BAB I PENDAHULUAN
Al-Qur'an (ejaan KBBI: Alquran, dalam bahasa Arab قُرْآن ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur‟an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur‟an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur‟an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.(75:17-75:18) Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di mana membacanya termasuk ibadah”. Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur‟an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur‟an.
Kajian historis terhadap Al-Qur‟an membantu kita, di antaranya, untuk menjelaskan persoalan-persoalan klasik hubungan antara wahyu, kitab suci, dan risalah kenabian, secara umum. Selanjutnya, masalah ini juga dapat membantu kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di dunia ini bagi umat manusia. Saya menganggap kajian Al-Qur‟an dengan melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci dan sekaligus melihat detil-detil peristiwa kesejarahannya yang manusiawi, seperti kita memahami sejarah alam semesta. Menurut para astrofisikawan, alam semesta tak bisa dipahami kecuali kita menggabungkan dua teori utama: (i) yang berkaitan dengan hal-hal maha-besar seperti big bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (ii) hal-hal maha-kecil seperti quantum, singularity, dan string. Begitu juga Al-Qur‟an, ia tak bisa dipahami dengan baik jika kita hanya melihat satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi lainnya. Menurut saya,
SEJARAH AL-QUR‟AN 4
dimensi historis Al-Qur‟an adalah modal penting bagi kita memahami fungsi dan peran Al-Qur‟an yang sesungguhnya. Agar kita bisa menambah semangat kita untuk mempelajari Al-Qur‟an, alangkah baiknya kita mempelajari dahulu tentang sejarah diturunkanya Al-Qur‟an yang akan dibahas di dalam makalah ini.
SEJARAH AL-QUR‟AN 5
BAB II SEJARAH AL-QUR’AN
A. TURUNNYA AYAT PERTAMA
1) Pendapat yang paling shahih mengenai yang pertama kali turun ialah firman Allah: 1234515Terjemah:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(QS. Al-„Alaq 96: 1-5) Pendapat ini didasarkan pada suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim serta yang lainnya, dari Aisyah r.a., yang mengatakan: “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah s.a.w. adalah mimpi benar di waktu tidur. Beliau melihat dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian dia suka menyendiri. Dia pergi ke gua Hira untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu ia membawa bekal. Kemudian ia pulang kepada Khadidjah r.a., maka Khadidjah pun membekalinya seperti bekal terdahulu. Di gua Hira dia dikejutkan oleh suatu kebenaran. Sesosok malaikat datang kepadanya dan mengatakan: „Bacalah!‟ Rasulullah berkata, maka aku menjawab: „Aku tidak pandai membaca‟. Lalu Dia (Malaikat) memelukku sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi: „bacalah!‟ Aku pun menjawab: „Aku tidak pandai membaca‟. Lalu dia merangkulku yang kedua kalinya sampai aku kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dam dia berkata: „Bacalah!‟ Aku menjawab: „Aku tidak pandai membaca‟ maka dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan. Kemudian dia berkata: „Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah ..... sampai dengan ...apa yang tidak diketahuinya”, (Hadis). 2) Dikatakan pula, bahwa yang pertama kali turun adalah firman Allah: ya ayuhal mudatsir (wahai orang-orang yang berselmut) (QS. Al-Mudatsir). Ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh dua syaikh hadis (Imam Bukhari dan Muslim): Dari Salmah din Abdurrahman; dia berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin Abdulah: Yang manakah diantara Qur‟an itu yang turun pertama kali? Dia menjawab: „Ya ayyuhal mudatsir‟. Aku bertanya lagi: Ataukah Iqra‟ bismi rabbik? Dia menjawab: aku katakan kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah s.a.w. kepada kami:
SEJARAH AL-QUR‟AN 6
“Sesungguhnya aku berdiam diri di gua Hira. Maka ketika habis masa diamku, aku turun lalu aku telusuri lembah. Aku lihat ke depan dan belakang, kekanan dan kekiri. Lalu aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat menakutkan. Maka aku pulang ke Khadidjah memerintahkan dia untuk menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: „Wahai orang yang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan (QS. Al-Mudatsir),‟ Jabir berpendapat bahwa surat Al-Mudatsir lah yang pertama diturunkan. Karena surat ini diturunkan secara utuh, sedangkan surat Al-Alaq hanya diturunkan sebagian saja yaitu 1-5. ini diperkuat oleh hadis Adu Salamah dari Jabir yang terdapat dari Shahih Bukhari dan Muslim. Jabir berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. ketika ia berbicara mengenai terputusnya wahyu, maka katanya dalam pembicaraan itu: „Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu aku angkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangi aku di gua Hira itu duduk diatas kursi antara langit dan bumi, lalu aku pulang dan aku katakan: „Selimuti aku!‟ Mereka pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: „ya ayyuhal mudatsir‟.” Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada dua pendapat yang sebenarnya tidak bertentangan, yaitu pendapat dari hadis Aisyah, dan hadis Jabir. Perbedaanya yaitu terletak pada penyebutan „ayat pertama yang turun‟ dengan „surat pertama yang turun‟. Hadis dari Aisyah menyebutkan ayat yang pertama kali turun ialah Al-Alaq 1-5. Sedangkan hadis dari Jabir mengatakan surat yang pertama turun adalah surat Al-Mudasir.
B. BENTUK AWAL AL-QUR’AN
Kendati diwahyukan secara lisan, Al-Qur‟an sendiri secara konsisten menyebut sebagai kitab tertulis. Ini memberi petunjuk bahwa wahyu tersebut tercatat dalam tulisan. Pada dasarnya ayat-ayat Al-Qur‟an tertulis sejak awal perkembangan Islam, meski masyarakat yang baru lahir itu masih menderita berbagai permasalahan akibat kekejaman yang dilancarkan oleh pihak kafir Quraish. Berikut ini cerita `Umar bin al-Khattab sejak ia masuk Islam yang akan kita pakai sebagai penjelasan masalah ini :
“Suatu hari „Umar keluar rumah menenteng pedang terhunus hendak melibas leher Nabi Muhammad. Beberapa sahabat sedang berkumpul dalam sebuah rumah di bukit Safa. Jumlah mereka sekitar empat puluhan termasuk kaum wanita. Di antaranya adalah paman Nabi Muhammad, Hamza, Abu Bakr, „Ali, dan juga lainnya yang tidak pergi berhijrah ke Ethiopia. Nu‟aim secara tak sengaja berpapasan dan bertanya kemana „Umar hendak pergi. “Saya hendak menghabisi Muhammad, manusia yang telah membuat orang Quraish khianat terhadap agama nenek moyang dan mereka tercabik-cabik serta ia (Muhammad) mencaci maki tata cara kehidupan, agama, dan tuhan-tuhan kami. Sekarang akan aku libas dia.” “Engkau hanya akan menipu diri sendiri `Umar, katanya.” “Jika engkau menganggap bahwa bani `Abd Manaf mengizinkanmu menapak di bumi ini hendak memutus nyawa Muhammad, lebih baik pulang temui keluarga anda dan selesaikan permasalahan mereka.” `Umar pulang sambil bertanya-tanya apa yang telah menimpa keluarganya. Nu‟aim menjawab, “Saudara ipar, keponakan yang
SEJARAH AL-QUR‟AN 7
bernama Sa`id serta adik perempuanmu telah mengikuti agama baru yang dibawa Nabi Muhammad. Oleh karena itu, akan lebih baik jika anda kembali menghubungi mereka.” `Umar cepat-cepat memburu iparnya di rumah, tempat Khabba sedang membaca Surah Taha dari sepotong tulisan Al-Qur‟an. Saat mereka dengar suara „Umar, Khabba lari masuk ke kamar kecil, sedang Fatima mengambil kertas kulit yang bertuliskan Al-Qur‟ an dan diletakkan di bawah pahanya… )1
Kemarahan „Umar semakin membara begitu mendengar saudara-saudaranya masuk Islam. Keinginan membunuh orang yang beberapa saat sebelum itu ia tuju semakin menjadi-jadi. Masalah utama dalam cerita ini berkaitan dengan kulit kertas bertulisan Al -Qur‟an, Menurut Ibn „Abbas ayat-ayat yang diturunkan di Mekah terekam dalam bentuk tulisan sejak dari sana )2, seperti dapat dilihat dalam ucapan az-Zuhri )3. „Abdullah bin Sa‟d bin „Abi as Sarh, seorang yang terlibat dalam penulisan Al-Qur‟an sewaktu dalam periode ini )4, dituduh oleh beberapa kalangan sebagai pemalsu ayat-ayat Al-Qur‟an (suatu tuduhan yang seperti telah saya jelaskan sama sekali tak berdasar) )5. Orang lain sebagai penulis resmi adalah Khalid bin Sa‟id bin al-„As di mana ia menjelaskan, “Saya orang pertama yang menulis „Bismillah ar-Rahman ar-Rahim‟ (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) )6.
Al-Kattani mencatat peristiwa ini : Sewaktu Rafi` bin Malik al-Ansari menghadiri baiah al-‟Aqaba, Nabi Muhammad menyerahkan semua ayat-ayat yang diturunkan pada dasawarsa sebelumnya. Ketika kembali ke Madinah, Rafi` mengumpulkan semua anggota sukunya dan membacakan di depan mereka )7.
Penulis Wahyu Nabi Muhammad : Pada periode Madinah kita memiliki cukup banyak informasi termasuk sejumlah nama, lebih kurang enam puluh lima sahabat yang ditugaskan oleh Nabi Muhammad bertindak sbg penulis wahyu. Mereka adalah Abban bin Sa‟id, Abu Umama, Abu Ayyub al -Ansari, Abu Bakr as-Siddiq, Abu Hudhaifa, Abu Sufyan, Abu Salama, Abu „Abbas, Ubayy bin Ka‟b, al-Arqam, Usaid bin al-Hudair, Aus, Buraida, Bashir, Thabit bin Qais, Ja`far bin Abi Talib, Jahm bin Sa‟d, Suhaim, Hatib, Hudhaifa, Husain, Hanzala, Huwaitib, Khalid bin Sa‟id, Khalid bin al-Walid, az-Zubair bin al-`Awwam, Zubair bin Arqam, Zaid bin Thabit, Sa‟d bin ar-Rabi`, Sa‟d bin `Ubada, Sa‟id bin Sa`id, Shurahbil bin Hasna, Talha, `Amir bin Fuhaira, `Abbas, `Abdullah bin al-Arqam, `Abdullah bin Abi Bakr, `Abdullah bin Rawaha, `Abdullah bin Zaid, `Abdullah bin Sa‟d, „Abdullah bin „Abdullah, „Abdullah bin „Amr, „Uthman bin „Affan.)8 Juga : Uqba, al „Ala bin „Uqba, „All bin Abi Talib, „Umar bin al-Khattab, „Amr
1 Ibn Hisham, Sira, vol.l-2, hlm. 343-46. 2 Ibn Durais, Fada‟il AI-Qur‟an, hlm. 33. 3 Az-Zuhri, Tanzil AI-Qur‟an, 32; Ibn Kathir, al-Bidaya v: 340, Ibn Hajar, Fathul Bari, ix: 22. 4 Ibn Hajar, Fathul Bari, ix: 22. 5 Untuk lebih jelas, harap dilihat M.M. al-A‟zami, Kuttab an-Nabi, Edisi ke-3, Riyad, 1401 (1981), hlm.83-89. 6 As-Suyuti, ad-Dur al-Manthur, i: 11. 7 Al-Kattani, al-Tarat76 al-Idariya, 1: 44, dengan mengutip pendapat Zubair bin Bakkar, Akhbar al-Madina. 8 Untuk lebih jelas harap dilihat M.M, A‟zami, Kuttab an-Nabi.
SEJARAH AL-QUR‟AN 8
bin al-‟As, Muhammad bin Maslama, Mu‟adh bin Jabal, Mu‟awiya, Ma‟n bin „Adi, Mu‟aqib bin Mughira, Mundhir, Muhajir, dan Yazid bin Abi Sufyan .
Nabi Muhammad Mendiktekan Al-Qur‟an : Saat wahyu turun, Nabi Muhammad secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar mencatat ayat itu.)9 Zaid bin Thabit menceritakan sebagai ganti atau mewakili peranan dalam Nabi Muhammad, ia sering kali dipanggil diberi tugas penulisan saat wahyu turun.)10 Sewaktu ayat al-jihad turun, Nabi Muhammad memanggil Zaid bin Thabit membawa tinta dan alat tulis dan kemudian mendiktekannya; „Amr bin Um-Maktum al-A‟ma duduk menanyakan kepada Nabi Muhammad, “Bagaimana tentang saya ? Karena saya sebagai orang yang buta.” Dan kemudian turun ayat, “ghairuli al-darar” )11 (bagi orang-orang yang bukan catat).)12 Namun saat tugas penulisan selesai, Zaid membaca ulang di depan Nabi Muhammad agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.)13
Tradisi Penulisan Al-Qur‟an di Kalangan Sahabat : Kebiasaan di kalangan para sahabat dalam penulisan Al Qur‟an, menyebabkan Nabi Muhammad melarang orang-orang menulis sesuatu darinya kecuali Al-Qur‟an, “dan siapa yang telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur‟an, maka ia harus menghapusnya.”)14 Beliau ingin agar Al-Qur‟an dan hadis tidak ditulis pada halaman kertas yang sama agar tidak terjadi campur aduk serta kekeliruan. Sebenarnya bagi mereka yang tak dapat menulis selalu hadir juga di masjid memegang kertas kulit dan minta orang lain secara suka rela mau menuliskan ayat Al-Qur‟an.)15. Berdasarkan kebiasaan Nabi Muhammad memanggil juru tulis ayat-ayat yang baru turun, kita dapat menarik anggapan bahwa pada masa kehidupan beliau seluruh Al-Qur‟an sudah tersedia dalam bentuk tulisan.
C. MAKKIAH DAN MADANIAH
Setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat,sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.
Orang yang membaca al-Qur‟anul Karim akan melihat bahwa ayat-ayat Makkiah mengandung karakteristik yang tidak ada dalam ayat-ayat Madaniah,
9 Abu „Ubaid , Fada‟il, hlm. 280; Lihat juga Ibn Hajar, Fathul Bari, ix: 22, mencatat pendapat `Uthman dengan merujuk pada Sunan at-Tirmidhi, an-Nasa‟i, Abu Dawud, dan al-Hakim dalam alMustadrak. 10 Ibn AM Dawud, al-Masahif, hlm.3; Lihat juga al-Bukhari, Sahih, Fada‟il Al-Qur‟an: 4. 11 Qur‟an, 4: 95. 12 Ibn Hajar, Fathul Bari, ix:22; as-Sa‟ati, Minhat al-Ma‟bud,ii:17. 13 As-Suli, Adab ul-Kuttab, hlm. 165; al-Haithami, Majma` az-Zawaid, i: 52. 14 Muslim, Sahih, az-Zuhd: 72; juga lihat Ibn Dawud, al-Masahif, hlm. 4. Untuk lebih terperinci dapat dilihat M.M. al-A‟zami, Studies in Early Hadith Literature, American Trust Publications, Indiana, 198768, hlm. 22-24. 15 Lihat al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, vi: 16.
