Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

Strategi Implementasi


Untuk mewujudkan stabilitas ekonomi di Negara-negara muslim diperlukan beberapa langlah strategis yang signifikan.
Pertama, solusi  pertama untuk mewujudkan stabilitas  adalah mengatur sektor finansial agar dijauhkan dari segala transaksi yang mengandung riba, termasuk transaksi-transaksi maya di pasar uang (perdagangan valas yang spekulatif).
Solusi ekonomi Islam terhadap bunga (riba) dalam sistim pinjam meminjam dana yang digunakan untuk berbisnis adalah "Sistim Bagi Hasil" (Profit-Loss Sharing) dan jual beli.
Dalam ekonomi syari’ah sistem bagi hasillah (profit and loss sharing) yang kemudian menjadi jantung dari sektor ‘moneter’ Islam, bukan bunga.[1] Karena sesungguhnya, bagi hasil sebenarnya sesuai dengan iklim usaha yang memiliki kefitrahan untung atau rugi. Tidak seperti karakteristik bunga yang memaksa agar hasil usaha selalu positif. Jadi penerapan sistem bagi hasil pada hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan dalam perekonomian. Karena memang kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip keadilan yang dipraktikkan dalam perekonomian.

 Secara umum, sistim bagi hasil ini ada yang disebut dengan mudharabah, yaitu bentuk usaha bisnis yang dilakukan oleh dua pihak dimana dalam menjalankan usaha bisnis ini satu pihak bertindak sebagai pemodal dan pihak lainnya bertindak sebagai pelaksana bisnis (enterpreneur).
Sementara itu, musyarakah dimaksudkan sebagai suatu bentuk usaha bisnis/syarikat yang modalnya dibiayai oleh semua partai yang terlibat dalam bisnis tersebut. Kedua bentuk bisnis ini, jauh lebih berkeadilan dibandingkan dengan bentuk bisnis dalam ekonomi konvensional, sebab apapun keuntungan atau resiko yang terjadi terhadap bisnis ini, ke semua partai yang terlibat dalam bisnis ini memiliki hak yang sama terhadap hasil usaha yang diperoleh.[2]
Bila bisnis mereka berjaya, maka semua pihak akan menerima keuntungan dan sebaliknya, bila bisnis mereka bankrut maka kerugianpun harus ditanggung bersama. Jumlah pembagian keuntungan yang akan diperoleh mereka dalam mudharabah adalah berdasarkan penjanjian bersama, katakanlah 60% untuk pembagi modal dan sisanya, 40% untuk mereka yang memenej bisnis.
Namun, bila usaha mudharabah mengalami kerugian, maka pelaksana tidak bertanggung jawab atas kehilangan modal yang disumbangkan pemodalnya. Ini tidak berarti para pelaksana tidak mengalami kerugian apapun, sebab ianya juga dirugikan atas jasa dan jerih payahnya yang disumbangkan untuk memajukan bisnis mereka. Dengan kata lain, pemodal rugi atas modalnya, dan pelaksana rugi atas usaha dan jerih payahnya.
Sedangkan dalam musharakah, ada dua pendapat cara pembagian keuntungan yang diadopsikan. Pertama, pembagian keuntungan biasanya dibahagikan berdasarkan besarnya jumlah modal masing-masing yang diinvestasikan dalam bisnis mereka. Sebagai contoh, dalam menjalankan usaha bisnis "Emping Melinjo" yang memerlukan modal Rp100.000.000,- si A menginvestasi Rp70.000.000,- dan si B sisanya didanai oleh si B sebanyak Rp30.000.000,-. Maka pembahagian hasil keuntungan adalah 70% untuk si A dan 30% untuk si B berdasarkan jumlah proporsi modal yang mereka tanamkan. Semakin besar jumlah modal yang diinvestasikan, maka semakin besar bahagian keuntungan yang diperoleh.
Sedangkan, sistim pembagian hasil kedua adalah keuntungan itu dibahagikan berdasarkan proporsi usaha dan jerih payah yang diberikan dalam menjayakan bisnis mereka. Seperti halnya dalam pembagian keuntungan, kerugian yang dialami mereka juga harus ditanggung bersama. Apapun dasar pembagian hasil yang dibuat, namun pembagian keuntungan itu haruslah berdasarkan kesepakatan bersama dan kerugian yang terjadipun hendaklah betul-betul disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak dapat dielakkan dan bukan disebabkan oleh faktor kesengajaan.
Bila kita melihat dalam sistim ekonomi ribawi (bunga), peminjam sudah ditentukan besarnya jumlah bunga yang harus dibayarkan ke bank dengan tidak mempertimbangkan apakah dana yang dipinjam itu berhasil dibisniskan atau tidak. Dengan kata lain, berhasil atau tidak bisnis para peminjam modal, peminjam harus membayar pinjaman plus bunganya. Sedangkan dalam ekonomi Islam baik dalam bentuk usaha mudharabah mahupun musyarakah, jumlah pembagian hasil yang diterima belumlah diketahui secara pasti sebelum usaha itu berhasil atau gagal.
Mereka hanya tahu persentase pembagian hasil, tetapi mereka tidak pernah tahu berapa jumlah pembagian hasil sebenarnya yang akan mareka terima sebelum usaha itu berhasil atau tidak. Dalam sistim ini, keuntungan dan kerugian adalah menjadi tanggung jawab bersama. Perbedaan pembagian hasil yang pre-determined (ex-ante) dalam sistim ekonomi ribawi inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan dalam ekonomi umat sehingga ianya dilarang oleh Islam dibandingkan dengan sistim ekonomi Islam yang pembagian hasilnya berdasarkan post-determined (ex-post) yang jauh lebih adil dan mensejahterakan umat

Kedua, Solusi kedua untuk mewujudkan stabilitas ekonomi dan stabilitas harga dari inflasi atau deflasi adalah dengan memberlakukan mata uang emas sebagai mata uang.
Ide pemunculan emas sebagai alat transaksi dalam perdagangan internasional, sekaligus sebagai  merupakan upaya negara Islam untuk dapat mengurangi dominasi dua mata uang dunia (US$ dan Euro).  Selain itu tentunya juga untuk menghindari praktik–praktik spekulasi, ketidakpastian, utang dan riba, yang selama ini terjadi dalam penggunan uang kertas (fiat money) dan juga dilema dalam perdagangan internasional di antara negara-negara Islam sendiri, komitmen untuk memulai dari perdagangan antarnegara Islam sedikit banyak akan bisa mengurangi ketergantungan negara Islam terhadap negara maju, serta meningkatkan frekuensi sekaligus manfaat di antara negara Islam [3] .
Penggunaan emas sebagai alat transaksi perdagangan internasional bisa dilakukan melalui perjanjian pembayaran bilateral (Bilateral Payment Arrangement ) atau perjanjian pembayaran multilateral (Multilateral Payment Arrangement). Perjanjian pembayaran produk yang diperdagangkan akan melalui tahapan dan mekanisme yang melibatkan bank umum, bank sentral dan custodian emas (penyimpan emas ).
Pembayaran transaksi perdagangan internasional antarnegara Islam dengan emas akan mengurangi ketergantungan negara-negara itu terhadap mata uang US$. Posisi tawar negara Islam terhadap Barat dan kekuatan lain akan meningkat.
Desakan pemberlakukan, mata uang emas telah berulang kali dilakukan. Terakhir hal itu di kemukakan kembali pada persidangan Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kuala Lumpur tanggal 10 Oktober 2003 lalu. Yakni diusulkannya emas sebagai alternatif alat pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional di antara Negara Islam, khususnya yang tergabung di dalam OKI . Usulan ini dicetuskan oleh Perdana Menteri Malaysia waktu itu, Dr. Mahathir Mohamad.[4]
Emas dalam sejarah perkembangan sistim ekonomi dunia sudah dikenal semenjak periode sebelum masehi. Tepatnya 40.000 tahun SM ditemukan emas dalam bentuk kepingan di Spanyol yang digunakan oleh paleiothic man. Dalam sejarah lain di sebutkan ditemukan oleh masyarakat Mesir kuno ( Circa) 3.000 tahun SM. Barulah digunakan dalam bentuk uang dimulai pada zaman Raja Lydia (Turki) pada 700 SM. Sejarah penemuan emas sebagai alat transaksi dan perhiasan tersebut dikenal sebagai barbarous relic (J.M. Keynes).
Lahirnya Islam sebagai sebuah peradaban dunia yang dibawa dan disebarkan oleh Rasulullah Muhammad S.A.W. telah memberikan perubahan yang cukup signifikan dalam penggunaan emas sebagai mata uang (Dinar). Pada masa Rasulullah ditetapkan berat Dinar diukur dengan 22 karat emas atau setara dengan 4.25 gram dengan parameter 23 milimeter. Standar ini kemudian dibakukan World Islamic Trading Organization (WITO) hingga sekarang.
Munculnya kembali emas sebagai salah satu pilihan alat pembayaran dalam aktivitas perdagangan internasional, tidak lepas dari semakin tidak berimbangnya penguasaan mata uang dunia. Kemunculan mata uang Euro, sebagai salah satu mata uang dunia selain US$, akan semakin membuat ketergantungan yang sangat tinggi negara-negara Islam terhadap Amerika dan Eropa. Dalam transasksi perdagangan internasional saat ini, US$ hampir menguasai 70 persen sebagai alat transaksi dunia (A.Z.M.Zahid. 2003).
Kondisinya semakin sulit bagi negara berkembang dengan dibentuknya World Trade Organization (WTO) pada 1 Januari 1995 sebagai implementasi dari pelaksanaan General Agreement on Tariffs and Trade (GAAT) dan Putaran Uruguay. Liberalisasi perdagangan merupakan ujung tombak dalam pelaksanaa WTO tersebut. Konskewensi penting dalam perjanjian WTO adalah semua negara harus siap terlibat dalam skenario ekonomi internasional, yakni negara berkembang harus siap bersaing dengan negara maju. Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah seberapa besar dampak dan keuntungan yang akan diraih oleh negara Islam dalam pasar internasional.
Ada empat tahapan yang dilalui dalam mekanisme transaksi perdagangan. Pertama, melakukan perjanjian dagang antara importir dan eksportir yang berada di dua negara, dan mengetahui kondisi barang dan jumlah barang yang akan ditransaksikan. Kedua, setelah melakukan perjanjian dagang, kemudian importir akan mengeluarkan letter of credit (LC) untuk melakukan pembayaran melalui bank yang sudah ditunjuk oleh importir. Selanjutnya pihak eksportir menerima letter of credit (LC) dari pihak bank yang sudah ditunjuk oleh pihak importir. Tahapan selanjutnya, adalah pihak bank yang ditunjuk oleh importir akan segera melakukan pembayaran kepada bank sentral dengan menggunakan mata uang lokal yang kemudian akan mengakumulasikan transaksi kedua negara dengan standar emas sampai masa kliring. Tahapan terakhir adalah, setelah masa kliring selesai bank sentral importir akan mentransfer emas senilai dengan transaksi perdagangan kedua negara kepada kustodian emas yang telah ditunjuk, untuk selanjutya akan diserahkan kepada bank sentral pihak eksportir. Bank sentral negara eksportir akan melakukan pembayaran kepada bank yang ditunjuk oleh eksportir dalam mata uang lokal, yang kemudian diserahkan kepada eksportir.
Mekanisme di atas jelas akan mengurangi ketergantungan terhadap mata uang asing, terutama US$. Kedua negara tidak akan mengalami fluktuasi mata uang yang menghambat transaksi perdagangan, karena nilai emas sangat stabil. Sistim tersebut juga akan memacu transaksi perdagangan di antara negara Islam sendiri, yang selama ini tingkat ketergantungannya pada negara maju sangat tinggi. Di sinilah dituntut peran OKI dan Islamic Development Bank (IDB), untuk merumuskan konsep yang lebih matang terhadap gagasan ini. Keuntungan secara politis akan dirasakan oleh negara Islam, karena semakin kuatnya nilai tawar yang dimiliki oleh negara–negara itu terhadap Barat dan kekuatan lainnya.
Sisi lemah dari mekanisme pembayaranini adalah: Pertama ketersedian emas yang tidak merata di antara negara Islam, yang suatu ketika akan menimbulkan ketimpangan. Kedua ketergantungan yang sangat tinggi terhadap produk yang dihasilkan oleh negara non Islam, terutama produk–produk industri dengan teknologi tinggi. Ketiga nilai transaksi perdagangan yang masih sangat kecil di antara negara Islam menyebabkan signifikansi emas tidak terlalu substanstif.
Sistim dan mekanisme sistim pembayaran emas diharapkan akan mendongkrak nilai transaksi di antara negara Islam yang selama ini kecil. Sistim pembayaran emas juga diharapkan akan mengurangi spekulasi mata uang dan ketidakpastian yang sering timbul karena anjloknya nilai mata uang lokal terhadap mata uang besar dunia. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana Islam akan bangkit dan tumbuh menjadi sebuah kekuatan yang akan memberikan pencerahan terhadap ekonomi dunia, yang terbukti gagal di bawah komando sistim kapitalis.
Ketiga, membentuk rezim moneter Pan-Islami. Gagasan konsepsional ini telah dilontarkan oleh intelektual Pakistan Muhammad Iqbal Anjum. Menurutnya kondisi ketidakstabilam moneter menghendaki munculnya politik ekonomi Islam rasional dan strategis yang dapat membangun rezim moneter Pan Islami dalam kerangka pasar Islami. Misi ini tidak bisa dihindari, harus segera mendapat respon dari ahli ekonomi Islam dalam konteks menemukan garis panduan rezim moneter Pan Islami yang mumpuni. Peran makro ekonomi dan kerangka keuangan islami dan mekanisme moneter perlu untuk disusun, dijadikan teori dan model, khususnya untuk mengeliminir semua bentuk manifestasi status quo politik ekonomi yang telah menyebabkan keterbelakangan umat.[5]
Beberapa ulama Islam terkemuka menganggap uang kertas sebagai uang riil dan tidak menganggap adanya perbedaan esensi antara uang logam dan uang kertas, sebab dua-duanya memiliki karakter sebagai uang, yaitu sebagai media pertukaran, penyimpanan dan pengukur nilai. Misalnya saja Yusuf Al Qardawi yang mensyahkan status uang kertas.”Uang kertas kita pakai membayar barang, menggaji pegawai, dan sebagainya . Jika seseorang mencuri uang kertas, diapun akan dihukum sesuai dengan aturan hukum. Kenapa kita harus mempermasalahkan keabsahannya?”

Ilmuwan sosial Islam terdahulu dan ilmuwan ekonomi Islam kontemporer mencoba mengidentifikasi desain sistem moneter Islami. Sebuah pendekatan inovatif desain sistem moneter Pan Islami, yang mengaju pada kerangka lima nilai fundamental maqasid syari’ah,, yaitu memelihara keselamatan jiwa, agama, akal, harta benda dan keturunan.

Tentu saja, tujuan ini harus tampak menjadi sebuah manajemen moneter makro ekonomi yang bertujuan terpenuhinya kebutuhan hidup seluruh masyarakat, meningkatnya standar kualitas hidup, pertumbuhan ekonomi dan distribusi yang merata, kesempatan kerja penuh serta stabilitas harga. Konsekwensinya, setiap ekspansi uang harus selalu diukur seberapa besar kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi Islam.
