Untuk
mewujudkan stabilitas ekonomi di Negara-negara muslim diperlukan beberapa
langlah strategis yang signifikan.
Pertama, solusi pertama
untuk mewujudkan stabilitas adalah
mengatur sektor finansial agar dijauhkan dari segala transaksi yang mengandung
riba, termasuk transaksi-transaksi maya di pasar uang (perdagangan valas yang
spekulatif).
Solusi ekonomi Islam terhadap bunga (riba) dalam sistim
pinjam meminjam dana yang digunakan untuk berbisnis adalah "Sistim Bagi
Hasil" (Profit-Loss Sharing) dan jual beli.
Dalam ekonomi syari’ah sistem bagi hasillah (profit and loss sharing) yang kemudian menjadi jantung dari sektor
‘moneter’ Islam, bukan bunga.[1] Karena sesungguhnya, bagi
hasil sebenarnya sesuai dengan iklim usaha yang memiliki kefitrahan untung atau
rugi. Tidak seperti karakteristik bunga yang memaksa agar hasil usaha selalu
positif. Jadi penerapan sistem bagi hasil pada hakikatnya menjaga prinsip
keadilan tetap berjalan dalam perekonomian. Karena memang kestabilan ekonomi
bersumber dari prinsip keadilan yang dipraktikkan dalam perekonomian.
Secara umum,
sistim bagi hasil ini ada yang disebut dengan mudharabah, yaitu bentuk usaha
bisnis yang dilakukan oleh dua pihak dimana dalam menjalankan usaha bisnis ini
satu pihak bertindak sebagai pemodal dan pihak lainnya bertindak sebagai
pelaksana bisnis (enterpreneur).
Sementara itu, musyarakah dimaksudkan sebagai
suatu bentuk usaha bisnis/syarikat yang modalnya dibiayai oleh semua partai
yang terlibat dalam bisnis tersebut. Kedua bentuk bisnis ini, jauh lebih
berkeadilan dibandingkan dengan bentuk bisnis dalam ekonomi konvensional, sebab
apapun keuntungan atau resiko yang terjadi terhadap bisnis ini, ke semua partai
yang terlibat dalam bisnis ini memiliki hak yang sama terhadap hasil usaha yang
diperoleh.[2]
Bila bisnis mereka berjaya, maka semua pihak akan
menerima keuntungan dan sebaliknya, bila bisnis mereka bankrut maka kerugianpun
harus ditanggung bersama. Jumlah pembagian keuntungan yang akan diperoleh
mereka dalam mudharabah adalah berdasarkan penjanjian bersama,
katakanlah 60% untuk pembagi modal dan sisanya, 40% untuk mereka yang memenej
bisnis.
Namun, bila usaha mudharabah mengalami kerugian, maka
pelaksana tidak bertanggung jawab atas kehilangan modal yang disumbangkan
pemodalnya. Ini tidak berarti para pelaksana tidak mengalami kerugian apapun,
sebab ianya juga dirugikan atas jasa dan jerih payahnya yang disumbangkan untuk
memajukan bisnis mereka. Dengan kata lain, pemodal rugi atas modalnya, dan
pelaksana rugi atas usaha dan jerih payahnya.
Sedangkan dalam musharakah, ada dua pendapat cara
pembagian keuntungan yang diadopsikan. Pertama, pembagian keuntungan
biasanya dibahagikan berdasarkan besarnya jumlah modal masing-masing yang
diinvestasikan dalam bisnis mereka. Sebagai contoh, dalam menjalankan usaha
bisnis "Emping Melinjo" yang memerlukan modal Rp100.000.000,- si A
menginvestasi Rp70.000.000,- dan si B sisanya didanai oleh si B sebanyak
Rp30.000.000,-. Maka pembahagian hasil keuntungan adalah 70% untuk si A dan 30%
untuk si B berdasarkan jumlah proporsi modal yang mereka tanamkan. Semakin
besar jumlah modal yang diinvestasikan, maka semakin besar bahagian keuntungan
yang diperoleh.
Sedangkan, sistim pembagian hasil kedua adalah keuntungan
itu dibahagikan berdasarkan proporsi usaha dan jerih payah yang diberikan dalam
menjayakan bisnis mereka. Seperti halnya dalam pembagian keuntungan, kerugian
yang dialami mereka juga harus ditanggung bersama. Apapun dasar pembagian hasil
yang dibuat, namun pembagian keuntungan itu haruslah berdasarkan kesepakatan
bersama dan kerugian yang terjadipun hendaklah betul-betul disebabkan oleh
faktor-faktor yang tidak dapat dielakkan dan bukan disebabkan oleh faktor
kesengajaan.
Bila kita melihat dalam sistim ekonomi ribawi (bunga),
peminjam sudah ditentukan besarnya jumlah bunga yang harus dibayarkan ke bank
dengan tidak mempertimbangkan apakah dana yang dipinjam itu
berhasil dibisniskan atau tidak. Dengan kata lain, berhasil atau tidak bisnis
para peminjam modal, peminjam harus membayar pinjaman plus bunganya. Sedangkan
dalam ekonomi Islam baik dalam bentuk usaha mudharabah mahupun musyarakah,
jumlah pembagian hasil yang diterima belumlah diketahui secara pasti sebelum
usaha itu berhasil atau gagal.
Mereka hanya
tahu persentase pembagian hasil, tetapi mereka tidak pernah tahu berapa jumlah
pembagian hasil sebenarnya yang akan mareka terima sebelum usaha itu berhasil
atau tidak. Dalam sistim ini, keuntungan dan kerugian adalah menjadi tanggung
jawab bersama. Perbedaan pembagian hasil yang pre-determined (ex-ante)
dalam sistim ekonomi ribawi inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan
dalam ekonomi umat sehingga ianya dilarang oleh Islam dibandingkan dengan
sistim ekonomi Islam yang pembagian hasilnya berdasarkan post-determined (ex-post)
yang jauh lebih adil dan mensejahterakan umat
Kedua, Solusi kedua untuk mewujudkan stabilitas ekonomi dan stabilitas harga
dari inflasi atau deflasi adalah dengan memberlakukan mata uang emas sebagai
mata uang.
Ide pemunculan emas sebagai alat transaksi dalam perdagangan internasional,
sekaligus sebagai merupakan upaya negara
Islam untuk dapat mengurangi dominasi dua mata uang dunia (US$ dan Euro). Selain itu tentunya juga untuk menghindari
praktik–praktik spekulasi, ketidakpastian, utang dan riba, yang selama ini
terjadi dalam penggunan uang kertas (fiat money) dan juga dilema dalam
perdagangan internasional di antara negara-negara Islam sendiri, komitmen untuk
memulai dari perdagangan antarnegara Islam sedikit banyak akan bisa mengurangi
ketergantungan negara Islam terhadap negara maju, serta meningkatkan frekuensi
sekaligus manfaat di antara negara Islam [3] .
Penggunaan emas sebagai alat transaksi perdagangan internasional bisa
dilakukan melalui perjanjian pembayaran bilateral (Bilateral Payment
Arrangement ) atau perjanjian pembayaran multilateral (Multilateral Payment
Arrangement). Perjanjian pembayaran produk yang diperdagangkan akan melalui
tahapan dan mekanisme yang melibatkan bank umum, bank sentral dan custodian
emas (penyimpan emas ).
Pembayaran
transaksi perdagangan internasional antarnegara Islam dengan emas akan
mengurangi ketergantungan negara-negara itu terhadap mata uang US$. Posisi
tawar negara Islam terhadap Barat dan kekuatan lain akan meningkat.