SEJARAH AL-QUR‟AN 9
baik dalam irama maupun maknanya; sekalipun yang kedua ini merupakan dasar hukum yang pertama bagi ummat Muslim. Para Ulama telah meneliti surah-surah Makki dah Madani; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri berikut. Ketentuan Makkiah Ciri Khas Temanya
1. Setiap surat yang didalamnya mengandung ayat “sajdah”,
2. Setiap surat yang mengandung lafal kalla (hanya terdapat separuh terakhir al-Qur‟an = 33x dalam 15 surat),
3. Setiap surat mengandung „ya ayyuhan Naas‟ dan tidak mengandung „ya ayyuha ladzina amanu‟,
4. Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu,
5. Mengandung kisah Adam dan Iblis, kecuali al-Baqarah,
6. Setiap surat dibuka dengan huruf-huruf singkatan seperti alif lam mim, alif lam ra dan lainya,
7. Berisi ajakan kepada Tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kenegriannya, neraka, surga, ayat-ayat kauniah,
8. Berisi dasar-dasar hukum bagi perundang-undangan dan akhlak,
9. Ayat dan suku katanya pendek-pendek disertai dengan kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataan singkat, keras dengan diperkuat lafal-lafal sumpah.
Ketentuan Madaniah Ciri Khas Temanya
1. Berisi kewajiban atau had (sanksi),
2. Disebutkan tentang orang-orang munafik,
3. Terdapat dialog dengan ahli kitab,
4. menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
5. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani, dan ajakan untuk masuk islam, penyimpangan mereka terhadap agama Allah, permusuhan terhadap kebenaran dan perselisihan setelah datang ilmu kepada mereka.
6. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan sasarannya.
D. AYAT TERAKHIR DITURUNKAN
1. Hadis Bukhari dari Ibnu Abbas, mengatakan: “Ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat mengenai riba.” Yang dimaksudkan adalah firman Allah QS. Al-Baqarah : 278;
2. Hadis riwayat an-Nasa‟i dan lainnya, dari Ibnu Abbas dan Sa‟id bin Jubair berpendapat Ayat Qur‟an yang terakhir kali turun adalah QS. Al-Baqarah : 281;
3. Hadis Sa‟id bin al-Musayyab :” Telah sampai kepadanya bahwa ayat Qur‟an yang paling muda di „Arsy ialah ayat mengenai hutang.” Maksudnya ialah QS. Al-Baqarah : 282;
SEJARAH AL-QUR‟AN 10
4. Bukhari dan Muslim dari Barra‟ bin „Azib berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun adalah tentang kalalah yaitu QS. An-Nisa: 176;
5. Dalam al-Mustadrak disebutkan, dari Ubai bin Ka‟b mengatakan bahwa ayat yang terakhir kali diturunkan ialah QS. At-Taubah: 128 s.d. akhir surat;
6. Hadis riwayat Tirmidzi dan Hakim dari „Aisyah, berpendapat bahwa surat al-Maidah yang terakhir kali turun. Yaitu tentang halal dan haram, sehingga tidak ada yang dinasikh didalamnya;
7. Ibnu Mardawih melalui Mujahid, dari Ummu Salamah; berpendapat ayat yang terakhir kali turun ialah QS. Ali Imran: 195;
8. Riwayat Bukhari yang lain, dari Ibnu Abbas mengatakan QS. An-Nisa: 93;
9. Hadis dari Ibnu Abbas dikatakan :”Surah terakhir yang diturunkan ialah: „Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.”
Pendapat-pendapat ini semua tidak mengandung sesuatu yang disandarkan kepada Nabi s.a.w. Masing-masing merupakan ijtihad dan pendapat beberapa sahabat. Ada pula pendapat yang paling kuat yaitu ayat yang terakhir diturunkan berdasarkan perundang-undangan ialah QS. Al-Maidah: 3. . “...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Qadi Abu Bakar al-Baqalani dalam al-Intisar berkomentar: “Pendapat-pendapat ini sama sekali tidak disandarkan kepada Nabi s.a.w. Boleh jadi pendapat diucapkan karena ijtihad atau dugaan saja. Mungkin masing-masing memberitahukan apa yang terakhir kali didengarnya dari Nabi s.a.w. pada saat beliau wafat atau tak seberapa lama sebelum beliau sakit. Sedang yang lain mungkin tidak secara langsung mendengar dari Nabi. Mungkin juga ayat itu yang dibaca terakhir kali oleh Rasulullah s.a.w. bersama-sama dengan ayat-ayat yang turun waktu itu, sehingga disuruh dituliskan sesudahnya, lalu dikiranya ayat itulah yang terakhir diturunkan menurut tertib urutannya.”
E. AL-QUR’AN SETELAH WAFATNYA NABI MUHAMMAD
1. Pada masa Abu Bakar radliyallâhu ‘anhu, tahun 12 H
Sebab utamanya adalah terbunuhnya sejumlah besar para Qurrâ` pada perang Yamamah, diantaranya Salim, Mawla Abu Hudzaifah yang merupakan salah seorang dari kalangan mereka yang Nabi perintahkan agar al-Qur‟an ditransfer darinya.
Lalu Abu Bakar memerintahkan pengkodifikasian al-Qur‟an agar tidak lenyap (dengan banyaknya yang meninggal dari kalangan Qurrâ`). Hal ini
SEJARAH AL-QUR‟AN 11
sebagaimana disebutkan di dalam Shahih al-Bukhariy bahwasanya „Umar bin al-Khaththab memberikan isyarat agar Abu Bakar melakukan kodifikasi terhadap al-Qur‟an setelah perang Yamamah, namun dia belum memberikan jawaban (abstain). „Umar terus mendesaknya dan menuntutnya hingga akhirnya Allah melapangkan dada Abu Bakar terhadap pekerjaan besar itu. Lalu dia mengutus orang untuk menemui Zaid bin Tsabit, lantas Zaidpun datang menghadap sementara di situ „Umar sudah ada „Umar. Kemudian Abu Bakar berkata kepadanya (Zaid), “Sesungguhnya engkau seorang pemuda yang intelek, dan kami tidak pernah menuduh (jelek) terhadapmu. Sebelumnya engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallâhu „alaihi Wa Sallam, karenanya telusuri lagi al-Qur‟an dan kumpulkanlah.” Zaid berkata, “Lalu akupun menelusuri al-Qur‟an dan mengumpulkannya dari pelepah korma, lembaran kulit dan juga hafalan beberapa shahabat. Ketika itu, Shuhuf (Jamak dari kata Shahîfah, yakni lembaran asli ditulisnya teks al-Qur‟an padanya) masih berada di tangan Abu Bakar hingga beliau wafat, kemudian berpindah ke tangan „Umar semasa hidupnya, kemudian berpindah lagi ke tangan Hafshoh binti „Umar. Mengenai hal ini, Imam al-Bukhariy meriwayatkannya secara panjang lebar. Kaum Muslimin telah menyetujui tindakan Abu Bakar atas hal tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari jasa-jasanya yang banyak sekali. Bahkan „Ali sampai-sampai berkata, “Orang yang paling besar pahalanya terhadap mushhaf-mushhaf tersebut adalah Abu Bakar. Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Dialah orang yang pertama kali melakukan kodifikasi terhadap Kitabullah.”
2. Pada masa Amirul Mu’minin, ‘Utsman bin ‘Affan radliyallâhu ‘anhu, tahun 25 H
Sebab utamanya adalah timbulnya beragam versi bacaan terhadap al-Qur‟an sesuai dengan Shuhuf yang berada di tangan para shahabat, sehingga dikhawatirkan terjadinya fitnah. Oleh karena itu, „Utsman memerintahkan agar dilakukan kodifikasi terhadap Shuhuf tersebut sehingga menjadi satu Mushhaf saja agar manusia tidak berbeda-beda bacaan lagi, yang dapat mengakibatkan mereka berselisih terhadap Kitabullah dan berpecah-belah.
