Sejarah Keberadaan Gereja Di
Indonesia
Pertemuan
Injil dengan Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perjalanan Injil itu
sendiri. Hal ini tampak dalam perjalanan Injil dari Yerusalem, Yudea, dan
Samaria sampai ke ujung bumi. Pada satu pihak ada perjalanan Injil ke arah
barat dan juga perjalanan Injil ke arah Timur. Awal dari perjalanan Injil ke
arah barat itu dapat ditelusuri dalam kitab Kisah Para Rasul.
Sedangkan Perjalanan Injil ke arah timur tidak tercatat dalam Alkitab dan hanya
diketahui lewat sejarah saja, meskipun catatan-catatan sejarah mengenai
perjalanan Injil ke arah timur ini pun sangat sedikit. Ditambah lagi pula hasil
perjalanan Injil ke arah timur kemudian hampir lenyap. Oleh sebab itu,
perjalanan Injil ke arah timur ini hampir tidak diketahui dan hampir tidak
dikenal di Indonesia.
Salah
satu gereja yang terpenting sebagai hasil dari perjalanan Injil ke arah timur
ini ialah Gereja Nestoriah. Gereja Nestoriah itu lama berpusat di Baghdad. Dari
abad ke-6 sampai abad ke-13 Gereja Nestoriah telah menjalankan pekabaran Injil
yang sangat luas sampai ke India dan Cina. Para penginjil dari Gereja Nestoriah
itulah yang menerjemahkan Alkitab untuk pertama kali dalam bahasa Cina. Dalam
suatu buku dalam bahasa Arab yang ditulis oleh Shaykh Abu Salih al-Armini
dikatakan bahwa di Fansur (Barus), di pantai Barat Tapanuli, terdapat banyak
Gereja Nestoriah. Ada petunjuk-petunjuk bahwa kaum Nestoriah telah hadir di
Barus sejak tahun 645.
Dalam
abad ke-14 dan ke-15 Gereja Nestoriah itu praktis lenyap, walaupun sampai
sekarang masih ada sisa-sisanya di Iran dan Irak. Gereja Nestoriah di Barus
telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Para penginjil dari Gereja Nestoriah
tidak pernah menerjemahkan Alkitab ke bahasa Melayu, yang pada abad ke-7 telah
luas tersebar di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian kita lihat bahwa Injil
telah tiba di Indonesia untuk pertama kali dalam rangka perjalanan Injil dari
Yerusalem ke arah timur, lama sebelum Islam tiba di Indonesia. Tetapi
kedatangan pertama Injil di Indonesia itu tidak meninggalkan bekas. Injil telah
datang untuk kedua kali di Indonesia melalui jalan yang panjang, yaitu dari
Yerusalem ke arah barat, ke Eropa, dan baru pada abad ke-16 Injil kembali ke
Indonesia dari Eropa bersamaan waktu dengan kedatangan orang-orang Portugis,
yang kemudian disusul oleh kedatangan orang-orang Belanda pada abad ke-17.
Dalam
hubungan itu baiklah kita baca Kisah Para Rasul 16:8-10. Di situ kita baca
bahwa Rasul Paulus tidak memunyai rencana untuk membawa Injil dari Asia ke
Eropa, yaitu ke Makedonia. Membawa Injil dari Asia ke Eropa bukan strategi
Paulus, melainkan strategi Roh Yesus sendiri (Kisah Para Rasul 16:8). Sejarah
dunia dan sejarah gereja akan lain sama sekali andaikata Injil tidak dibawa
dari Asia ke Eropa, artinya ke dunia Barat. Pada waktu Injil tiba di Indonesia
untuk pertama kali pada abad ke-7 dan untuk kedua kali dalam abad ke-16,
Indonesia telah memunyai perkembangan yang menarik dari segi sejarah dan dari
segi agama serta kebudayaan. Injil tidak tiba di Indonesia dalam keadaan yang
"kosong" dari segi agama dan kebudayaan. Dapat kita catat adanya
beberapa "lapisan" dalam sejarah keagamaan dan kebudayaan kita
sehingga Indonesia dapat kita lihat sebagai suatu kue lapis yang memperlihatkan
lapisan-lapisan keagamaan dan kebudayaan yang memunyai coraknya masing-masing.
