Suatu sistem filsafat pada tingkat
perkembangan tertentu, melahirkan ideologi. Biasanya, ideologi lebih
mengutamakan asas-asas kehidupan politik dan kenegaraan, sebagai satu kehidupan
nasional yang esensinya adalah kepemimpinan, kekuasaan, kelembagaan
dengan tujuan kesejahteraan. Secara teoritis filosofis, ideologi
bersumber pada suatu sistem filfasat dan merupakan pelaksanaan sistem filsafat.
Hal ini berarti suatu sistem filsafat dikembangkan dan dilaksanakan oleh suatu
ideologi. Berdasarkan asas teoritis demikian, maka dalam kehidupan bangsa
Indonesia bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah falsafah
hidup yang berkembang dalam sosio-budaya Indonesia. Nilai Pancasila yang telah terkristalisasi dianggap nilai dasar dan puncak
(sari-sari) budaya bangsa.
Sedemikian mendasarnya nilai-nilai
Pancasila dalam menjiwai dan memberikan watak (kepribadian, identitas) sehingga
pengakuan atas kedudukan Pancasila sebagai filsafat adalah wajar. Sebagai
ajaran filsafat, Pancasila mencerminkan nilai dan pandangan mendasar dan
hakikat rakyat Indonesia dalam hubungannya dengan ;
Ketuhanan,
Kemanusiaan, Kenegaraan, Kekeluargaan dan Musyawarah serta Keadilan sosial.
Nilai dan fungsi filsafat Pancasila telah
ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Ini berarti, dengan kemerdekaan yang
diperoleh bangsa dan negara Indonesia secara melembaga dan formal telah
meningkatkan kedudukan dan fungsi Pancasila. Yakni, dari kedudukannya sebagai
filsafat hidup ditingkatkan sebagai filsafat negara — dari
kondisi sosio-budaya yang terkristalisasi menjadi nilai filosofis-ideologis
yang kontitusional –
(dikukuhkan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945). Untuk lebih jelasnya
perhatikan bagan berikut ini.
|
|
|
|
- ancasila
Ideologi Terbuka
Menurut Abdulkadir Besar dalam tulisannya tentang “Pancasila Ideologi Terbuka”,
antara lain disebutkan bahwa pada umumnya khalayak memahami arti “terbuka” dari
pernyataan “ideologi terbuka” adalah ideologinya yang bersifat terbuka. Oleh
sebab itu, pernyataan “Pancasila adalah ideologi terbuka”, banyak difahami
secara harfiah, yaitu ; berbagai konsep dari ideologi lain, terutama dari
ideologi liberalisme, seperti ;”hak
asasi manusia”, “pasar
bebas”, “mayoritas
tunggal”, “dualisme
pemerintahan” beserta konsekuensi logiknya : “sistem oposisi liberal”,
dan sebagainya serta merta (tanpa nalaran sedikitpun), dianggap dapat berlaku
dengan sendirinya sebagai konsep yang inheren dari ideologi Pancasila.
Adanya anggapan umum yang demikian, dapat
difahami karena adanya sebab-sebab sebagai berikut :
1.
Orang yang bersangkutan tidak
atau belum faham betul mengenai ideologi Pancasila, dan
2.
Nilai instrinsik ideologi Liberalisme, yaitu “kebebasan
individu” merupakan konsep yang teralir darinya tidak mereka sadari sebagai
konsep ideologik, melainkan mereka persepsikan sebagai konsep yang bebas nilai
yang mereka identikkan dengan konsep yang bersifat obyektif universal.
Bahwa semua konsep dari suatu ideologi,
niscaya teralir secara deduktif-logik dari nilai instrinsik suatu ideologi
yang bersangkuatan. Sebagai contoh, nilai instrinsik ideologi Liberaralisme (kebebasan individu),
ideologi Komunis (hubungan
produksi), dan ideologi Pancasila adalahkebersamaan. Berkenaan dengan hal tersebut,
konsep dari suatu ideologi tidak dapat diberlakukan kepada ideologi yang lain.
Bila hal ini dipaksakan, maka yang akan terwujud adalah cita-cita dari ideologi
lain.
1.
a. Dimensi
Ideologi Terbuka
Dalam pandangan Dr.
Alfian, bahwa kekuatan suatu ideologi tergantung pada 3 (tiga)
dimensi yang terkandung di dalam dirinya, yaitu sebagai berikut:
1) Dimensi
Realita
Bahwa nilai-nilai dasar di dalam suatu
ideologi bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup dalam masyarakat sehingga
tertanam dan berakar di dalam masyarakat, terutama pada waktu ideologi
itu lahir. Dengan demikian, mereka betul-betul merasakan dan menghayati bahwa
nilai-nilai dasar itu adalah milik mereka bersama.
2) Dimensi
Idealisme
Bahwa nilai-nilai dasar ideologi
tersebut mengandung idealisme, bukan lambungan angan-angan (utopia), yang memberi harapan tentang
masa depan yang lebih baik melalui perwujudan atau pengalamannya dalam
praktek kehidupan bersama mereka sehari-hari dengan berbagai dimensinya.
Ideologi yang tangguh biasanya terjalin berkaitan, yang saling mengisi dan
saling memperkuat antara dimensi realitas dan dimensi idealisme yang terkandung
di dalamnya.
3) Dimensi
Fleksibelitas (Pengembangan)
Bahwa ideologi tersebut memiliki keluwesan
yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran
baru yang relevan tentang dirinya, tanpa menghilangkan atau mengingkari
hakekat (jati diri)
yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya. Dimensi fleksibilitas atau
dimensi pengembangan, sangat diperlukan oleh suatu ideologi guna memelihara dan
memperkuat relevansinya dari masa ke masa.
0 komentar:
Posting Komentar