ILMU HADIS
DAN SEJARAH PERKEMBANGAN
A.
Pengertian Ilmu Hadis
Ilmu hadis (‘ulum Al Hadis ), secara bahasa berarti ilmu-ilmu tentang
hadis. Secara etimologi ,seperti yang di ungkapkan oleh As-Suyuthi ,ilmu hadis
adalah :
Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai
kepada Rosul Saw .dari segi hal ikhwal para rawiyah ,yang menyangkut ke
dhabitan dan keadilan nya dan dari bersambung dan terputus nya sanad ,dan
sebagai nya
Secara garis besar ,ulama’ hadis me ngelompokan ilmu hadis tersebut ke
dalam dua bidang pokok ,yakni ilmu hadis mengelompokan ilmu hadis tersebut ke
dalam dua bidang pokok ,yakni ilmu hadis riwayat dan ilmu hadits dir ayah
1.
Ilmu Hadists Riwayat
Kata riwayat artinya periwayatan atau cerita Ilmu hadis’riwayat secara
bahasa berarti ilmu hadits yang berupa periwayatan .
***
Ilmu hadis
riwayat adalah yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW,
periwayatanny, pencatatanya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.
Objek kajian
ilmu hadis riwayah adalah segala sesuatu yang dimisbatkan kepada Nabi Saw,
Sahabat, dan tabi’in yang meliputi :
a.
Cara periwayatannya, yakni cara penerimaan dan
penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain :
b.
Cara pemeliharaan, yakni penghapalan, penulisan, dan
pembukuan hadis.
Ilmu hadis riwayah bertujuan memelihara hadis Nabi SAW, dari kesalahan
dalam proses periwayaan atau dalam penulisan dan pembukuannya.
Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah
adalah Abu Bakar Muhamamd bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan
ulama besar di Hijaz dan Syar. Dalam sejarah perkembangan hadis, Az-Zuhri
tercatat sebagai SAW, atas perintah khalifah umar bin Abdul Aziz atau Khalifah
Umar II (memerintah 99H/717 M – 102 H/ 720 M).
Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan dan pembukaan hadis secaa
besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-3 H, seperti iman
Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan ulama-ulama
hadis lainya melalui kitab hadis masing-masing.
2.
Ilmu Hadis Dirayah
At-Turmuczi
mendefinisikan
“Kaidah-kaidah
untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan,
sifat-siat perawi, dan lain-lain. [1]
Ibnu Al-Akhfani
mendefinisikan ilmu ini sebagai berikut :
**
“Ilmu
pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam,
dan hokum-hukum hadis serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik
syarat-syaratnya, macam-macam hadis yang diriwayatkan dan segala sesuatu yang
berkaitan dengannya.”[2]
Sedangkan
‘Izzuddin bin jama’ah mendefinisikan, sebagai berikut :
****
‘Ilmu yang
membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan
matan”.[3]
Dari beberapa
pengertian diatas, dapat diketahui bahwa objek pembahasan ilmu hadis dirayah
adalah keadaan para perawi dan maewinya. Keadaan para perawt, yaitu menyangkut
pribadinya, seperti akhlak, tabiat, dan keadaan hapalannya, maupun yang
menyangkut persambungan dan terputusnya sanad. Adapun keadaan marwi, yaitu dari
sudut kesahihan dan kedaifannya, maupun dari sudut lain yang berkaitan dengan
matan.
Tujuan dan
faedah ilmu hadis dirayah adalah :
a)
Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu
hadis dari masa kemasa sejak masa Rasulullah SAW. Sampai sekarang.
b)
Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah
dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis.
c)
Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para
ulama’ dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut dan
d)
Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dna
kriteri-kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hokum syara’.
B.
Cabang-cabang Ilmu Hadits
Ilmu hadits terus berkembang menuju kesempurnaannya. Dalam perkembangan
selanjutnya munculah beberapa cabang ilmu hadis yang khusus yang berpangkalan
pada sanad, matan dan keduanya. Biarpun pembahasan ilmu-ilmu itu lebih mengarah
kepada suatu objek tertentu, tetapi saling diperlukan dan erat hubunganya satu
sama lain.
Cabang-cabang yang berpangkal pada sanad, antara lain :
1.
Ilmu Rijal Al-Hadits
2.
Ilmu Thabaqat Al-Ruwah
3.
Ilmu Tarikh Rijal AL-Hadits
4.
Ilmu Jarh wa Ta’dil
Cabang-cabang yang berpangkal pada matan, antara lain :
1.
Ilmu Gharib AL-Hadits
2.
Ilmu Asbab wurud Al-Hadits
3.
Ilmu Tawarikh Al-Mutun
4.
Ilmu Nasikh wa mansukh
5.
Ilmu Talfiq AL-Hadits
Cabang-cabang
yang berpangkal pada sanad dan matan, ialah :
Ilmu ilal
Al-hadits
C.
Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Dalam tataran praktiknya, ilmu hadis sudah ada sejak periode awal islam
atau sejak periode Rasulullah SAW., paling tidak, dalam arti dasar-dasarnya.
Ilmu ini muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai
dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang
sampai kepada mereka. Berawal dengan cara yang sangat sederhana, ilmu ini
berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi.
Pada periode Rasulullah SAW., kritik ata u penelitian terhadap suatu
riwayat (hadis) yang menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama ilmu hadis dirayah
dilakukan dnegan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu
menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Rasulullah SAW
atau sahabat lain yang dapat dipercaya utnuk mengonfirmasikannya. Setelah itu,
barulah ia menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Pada periode sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan
hadis semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq (573-634 H; khalifah
pertama dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun atau empat khalifah Besar), misalnya,
tidak mau menerima suatu hadis yang disampaian oleh seseorang, kecuali yang
bersangkutan maupun mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang
disampaikannya.
Demikian pula, Umar bin Al-Khathathab (581-644 H; khalifah kedua dari
Al-Khulafa ‘Ar-Rasyidun). Bahkan, Umar mengancam akan memberi sanksi terhadap
siapa saja yang meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan saksi. Ali bin Abi
Thalib (603-661 ; khalifah terakhir dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun) menetapkan
persyaratan tersendiri. Ia tidak mau
menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang yang
menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut.
Meskipun demikian, ia tidak menurut persyaratan tersebut terhadap
sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan kebenaranya, seperti Abu
Bakar Ash-Shiddiq.
Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat. ‘Aisyah binti Abu
Bakar r.a., misalny, pernah mengkritik hadis dari Abu Hurairah (w. 57 H) dengan
mantan, ‘Inna-mayyita yu’zzabu bi buka’I ahlihi ‘alaihi” (Sesuangguhnya mayat
diazab disebebkan ratapan keluarganya). ‘Aisyah mengatakan bahwa periwayat
telah salah dalam menyampaikan hadis tersebut sambil menjelaskan matan yang
sesungguhnya. Suatu ketika, Rasulullah SAW. Melewati sebuah kuburan orang
Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atasnya.
Melihat hal tersebut, rasulullah SAW bersabda, “Mereka sedang meratapi si
mayit, sementara si mayat sendii sednagkan diazab dalam kuburanya”. Lebih
lanjut ‘Aisyah berkata, “Cukuplah Al-Qur’an sebagai bukti ketidakbenaran matan
hadis yang dating dari Abu Hurairrah karena maknanya bertentangan denga
Al-Qur’an.” Ia mengutip Surat Al-An’am (6) ayat 16 yang artinya, “….dan seornag
yang berdosa tidak akan memikul dosa lain…..”.
Pda aklhir abad ke-12 H, barulah penelitian atau pengkritikan hadis
mengambil bentuk sebagai ilmu hdis teoretis, di samping bentuk praktis seperti
dijelaskan di atas. Iamam Asy-Syfi’i adalah ulama pertama yang mewariskan
teori-teori ilmu hadisnya seara tertulis sebagaimana terdapat dalam karya
monumentalnya Ar-Risalah (kitab usul fiqih) dan Al-Umm (kitab fiqh).
Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang
pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu lengkap
adalah Al-Qadi Abu Muhammad AL-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad
Ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits AL-Fashil bin Ar-Rawi
wa Al-Wa’i.
Kemudian, muncul Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Naisaburi
(w. 405 H/1014 m) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, ma’rifah ‘Ulum
AL-Hadits.
Kemudin, Abu Nu’ami Ahmad bin Abdillah Ash-Asfahani (w. 430 H/1038 M),
muhaddits (ahli hadis) dari Astalun (Persia ), berusaha melengkapi
kekurangan tersebut melalui kitabnya, Al-Mustkhraj ‘Ala Ma’rifah ‘Ulum
Al-hadits.
Setelah itu, muncul Abu Bakr Ahmad Al-Khathib AL-badhdadi (392 H/1002
M-463 H/1071 m) yang menulis dua kitab ilmu hadis, yakni AL-Kifayah fi Qawanin
Ar-Riwayah dan Al-Fami’li Adab Asy-Syekh wa As-Sami’.
Sedang beberapa waktu, menyusul AL-Qadhi’Iyadh bin Musa Al-Yahshibi (w.
544 H) dengan kitabnya Al-Ilma fi Dabath Ar-Riwayah wa Taqyid Al-Asma’.
Berikutnya adalah Abu Amr ‘Usaman bin Shalah atau Ibnu Shalah (ahli hadis; w.
642 H/1246 M) dengan kitabnya, ‘Ulum Al-hadis yang dikenal dengan Muqaddimah
ibn Ash-Shalah.
Kitab lainnya yang cukup terkenal di antaranya Tadrib Ar-Rawi oleh
Jalaluddin As-Syuthi, Tauhid Al-Afkar oleh Muhammad bin Isma;il Al-Kahlani
As-San’ani (1099 H/1688 M-1182 H/1772 M), dan Qowa’id At-Tahdis karya Muhamamd
jamaluddin bin Muhammad bin Sa’id bin Qaim AL-Qasimi (1283-1332 H).
0 komentar:
Posting Komentar