Dari
keterangan di atas kemudian dapat ditelusuri bahwa pada umumnya masyarakat
Indonesia termasuk para sejarawannya, demikian pula dengan gereja berpendapat
bahwa Injil baru masuk ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan bangsa Portugis
di awal abad ke-16. Bagi kalangan Kristen Protestan hal ini diperkuat dengan
tulisan DR. Th. Malin Krueger dalam buku standar tentang Sejarah Gereja di
Indonesia, yang mengatakan bahwa tidak didapati sedikit pun bekas Pekabaran
Injil di Indonesia, dan tidak terdapat seorang Kristen pun di Indonesia sebelum
kedatangan bangsa Portugis sebab merekalah yang pertama-tama menyiarkan Agama
Kristen di Indonesia.
Meskipun
penelitian yang lebih seksama dengan menggunakan sumber-sumber tulisan yang
lebih kuno di Timur Tengah, membuktikan hal yang sebaliknya. Bermula dengan
memuncaknya pertentangan antara Gereja Barat dengan Gereja Timur yang berakibat
terpisahnya gereja, maka Gereja Timur berdiri sendiri dengan pimpinannya
seorang uskup di Persia dengan memakai gelar Ketholikos, di tahun 410.Gereja
ini kemudian dikenal sebagai Gereja Khaldea, atau Gereja Syria Timur. Gereja
ini adalah pengikut ajaran Nestorius, sehingga juga dikenal sebagai gereja
Nestorian (Nestorian, Nusthuri/Nasathariah). Sampai sekitar abad ke-13, pusat
gereja ini berkedudukan di Baghdad dan wilayah wewenang pelayanannya meliputi
Cyprus, Irak, Iran, Manchuria, Mongolia, India, Sri Lanka, Sumatera dan Jawa.
Dalam
sebuah naskah kuno tulisan Shaykh Abu Salih al-Armini, terdapat daftar dari 707
gereja dan 181 biara yang tersebar dimana-mana, yang termasuk dalam wilayah
pelayanan provinsi Mesir, di antaranya termasuk Indonesia. Dalam naskah itu
disebut Fansur yang disebut terdapat banyak gereja dan biara. Fansur atau
Pancur adalah kota pelabuhan di Sumatera Utara, yang terletak di dekat kota
Barus yang waktu itu sangat ramai sebagai kota pelabuhan perdagangan kapur
barus, hal ini dicatat di sekitar abad ke 7. Berita kemudian yang masih
menyebut adanya gereja di Sumatera ditulis oleh Metropolit Gereja Suriah Timur
yang bertugas antara tahun 1291-1319, yang mencantumkan keuskupan agung Dabhagh
(Sumatera).
Sumber
lain yang menyebut masih adanya gereja dan orang Kristen di Indonesia, adalah
catatan perjalanan Uskup Joa de Marignoli OFM, Duta Besar Paus Clemens VI di
Peking, yang pernah berkunjung ke Sumatera (Kerajaan Sriwijaya) dan masih
sempat melayani orang-orang Kristen di sana pada tahun 1346. Hingga akhirnya jejak
dari masa kekristenan pada awal masuk ke Indonesia hilang dan tidak lagi
diketahui proses perkembangannya. Apa yang terjadi dengan orang Kristen masa
itu masih belum jelas, namun suatu penggalian yang diadakan di tahun 1610 di
Malaka, menemukan puing-puing gereja dengan hiasan salib bergaya Khaldea.
Di Abad
XVI terjadi perubahan besar di dunia politik dan perdagangan yang ditandai
dengan ditemukannya jalan laut ke Asia oleh Eropa. Dimulailah perjalanan
ekspedisi besar-besaran yang ditandai dengan berhasilnya Portugis merebut
Malaka di tahun 1511, sebuah kota yang menjadi pusat perdagangan di Nusantara.
Dari sini mereka mengirim armadanya dan berhasil menguasai wilayah Maluku,
sumber rempah-rempah sebagai komoditi perdagangan yang bernilai jual tinggi
waktu itu. Sementara itu Kerajaan
Majapahit mulai kehilangan kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan pantai di Sumatera
mulai menyatakan diri berdiri sendiri, juga di Jawa, kerajaan-kerajaan terutama
di kota-kota pelabuhan semakin berani untuk melepaskan diri dari Majapahit. Perkembangan ini
berjalan seiring dengan semakin luasnya pengaruh Islam yang berkembang dengan
pesat pada abad ke-15 hingga ke-16.
