Pada
saat Indonesia dilanda ketidakpastian besar dalam bidang ekonomi, politik dan
ekologi, otonomi daerah menjadi salah satu persoalan besar yang membayangi masa
depan negeri ini. Otonomi daerah merupakan masalah yang cukup rumit mengingat
ia bukan semata-mata sekedar pengalihan kekuasaan dari Jakarta ke tingkat
daerah. Ia juga menyinggung masalah perkembangan demokrasi pada tingkat lokal
dan melibatkan perubahan-perubahan besar dalam cara perekonomian Indonesia yang
dihantam krisis ditangani. Persoalan otonomi daerah juga memunculkan persoalan
mendasar tentang arah masa depan dan bentuk Indonesia sebagai negara
demokratis.
Krisis keuangan yang mengawali
kejatuhan Suharto telah berlarut-larut, meskipun -atau barangkali-sudah ada
intervensi yang dipimpin oleh IMF. Perekonomian tetap berjalan seperti semula
dan beban hutang nasional Indonesia yang besar dimunculkan ke permukaan. Dalam
waktu kurang sepuluh bulan sejak berkuasa, pemerintahan Presiden Abdurahman
Wahid yang dipilih secara demokratis sekarang ini dipandang sebagai
pemerintahan yang lemah dan terpecah-pecah dalam upaya reformasi yang tidak
merata. Konflik berdarah di Maluku terus berlanjut yang menyebabkan tewasnya
ratusan jiwa. Aceh dan Papua semakin keras menuntut kemerdekaannya. Krisis ekologis
semakin mendalam karena penebangan legal dan ilegal telah mencabik-cabik
wilayah hutan yang luas dan menyebabkan kebakaran hutan terhadap bagian yang
tersisa. Kaum miskin di Indonesia - yang dipinggirkan selama tiga dekade
kekuasaan Suharto - semakin dimiskinkan oleh kejatuhan ekonomi dan kehancuran
sumber daya alam mereka yang semakin dipercepat.
Pertanyaannya kemudian, pengaruh
seperti apakah yang akan diciptakan oleh kebijakan desentralisasi pemerintah
terhadap kerumitan persoalan-persoalan yang mendesak dan juga mendera?
Otonomi daerah dianggap oleh
pejabat kementrian pemerintah sebagai obat penawar gejolak politik. Kebijakan
ini dijanjikan sebagai suatu kutub berlawanan terhadap sistem politik dan
struktur keuangan terpusat yang digunakan mantan Presiden Suharto sebagai cara
mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam di Indonesia. Sistem itu juga
telah menyingkirkan masyarakat dari mata pencaharian mereka. Tetapi kebijakan
ini juga telah ditolak sebagai upaya sinis pemerintah pusat membohongi penduduk
untuk percaya bahwa pemerintah pusat bersedia berbagi kekuasaan, sementara
dalam kenyataan mereka enggan melakukannya. Masih diperlukan waktu beberapa
bulan - atau mungkin beberapa tahun - untuk mengetahui kebenaran pandangan ini.
Setelah jatuhnya Suharto,
pemerintahan transisional Presiden Habibie mengesahkan sebuah undang-undang
baru pada tahun 1999. Undang-undang ini memberikan kekuasaan kepada
pemerintahan daerah untuk membuat kebijakan dan keuangan sendiri. Terlihat
bahwa tindakan ini merupakan reaksi tergesa-gesa terhadap kontrol terpusat yang
korup dan represif selama beberapa dekade. Pemerintah nampaknya harus memenuhi
tuntutan demokrasi dan reformasi jika mereka ingin menghindari gejolak sosial
yang lebih parah yang mencirikan bulan-bulan terakhir kekuasaan Suharto.
Tekanan untuk melakukan reformasi politik datang dari wilayah-wilayah yang kaya
dengan sumber daya alam. Mereka sangat marah terhadap cara-cara kekayaan alam
mereka dikuras hanya untuk menebalkan dompet clique Suharto. Namun pada saat
yang sama, krisis keuangan Indonesia yang berlarut-larut nampaknya menjadi
insentif ekonomi yang kuat untuk melakukan desentralisasi. Hal ini akan
meringankan beban biaya birokrasi yang besar di negeri ini di mana pemerintahan
di Jakarta sudah tidak sanggup membayarnya lagi. Mereka ingin mengalihkan beban
itu pada pundak pemerintah daerah.
Sampai saat ini, perdebatan publik
tentang bagaimana bentuk masa depan Indonesia sebagai suatu negara-bangsa masih
belum dilakukan. Bulan-bulan setelah kejatuhan Suharto ditandai suatu eforia
yang diikuti dengan pertikaian politik dan ketidakpastian. Tuntutan yang
semakin kuat untuk merdeka di Aceh dan Papua Barat diikuti pula dengan tuntutan
sistem federal dari Riau, Maluku, Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur. Namun,
daripada membahas masalah federasi ini secara terbuka, pemerintahan Habibie
berupaya keras menolak tuntutan itu dan menjanjikan suatu otonomi lokal.
Meskipun demikian, apa yang ditawarkan dalam otonomi lokal tidak dibuat dengan
jelas: desentralisasi pemerintahan atau pengalihan kekuasaan? Bersamaan dengan
beberapa undang-undang baru yang lainnya, undang-undang tentang otonomi daerah
diajukan secara diam-diam dalam bulan-bulan terakhir sebelum pemilu bulan Juni
1999 - sebuah pemilu demokratis pertama setelah 30 tahun.
Hasilnya adalah undang-undang
otonomi daerah yang sangat lemah. Undang-undang itu melebih-lebihkan persoalan
penting tentang tingkat pertanggungjawaban kekuasaan dan daerah dan pusat,
khususnya dalam bidang pembuatan kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam.
Namun yang lebih membingungkan adalah peraturan pelaksana undang-undang
tersebut. Hal ini dikarenakan daripada menjelaskan bagaimana undang-undang itu
dijalankan dalam praktek, aturan pelaksana itu menggeser titik keseimbangan
kekuasaan ke tangan pemerintahan pusat. Berbagai jenis aktor di panggung
politik Indonesia mencoba menginterpretasikan penerapan undang-undang nomor 22
dan 25 untuk memenuhi kepentingan mereka. Ringkasnya, ini merupakan suatu
gabungan yang amat kompleks dan secara politik mudah meledak.
Bagi Presiden Abdurrahman Wahid,
tujuan utama melanjutkan proyek otonomi daerah yang ia warisi dari pemerintahan
Habibie adalah untuk mencegah proses disintegrasi di Indonesia. Gus Dur
menyalahkan sebagian besar persoalan yang dialami oleh negeri ini terhadap
sistem terpusat di masa lalu dan melihat kebutuhan untuk "otonomi
penuh" di daerah. Dalam suatu pidato yang diucapkannya pada tahun lalu di
depan pertemuan akbar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan "Apapun yang
terjadi, negeri ini tidak boleh terpecah belah. Tidak boleh ada wilayah yang
memisahkan diri dari Indonesia dan kita akan tetap bersatu." (AFP, 27/Jan/00)
Tetapi, upaya-upaya untuk
"menyelamatkan" negara kesatuan Indonesia telah ditolak oleh gerakan
kemerdekaan di Aceh dan Papua Barat. Pada bulan Juni lalu, para pemimpin
Gerakan Aceh Merdeka, GAM, diikuti proklamasi sepihak oleh Republik Maluku
Selatan (RMS), mengumumkan akan melakukan kerja sama mereka dalam perjuangan
kemerdekaan. "Tujuan bersama kita adalah kemerdekaan. Otonomi adalah
tahapan yang sudah usang," ujar pejabat GAM, Zaini Abdullah (AFP, 30/June/00). Dengan demikian,
otonomi daerah telah ditolak sebagai suatu hal yang tidak relevan lagi.
Masyarakat
Adat dan Desa
Bagi kebanyakan daerah lainnya, persoalan otonomi
daerah memiliki arti yang sangat penting. Desentralisasi pengawasan, jika hal
ini bisa terus berjalan dalam pengertian yang nyata, akan memiliki pengaruh
mendalam terhadap kehidupan masyarakat adat dan masyarakat desa. Selain itu, ia
juga berpengaruh terhadap cara pengolahan sumber daya alam di Indonesia. Bagi
masyarakat lokal, hutan, tanah, air bersih dan sumber daya laut di mana mereka
bergantung, otonomi daerah akan berhasil atau gagal tergantung pada apakah ia
akan membantu menghentikan gelombang penghancuran yang melanda sebagian besar
wilayah Indonesia.
Berbagai organisasi Rakyat Indonesia dan LSM yakin
bahwa ujian yang sesungguhnya akan terletak pada kekuatan demokrasi pada
tingkat lokal - seberapa cepat dan seberapa jauh masyarakat lokal dapat
menjamin bahwa mereka dapat mengambil bagian penuh dalam pembuatan keputusan
terhadap pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam.
Secara ideal, keberhasilan akan memberikan
pengawasan demokratis terhadap proses pembentukan kebijakan, penegakan hukum
yang efektif, pemerintahan daerah yang bersih dan transparan. Proses ini juga
akan memberikan peluang penggunaan sumber daya alam berkelanjutan untuk
kepentingan seluruh masyarakat sekarang dan di masa yang akan datang.
Di sisi lain, dari segi yang terburuk, kegagalan
akan menyebabkan pengalihan kekuasaan kepada pusat-pusat pemerintahan daerah
dengan para pemimpinnya yang bertingkah seperti tiran kecil dan hanya mencontoh
ulang praktek-praktek perampokan sumber daya alam pada era Suharto untuk
keuntungan pribadi secara maksimal di tingkat daerah. Atau - jika pemerintahan
pusat tetap bersikeras untuk mempertahakan kontrol mereka-hasilnya mungkin
adalah ketidak adilan sosial yang sama dan pelanggaran lingkungan yang
seringkali dikaitkan dengan pemusatan kekuasaan di Jakarta sampai sekarang. Hal
ini akan mengakibatkan ledakan gejolak sosial dan ketidak stabilan politik yang
lebih besar.
0 komentar:
Posting Komentar