Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

Bunga dan Spekulasi



Sebagaimana disinggung di atas, bahwa sistem ekonomi ribawi menjadi punca utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga nominal minus tingkat inflasi.
Sebagai contoh, bila tingkat bunga di Indonesia, katakanlah, 17% dengan tingkat inflasi 15%, maka tingkat bunga riel adalah 2% (17%-15%). Ini berarti walaupun tingkat bunga nominal (tingkat bunga sebelum dikurangi dengan tingkat inflasi) tinggi di Indonesia, ini tidak secara otomatis akan mempengaruhi investor untuk membeli Rupiah, karena pada dasarnya tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga riel di negara-negara lain.

Inilah penyebab utama semakin menurunnya nilai (depresiasi) Rupiah akibat rendahnya permintaan akan Rupiah. Tinggi rendahnya nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran Rupiah di pasar uang. Semakin banyak jumlah permintaan mata uang Rupiah, maka semakin tinggi nilai mata uang Rupiah, dan sebaliknya. Begitu juga dengan penawaran, semakin tingginya jumlah Rupiah yang beredar di pasar, sementara permintaan akan Rupiah rendah, maka nilai rupiah akan menurun, dan sebaliknya.
Sebenarnya, inilah yang sedang berlaku di Indonesia, dimana jangankan businessman asing, para businessman dalam negeripun lebih cenderung membeli Dolar atau mata uang asing lainnya dengan menjual Rupiah di pasar valuta asing. Ini juga bermakna semakin berkurangnya dana asing yang masuk ke Indonesia, ditambah lagi dengan larinya dana dalam negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi ketersediaan dana yang memadai sebagai modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas semakin memperparah penurunan nilai mata uang Rupiah dan semakin minimnya dana asing dan lokal yang tersedia untuk pembangunan ekonomi, yang pada gilirannya, akan menyebabkan krisis ekonomi terjadi berkepanjangan.
Memang, harus diakui bahwa semakin rendahnya nilai Rupiah, maka semakin memperkuat daya saing komoditas eksport Indonesia di pasar internasional karena relatif murahnya harga komoditas eksport tersebut di pasar internasional bila dibeli dengan mata uang asing.
Tetapi, penurunan nilai Rupiah ini tidak akan memberi pengaruh signifikan sebab kebanyakan komposisi bahan mentah komoditas eksport Indonesia adalah terdiri dari bahan mentah yang diimport dari negara luar. Dengan kata lain, kenaikan harga barang mentah akibatnya tingginya nilai mata uang (appresiasi) asing jelas akan menyebabkan biaya untuk memproduksikan komoditas eksport tersebut akan bertambah mahal sehingga produk akhir komoditas itu harus dijual dengan harga yang mahal pula. Ini menunjukkan bahwa penurunan nilai Rupiah tidak akan memberi kelebihan daya saing eksport Indonesia di pasar internasional.
Permasalahan di atas, sebenarnya, tidak pernah terjadi kalau sistim ekonomi Islam diadopsi dalam sistim ekonomi negara. Kenapa tidak? Karena nilai uang tidak akan dipengaruhi oleh perbedaan tingkat bunga riel sebab ekonomi Islam tidak mengenal sistim bunga (riba). Inilah yang menyebabkan nilai uang dalam ekonomi tanpa bunga tidak mengalami volatilitas yang membahayakan.
Jadi, dapat dipastikan bahwa sistem  moneter kapitalisme berbasis bunga yang diterapkan di dunia saat ini,  sangat rawan  menimbulkan  instabilitas ekonomi dan krisis  di berbagai negara. Kegiatan spekulasi telah mendominasi transaksi  keuangan dunia. Keadaan ini terjadi karena motif masyarakat memegang uang selain dari pada untuk transaksi dan kehati-hatian (precaution) juga untuk kegiatan spekulasi yang jelas-jelas tidak produktif[1]. Selama kegiatan spekulasi ini tidak dieleminir, maka kestabilan ekonomi tetap tidak terjamin. Katakanlah kita mampu melakukan recover dengan mengikuti segala petunjuk yang diarahkan oleh IMF, namun pada suatu saat entah di Indonesia atau di negara-negara Asia, Amerika, Eropah atau negara-negara lainnya krisis akan terulang kembali. Sepanjang kredit atau pinjaman dapat digunakan untuk membiayai kegiatan spekulasi seperti investasi pada derivative instrument, dan mengambil keuntungan di pasar-pasar valas, valas, keuangan, komoditi dan saham, maka krisis berikutnya diperkirakan akan terjadi terus-menerus.
Dengan dominannya kegiatan bisnis spekulasi tersebut, maka  terjadilah kepincangan atau ketidakseimbangan  antara sektor moneter dan sektor riel. Realitas ketidakseimbangan arus finansial dengan arus barang (riil) tersebut, mencemaskan banyak pakar ekonomi dunia, karena ia dapat mengancam krisis ekonomi di berbagai negara.
Sekedar ilustrasi dari fenomena ketidakseimbangan tersebut, terlihat dari data peredaran uang dimuka bumi ini setiap hari, dana yang beredar mencapai US$ 3,4 triliun sampai US$ 4 triliun atau sekitar lebih US$ 1000 tirliun dalam satu tahunnya hanya berkisar US$ 7 triliun. Jadi, arus uang lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Kompas, 19 September 2007)
Dengan demikian, hampir seluruh dana tersebut (99%) beredar secara maya, artinya, gentayangan dalam transaksi non sektor riil, seperti peredaran uang di pasar modal dan pasar uang dunia secara spekulatif. Inilah ketidakseimbangan antara arsu uang dan barang yang dicela dan dihindari ekonomi syariah dikategorikan sebagai riba.
Pakar manajemen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang / jasa sebagai adanya decopling,  yakni fenomena keterputusan antara maraknya kegiatan ekonomi  dan bisnis spekulatif, sehingga dunia terjangkit penyakit yang bernama ekonomi balon (Bubble economy). Disebut dengan balon karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong.
Spekulasi mata uang yang bisa mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan dipasar – pasar uang. Pasar uang di dunia saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia ( London, New York, Chicago, Tokyo, Hong Kong, dan Singapura ). Nilai uang mata uang negara lain, bisa saja tiba- tiba menguat atau sebaliknya. Dipasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara – gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti di Indonesia, jelas menjadi bulan – bulanan para spekulan. Dengan demikian pula ulah George Soros di Asia Tengah.
Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bisa ada momen yang tepat, biasanya suatu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian. Menjelang momentum tersebut, secara perlahan – lahan, mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah menguat. Penguatan rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas rupiah secara sekaligus dalam jumlah yang besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok.
Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual.makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain. Berdasarkan realitas itulah, maka konferensi tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, oktober 1998 yang membahas masalah ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi syariah, menyepakati, bahkan akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil. Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar.
Sebenarnya, sebagian para ekonomidunia telah menyadari kerapuhan sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori bubble growth dan random walk telah memberikan penjelasan meyakinkan tentang bahaya transaksi maya ( bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis spekulasi sham dipasar modal ). Pelarangan riba yang secara tegas dalam Al- Quran ( Q. 2 : 275 – 279 ), pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi maya. Firman Allah, “ Allah menghalalkan jual beli ( Sektor Riil ), dan mengharamkan riba ( transaksi maya ). “
Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riil ( barang dan jasa ) yang diperjual belikan. Mereka hanya memperjual belikan surat berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Selisih ( gain ) yang diperoleh bighairi ‘iwadhin, yakni tanpa ada sektor riil yang dipertukarkan , kecuali mata uang itu sendiri. Para pemimpin negara G7 pun, telah menyadari bahaya dan keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka menyepakati bahwa perlu adanya pengaturan di pasar uang sehingga tidak menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Karena itu, pemerintah hendaknya melarang transaksi maya atau transaksi derivatif baik di money changer, bank devisa dan pasar uang. Bank Syariah, seperti Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri, sejak berdirinya menghindari bisnis spekulasi mata uang, karena dilarang dalam ekonomi Islam.

0 komentar:

Posting Komentar