Di dalam Shahih al-Bukhariy disebutkan bahwa Hudzaifah bin al-Yaman menghadap „Utsman seusai penaklukan terhadap Armenia dan Azerbeijan. Dia
SEJARAH AL-QUR‟AN 12
merasa gelisah dan kalut dengan terjadinya perselisihan manusia dalam beragam versi bacaaan (Qirâ`ah), sembari berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, lakukan sesuatu buat umat sebelum mereka berselisih pendapat terhadap Kitabullah ini seperti halnya yang terjadi terhadap kaum Yahudi dan Nasharani.” Lalu „Utsman mengutus seseorang untuk menemui Hafshoh agar menyerahkan kepada beliau Shuhuf (lembaran-lembaran) yang berada di tangannya untuk disalin ke Mushhaf-Mushhaf, kemudian akan dikembalikan naskah aslinya tersebut kepadanya lagi. Hafshohpun menyetujuinya. Lalu „Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, „Abdullah bin az-Zubair, Sa‟id bin al-‟Ash, „Abdurrahman bin al-Hârits bin Hisyam, lalu merekapun menulis dan menyalinnya ke dalam Mushhaf-Mushhaf. Zaid bin Tsabit adalah seorang Anshar dan tiga orang lainnya berasal dari suku Quraisy. „Utsman berkata kepada tiga orang dari Quraisy tersebut, “Bila kalian berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit mengenai sesuatu dari al-Qur‟an tersebut, maka tulislah ia dengan lisan (bahasa) Quraisy, sebab ia diturunkan dengan bahasa mereka.” Merekapun melaksanakan perintah tersebut hingga tatkala proses penyalinannya ke Mushhaf-Mushhaf rampung, „Utsmanpun mengembalikan naskah asli kepada Hafshoh, lalu „Utsman mengirim ke setiap pelosok satu Mushhaf dari mushhaf-Mushhaf yang telah disalin tersebut dan memerintahkan agar al-Qur‟an yang ada pada setiap orang selain Mushhaf itu, baik berupa Shuhuf ataupun Mushhaf agar dibakar. „Utsman melakukan hal ini setelah meminta pendapat dari para shahabat radliyallâhu „anhum. Hal ini sebagai diriwayatkan oleh Ibn Abi Daud dari „Aliy radliyallâhu „anhu bahwasanya dia berkata, “Demi Allah, tidaklah apa yang telah dilakukannya (‟Utsman) terhadap Mushhaf-Mushhaf kecuali saat berada di tengah-tengah kami. Dia berkata kepada kami, „ Menurut pendapat saya, kita perlu menyatukan manusia pada satu Mushhaf saja dari sekian banyak Mushhaf itu sehingga tidak lagi terjadi perpecahan dan perselisihan.‟ Kami menjawab, „Alangkah baiknya pendapatmu itu.‟” Mush‟ab bin Sa‟d berkata, “Saya mendapatkan orang demikian banyak ketika „Utsman membakar Mushhaf-Mushhaf itu dan mereka terkesan dengan tindakan itu.” Dalam versi riwayat yang lain darinya, “tidak seorangpun dari mereka yang mengingkari tindakan itu dan menganggapnya sebagai bagian dari jasa-jasa Amirul Mukminin, „Utsman radliyallâhu „anhu yang disetujui oleh semua kaum Muslimin dan sebagai penyempurna dari pengkodifikasian yang telah dilakukan khalifah Rasulullah sebelumnya, Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallâhu „anhu.”
3. Perbedaan Antara Proses Kodifikasi Pada Masa ‘Utsman dan Abu Bakar
Perbedaan antara proses kodifikasi pada masa „Utsman dan Abu Bakar, bahwa tujuan pengkodifikasian al-Qur‟an pada masa Abu Bakar radliyallâhu „anhu adalah menghimpun al-Qur‟an secara keseluruhan dalam satu Mushhaf sehingga tidak ada satupun yang tercecer tanpa mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu Mushhaf saja, dan hal ini dikarenakan belum tampak implikasi
SEJARAH AL-QUR‟AN 13
yang signifikan dari adanya perbedaan seputar Qirâ`at sehingga mengharuskan tindakan ke arah itu. Sementara tujuan kodifikasi pada masa „Utsman adalah menghimpun al-Qur‟an secara keseluruhan dalam satu Mushhaf namun mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu Mushhaf saja. Hal ini, karena adanya implikasi yang sangat mengkhawatirkan dari beragam versi Qirâ`ah tersebut. Jerih payah pengkodifikasian ini ternyata membuahkan mashlahat yang besar bagi kaum Muslimin, yaitu bersatu-padunya umat, bersepakatnya kata serta terbitnya suasana keakraban diantara mereka. Dengan terciptanya hal tersebut, maka kerusakan besar yang ditimbulkan oleh perpecahan umat, tidak bersepakat dalam satu kata serta menyeruaknya kebencian dan permusuhan telah dapat dibuang jauh-jauh. Hal seperti ini terus berlanjut hingga hari ini, kaum Muslimin bersepakat atasnya, diriwayatkan secara mutawatir diantara mereka melalui proses tranfer dari generasi tua kepada generasi muda dengan tanpa tersentuh oleh tangan-tangan jahat dan para penghamba hawa nafsu. Hanya bagi Allah lah, segala puji, Rabb lelangit dan Rabb bumi serta Rabb alam semesta. (Diambil dari buku Ushûl Fi at-Tafsîr, karya Syaikh. Muhammad bin Shalih al-‟Utsaimin rahimahullah, Hal.21-23)
F. PERKEMBANGAN BARU PENULISAN MUSHAF PASCA UTSMAN
1. Pemberian Harakat (Nuqath al-I’rab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf „Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i‟jam) dan harakat (nuqath al-i‟rab) –yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur‟an-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah „Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira‟at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut.)16 Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya. Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab –muslim ataupun non muslim-. Akibatnya, al-„ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri.
16 Lih. Tarikh al-Mushaf al-Syarif, hal. 73, dan Naqth al-Mushaf al-Syarif, hal. 1
SEJARAH AL-QUR‟AN 14
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf al-Qur‟an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.
Dalam beberapa referensi)17 disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur‟an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu‟awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Mu‟awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, „Ubaidullah, untuk menghadap Mu‟awiyah. Saat „Ubaidullah datang menghadapnya, Mu‟awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu‟awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du‟aly)18: “Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur‟an dengan benar.” Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam „perangkap‟ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur‟an tapi lakukanlah lahn terhadapnya!” Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” (al-Taubah: 3)
Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”. Bacaan itu didengarkan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!” ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku „Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-i‟rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur‟an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca al-Qur‟an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali
17 Lih. Shubh al-A‟sya, 3/156, Tarikh al-Mushaf, hal. 74-75, dan Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal.1, 18 Nama lengkapnya adalah Zhalim bin „Amr al-Du‟aly al-Kinany. Ia adalah salah seorang pemuka tabi‟in. Turut serta dalam pasukan Ali bin Abi Thalib r.a. dalam peristiwa perang Shiffin tahun 37 H. Ia dipercaya sebagai orang pertama yang memunculkan ilmu Nahwu dan memberikan tanda bacaan pada mushaf al-Qur‟an. Ia kemudian meninggal dalam peristiwa wabah (tha‟un) Amwas tahun 69 H. Lih. Al-A‟lam, 3/340.
SEJARAH AL-QUR‟AN 15
usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.)19
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba‟ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya.)20 Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas huruf.)21 Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A‟zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah –misalnya- berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka.)22 Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw. Satu hal lagi yang perlu disebutkan di sini, bahwa beberapa peneliti –seperti Guidi, Israil Wilfinson, dan DR. „Izzat Hassan- menyimpulkan bahwa tanda harakat ini sebenarnya dipinjam oleh Bahasa Arab dari Bahasa Syriak. Tetapi –mengutip al-A‟zhamy- Yusuf Dawud Iqlaimis, Biskop Damaskus, menyatakan:
Ini jelas yakin tanpa diragukan bahwa pada zaman Yakub dari Raha, yang meninggal di awal abad kedelapan masehi, di sana tidak ada metode tanda diakritikal dalam bahasa Syriak, tidak dalam huruf hidup bahasa Yunani maupun sistem tanda titiknya.)23
Yakub (Yacob?) Raha sendiri –menurut B.Davidson)24- menemukan tanda bacaan pertama (untuk Bahasa Syriak) pada abad ketujuh, sedangkan Theophilus menemukan huruf hidup Bahasa Yunani pada abad ke delapan. Bila dihitung, akhir abad ketujuh masehi itu sama dengan tahun 81 H, dan akhir abad kedelapan itu sama dengan tahun 184 H. Sementara Abu al-Aswad al-Du‟aly –penemu tanda diakritikal Bahasa Arab- meninggal dunia pada tahun 69 H (688 M). Ditambah lagi, -seperti yang dicontohkan oleh B.Davidson- sistem diakritikal Syriak begitu mirip tanda yang digunakan oleh al-Du‟aly.
19 Al-A‟zhamy menjelaskan bahwa yang pertama kali menyuruh Abu al-Aswad menulis sebuah referensi tata Bahasa Arab adalah Khalifah Umar r.a. Ia pun menjalankan tugas itu dan menetapkan empat tanda diakritikal (harakat) yang akan diletakkan pada ujung huruf tiap kata. Tanda ini ditulis dengan warna merah untuk membedakannya dengan huruf yang ditulis dengan tinta hitam. Penggunaan keempat tanda tersebut untuk mushaf al-Qur‟an kemudian baru direalisasikan di masa pemerintahan Mu‟awiyah, seperti uraian di atas. Lih. The History of The Qur‟anic Text, hal. 154-156. 20 Shubh al-A‟sya, 3/158, Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal.1. 21 Qishshah al-Nuqath wa al-Syakl fi al-Mushaf, hal. 59-69. 22 The History of The Qur‟anic Text, hal.156. 23 Al-Lam‟ah al-Shahiyyah fi Nahw al-Lughah al-Siryaniyah, hal. 169, sebagaimana dalam The History of The Qur‟anic Text, hal. 159. 24 Syriac Reading Lessons, sebagaimana dalam The History of The Qur‟anic Text, hal.160
SEJARAH AL-QUR‟AN 16
Fakta lain adalah bahwa tata bahasa Syriak dapat dikatakan menemukan identitasnya melalui upaya Hunain bin Ishaq. Hunain sendiri dilahirkan pada tahun 194 H (810 M), sementara Sibawaih, tokoh besar tata Bahasa Arab penulis al-Kitab (sebuah referensi puncak dalam Nahwu) meninggal pada tahun 180 H (796 M). Maka tidak mungkin Hunain dapat disebut memberikan pengaruh pada tata Bahasa Arab. Apalagi sejarah mencatat bahwa Hunain pernah belajar Bahasa Arab di Bashrah. Tepatnya pada Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H), seorang tokoh ensiklopedi Bahasa Arab terkemuka. Jadi pertanyaannya: siapa yang meminjam pada siapa?)25
2. Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf ba ( ) , ta ) (, tsa (). Pada penulisan mushaf „Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah –seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir ragam qira‟at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-„ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur‟an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin „Ashim[19] dan Yahya bin Ya‟mar[20]. Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap „wabah‟ al-„ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin „Ashim dan Yahya bin Ya‟mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira‟at.)26 Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i‟jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i‟jam.)27 Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i‟jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:
a. untuk membedakan antara dal() dan dzal(), ra‟() dan zay(), shad() dan dhad(), tha‟() dan zha‟(), serta „ain() dan ghain(), maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan
25 Lih. The History of The Qur‟anic Text, hal.158-161. 26 Wafayat al-A‟yan, 2/32. 27 Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal. 2
SEJARAH AL-QUR‟AN 17
tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i‟jam).
b. untuk pasangan sin() dan syin(), huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga „gigi‟, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ba‟(), ta(), tsa(), nun(), dan ya‟().
c. untuk rangkaian huruf jim(), ha(), dan kha‟(), huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d. sedangkan pasangan fa‟() dan qaf(), seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa‟ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa‟, dan satu titik atas untuk qaf.)28
Nuqath al-I‟jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya.)29 Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i‟rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah „Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i‟jam, dan tinta merah untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i‟rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i‟jam, meski berbeda untuk yang lainnya.)30
Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i‟rab maupun nuqath al-i‟jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya‟ kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya.
28 Shubh al-A‟sya, 3/152-155, dan Qishshah al-Nuqath wa al-Syakl, hal. 72-86. 29 Ibid. hal. 80 30 Ibid. hal. 82-85
SEJARAH AL-QUR‟AN 18
Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoublekan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda lain.)31 Al-Daly mengatakan:
“Dengan demikian, Khalil (al-Farahidy) telah meletakkan 8 tanda: fathah, dhammah, kasrah, sukun, tasydid, mad, shilah, dan hamzah. Dengan metode ini, sangat memungkinkan untuk menulis huruf, i‟jam (tanda titik huruf), dan syakl (harakat) dengan warna yang sama.”)32
Terkait dengan hal ini, ada suatu fakta sejarah yang unik. Yaitu bahwa tanda titik (nuqath al-i‟jam) ternyata telah dikenal dalam tradisi Bahasa Arab kuno pra Islam atau setidaknya pada masa awal Islam sebelum mushaf „Utsmani ditulis. Ada beberapa penemuan kuno yang menunjukkan hal tersebut, antara lain)33:
a. Batu nisan Raqusy (di Mada‟in Shaleh), sebuah inskripsi Arab sebelum Islam yang tertua. Diduga ditulis pada tahun 267 M. Batu nisan ini mencatat adanya tanda titik di atas huruf dal, ra‟ dan syin.
Menyikapi batu nisan Raqusy ini, para peneliti Barat dapat dikatakan berbeda pandangan. Cantineau dan Gruendler menganggapnya sebagai teks Nabatean (al-Nabth), tapi mengakuinya sebagai teks yang sangat bernilai untuk para peneliti Arab. O‟Conner menyebutnya sebagai gabungan acak antara Nabatean dan Arab. Sedangkan Healy dan Smith (1989) dengan yakin menyebutnya sebagai dokumentasi Arab tertua.)34 Tetapi pertanyaannya adalah siapakah Nabatean itu sesungguhnya? Kita mengetahui bahwa Ismail a.s. –putra tertua Nabi Ibrahim a.s.- tumbuh dan besar di kota Mekkah. Tepatnya di tengah komunitas suku Jurhum. Suku ini sendiri berbahasa Arab. Ismail sendiri dikaruniai 12 putra, diantaranya adalah Nabat (Nebajoth). Mereka semua dilahirkan dan dididik di sekitar Jazirah Arab yang logisnya menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Ketika Nabat kemudian berhijrah ke utara Jazirah Arab (wilayah Syam), semestinya ia membawa serta alphabet dan Bahasa Arab bersamanya. Keturunannya-lah yang kemudian mendirikan Dinasti Nabatean sekitar 600 SM hingga 50 M.)35 Gruendler sendiri mengakui bahwa para penulis teks Nabatean berbahasa Arab.)36 Jadi sebenarnya Nabatean adalah bagian dari bangsa dan tradisi Arab itu sendiri. Sehingga apabila fakta bahwa mereka berasal dari keturunan bangsa Arab (Ismail) dan mereka pun berbahasa Arab, maka membedakan antara Bahasa Arab dan Nabatean adalah sebuah kesalahan yang dipaksakan. Dalam hal ini, al-A‟zhamy mengomentarinya dengan mengatakan,
“Jika orang Nabatean berbicara dalam Bahasa Arab, lantas siapakah yang memberinya nama Bahasa Nabatean? Apakah ada bukti bahwa mereka menyebut
31 Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal.3 32 Al-Khaththatah; al-Kitabah al-„Arabiyyah, hal. 62. 33 Lih. The History of The Qur‟anic Text, hal. 151-153. 34 Ibid, hal.133-134. 35 The History of The Qur‟anic Text, hal. 134-135. Lih. juga Tathawwur al-Kitabah al-„Arabiyyah, hal. 1 36 The Development of The Arabic Script, hal. 125, sebagaimana dalam The History of The Qur‟anic Text, hal. 135.
SEJARAH AL-QUR‟AN 19
bahasa mereka sebagai Bahasa Nabatean? Atau mungkin ini diambil dari kecenderungan yang sama dalam memberi label kepada umat Islam sebagai „Muhammadan‟ (pengikut Muhammad), Islam sebagai „Muhammadanism‟ (ajaran Muhammad), dan al-Qur‟an sebagai „Turkish Bible‟ (Bible orang Turki)?”)37
b. Dokumentasi dalam dua bahasa di atas kertas papyrus, tahun 22 H (sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Austria). Dokumentasi ini menunjukkan penggunaan titik untuk huruf nun, kha, dzal, syin, dan zay. Ditambah dengan beberapa temuan lainnya, setidaknya hingga tahun 58 H. Terdapat 10 karakter huruf yang diberi tanda titik, yaitu: nun, kha, dzal, syin, zay, ya, ba, tsa, fa, dan ta.)38 Sehingga tepatlah jika disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Nashr bin „Ashim dan Yahya bin Ya‟mar adalah sebuah upaya menghidupkan kembali tradisi itu dengan beberapa inovasi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan. Wallahu a‟lam.
3. Apakah Al-Hajjaj bin Yusuf (w. 95 H) Melakukan Perubahan Terhadap Al-Qur’an?
Ini adalah tuduhan klasik yang ditujukan kepada al-Hajjaj bin Yusuf. Ia dituduh telah melakukan perubahan dan membuang beberapa huruf mushaf „Utsmany, bahwa ia menulis 6 mushaf yang kemudian dikirim ke berbagai wilayah, lalu mengumpulkan semua mushaf tua kemudian melenyapkannya, dan bahwa semua itu ia lakukan demi mencari muka dengan cara meneguhkan Khilafah Umawiyah.)39 Salah satu yang menjadi pegangan tuduhan ini adalah riwayat „Auf bin Abi Jamilah yang menyebutkan bahwa al-Hajjaj telah mengubah 11 huruf dalam mushaf „Utsmany, diantaranya : (al-Baqarah: 259) dan (al-Ma‟idah:48). Tuduhan ini sebenarnya sangat tidak berdasar. Dan para ulama telah memberikan jawabannya sebagai berikut:
1) Riwayat-riwayat yang dijadikan landasan tuduhan ini sangat lemah. Atsar yang diriwayatkan oleh „Auf bin Abi Jamilah ini misalnya dha‟if jiddan (lemah sekali). Salah satu perawinya adalah „Abbad bin Shuhaib. Ia seorang yang matruk, haditsnya lemah dan salah seorang da‟i qadariyah. Ditambah lagi „Auf bin Abi Jamilah –meskipun ia seorang yang tsiqah-, namun ia tertuduh qadariyah dan tasyayyu‟. Dan seperti yang kita lihat, riwayat ini terkesan menyudutkan Khilafah Umawiyah, dan justru menguatkan tuduhan kaum Syi‟ah bahwa al-Qur‟an telah mengalami penyimpangan.
2) Al-Hajjaj hanyalah seorang gubernur di sebuah kota Islam. Sangat tidak logis jika ia mampu melakukan sebuah “revolusi” sedahsyat ini tanpa mendapatkan penentangan, baik dari atasannya maupun para ulama Islam.
37 The History of The Qur‟anic Text, hal. 135. 38 Ibid, hal. 154. 39 Lih. Manahil al-„Irfan, 1/264
SEJARAH AL-QUR‟AN 20
3) Seandainya pun al-Hajjaj mampu melakukan itu dengan kekuasaannya, tapi sangat mustahil ia dapat menundukkan hati ribuan penghafal al-Qur‟an dan mengapus hafalan yang telah terukir di hati mereka.
4) Dalam perubahan yang dituduhkan pada al-Hajjaj itu, tidak ada satupun yang menunjukkan dukungan terhadap Bani Umayyah dan pembatalan terhadap Khilafah Abbasiyah.)40
Satu hal yang juga patut dicatat, bahwa al-Hajjaj dengan segala kezhalimannya tercatat dalam sejarah sebagai salah seorang pemimpin yang sangat keras perhatiannya terhadap mushaf „Utsmany. Ia bahkan menyuruh „Ashim al-Jahdary, Najiyah bin Rumh, dan „Ali bin Ashma‟ untuk meneliti mushaf yang tersebar di tengah masyarakat. Jika mereka menemukan mushaf yang menyelisihi mushaf „Utsmany, maka mereka mengambilnya dan menggantinya dengan 60 dirham untuk pemiliknya.)41
4. Masih Adakah Manuskrip al-Mushaf al-Imam?
Yang dimaksud oleh pertanyaan ini adalah apakah dari sekian naskah mushaf „Utsmany yang disiapkan oleh Khalifah „Utsman dan timnya masih ada yang tersisa hingga saat ini? Persoalan ini telah lama menjadi pertanyaan dan karena itu pula ada banyak dugaan yang berkitar di sekelilingnya. Salah seorang peneliti yang menjelaskan masalah ini dengan panjang lebar adalah DR. Sahar al-Sayyid dalam makalahnya yang berjudul “Adhwa‟ „ala Mushaf „Utsman Radhiyallahu „Anhu wa Rihlatuhu Syarqan wa Gharban”. Dalam makalah tersebut, beliau menjelaskan bahwa persoalan ini bermula dari keberadaan mushaf yang dahulu dipegang oleh Khalifah „Utsman hingga beliau menemui syahidnya, dimana pada beberapa lembaran mushaf itu ditemukan noda darah beliau r.a. saat terbunuh. Mushaf ini kemudian tetap berada di Madinah selama beberapa waktu setelah terbunuhnya „Utsman. Lalu kemudian menghilang entah ke mana, hingga kemudian beberapa mesjid di wilayah Islam mengaku menyimpan mushaf tersebut.
Dr. Sahar al-Sayyid menyebutkan 5 tempat yang mengaku menyimpan mushaf tersebut –dan ia juga sekaligus membantah kebenaran klaim tersebut secara panjang lebar)42-:
1) bahwa mushaf tersimpan di Mesir.
2) bahwa mushaf ini tersimpan di Bashrah
3) bahwa mushaf ini ada di Tashkend
4) bahwa mushaf ini ada di Himsh (Suriah)
5) bahwa mushaf ini tersimpan di Museum Topkapi, Istanbul.