Desakan pemberlakukan, mata uang emas telah berulang kali dilakukan. Terakhir
hal itu di kemukakan kembali pada persidangan Organisasi Konferensi Islam (OKI)
di Kuala Lumpur tanggal 10 Oktober 2003 lalu. Yakni diusulkannya emas sebagai
alternatif alat pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional di antara
Negara Islam, khususnya yang tergabung di dalam OKI . Usulan ini dicetuskan
oleh Perdana Menteri Malaysia waktu itu, Dr. Mahathir Mohamad.[4]
Emas
dalam sejarah perkembangan sistim ekonomi dunia sudah dikenal semenjak periode
sebelum masehi. Tepatnya 40.000 tahun SM ditemukan emas dalam bentuk kepingan
di Spanyol yang digunakan oleh paleiothic man. Dalam sejarah lain di sebutkan
ditemukan oleh masyarakat Mesir kuno ( Circa) 3.000 tahun SM. Barulah digunakan
dalam bentuk uang dimulai pada zaman Raja Lydia (Turki) pada 700 SM. Sejarah
penemuan emas sebagai alat transaksi dan perhiasan tersebut dikenal sebagai
barbarous relic (J.M. Keynes).
Lahirnya
Islam sebagai sebuah peradaban dunia yang dibawa dan disebarkan oleh Rasulullah
Muhammad S.A.W. telah memberikan perubahan yang cukup signifikan dalam
penggunaan emas sebagai mata uang (Dinar). Pada masa Rasulullah ditetapkan berat Dinar diukur dengan 22 karat emas
atau setara dengan 4.25 gram dengan parameter 23 milimeter. Standar
ini kemudian dibakukan World Islamic Trading Organization (WITO) hingga
sekarang.
Munculnya
kembali emas sebagai salah satu pilihan alat pembayaran dalam aktivitas
perdagangan internasional, tidak lepas dari semakin tidak berimbangnya
penguasaan mata uang dunia. Kemunculan mata uang Euro, sebagai salah satu mata
uang dunia selain US $,
akan semakin membuat ketergantungan yang sangat tinggi negara-negara Islam
terhadap Amerika dan Eropa. Dalam transasksi perdagangan internasional saat
ini, US$ hampir menguasai 70 persen sebagai alat transaksi dunia (A.Z.M.Zahid.
2003).
Kondisinya
semakin sulit bagi negara berkembang dengan dibentuknya World Trade
Organization (WTO) pada 1 Januari 1995 sebagai implementasi dari pelaksanaan
General Agreement on Tariffs and Trade (GAAT) dan Putaran Uruguay. Liberalisasi
perdagangan merupakan ujung tombak dalam pelaksanaa WTO tersebut. Konskewensi
penting dalam perjanjian WTO adalah semua negara harus siap terlibat dalam
skenario ekonomi internasional, yakni negara berkembang harus siap bersaing
dengan negara maju. Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah seberapa besar
dampak dan keuntungan yang akan diraih oleh negara Islam dalam pasar
internasional.
Ada empat tahapan yang dilalui dalam mekanisme transaksi perdagangan. Pertama, melakukan perjanjian dagang
antara importir dan eksportir yang berada di dua negara, dan mengetahui kondisi
barang dan jumlah barang yang akan ditransaksikan. Kedua, setelah melakukan perjanjian dagang, kemudian importir akan
mengeluarkan letter of credit (LC) untuk melakukan pembayaran melalui bank yang
sudah ditunjuk oleh importir. Selanjutnya pihak eksportir menerima letter of
credit (LC) dari pihak bank yang sudah ditunjuk oleh pihak importir. Tahapan selanjutnya, adalah pihak bank
yang ditunjuk oleh importir akan segera melakukan pembayaran kepada bank
sentral dengan menggunakan mata uang lokal yang kemudian akan mengakumulasikan
transaksi kedua negara dengan standar emas sampai masa kliring. Tahapan terakhir adalah, setelah masa
kliring selesai bank sentral importir akan mentransfer emas senilai dengan
transaksi perdagangan kedua negara kepada kustodian emas yang telah ditunjuk,
untuk selanjutya akan diserahkan kepada bank sentral pihak eksportir. Bank
sentral negara eksportir akan melakukan pembayaran kepada bank yang ditunjuk
oleh eksportir dalam mata uang lokal, yang kemudian diserahkan kepada
eksportir.
Mekanisme di atas jelas akan mengurangi ketergantungan terhadap mata uang
asing, terutama US$. Kedua negara tidak akan mengalami fluktuasi mata uang yang
menghambat transaksi perdagangan, karena nilai emas sangat stabil. Sistim
tersebut juga akan memacu transaksi perdagangan di antara negara Islam sendiri,
yang selama ini tingkat ketergantungannya pada negara maju sangat tinggi. Di
sinilah dituntut peran OKI dan Islamic Development Bank (IDB), untuk merumuskan
konsep yang lebih matang terhadap gagasan ini. Keuntungan secara politis akan
dirasakan oleh negara Islam, karena semakin kuatnya nilai tawar yang dimiliki
oleh negara–negara itu terhadap Barat dan kekuatan lainnya.
Sisi lemah dari mekanisme pembayaranini adalah: Pertama ketersedian
emas yang tidak merata di antara negara Islam, yang suatu ketika akan
menimbulkan ketimpangan. Kedua ketergantungan yang sangat tinggi
terhadap produk yang dihasilkan oleh negara non Islam, terutama produk–produk
industri dengan teknologi tinggi. Ketiga nilai transaksi perdagangan
yang masih sangat kecil di antara negara Islam menyebabkan signifikansi emas
tidak terlalu substanstif.
Sistim dan mekanisme sistim
pembayaran emas diharapkan akan mendongkrak nilai transaksi di antara negara
Islam yang selama ini kecil. Sistim pembayaran emas juga diharapkan akan
mengurangi spekulasi mata uang dan ketidakpastian yang sering timbul karena
anjloknya nilai mata uang lokal terhadap mata uang besar dunia. Yang lebih
penting dari itu adalah bagaimana Islam akan bangkit dan tumbuh menjadi sebuah
kekuatan yang akan memberikan pencerahan terhadap ekonomi dunia, yang terbukti
gagal di bawah komando sistim kapitalis.
Ketiga, membentuk rezim moneter Pan-Islami. Gagasan konsepsional
ini telah dilontarkan oleh intelektual Pakistan Muhammad Iqbal Anjum.
Menurutnya kondisi ketidakstabilam moneter menghendaki munculnya politik
ekonomi Islam rasional dan strategis yang dapat membangun rezim moneter Pan
Islami dalam kerangka pasar Islami. Misi ini tidak bisa dihindari, harus segera
mendapat respon dari ahli ekonomi Islam dalam konteks menemukan garis panduan
rezim moneter Pan Islami yang mumpuni. Peran makro ekonomi dan kerangka
keuangan islami dan mekanisme moneter perlu untuk disusun, dijadikan teori dan
model, khususnya untuk mengeliminir semua bentuk manifestasi status quo politik
ekonomi yang telah menyebabkan keterbelakangan umat.[5]
Beberapa ulama Islam terkemuka menganggap uang kertas sebagai uang riil dan
tidak menganggap adanya perbedaan esensi antara uang logam dan uang kertas,
sebab dua-duanya memiliki karakter sebagai uang, yaitu sebagai media
pertukaran, penyimpanan dan pengukur nilai. Misalnya saja Yusuf Al Qardawi yang
mensyahkan status uang kertas.”Uang kertas kita pakai membayar barang, menggaji
pegawai, dan sebagainya . Jika seseorang mencuri uang kertas, diapun akan
dihukum sesuai dengan aturan hukum. Kenapa kita harus mempermasalahkan
keabsahannya?”
Ilmuwan sosial Islam terdahulu dan ilmuwan ekonomi Islam kontemporer
mencoba mengidentifikasi desain sistem moneter Islami. Sebuah pendekatan
inovatif desain sistem moneter Pan Islami, yang mengaju pada kerangka lima
nilai fundamental maqasid syari’ah,, yaitu memelihara keselamatan jiwa, agama,
akal, harta benda dan keturunan.
Tentu saja, tujuan ini harus tampak menjadi sebuah manajemen moneter makro
ekonomi yang bertujuan terpenuhinya kebutuhan hidup seluruh masyarakat,
meningkatnya standar kualitas hidup, pertumbuhan ekonomi dan distribusi yang
merata, kesempatan kerja penuh serta stabilitas harga. Konsekwensinya, setiap
ekspansi uang harus selalu diukur seberapa besar kontribusinya dalam
pertumbuhan ekonomi Islam.
Menurut Iqbal Anjum, kerangka kerja politik ekonomi Islam yang paling
relevan dalam pembentukan sistem moneter Pan Islami adalah membentuk institusi
Islam bersama, yaitu Khilafatul-Khulafa (KK), sebuah pemerintahan dari seluruh
pemerintahan, yang oleh Shah Wali Ullah (1762 AD) disebut sebagai teori
“Irtifaqat”. Adanya invasi Iraq oleh Amerika Serikat dan Inggris dan
kemungkinan serangan terlebih dahulu Barat terhadap negara-negara Islam
lainnya, formasi bersama KK dan pembentukan rezim moneter Pan Islami adalah
satu-satunya mekanisme yang dapat menunjang politik ekonomi di dunia Islam saat
ini [6].
Dasar pemikiran ekonomi bagi terbentuknya rezim moneter Pan Islami berasal
dari fakta empiris bahwa tidak ada satupun anggota OKI yang berstatus sebagai
negara berkembang dengan sistem moneter nasinal konvensional yang stabil.
Negara Islam tertentu seperti Arab Saudi memang sukses mencapai GDP yang
tinggi serta neraca pembayaran surplus, namun fakta prestasi ekonomi ini
belumlah cukup dikatakan sebagai negara ekonomi berkembang. Beberapa negara
Islam lainnya bahkan terindikasi sebagai negara terkebelakang. Table (1) di
bawah ini menunjukkan gambaran umum betapa rendahnya kinerja perkembangan
negara-negara Islam, yang berbeda sangat jauh dengan 6 negara kapitalis utama. [7]
Karena kurangnya keberadaan sarana mata uang resmi, mengakibatkan
negara-negara Islam, terutama negara-negara Islam Timur yang memiliki dana
surplus menginvestasikan dananya dalam bentuk Dolar/Eurdolar. Oleh karena itu,
meskipun mereka adalah pemilik resmi Dolar/Eurodolar tersebut, namun harga riil
dari kekayaan tersebut mudah berubah dengan adanya kebijakan moneter Amerika.
Yang lebih pahit lagi, accountnya
dibekukan dan diberi sanksi politik ekonomi oleh AS.
Seorang ekonom Malaysia Syed Othman al-Habashi bahkan mengatakan, ”Dominasi
US dolar berarti kita harus mengalah dengan permintaan mereka. Kekayaan kita
yang terakumulasi begitu lama harus hilang dalam waktu beberapa bulan”.[8] Dapatkah kita memformulasi sistem ekonomi yang ‘tahan banting’ dari
kekuatan eksternal ekonomi?”
Dari skenario di atas, mata uang Pan Islami sebagai sarana mata uang
bersama harus diperkenalkan dengan kesepakatan meninggalkan mata uang
masing-masing negara, yang diharapkan mampu mengurangi ketidakefesienan ekonomi
negara-negara Islam.
Menurut analisa ekonomi yang dilakukan Emil-Mari Classen, John B. Goodman,
Peter Robinon dan Pablo A. Neumeyer, keuntungan dari adanya rezim moneter Pan
Islami, yaitu:
1.
Negara-negara Islam akan memperoleh kedaulatan moneter.
2. Fungsi uang
yang bertambah meliputi, media pertukaran, satuan unit dan
penyimpan nilai.
3. Integrasi dan pembesaran pasar modal akan memberikan
kemudahan
pengurangan
sumber daya yang digunakan dalam proses intermediasi
keuangan.
4. Semakin
efisiennya operasional pasar keuangan.
5. Akan
mengoptimalkan kualitas satuan mata uang[9].
6. Meningkatkan
kesejahteraan dengan mengurangi resiko ketidakpastian dari
0 komentar:
Posting Komentar