Menurut Iqbal Anjum, kerangka kerja politik ekonomi Islam yang paling relevan dalam pembentukan sistem moneter Pan Islami adalah membentuk institusi Islam bersama, yaitu Khilafatul-Khulafa (KK), sebuah pemerintahan dari seluruh pemerintahan, yang oleh Shah Wali Ullah (1762 AD) disebut sebagai teori “Irtifaqat”. Adanya invasi Iraq oleh Amerika Serikat dan Inggris dan kemungkinan serangan terlebih dahulu Barat terhadap negara-negara Islam lainnya, formasi bersama KK dan pembentukan rezim moneter Pan Islami adalah satu-satunya mekanisme yang dapat menunjang politik ekonomi di dunia Islam saat ini [6].
Dasar pemikiran ekonomi bagi terbentuknya rezim moneter Pan Islami berasal dari fakta empiris bahwa tidak ada satupun anggota OKI yang berstatus sebagai negara berkembang dengan sistem moneter nasinal konvensional yang stabil.
Negara Islam tertentu seperti Arab Saudi memang sukses mencapai GDP yang tinggi serta neraca pembayaran surplus, namun fakta prestasi ekonomi ini belumlah cukup dikatakan sebagai negara ekonomi berkembang. Beberapa negara Islam lainnya bahkan terindikasi sebagai negara terkebelakang. Table (1) di bawah ini menunjukkan gambaran umum betapa rendahnya kinerja perkembangan negara-negara Islam, yang berbeda sangat jauh dengan 6 negara kapitalis utama. [7]
Karena kurangnya keberadaan sarana mata uang resmi, mengakibatkan negara-negara Islam, terutama negara-negara Islam Timur yang memiliki dana surplus menginvestasikan dananya dalam bentuk Dolar/Eurdolar. Oleh karena itu, meskipun mereka adalah pemilik resmi Dolar/Eurodolar tersebut, namun harga riil dari kekayaan tersebut mudah berubah dengan adanya kebijakan moneter Amerika. Yang lebih pahit lagi, accountnya dibekukan dan diberi sanksi politik ekonomi oleh AS.
Seorang ekonom Malaysia Syed Othman al-Habashi bahkan mengatakan, ”Dominasi US dolar berarti kita harus mengalah dengan permintaan mereka. Kekayaan kita yang terakumulasi begitu lama harus hilang dalam waktu beberapa bulan”.[8] Dapatkah kita memformulasi sistem ekonomi yang ‘tahan banting’ dari kekuatan eksternal ekonomi?”
Dari skenario di atas, mata uang Pan Islami sebagai sarana mata uang bersama harus diperkenalkan dengan kesepakatan meninggalkan mata uang masing-masing negara, yang diharapkan mampu mengurangi ketidakefesienan ekonomi negara-negara Islam.
Menurut analisa ekonomi yang dilakukan Emil-Mari Classen, John B. Goodman, Peter Robinon dan Pablo A. Neumeyer, keuntungan dari adanya rezim moneter Pan Islami, yaitu:
1. Negara-negara Islam akan memperoleh kedaulatan moneter.
2. Fungsi uang yang bertambah meliputi, media pertukaran, satuan unit dan
    penyimpan nilai.
3. Integrasi dan pembesaran pasar modal akan memberikan kemudahan 
    pengurangan sumber daya yang digunakan dalam proses intermediasi
    keuangan.
4. Semakin efisiennya operasional pasar keuangan.
5. Akan mengoptimalkan kualitas satuan mata uang[9].
6. Meningkatkan kesejahteraan dengan mengurangi resiko ketidakpastian dari
    biaya pertukaran suatu negara Islam ke negara Islam lainnya.[10]
 .. 

0 komentar:

Posting Komentar