Setelah membantah klaim keberadaan mushaf ini, ia kemudian menyatakan,
“Saya kira untuk menyingkap kekaburan yang menyelimuti mushaf „Utsman al-Imam adalah mushaf yang mulanya tersimpan di Jami‟ Cordova itu bukanlah mushaf utuh yang dahulu dibaca „Utsman pada hari kematiannya. Ia
40 Lih. Jam‟u al-Qur‟an fi Marahilihi, hal. 161-162 41 Ibid, hal. 162 42 Lih. Adhwa‟ „ala Mushaf „Utsman, hal. 3-7
SEJARAH AL-QUR‟AN 21
hanya mengandungi 4 lembar saja (dari naskah aslinya –pen). Adapun lembaran-lembaran lainnya, maka ia adalah hasil transkrip yang sama dengan sistem mushaf „Utsmany...”)43 Lalu ia kemudian menggambarkan perpindahan mushaf itu dari satu tempat ke tempat lain, hingga akhirnya tidak terdengar kabarnya sejak tahun 745 H –ketika mushaf itu dikembalikan oleh Portugal kepada Sultan al-Mariny di Fas.
Meskipun ada yang bersikeras dengan keberadaan mushaf ini, namun DR. Ghanim Qaduri menguatkan pandangan bahwa sudah sangat sulit saat ini untuk menemukan naskah utuh dari mushaf yang ditulis pada abad pertama atau kedua hijriyah. Dan itu semua membutuhkan bukti materil yang kuat dan penelitian dari berbagai sudut.)44 Tetapi terlepas dari itu semua, ada atau tidaknya naskah manuskrip al-mushaf al-imam ini sama sekali tidak mempengaruhi orisinalitas al-Qur‟an, karena landasan utama penukilan al-Qur‟an adalah riwayat dan talaqqi dari generasi ke generasi; sebuah metode yang dari zaman ke zaman telah membuktikan bahwa ia tidak akan membiarkan satupun kesalahan yang menyimpang dari mushaf „Utsmany.
G. PENULISAN AL-QUR’AN PASCA PENEMUAN MESIN CETAK PADA TAHUN 1436 M (840 H)
Tidak dapat dipungkiri bahwa penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada tahun 1436 M (840 H) menjadi awal baru yang cemerlang bagi penyebaran ilmu, budaya dan peradaban. Meskipun pada mulanya, Guttenberg sangat merahasiakan penemuannya ini, namun dengan cepatnya penemuan ini menyebar ke berbagai wilayah Eropa lainnya di luar Jerman, negara asal Guttenberg. Tidak lama setelah itu, pada tahun 1465, mesin yang sama muncul di Roma, pada tahun 1470 di Paris, pada tahun 1471 di Barcelona, dan pada tahun 1474 di Inggris.)45 Dan pada tahun 1486 M, ditemukanlah mesin cetak pertama dengan menggunakan huruf Arab.)46
Adapun di wilayah Timur (Islam dan Arab), maka sejarah mencatat bahwa Turki merupakan negara yang pertama kali menerima teknologi ini. Diduga teknologi ini masuk bersama dengan masuknya imigran Yahudi ke wilayah
43 Ibid, hal. 8 44 Al-Mushaf al-„Utsmany, hal. 6 45 Madkhal ila Tarikh Nasyr al-Turats al-„Araby, hal. 18-19, dan Tarikh al-Thiba‟ah, hal. 1 46 Ibid, hal. 25.
SEJARAH AL-QUR‟AN 22
Khilafah „Utsmaniyah. Dalam imigrasi itu mereka membawa serta mesin cetak untuk beberapa bahasa: Ibrani, Yunani, Latin dan Spanyol. Ini terjadi sekitar tahun 1551 M. Sedangkan di wilayah Arab lainnya, pemunculan mesin cetak dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) di Lebanon, mesin cetak mulai dikenal pada tahun 1610.
2) di Suria, mesin cetak mulai dikenal pada tahun 1706.
3) di Palestina dan Yordania pada tahun 1830. Di Irak juga mesin ini mulai dikenal pada tahun yang sama.
4) di Mesir, pemunculan mesin cetak sangat terkait dengan invasi Napoleon Bonaparte terhadap Mesir pada tahun 1798.
5) sedangkan di kawasan Jazirah Arabia, negara pertama yang mengenal mesin cetak adalah Yaman, yaitu pada tahun 1879. Sedangkan di wilayah Hijaz (Saudi Arabia), teknologi ini mulai dikenal pada tahun 1909.)47
1. Percetakan Al-Qur’an Pertama
Menurut DR. Yahya Mahmud Junaid)48, percetakan al-Qur‟an pertama setidaknya dilakukan di tiga tempat di Eropa:
1) Venesia atau Roma pada kisaran tahun 1499 sampai 1538 M, terdapat perbedaan pandangan tentang hal ini. Termasuk juga siapa yang memimpin proyek ini. Tetapi yang pasti salah satu dari versi cetak ini ditemukan oleh Angela Novo di perpustakaan seorang pendeta di Bunduqiyah. Namun juga kemudian disepakati bahwa cetakan ini lalu dimusnahkan atas perintah Paus saat itu, dengan berbagai dugaan seputar motivasi pemusnahan itu.
2) Hamburg pada tahun 1694. Proyek percetakan ini dilakukan oleh seorang orientalis Jerman yang beraliran Protestan, Ebrahami Hincklmani. Ia menegaskan bahwa tujuannya menjalankan proyek ini bukan untuk menyebarkan ajaran Islam di kalangan orang Protestan, tapi untuk mempelajari Bahasa Arab dan Islam. Cetakan ini terdiri dari 560 halaman, dicetak dengan tinta hitam, namun sangat disayangkan memiliki banyak sekali kesalahan. Terdapat penggantian posisi huruf, hilangnya huruf tertentu dari satu kata, dan kesalahan lain terkait dengan penamaan surat. DR. Yahya menyebutkan bahwa cetakan ini masih tersimpan hingga kini di beberapa perpustakaan dunia, seperti Dar al-Kutub al-Mishriyyah dan Perpustakaan Universitas King Su‟ud di Riyadh.
3) Batavia pada tahun 1698. Versi cetakan ini terdiri teks al-Qur‟an itu sendiri, serta terjemah dan catatan komentar terhadapnya. Versi ini sendiri disiapkan oleh seorang pendeta Italia bernama Ludvico Marracei Lucersi. Cetakan ini memiliki kelebihan dari segi penggunaan jenis huruf yang lebih bagus dari 2 versi cetakan sebelumnya.
Pada tahun 1787, di Rusia –tepatnya di St. Pittsburg-, juga muncul cetakan mushaf al-Qur‟an yang dipimpin oleh Maulaya „Utsman. Lalu di tahun 1848,
47 Tarikh al-Thiba‟ah, hal. 2-4 48 Lih. Tarikh Thiba‟ah al-Qur‟an al-Karim, hal. 516-525, dan al-Thaba‟at al-Mubakkirah li al-Mushaf al-Syarif, hal. 1-3. Bahasan ini sepenuhnya merujuk pada dua sumber ini
SEJARAH AL-QUR‟AN 23
muncul pula cetakan lain di Qazan yang dipimpin oleh Muhammad Syakir Murtadha. Cetakan ini terdiri dari 466 halaman. Versi ini juga komitmen menggunakan rasm „utsmany dan penggunaan tanda waqf, meski tidak mencantumkan nomor-nomor ayat. Versi ini juga disertai dengan lembar koreksi yang memuat kesalahan cetak dan koreksinya. Pada tahun 1834, muncul sebuah cetakan khusus mushaf al-Qur‟an di kota Luzig, yang diupayakan oleh Flugel. Di sini patut dicatat bahwa meskipun kalangan Eropa memiliki perhatian khusus dalam upaya percetakan mushaf al-Qur‟an, namun hasil upaya ini belum mendapatkan perhatian kaum muslimin. Salah satu sebabnya adalah karena cetakan-cetakan tersebut menyelisihi kaidah rasm „utsmany yang shahih.
Beberapa cetakan mushaf di wilayah Islam yang juga pernah muncul ternyata sama saja. Seperti yang muncul di Teheran pada tahun 1828 dan 1833 M, juga di India dan Turki sejak tahun 1887; semuanya memiliki kesalahan yang sama dengan mushaf-mushaf versi Eropa, yaitu tidak mematuhi tata rasm „ustmany dan lebih banyak menggunakan rasm imla‟iy.)49 Kondisi terus berlanjut hingga tahun 1890 M, ketika sebuah percetakan bernama al-Mathba‟ah al-Bahiyyah berdiri di Kairo. Percetakan ini kemudian mencetak sebuah mushaf yang ditulis oleh seorang ulama qiraat bernama Syekh Ridhwan bin Muhammad, yang lebih dikenal sebagai al-Mikhallalaty. Dalam mushaf ini, beliau komitmen dengan rasm „utsmany dan memberikan tanda waqf . Disamping itu, ia juga menuliskan pengantar yang memuat penjelasan tentang sejarah penulisan al-Qur‟an dan rasm berdasarkan kitab al-Muqni‟ karya Imam al-Dany dan kitab al-Tanzil karya Abu Dawud. Mushaf versi ini kemudian dikenal dengan nama mushaf al-Mikhallalaty. Dan ia menjadi pilihan utama diantara semua jenis mushaf yang ada. Hanya saja kualitas kertas dan cetakannya agak buruk; suatu hal yang kemudian mendorong para ulama al-Azhar untuk membentuk panitia penulisan baru yang terdiri atas: Syekh Muhammad „Ali Khalaf al-Husainy, Syekh Hifny Nashif, Syekh Mushthafa „Inany dan Syekh Ahmad al-Iskandary. Cetakan pertama mushaf ini muncul pada tahun 1923 M, dan mendapatkan sambutan di dunia Islam. Ketika cetakan pertama ini habis, di Mesir kembali dibentuk sebuah lajnah yang dipimpin langsung oleh Syeikhul Azhar dan beranggotakan: Syekh Abdul Fattah al-Qadhy, Syekh Muhammad „Ali al-Najjar, Syekh Ali Muhammad al-Dhabba‟ dan Syekh „Abdul Halim Basyuni. Tim ini kemudian memeriksa ulang mushaf dengan merujuk kepada kitab-kitab qiraat, rasm, tafsir dan ulumul Qur‟an. Setelah itu disiapkanlah cetakan kedua mushaf al-Qur‟an dalam bentuk yang lebih teliti. Seiring dengan itu, usaha percetakan al-Qur‟an pun berjalan di berbagai belahan dunia Islam.
2. Percetakan Mushaf di Saudi Arabia)50
Percetakan mushaf di Saudi Arabia bermula pada tahun 1949, ketika sebuah edisi mushaf yang dikenal dengan nama Mushaf Makkah al-Mukkaramah
49 Lih. Tarikh al-Mushaf al-Syarif, hal 90. 50 Lih. Thiba‟ah al-Mushaf al-Syarif fi al-Mamlakah al-„Arabiyyah al-Su‟udiyyah, hal. 1-2.
SEJARAH AL-QUR‟AN 24
dicetak oleh Syarikah Mushaf Makkah al-Mukarramah. Dengan modal awal 200.000 real, perusahaan ini mendatangkan sebuah mesin cetak dari Amerika untuk mencetak mushaf dengan berbagai ukuran. Selain itu, mereka juga telah bersepakat dengan seorang ahli khat ternama, Ustadz Muhammad Thahir al-Kurdy untuk menulis mushaf yang sesuai dengan kaidah rasm „utsmany. Setelah al-Kurdy menyelesaikan tugasnya, draft mushaf itu kemudian diperiksa ulang oleh sebuah team ulama, seperti al-Sayyid Ahmad Hamid al-Tijy –seorang guru qiraat di Madrasah al-Falah, Mekkah-, Syekh „Abd al-Zhahir Abu al-Samh –imam dan khathib Masjidil Haram-, dan beberapa ulama lainnya. Setelah diperiksa oleh tim ini, draft tersebut kemudian dikirim kepada Masyikhah al-Azhar yang kemudian mengesahkan draft mushaf tersebut. Setelah melewati proses penulisan dan koreksi selama 5 tahun, pada tahun 1947 dimulailah proses percetakan mushaf ukuran besar, yang kemudian diselesaikan pada akhir tahun 1949. Lalu setelah itu, dicetaklah mushaf dengan ragam ukuran lainnya. Surat kabar Umm al-Qura edisi 19 Mei 1950 menyebutkan beberapa karakteristik mushaf ini, antara lain:
1) awal setiap halaman dimulai dengan ayat baru, dan akhir setiap halaman ditutup dengan akhir ayat pula.
2) permulaan juz dimulai dari awal halaman, dan akhir setiap juz juga diakhiri pada akhir halaman.
3) setiap juz terdiri dari 20 halaman, kecuali juz amma.
4) hizb, nisf hizb dan rubu‟ hizb ditandai dengan tanda lengkungan bulan sabit.
Mushaf Makkah al-Mukarramah ini kemudian mendapatkan sambutan yang hangat, di Saudi bahkan di luar Saudi. Bahkan Raja Saudi waktu itu, Abd al-„Aziz Al-Su‟ud memberikan dukungan moril dan materil kepada para pelaksana proyek ini.
Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1979, muncul pula mushaf edisi baru yang dicetak di kota Jeddah. Hingga akhirnya pada tahun 1984 (bertepatan dengan bulan Muharram 1405 H), pemerintah Kerajaan Arab Saudi resmi membuka sebuah percetakan al-Qur‟an terbesar di dunia, tepatnya di kota Madinah al-Munawwarah. Kompleks percetakan ini berdiri di atas tanah seluas 250.000 meter persegi, dan tidak hanya mencakup kantor dan percetakan, tapi juga perumahan, pusat perbelanjaan, restoran, rumah sakit, lapangan olah raga dan sarana lainnya.)51 Berikut ini sekilas program kerja Kompleks Percetakan ini:
1) Mencetak mushaf al-Qur‟an sesuai qira‟at riwayat Hafsh dari „Ashim –qira‟at yang dibaca oleh mayoritas kaum muslimin di dunia-. Ditulis sesuai dengan rasm „utsmany, dan jumlah ayatnya 6236 –sesuai versi kufy-.
2) Mencetak mushaf al-Qur‟an sesuai qira‟at riwayat Warsy dari Nafi‟ al-Madany. Qira‟at ini dibaca di sebagian besar negara-negara Maghrib
51 Lih. Majma‟ al-Malik Fahd li Thiba‟ah al-Mushaf al-Syarif, hal. 1
SEJARAH AL-QUR‟AN 25
(Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Mauritania), ditambah Senegal, Chad, dan Nigeria. Ditulis dengan khat maghribi yang sesuai dengan rasm „utsmany, jumlah ayatnya 6214 ayat.
3) Mencetak terjemahan al-Qur‟an dalam berbagai bahasa dunia.
4) Merekam bacaan al-Qur‟an dengan suara para qurra‟ yang masyhur.
5) Saat ini sedang menyiapkan pencetakan mushaf berdasarkan qira‟at riwayat Qalun dari Nafi‟ al-Madany.)52
Proses percetakan di Majma‟ ini berjalan sangat ketat. Setiap pengawas dan pemeriksa dilengkapi stempel khusus yang dibubuhkan pada bagian akhir mushaf. Ini untuk memudahkan pengusutan kesalahan yang terjadi dalam proses pengerjaan. Bahkan pekerja yang berhasil menemukan satu kesalahan akan mendapatkan imbalan bonus dari pihak penanggung jawab percetakan ini.)53
Category:
Islam
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar