Soal single objective
Telah disinggung bahwa single objective dari BI adalah mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Perumusan tujuan BI yang
demikian berbeda dengan tujuan menurut undang-undang sebelumnya,
yaitu: meningkatkan taraf hidup rakyat.
Rumusan UU terdahulu tampaknya dianggap oleh para pembuat
UU baru bersifat terlampau umum, kurang tegas dan tidak jelas. Para
pendukung rumusan baru (kalangan BI tampak termasuk
diantaranya) mengatakan bahwa ketidaktegasan itu sering ber-
88 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
implikasi pada tidak terfokusnya peran BI. Contohnya, tugas menjaga
kestabilan nilai rupiah kadang tidak dapat berjalan seiring dengan
tugas mendorong pertumbuhan, sehingga seringkali terjadi kebingungan
dalam menetapkan kebijakan. Dengan demikian, tujuan
versi baru dianggap lebih baik, karena bisa memperjelas sasaran yang
akan dicapai, serta adanya batasan tanggung jawab yang harus
dipikul oleh BI.
Argumen ini terasa kuat pada masa awal pemulihan krisis, ketika
otoritas moneter yang kuat dan fokus sangat dibutuhkan. Bertahuntahun
kemudian, argumen demikian melemah. Setelah terjadi
perkembangan yang menunjukkan banyak perbaikan, tampak juga
sisa permasalahan yang belum terselesaikan. Ditambah lagi dengan
adanya soal-soal baru dari perekonomian nasional, membuat kelemahan
konsepnya terlihat. Sebagian ekonom menilai BI terlampau
kaku dengan orientasi moneternya sehingga hampir tidak peduli
dengan dinamika sektor riil. Single objecitive semacam itu tampak
berbiaya terlampau mahal, karena dalam praktiknya sering menghambat
pertumbuhan output dan penciptaan lapangan kerja.
BI dapat dinilai terlampau ambisius dalam upaya mengendalikan
inflasi. Padahal, BI hanya dapat mengandalkan pengendalian atas
jumlah uang beredar ditambah beberapa instrumen moneter lainnya.
BI sendiri selalu menjelaskan bahwa mereka hanya bisa mengutak
atik inflasi inti. Sementara itu, inflasi yang terjadi belakangan ini
justeru lebih diakibatkan oleh variabel yang tidak termasuk ke dalam
variabel inflasi inti. Inflasi umum banyak dipicu oleh kenaikan harga
volatile good dan harga barang yang dikendalikan pemerintah
(administered prices). Selain itu, instrumen moneter kurang efektif
mengatasi inflasi yang lebih dikarenakan oleh soal ketersediaan
barang di pasaran (perdagangan) saat ini.
Bank Indonesia 89
BI tetap berkilah bahwa pada akhirnya inflasi inti sangat menentukan
inflasi secara keseluruhan, seperti yang ditunjukkan oleh
berbagai penelitian. Jika inflasi inti tidak dikendalikan, maka
kenaikan beberapa harga barang tetap akan memicu kenaikan
hampir seluruh barang.
Masalah dari argumen semacam itu adalah tingkat biayanya.
Apakah ongkos pengendalian inflasi secara demikian sepadan
dengan akibat terkontraksinya perekonomian sampai tingkat yang
cukup signifikan.
Yang menarik, laporan dan pernyataan para pejabat BI justeru
mulai sering mengemukakan hal-hal yang sebenarnya tidak berkait
secara langsung pada single objective tadi. Antara lain soal perlunya
bank meningkatkan fungsi intermediasinya, dan komitmen BI agar
terjadi peningkatan porsi kredit UMKM yang dikucurkan perbankan.
Dengan kata lain, BI memahami adanya kritik atas perannya selama
ini bagi dinamika perekonomian nasional.
Pihak yang kritis pasti akan mempertanyakan mengapa hal tersebut
tidak diformulasikan saja secara jelas agar bisa menjadi ukuran
evaluasi semua pihak. Tidak bisa pula menjadi alasan berkelit dari
tanggung jawab. Dengan demikian, BI harus mampu membedakan
hal mana yang menjadi prasyarat (sarana) dan apa yang menjadi
tujuan akhir, serta mengelolanya dengan baik.
Category:
Bank dan L Keuangan
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar