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya.
Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan
kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat, yaitu :
ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.
1. Nilai teori. Ketika
manusia menentukan dengan obyektip identitas
benda-benda atau
kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga
menjadi pengetahuan,
manusia mengenal adanya teori yang menjadi
konsep dalam proses
penilaian atas alam sekitar.
2. Nilai ekonomi.
Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda
atau kejadian-kejadian,
maka ada proses penilaian ekonomi atau
kegunaan, yakni dengan
logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan
hidup. Kombinasi antara
nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa
maju disebut aspek
progressip dari kebudayaan.
3. Nilai agama. Ketika
manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan
dan kebesaran yang
menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep
kekudusan dan
ketakziman kepada yang Maha Gaib, maka manusia mengenal
nilai agama.
4. Nilai seni. Jika
yang dialami itu keindahan dimana ada konsep
estetika dalam menilai
benda atau kejadian-kejadian, maka manusia
mengenal nilai seni.
Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-
sama menekankan
intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek
ekpressip dari
kebudayaan.
5. Nilai kuasa. Ketika
manusia merasa puas jika orang lain mengikuti
fikiranya,
norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu
manusia mengenal nilai
kuasa.
6. Nilai solidaritas.
Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi
cinta, persahabatan dan
simpati sesama manusia, menghargai orang
lain, dan merasakan
kepuasan ketika membantu mereka maka manusia
mengenal nilai
solidaritas.
Enam nilai budaya itu merupakan
kristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan
konfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa
yang paling dominan pada seseorang atau sekelompok orang, akan menentukan
"sosok" mereka sebagai manusia budaya (al insan madaniyyun bi at
thab`i). Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang
memperhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori
cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung
tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh
nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga ada
sosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial an sebagainya. Bisa juga
ada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi yang pejuang, ulama yang
rasionil, ilmuwan yang mistis dan sebagainya.
Budaya progressip akan mengembangkan cara berfikir
ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak dari
budaya ekpressip bermuara pada
kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progressip pada umumnya
dinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan
baru, sedangkan pendukung budaya ekpressip biasanya statis atau tradisional,
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah final.
0 komentar:
Posting Komentar