Sebagaimana disinggung di atas, bahwa sistem ekonomi
ribawi menjadi punca utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency)
sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat
bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi
akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan
uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan
dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging.
Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga nominal minus
tingkat inflasi.
Sebagai contoh, bila tingkat bunga di Indonesia,
katakanlah, 17% dengan tingkat inflasi 15%, maka tingkat bunga riel adalah 2%
(17%-15%). Ini berarti walaupun tingkat bunga nominal (tingkat bunga sebelum
dikurangi dengan tingkat inflasi) tinggi di Indonesia, ini tidak secara
otomatis akan mempengaruhi investor untuk membeli Rupiah, karena pada dasarnya
tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat
bunga riel di negara-negara lain.
Inilah penyebab utama semakin menurunnya nilai
(depresiasi) Rupiah akibat rendahnya permintaan akan Rupiah. Tinggi rendahnya
nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran Rupiah di
pasar uang. Semakin banyak jumlah permintaan mata uang Rupiah, maka semakin
tinggi nilai mata uang Rupiah, dan sebaliknya. Begitu juga dengan penawaran,
semakin tingginya jumlah Rupiah yang beredar di pasar, sementara permintaan
akan Rupiah rendah, maka nilai rupiah akan menurun, dan sebaliknya.
Sebenarnya, inilah yang sedang berlaku di Indonesia,
dimana jangankan businessman asing, para businessman dalam
negeripun lebih cenderung membeli Dolar atau mata uang asing lainnya dengan
menjual Rupiah di pasar valuta asing. Ini juga bermakna semakin berkurangnya
dana asing yang masuk ke Indonesia, ditambah lagi dengan larinya dana dalam
negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi ketersediaan dana yang memadai
sebagai modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas semakin memperparah penurunan
nilai mata uang Rupiah dan semakin minimnya dana asing dan lokal yang tersedia
untuk pembangunan ekonomi, yang pada gilirannya, akan menyebabkan krisis
ekonomi terjadi berkepanjangan.
Memang, harus diakui bahwa semakin rendahnya nilai Rupiah,
maka semakin memperkuat daya saing komoditas eksport Indonesia di pasar
internasional karena relatif murahnya harga komoditas eksport tersebut di pasar
internasional bila dibeli dengan mata uang asing.
Tetapi, penurunan nilai Rupiah ini tidak akan memberi
pengaruh signifikan sebab kebanyakan komposisi bahan mentah komoditas eksport
Indonesia adalah terdiri dari bahan mentah yang diimport dari negara luar.
Dengan kata lain, kenaikan harga barang mentah akibatnya tingginya nilai mata
uang (appresiasi) asing jelas akan menyebabkan biaya untuk memproduksikan
komoditas eksport tersebut akan bertambah mahal sehingga produk akhir komoditas
itu harus dijual dengan harga yang mahal pula. Ini menunjukkan bahwa penurunan
nilai Rupiah tidak akan memberi kelebihan daya saing eksport Indonesia di pasar
internasional.
Permasalahan di atas, sebenarnya, tidak pernah terjadi
kalau sistim ekonomi Islam diadopsi dalam sistim ekonomi negara. Kenapa tidak?
Karena nilai uang tidak akan dipengaruhi oleh perbedaan tingkat bunga riel
sebab ekonomi Islam tidak mengenal sistim bunga (riba). Inilah yang menyebabkan
nilai uang dalam ekonomi tanpa bunga tidak mengalami volatilitas yang
membahayakan.
Jadi, dapat dipastikan bahwa sistem
moneter kapitalisme berbasis bunga yang diterapkan di dunia saat
ini, sangat rawan menimbulkan
instabilitas ekonomi dan krisis
di berbagai negara. Kegiatan spekulasi telah mendominasi transaksi keuangan dunia. Keadaan ini terjadi karena
motif masyarakat memegang uang selain dari pada untuk transaksi dan
kehati-hatian (precaution) juga untuk kegiatan spekulasi yang
jelas-jelas tidak produktif[1]. Selama kegiatan spekulasi ini tidak dieleminir, maka kestabilan ekonomi
tetap tidak terjamin. Katakanlah kita mampu melakukan recover dengan
mengikuti segala petunjuk yang diarahkan oleh IMF, namun pada suatu saat entah
di Indonesia atau di negara-negara Asia, Amerika, Eropah atau negara-negara
lainnya krisis akan terulang kembali. Sepanjang kredit atau pinjaman dapat
digunakan untuk membiayai kegiatan spekulasi seperti investasi pada derivative
instrument, dan mengambil keuntungan di pasar-pasar valas, valas, keuangan,
komoditi dan saham, maka krisis berikutnya diperkirakan akan terjadi
terus-menerus.
Dengan dominannya kegiatan bisnis
spekulasi tersebut, maka terjadilah
kepincangan atau ketidakseimbangan
antara sektor moneter dan sektor riel. Realitas ketidakseimbangan arus
finansial dengan arus barang (riil) tersebut, mencemaskan banyak pakar ekonomi
dunia, karena ia dapat mengancam krisis ekonomi di berbagai negara.
Sekedar
ilustrasi dari fenomena ketidakseimbangan tersebut, terlihat dari data
peredaran uang dimuka bumi ini setiap hari, dana yang beredar mencapai US$ 3,4
triliun sampai US$ 4 triliun atau sekitar lebih US$ 1000 tirliun dalam satu
tahunnya hanya berkisar US$ 7 triliun. Jadi, arus uang lebih cepat dibandingkan
dengan arus barang (Kompas, 19 September 2007)
Dengan demikian, hampir seluruh dana tersebut (99%) beredar secara maya,
artinya, gentayangan dalam transaksi non sektor riil, seperti peredaran uang di
pasar modal dan pasar uang dunia secara spekulatif. Inilah ketidakseimbangan
antara arsu uang dan barang yang dicela dan dihindari ekonomi syariah
dikategorikan sebagai riba.
Pakar manajemen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan
antara arus moneter dan arus barang / jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya
kegiatan ekonomi dan bisnis spekulatif,
sehingga dunia terjangkit penyakit yang bernama ekonomi balon (Bubble
economy). Disebut dengan balon karena secara lahir tampak besar, tetapi
ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia
kosong.
Spekulasi mata
uang yang bisa mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan dipasar – pasar
uang. Pasar uang di dunia saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (
London, New York, Chicago, Tokyo, Hong Kong, dan Singapura ). Nilai uang mata
uang negara lain, bisa saja tiba- tiba menguat atau sebaliknya. Dipasar uang
tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu
negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah
sempoyongan gara – gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti
di Indonesia, jelas menjadi bulan – bulanan para spekulan. Dengan demikian pula
ulah George Soros di Asia Tengah.
Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka
yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka
melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bisa ada momen yang tepat, biasanya
suatu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian. Menjelang momentum
tersebut, secara perlahan – lahan, mereka membeli rupiah, sehingga permintaan
akan meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah menguat. Penguatan rupiah
secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya
muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas rupiah secara
sekaligus dalam jumlah yang besar. Pasar akan kebanjiran
rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok.
Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga
jual.makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.
Berdasarkan realitas itulah, maka konferensi tahunan Association of Muslim
Scientist di Chicago, oktober 1998 yang membahas masalah ekonomi Asia dalam
perspektif ekonomi syariah, menyepakati, bahkan akar persoalan krisis adalah
perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan
sektor riil. Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi
secara liar.
Sebenarnya, sebagian para ekonomidunia telah menyadari kerapuhan sistem
moneter kapitalisme seperti itu. Teori bubble growth dan random walk telah
memberikan penjelasan meyakinkan tentang bahaya transaksi maya ( bisnis dan
spekulasi mata uang dan bisnis spekulasi sham dipasar modal ). Pelarangan riba
yang secara tegas dalam Al- Quran ( Q. 2 : 275 – 279 ), pada hakikatnya
merupakan pelarangan terhadap transaksi maya. Firman Allah, “ Allah menghalalkan jual beli ( Sektor Riil
), dan mengharamkan riba ( transaksi maya ). “
Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riil ( barang dan jasa ) yang
diperjual belikan. Mereka hanya memperjual belikan surat berharga dan mata uang
untuk tujuan spekulasi. Selisih ( gain ) yang diperoleh bighairi
‘iwadhin, yakni tanpa ada sektor riil yang dipertukarkan , kecuali mata
uang itu sendiri. Para pemimpin negara G7 pun, telah menyadari bahaya dan
keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka menyepakati
bahwa perlu adanya pengaturan di pasar uang sehingga tidak menimbulkan krisis
yang berkepanjangan. Karena itu, pemerintah hendaknya melarang transaksi maya
atau transaksi derivatif baik di money changer, bank devisa dan pasar
uang. Bank Syariah, seperti Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri, sejak
berdirinya menghindari bisnis spekulasi mata uang, karena dilarang dalam
ekonomi Islam.
0 komentar:
Posting Komentar