Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

Sistem Ekonomi Ribawi



Salah satu penyebab utama munculnya krisis ekonomi dan keuangan di berbagai belahan dunia adalah praktek ribawi dan spekulasi finansial dalam aktivitas perekonomian. Islam dengan tegas  mengharamkan riba dan spekulasi tersebut untuk dipraktekkan dalam sistim ekonomi umatnya.  Inilah yang menjadi pembeda utama antara sistim ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional.  Ekonomi kapitalisme secara nyata menghalalkan bunga dan praktek spekulasi.
Pengharaman  riba menurut  ekonomi Islam memiliki argumentasi yang rasional. Afzalur Rahman dalam buku Economic Doctrines in Islam,   telah memaparkan secara mendalam dan komprehensif tentang alasan-alasan larangan bunga dalam perekonomian. Demikian pula dalam buku Muhammad sebagai Pedagang (Muhammad as A Trader), Afzalur Rahman juga menjelaskan keburukan sistem bunga dalam perekonomian.

 Menurut Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya "Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective" yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics, menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi, setidaknya, disebabkan oleh [3];
Pertama, sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mahu tahu apakah para peminjam dana tersebut

memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin tidak akan muncul.
Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bankrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah ini sesuatu yang sangat tidak adil?
Kedua, sistim ekonomi ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh.
Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.
Ketiga, sistim ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.
Terakhir, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Kehadiran krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim ekonomi ribawi seperti disebutkan di atas.
Bagaimana skenario sistem ekonomi ribawi akan menggerogoti sendi-sendi ekonomi umat, secara detail dapat disebutkan sebagai berikut.
Dalam dunia perbankan yang menganut sistim ribawi tingkat bunga dijadikan acuan untuk meraih keuntungan para pemberi modal. Bank tidak mau tahu apakah para peminjam memperoleh keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para peminjam harus membayar modal pinjamannya plus bunga pinjaman. Semakin tinggi tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh para pemberi modal dan semakin merusak sendi-sendi ekonomi umat akibat dampak negatif sistim ekonomi ribawi dalam masyarakat.
Demikian pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para peminjam, maka semakin sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya. Apalagi dalam sistim ekonomi konvensional, biasanya pihak bank tidak terlalu selektif dalam meluncurkan kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mahu tahu apakah uang pinjamannya itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau tidak, yang penting bagi mereka adalah semua dana yang tersedia dapat disalurkan kepada masyarakat. Sikap bank yang beginilah yang menyebabkan semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi akibat semakin menunggaknya hutang peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi ketika jatuh tempo kepada pihak bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki defisit dana yang dampaknya sangat mempengaruhi tingkat produksi dalam masyarakat.
           
            Tak bias dibantah bahwa Interest rate (bunga) merupakan faktor yang sangat menentukan akan  ketidak stabilan ekonomi dunia saat ini. Menurut Friedman (1982) sebagaimana yang dikutip Umer Chapra[1] attributed the unprecedentedly erratic behavior of the US economy to the behavior of interest rates. Tingginya volatilitas dari interest rate mengakibatkan tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty) dalam financial market sehingga investor tidak berani untuk melakukan investasi-investasi jangka panjang. Akibat dari ketidak pastian ini menggiring borrower maupun lender lebih mempertimbangkan pinjaman maupun investsi jangka pendek yang pada gilirannya membuat investasi-investasi jangka pendek yang berbau spekulasi lebih manarik, sehingga masyarakat lebih senang mengambil keuntungan pada pasar-pasar komoditi, saham dan valuta asing. Keadaan tersebut membuat pasar-pasar tersebut semakin aktive dan memanas yang merupakan salah satu penyebab ketidakstabilan ekonomi dunia saat ini.
            Berdasarkan survey yang dilaksanakan oleh Bank for International Investment (BIS), total turnover perdagangan valuta asing mencapai $1230 milliar per hari  kerja pada April 1995, yang sangat berbeda jauh dibandingkan pada April 1992 dan 1989 yang masing-masing hanya $880 milliar dan $620 milliar. Tingginya tingkat turnover tersebut terutama berkaitan dengan derivatives contract (futeres and options). Masih berdasarkan hasil survey BIS diperkirakan nilai total dari derivative contracts mencapai sekitar $40700 milliar pada 31 Maret 1995 dengan volume harian sebesar $839 milliar. Volume harian tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan volume harian export dan import yang hanya mencapai 26,3 milliar pada kwartal pertama tahun 1995.[2] Bila pakar bankir mempertimbangkan pemanfaatan dari dana yang mereka salurkan dengan benar, maka tingginya penyaluran kredit untuk membiayai transaksi-transaksi yang spekulative tidak akan pernah terjadi, seperti yang tercermin dari angka-angka tersebut diatas. Seorang pemenang nobel tahun 1988, yaitu Maurice Allais (1993) semakin menyakinkan kita bahwa kredit memang digunakan untuk membiayai kegiatan spekulasi, sebagai berikut : Be it speculationon currencies or speculation on stocks and shares, the worls has become one big casino with gaming tables distributed along every latitude and longitude. The game ang the bids, in which millions of players take part, never cease. The American quatations are followed by those from Tokyo and Hongkong, from London, Frankfurt and Paris. Everywhere speculation is supported by crdit since one can buy without paying and selling without owning[3].
            Sedemikian besarnya perkembangan transaksi-transaksi keuangan yang berdasarkan derivatives contract sangat berpengaruh terhadap sistem pembayaran. Sebagai konsekwensi besarnya volume transaksi untuk kegiatan-kegiatan derivative adalah bila terjadi masalah keuangan disuatu region akan cepat menyebar keseluruh financial system melalui dominoes effect pada lembag-lembag keuangan. Menurut Crocket (1994) telah disadari bahwa our economies have thus become increasingly vulnerable to a possible breakdown in the payments system.[4] Besarnya transaksi-transaksi derivative juga memiliki kontribusi terhadap semakin tingginya interest rate yang cenderung memperkecil kegiatan-kegiatan investasi yang produktive. Hal tersebut juga mengakibatkan ketidak stabilan yang berlebihan pada pasar valuta asing. Usaha-usaha yang dilakukan oleh central banks melalui perubahan-perubahan interest rate ataupun melalui intervention ternyata secara umum telah terbukti tidak efektif.
                Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa usaha-usaha mengatur komponen-komponen money demand atau manajemen melalui interest rate cenderung memperkecil money demand untuk kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar dan investasi yang produktive dan cenderung memperbesar money demand untuk kegiatan-kegiatan yang tidak produktive dan spekulative, yang pada gilirannya mengakibatkan kegagalan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan ekonomi suatu negara. Karena money demand untuk conspicunous consumption dan spekulasi cenderung lebih tidak stabil, keadaan ini mengakibatkan ketidak stabilan sektor moneter, yang pada gilirannya mengkibatkan ketidak stabilan bagi perekonomian secara keseluruhan.


0 komentar:

Posting Komentar