Salah satu penyebab utama munculnya krisis ekonomi dan
keuangan di berbagai belahan dunia adalah praktek ribawi dan spekulasi
finansial dalam aktivitas perekonomian. Islam dengan tegas mengharamkan riba dan spekulasi tersebut untuk
dipraktekkan dalam sistim ekonomi umatnya. Inilah yang menjadi pembeda utama antara
sistim ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Ekonomi kapitalisme secara nyata menghalalkan
bunga dan praktek spekulasi.
Pengharaman riba
menurut ekonomi Islam memiliki
argumentasi yang rasional. Afzalur Rahman dalam buku Economic Doctrines in Islam, telah
memaparkan secara mendalam dan komprehensif tentang alasan-alasan larangan
bunga dalam perekonomian. Demikian pula dalam buku Muhammad sebagai Pedagang (Muhammad as A Trader), Afzalur Rahman juga menjelaskan keburukan
sistem bunga dalam perekonomian.
Menurut Prof. A.
M. Sadeq (1989) dalam artikelnya "Factor Pricing and Income
Distribution from An Islamic Perspective" yang dipublikasikan dalam Journal
of Islamic Economics, menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi,
setidaknya, disebabkan oleh [3];
Pertama, sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan
ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi modal (bank) yang
pasti menerima keuntungan tanpa mahu tahu apakah para peminjam dana tersebut
memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para peminjam
dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin
tidak akan muncul.
Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bankrut,
para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari
pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah
bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah ini sesuatu yang
sangat tidak adil?
Kedua, sistim ekonomi ribawi juga
merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan
peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri
dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar
pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif kecil
dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh.
Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya
terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang
diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal
dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya
terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.
Ketiga, sistim ekonomi ribawi akan
menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat,
maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan
lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang
lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.
Terakhir, bunga
dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan
modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk
menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat
harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin
lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini
secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Kehadiran
krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim ekonomi ribawi
seperti disebutkan di atas.
Bagaimana skenario sistem ekonomi ribawi akan
menggerogoti sendi-sendi ekonomi umat, secara detail dapat disebutkan sebagai
berikut.
Dalam
dunia perbankan yang menganut sistim ribawi tingkat bunga dijadikan acuan untuk
meraih keuntungan para pemberi modal. Bank tidak mau tahu apakah para peminjam
memperoleh keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para
peminjam harus membayar modal pinjamannya plus bunga pinjaman. Semakin tinggi
tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang
diperoleh para pemberi modal dan semakin merusak sendi-sendi ekonomi umat
akibat dampak negatif sistim ekonomi ribawi dalam masyarakat.
Demikian
pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para
peminjam, maka semakin sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya.
Apalagi dalam sistim ekonomi konvensional, biasanya pihak bank tidak terlalu
selektif dalam meluncurkan kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mahu
tahu apakah uang pinjamannya itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau
tidak, yang penting bagi mereka adalah semua dana yang tersedia dapat
disalurkan kepada masyarakat. Sikap bank yang beginilah yang menyebabkan
semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi akibat semakin menunggaknya hutang
peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi ketika jatuh tempo kepada pihak
bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki defisit dana yang dampaknya sangat
mempengaruhi tingkat produksi dalam masyarakat.
Tak bias dibantah bahwa Interest rate (bunga) merupakan faktor
yang sangat menentukan akan ketidak
stabilan ekonomi dunia saat ini. Menurut Friedman (1982) sebagaimana yang
dikutip Umer Chapra[1]
attributed the unprecedentedly erratic
behavior of the US
economy to the behavior of interest rates. Tingginya volatilitas dari
interest rate mengakibatkan tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty)
dalam financial market sehingga investor tidak berani untuk melakukan
investasi-investasi jangka panjang. Akibat dari ketidak pastian ini menggiring
borrower maupun lender lebih mempertimbangkan pinjaman maupun investsi jangka
pendek yang pada gilirannya membuat investasi-investasi jangka pendek yang berbau
spekulasi lebih manarik, sehingga masyarakat lebih senang mengambil keuntungan
pada pasar-pasar komoditi, saham dan valuta asing. Keadaan tersebut membuat
pasar-pasar tersebut semakin aktive dan memanas yang merupakan salah satu
penyebab ketidakstabilan ekonomi dunia saat ini.
Berdasarkan survey yang dilaksanakan
oleh Bank for International Investment (BIS), total turnover perdagangan valuta asing mencapai $1230 milliar per
hari kerja pada April 1995, yang sangat
berbeda jauh dibandingkan pada April 1992 dan 1989 yang masing-masing hanya
$880 milliar dan $620 milliar. Tingginya tingkat turnover tersebut terutama berkaitan dengan derivatives contract (futeres
and options). Masih berdasarkan hasil survey BIS diperkirakan nilai total
dari derivative contracts mencapai sekitar $40700 milliar pada 31 Maret 1995
dengan volume harian sebesar $839 milliar. Volume harian tersebut jauh lebih
besar dibandingkan dengan volume harian export dan import yang hanya mencapai
26,3 milliar pada kwartal pertama tahun 1995.[2] Bila
pakar bankir mempertimbangkan pemanfaatan dari dana yang mereka salurkan dengan
benar, maka tingginya penyaluran kredit untuk membiayai transaksi-transaksi
yang spekulative tidak akan pernah
terjadi, seperti yang tercermin dari angka-angka tersebut diatas. Seorang
pemenang nobel tahun 1988, yaitu Maurice Allais (1993) semakin menyakinkan kita
bahwa kredit memang digunakan untuk membiayai kegiatan spekulasi, sebagai
berikut : Be it speculationon currencies
or speculation on stocks and shares, the worls has become one big casino with
gaming tables distributed along every latitude and longitude. The game ang the
bids, in which millions of players take part, never cease. The American
quatations are followed by those from Tokyo and
Hongkong, from London , Frankfurt and Paris . Everywhere
speculation is supported by crdit since one can buy without paying and selling
without owning[3].
Sedemikian besarnya perkembangan
transaksi-transaksi keuangan yang berdasarkan derivatives contract sangat
berpengaruh terhadap sistem pembayaran. Sebagai konsekwensi besarnya volume
transaksi untuk kegiatan-kegiatan derivative adalah bila terjadi masalah
keuangan disuatu region akan cepat menyebar keseluruh financial system melalui
dominoes effect pada lembag-lembag keuangan. Menurut Crocket (1994) telah
disadari bahwa our economies have thus
become increasingly vulnerable to a possible breakdown in the payments system.[4]
Besarnya transaksi-transaksi derivative
juga memiliki kontribusi terhadap semakin tingginya interest rate yang cenderung
memperkecil kegiatan-kegiatan investasi yang produktive. Hal tersebut juga mengakibatkan ketidak stabilan yang berlebihan pada pasar
valuta asing. Usaha-usaha yang dilakukan oleh central banks melalui
perubahan-perubahan interest rate ataupun melalui intervention ternyata secara
umum telah terbukti tidak efektif.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa usaha-usaha mengatur komponen-komponen money demand atau manajemen melalui interest rate cenderung memperkecil money demand untuk kegiatan-kegiatan
pemenuhan kebutuhan dasar dan investasi yang produktive dan cenderung
memperbesar money demand untuk kegiatan-kegiatan yang tidak produktive dan
spekulative, yang pada gilirannya mengakibatkan kegagalan pencapaian
tujuan-tujuan pembangunan ekonomi suatu negara. Karena money demand untuk conspicunous
consumption dan spekulasi cenderung lebih tidak stabil, keadaan ini
mengakibatkan ketidak stabilan sektor moneter, yang pada gilirannya
mengkibatkan ketidak stabilan bagi perekonomian secara keseluruhan.
0 komentar:
Posting Komentar