Terkait
dengan penyebaran Agama Katolik dimulai bersamaan dengan datangnya bangsa
portugis setelah berhasil menguasai Malaka yang waktu itu memegang peranan
penting perdagangan, yang kemudian dijadikan pusat kegiatan misi. Pada tahun
1555 diresmikanlah keuskupan Malaka yang mencakup Indonesia. Penyebaran Agama
Katolik terutama di kalangan rakyat yang menganut kepercayaan lama. Sesuai
dengan prinsip Kerajaan Katolik waktu itu, maka pekerjaan misi didukung dan
dibiayai sepenuhnya oleh Negara dimana hal ini dipercayakan oleh Paus kepada
Raja. Namun, di tahap pertama ini tidak
nampak pekerjaan misi yang cukup terarah, karena terlalu tergantung pada
perkembangan penguasa Portugis. Pekerjaan misi yang sungguh baru terjadi adalah dengan kedatangan
Fransiskus Xaverius di tahun 1546 sampai 1547. Sehingga pekerjaan misi kemudian
mencapai Sulawesi Utara, beberapa tempat di Jawa khususnya di daerah yang masih ada pengaruh Hindu, dan
Kalimantan.
Peristiwa penting dalam sejarah politik di
Asia Tenggara pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 adalah terjadinya
peralihan kekuasaan kolonial, dari Portugis kepada pihak Belanda.[8] Tujuannya tetap sama untuk menguasai
daerah sumber bahan perdagangan. Sebab itu penguasaan daerah jajahan itu
dilaksanakan melalui suatu badan perdagangan yang disebut VOC (Verenigde
Osstindiesche Compagnie), yang mendapat hak monopoli dari pemerintahnya di
negeri Belanda, termasuk hak memiliki tentara sendiri, mencetak uang sendiri,
mengambil keputusan untuk berperang serta mengadakan perjanjian.
Pada mulanya VOC hanya memerlukan pelayanan
rohani untuk melayani orang-orang mereka sendiri. Kemudian mereka
diperhadapkan dengan soal baru, setelah melihat bahwa ada orang-orang Kristen
Indonesia peninggalan Misi Katolik. Jumlah orang Katolik di Maluku, Sulawesi
Utara, Pulau Siau dan Sangir disebut sekitar 40.000 jiwa. Menurut pemikiran
waktu itu, maka adalah hak dan kewajiban VOC untuk membuat orang Katolik itu
menjadi Protestan, sesuai dengan agama yang dianut oleh penguasa. Tentu ada
juga latar belakang politik, sebab VOC khawatir jika mereka tetap dibiarkan
Katolik sekali waktu mereka dapat mengundang lagi Portugis atau Spanyol.
Selanjutnya antara tahun 1708-1771 (selama 63 tahun), jumlah orang Indonesia
yang dibaptis berjumlah 43.748 jiwa, di antaranya hanya 1.205 yang boleh ikut
perayaan Perjamuan Kudus. Maka, bila diperhitungkan jumlah orang Katolik yang
ditinggalkan oleh Misi Portugis sebanyak 40.000 jiwa, maka pada dasarnya di
masa VOC dapat dikatakan gereja sama sekali tidak berkembang secara signifikan
dan berarti.
Babak berikut yang sangat berarti dalam
sejarah penyebaran Injil di Indonesia adalah dengan berakhirnya keberadaan VOC
setelah berkuasa selama 200 tahun tepatnya pada 1799. Pemerintah Belanda yang
akhirnya melanjutkan penguasaannya di Indonesia, namun tidak melihat dirinya
sebagai “penguasa Kristen”, melainkan suatu pemerintah sekuler. Terhadap
masalah keagamaan, pemerintah Belanda bersikap netral. Di bawah Gubernur
Jenderal Daendels, diproklamasikanlah kebebasan agama yang berarti juga
berakhirnya monopoli Kristen Calvinis, dan kebebasan bagi Gereja Lutheran. Sedangkan Katolik
mendapat ijin kembali untuk mengadakan pekerjaan misi dan mendatangkan Imam ke
Indonesia. Begitu juga dengan Islam secara resmi disokong untuk menunaikan
ibadah Haji ke Mekkah sebagai salah satu wujud hukum Islam yang harus dipenuhi,
Lembaga-lembaga Pekabaran Injil diperbolehkan secara bebas masuk ke Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar