Di
samping ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, Umar Ibnul Khattab r.a.
terkenal sebagai orang yang bertabiat keras, tegas, terus terang dan jujur.
Sama halnya seperti Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., sejak memeluk Islam ia
menyerahkan seluruh hidupnya untuk kepentingan Islam dan muslimin. Baginya
tak ada kepentingan yang lebih tinggi dan harus dilaksanakan selain perintah
Allah dan Rasul-Nya.
Kekuatan fisik dan mentalnya, ketegasan sikap dan keadilannya, ditambah lagi
dengan keberaniannya bertindak, membuatnya menjadi seorang tokoh dan pemimpin
yang sangat dihormati dan disegani, baik oleh lawan maupun kawan. Sesuai
dengan tauladan yang diberikan Rasul Allah s.a.w., ia hidup sederhana dan
sangat besar perhatiannya kepada kaum sengsara, terutama mereka yang
diperlakukan secara tidak adil oleh orang lain.
Bila Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. menjadi Khalifah melalui pemilihan kaum
muslimin, maka Umar Ibnul Khattab r.a. dibai'at sebagai Khalifah berdasarkan
pencalonan yang diajukan oleh Abu Bakar r.a. beberapa saat sebelum wafat.
Masa kekhalifahan Umar Ibnul Khattab r.a. berlangsung selama kurang lebih 10
tahun.
Sukses dan Tantangan
Di bawah pemerintahannya wilayah kaum muslimin bertambah luas dengan
kecepatan luar biasa. Seluruh Persia jatuh ke tangan kaum muslimin. Sedangkan
daerah-daerah kekuasaan Byzantium, seluruh daerah Syam dan Mesir, satu
persatu bernaung di bawah bendera tauhid. Penduduk di daerah-daerah luar
Semenanjung Arabia berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dengan demikian
lslam bukan lagi hanya dipeluk bangsa Arab saja, tetapi sudah rnenjadi agama
berbagai bangsa.
Sukses gilang-gemilang yang tercapai tak dapat dipisahkan dari peranan
Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. sebagai pemimpin. Ia banyak mengambil
prakarsa dalam mengatur administrasi pemerintahan sesuai dengan tuntutan
keadaan yang sudah berkembang. Demikian pula di bidang hukum. Dengan
berpegang teguh kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, dan dengan memanfaatkan
ilmu-ilmu yang dimiliki para sahabat Nabi Muhammad s.a.w., khususnya Imam Ali
r.a., sebagai Khalifah ia berhasil menfatwakan bermacam-macam jenis hukum
pidana dan perdata, disamping hukum-hukum yang bersangkutan dengan
pelaksanaan peribadatan.
Tetapi bersamaan dengan datangnya berbagai sukses, sekarang kaum rnuslimin
sendiri mulai dihadapkan kepada kehidupan baru yang penuh dengan
tantangan-tantangan. Dengan adanya wilayah Islam yang bertambah luas, dengan
banyaknya daerah-daerah subur yang kini menjadi daerah kaum muslimin, serta
dengan kekayaan yang ditinggalkan oleh bekas-bekas penguasa lama (Byzantium
dan Persia), kaum muslimin Arab mulai berkenalan dengan kenikmatan hidup
keduniawian.
Hanya mata orang yang teguh iman sajalah yang tidak silau melihat istana-istana
indah, kota-kota gemerlapan, ladang-ladang subur menghijau dan emas perak
intan-berlian berkilauan. Kaum muslimin Arab sudah biasa menghadapi tantangan
fisik dari musuh-musuh Islam yang hendak mencoba menghancurkan mereka, tetapi
kali ini tantangan yang harus dihadapi jauh lebih berat, yaitu tantangan
nafsu syaitan, yang tiap saat menggelitik dari kiri-kanan, muka-belakang.
Tantangan berat itulah yang mau tidak mau harus ditanggulangi oleh Khalifah
Umar Ibnul Khattab r.a. Berkat ketegasan sikap, kejujuran dan keadilannya,
dan dengan dukungan para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang tetap patuh pada
tauladan beliau, Khalifah Umar r.a. berhasil menekan dan membatasi
sekecil-kecilnya penyelewengan yang dilakukan oleh sementara tokoh kaum
muslimin. Pintu-pintu korupsi ditutup sedemikian rapat dan kuatnya. Tindakan
tegas dan keras, cepat pula diambil terhadap oknum-oknum yang bertindak tidak
jujur terhadap kekayaan negara. Sudah tentu ia memperoleh dukungan yang kuat
dari semua kaum muslimin yang jujur, sedangkan oknum-oknum yang berusaha
keras memperkaya diri sendiri, keluarga dan golongannya, pasti melawan dan
memusuhinya.
Selama berada di bawah pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a.,
musuh-musuh kaum muslimin memang tidak dapat berkutik. Namun bahaya latent
yang berupa rayuan kesenangan hidup duniawi, tetap tumbuh dari sela-sela
ketatnya pengawasan Khalifah.
Dalam menghadapi tantangan yang sangat berat itu, Khalifah Umar r.a. tidak
sedikit menerima bantuan dari Imam Ali r.a. Dalam masa yang penuh dengan
tantangan mental dan spiritual itu, Imam Ali r.a. menunjukkan perhatiannya
yang dalam.
Dengan segenap kemampuan dan kekuatannya, Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a.
bersama para sahabat-sahabat Rasul Allah s.a.w., berusaha keras mengendalikan
situasi yang hampir meluncur ke arah negatif.
Umar r.a. sering berkeliling tanpa diketahui orang untuk mengetahui kehidupan
rakyat, terutama mereka yang hidup sengsara. Dengan pundaknya sendiri, ia
memikul gandum yang hendak diberikan sebagai bantuan kepada seorang janda
yang sedang ditangisi oleh anak-anaknya yang kelaparan.
Jika Umar r.a. mengeluarkan peraturan baru, anggota-anggota keluarganya
justru yang dikumpulkannya lebih dulu. Ia minta supaya semua anggota
keluarganya menjadi contoh dalam melaksanakan peraturan baru itu. Apabila di
antara mereka ada yang melakukan pelanggaran, maka hukuman yang dijatuhkan
kepada mereka pasti lebih berat daripada kalau pelanggaran itu dilakukan oleh
orang lain.
Dengan kekhalifahannya. itu, Umar Ibnul Khattab r.a. telah menanamkan kesan
yang sangat mendalam di kalangan kaum muslimin. Ia dikenang sebagai seorang
pemimpin yang patut dicontoh dalam mengembangkan keadilan. Ia sanggup dan
rela menempuh cara hidup yang tak ada bedanya dengan cara hidup rakyat
jelata. Waktu terjadi paceklik berat, sehingga rakyat hanya makan roti
kering, ia menolak diberi samin oleh seorang yang tidak tega melihatnya makan
roti tanpa disertai apa-apa. Ketika itu ia mengatakan: "Kalau rakyat
hanya bisa makan roti kering saja, aku yang bertanggung jawab atas nasib
mereka pun harus berbuat seperti itu juga."
Memanggil calon pengganti
Kepemimpinan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. atas ummat Islam benar-benar
memberikan ciri khusus kepada pertumbuhan Islam. Sumbangan yang diberikan
bagi kemantapan hidup kenegaraan dan kemasyarakatan ummat, sungguh tidak
kecil.
Umar Ibnul Khattab r.a. wafat, setelah menderita sakit parah akibat luka-luka
tikaman senjata tajam yang dilakukan secara gelap oleh seorang majusi bernama
Abu Lu'lu-ah. Dalam keadaan kritis di atas pembaringan pemimpin ummat Islam
ini masih sempat meletakkan dasar prosedur bagi pemilihan Khalifah
penggantinya. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas kesinambungan
kepemimpinan ummat Islam masih tetap merisaukan hatinya, walaupun maut sudah
berada di ambang kehidupannya.
Dalam saat yang gawat itulah ia meminta pendapat para penasehatnya yang dalam
catatan sejarah terkenal dengan sebutan "Ahlu Syuro", tentang siapa
yang layak menduduki atau memegang pimpinan tertinggi ummat Islam.
Umar Ibnul Khattab r.a. memang terkenal sebagai tokoh besar yang memiliki
jiwa kerakyatan. Sehingga ketika di antara penasehatnya ada yang mengusulkan
supaya Abdullah bin Umar, putera sulungnya, ditetapkan sebagai Khalifah
pengganti, dengan cepat Umar r.a menolak. Ia mengatakan: "Tak seorang
pun dari dua orang anak lelakiku yang bakal meneruskan tugas itu. Cukuplah
sudah apa yang sudah dibebankan kepadaku. Cukup Umar saja yang menanggung
resiko. Tidak. Aku tidak sanggup lagi memikul tugas itu, baik hidup ataupun
mati!" Demikian kata Umar r.a. dengan suara berpacu mengejar tarikan
nafas yang berat.
Sehabis mengucapkan kata-kata seperti di atas, Umar r.a. lalu mengungkapkan,
bahwa sebelum wafat, Rasul Allah s.a.w. telah merestui 6 orang sahabat dari
kalangan Qureiys. Yaitu Ali bin Abi Thalib, 'Utsman bin Affan, Thalhah bin
'Ubaidillah, Zubair bin Al 'Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin
'Auf. "Aku berpendapat", kata Umar r.a. lebih jauh, "sebaiknya
kuserahkan kepada mereka sendiri supaya berunding, siapa di antara mereka yang
akan dipilih."
Kemudian seperti berkata kepada diri sendiri, ia berucap: "Jika aku
menunjuk siapa orangnya yang akan menggantikan aku, hal seperti itu pernah
dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku, yakni Abu Bakar Ash Shiddiq.
Kalau aku tidak menunjuk siapa pun, hal itu pun pernah dilakukan oleh orang
yang lebih afdhal daripada diriku, yakni Nabi Muhammad s.a.w."
Tanpa menunggu tanggapan orang yang ada disekitarnya, Khalifah Umar r.a.
kemudian memerintahkan supaya ke-enam orang (Ahlu Syuro) tersebut di atas
segera dipanggil.
Kondisi fisik Khalifah Umar r.a. yang terbaring tak berdaya itu, tampak
bertambah gawat pada saat keenam orang yang dipanggil itu tiba. Ketika ia
melihat ke-enam orang itu sudah penuh harap menantikan apa yang bakal
diamanatkan, dengan sisa-sisa
tenaganya Khalifah Umar r.a. berusaha memperlihatkan ketenangan. Tiba-tiba ia
melontarkan suatu pertanyaan yang sukar dijawab oleh enam orang sahabatnya.
"Apakah kalian ingin menggantikan aku setelah aku meninggal?"
Tentu saja pertanyaan yang dilontarkan secara tiba-tiba dan sukar dijawab itu
sangat mengejutkan semua yang hadir. Mula-mula mereka diam, tertegun. Dan
ketika Khalifah Umar r.a. menatap wajah mereka satu persatu, masing-masing
menunduk tercekam berbagai perasaan. Di satu fihak tentunya mereka itu sangat
sedih melihat pemimpin mereka dalam kondisi fisik yang begitu merosot. Tetapi
di fihak lain, mereka bingung tidak tahu kemana arah pertanyaan yang
dilontarkan oleh seorang yang arif dan bijaksana itu. Karena tak ada yang menjawab,
Khalifah Umar r.a. mengulangi lagi pertanyaannya.
Setelah itu barulah Zubair bin Al-'Awwam menanggapi. Ia menjawab: "Anda
telah menduduki jabatan itu dan telah melaksanakan kewajiban dengan baik.
Dalam qabilah Qureiys sebenarnya kami ini menempati kedudukan yang tidak
lebih rendah dibanding dengan anda. Sedangkan dari segi keislaman dan
hubungan kekerabatan dengan Rasul Allah s.a.w., kami pun tidak berada di
bawah anda. Lalu, apa yang menghalangi kami untuk memikul tugas itu?"
Tampaknya kata-kata yang ketus itu dilontarkan Zubair karena menyadari bahwa
tokoh yang berbaring di hadapannya itu sudah dalam keadaan sangat gawat. Hal
itu dapat kita ketahui dari komentar sejarah yang dikemukakan oleh seorang
penulis terkenal, Syeikh Abu Utsman Al Jahidz. Ia mengatakan: "Jika
Zubair tahu bahwa Khalifah Umar r.a. akan segera wafat di depan matanya,
pasti ia tidak akan melontarkan kata-kata seperti itu, dan bahkan tidak akan
berani mengucapkan sepatah kata pun."
Kata-kata Zubair bin Al 'Awwam itu tidak langsung ditanggapi oleh Khalifah
Umar r.a. Seakan-akan kata-kata itu tak pernah didengarnya. Dengan
tersendat-sendat Khalifah Umar r.a. melanjutkan perkataannya: "Bisakah
kuajukan kepada kalian penilaianku tentang diri kalian?"
Kembali Zubair menukas dengan nada sinis: "Katakan saja. Tokh kalau kami
minta supaya kami dibiarkan, anda akan tetap tidak membiarkan kami!"
Penilaian
Kata-kata Zubair ini tampaknya sangat menyakitkan telinga Khalifah Umar r.a.
yang sabar itu. Sambil memandang tajam ke arah Zubair, Umar r.a. berkata:
"Tentang dirimu, Zubair…, kau itu adalah orang yang lancang mulut, kasar
dan tidak mempunyai pendirian tetap. Yang kausukai hanyalah hal-hal yang
menyenangkan dirimu sendiri, dan engkau membenci apa saja yang tidak
kausukai. Pada suatu ketika engkau benar-benar seorang manusia, tetapi pada
ketika yang lain engkau adalah syaitan! Bisa jadi kalau kekhalifahan
kuserahkan kepadamu, pada suatu ketika engkau akan menampar muka orang hanya
gara-gara gandum segantang."
Khalifah Umar menghentikan perkataannya sebentar, seolaholah mengambil nafas
untuk mengumpulkan kekuatan dan mengendalikan emosinya. Kemudian ia
meneruskan: "Tahukah engkau, jika kekuasaan kuserahkan kepadamu? Lalu
siapa yang akan melindungi orang-orang pada saat engkau sedang menjadi
syaitan? Yaitu pada saat engkau sedang dirangsang kemarahan?"
Tanpa menunggu jawaban Zubair, Khalifah Umar r.a. menoleh kearah Thalhah bin
Ubaidillah, yang segera menundukkan kepala setelah melihat sorot mata
pemimpin yang berwibawa itu. Bukan rahasia lagi di kalangan kaum muslimin
pada masa itu, bahwa sudah beberapa waktu lamanya Khalifah Umar r.a. memendam
rasa jengkel terhadap tokoh yang satu ini. Peristiwanya bermula pada waktu
Khalifah Abu Bakar r.a. masih hidup. Ketika itu Thalhah mengucapkan suatu kata
kepada Abu Bakar r.a yang sangat tidak mengenakkan perasaan Umar Ibnul
Khattab r.a
Setelah memandang Thalhah sejenak, Khalifah Umar r.a. bertanya:
"Sebaiknya aku bicara atau diam saja?"
"Bicaralah!" sahut Thalhah dengan nada acuh tak acuh. "Tokh
anda tidak akan berkata baik mengenai diriku!"
"Aku mengenalmu sejak jari-jarimu luka pada waktu perang Uhud,"
kata Khalifah Umar r.a. kepada Thalhah. "Dan aku juga mengenal
kecongkakan yang pernah muncul pada dirimu. Rasul Allah wafat dalam keadaan
beliau tidak senang kepadamu. Itu akibat kata-kata yang kauucapkan ketika
ayat Al-Hijab turun."
Menurut catatan yang dibuat oleh Syeikh Abu Utsman Al Jahidz, perkataan
Thalhah yang dimaksud ialah ucapan kepada salah seorang sahabat. Kata-kata
Thalhah itu akhirnya sampai juga ke telinga Rasul Allah s.a.w.: "Apa
arti larangan itu baginya (yakni bagi Rasul Allah s.a.w.) sekarang ini? Dia
bakal mati. Lalu kita bakal menikahi permpuan-perempuan itu!"
Habis berbicara tentang pribadi Thalhah, Khalifah Umar r.a. melihat kepada
Sa'ad bin Abi Waqqash. Kepadanya Umar r.a. berkata: "Engkau seorang yang
mempunyai banyak kuda perang. Dengan kuda-kuda itu engkau telah berjuang dan
berperang. Banyak sekali senjata yang kau miliki, busur dan anak panahnya.
Tetapi qabilah Zuhrah (asal Saad), kurang tepat untuk memangku jabatan
Khalifah dan memimpin urusan kaum muslimin."
Tibalah sekarang giliran Khalifah Umar r.a. menilai pribadi Abdurrahman bin
'Auf, yang rupanya sudah siap mendengarkan penilaiannya. "Jika separoh
kaum muslimin imannya ditimbang dengan imanmu," kata Khalifah Umar r.a.,
"maka imanmulah yang lebih berat. Tetapi kekhalifahan tidak tepat kalau
dipegang oleh seorang yang lemah seperti engkau. Qabilah Zuhrah (asal
Abdurrahman bin 'Auf juga) kurang kena untuk urusan itu."
Abdurrahman tidak sepatah kata pun menanggapi penilaian Khalifah Umar r.a.
atas dirinya. Ia membiarkan Khalifah berbicara lebih lanjut mengenai diri
Iman Ali r.a. "Ya Allah, alangkah tepat dan baiknya kalau anda tidak
suka bergurau!" kata Khalifah Umar r.a. dengan nada suara yang agak
meninggi. Kemudian dengan suara merendah dikatakan: "Seandainya anda
nanti yang akan memimpin ummat, anda pasti akan membawa mereka menuju
kebenaran yang terang benderang."
Imam Ali r.a. tampak terjengah dan tersipu-sipu mendengar ucapan orang yang
sangat dikaguminya. Juga ia tidak memberikan tanggapan terhadap penilaian
yang positif atas dirinya. Khalifah Umar r.a. akhirnya dengan serius menoleh
kearah Utsman bin Affan r.a. Tangannya sudah makin melemah dan tenaganya sudah
sangat berkurang. Tetapi ia memaksakan diri untuk menilai orang keenam yang
ada di hadapannya itu. "Aku merasa seakan-akan orang Qureiys telah
mempercayakan kekhalifahan kepada anda," kata Khalifah dengan suara
lembut, "karena besarnya rasa kecintaan mereka kepada anda."
Wajah Khalifah Umar r.a. mendadak kelihatan sendu, seolah-olah sedang menahan
perasaan getir yang menyelinap ke dalam kalbu. "Tetapi aku melihat
nantinya anda akan mengangkat orang-orang Bani Umayyah dan Bani Mu'aith di
atas orangorang lain. Kepada mereka anda akan menghamburkan harta ghanimah
yang tidak sedikit." Suara Khalifah meninggi pula: "Akhirnya akan
ada segerombolan 'serigala' Arab datang menghampiri anda, lalu mereka akan
membantai anda di atas pembaringan."
Dengan nada peringatan yang sungguh-sungguh, Khalifah Umar r.a. mengakhiri
kata-katanya: "Demi Allah, jika anda sampai melakukan apa yang
kubayangkan itu, gerombolan 'srigala' itu pasti akan berbuat seperti yang
kukatakan. Dan kalau yang demikian itu benar-benar terjadi, ingatlah kepada
kata-kataku ini! Semua itu akan terjadi"
Cara Pemilihan
Berbicara tentag wasyiat Khalifah Umar r.a. menjelang wafat nya, Syeikh Abu
Utsman Al Jahidz juga mengungkapkan keterangan Mu'ammar bin Sulaiman At
Taimiy, yang diperol~h dari Ibnu Abbas. Yang tersebut belakangan ini
diketahui pernah mendengar apa yang pernah dikatakan Umar Ibnul Khattab r.a.
kepada para Ahlu Syuro menjelang wafatnya: "Jika kalian saling membantu,
saling percaya dan saling menasehati, maka kupercayakan kepemimpinan ummat
kepada kalian, bahkan sampai kepada anak cucu kalian. Tetapi kalau kalian
saling dengki, saling membenci , saling menyalahkan dan saling bertentangan,
kepemimpinan itu akhirnya akan jauth ke tangan Muawiyah bin Abu
Sufyan!".
Perlu diketahui, bahwa ketika Khalifah Umar r.a. masih hidup, Muawiyah bin
Abu Sufyan sudah beberapa tahun lamanya menjabat sebagai kepala daerah Syam.
Ia diangkat sebagai kepala daerah oleh Umar Ibnul Khattab r.a. Sejarah
kemudian mencatat, bahwa yang diperkirakan oleh Khalifah Umax r.a. menjelang
akhir hayatnya menjadi kenyataan.
Klimaks dari penyampaian wasyiat oleh Khalifah Umar r.a. ialah memerintahkan
supaya Abu Thalhah A1 Anshariy datang menghadap. Waktu orang yang dipanggil
itu sudah berada didekat pembaringannya, berkatalah Khalifah Umar r.a. dengan
tegas dan jelas, seolah-olah sedang melepaskan sisa tenaganya yang terakhir:
"Abu Thalhah, camkan baik-baik! Kalau kalian sudah selesai memakamkan
aku, panggillah 50 orang Anshar. Jangan lupa, supaya masing-masing membawa
pedang. Lalu desaklah mereka (6 orang Ahlu Syuro) supaya segera menyelesaikan
urusan mereka (untuk memilih siapa di antara mereka itu yang akan ditetapkan
sebagai Khalifah). Kumpulkan mereka itu dalam sebuah rumah. Engkau
bersama-sama teman-i;emanmu berjaga jaga di pintu. Biarkan mereka
bermusyawarah untuk memilih salah seorang di antara mereka.
"Jika yang Iima setuju dan ada satu yang menentang, penggallah leher
orang yang menentang itu! J'ika empat orang setuju dan ada dua yang
menentang, penggallah leher dua orang itu! Jika tiga orang setuju dan tiga
orang lainnya menentang, tunggu dan lihat dulu kepada tiga orang yang
diantaranya termasuk Abdurrahman bin 'Auf. Kalian harus mendukung kesepakatan
tiga orang ini. Kalau yang tiga orang lainnya masih bersikeras menentang,penggal
saja leher tiga orang yang bersikeras itu!.
"Jika sampai tiga hari, enam orang itu belum juga mencapai kesepakatan
untuk menyelesaikan urusan mereka, penggal saja leher enam orang itu
semuanya. Biarlah kaum muslimin sendiri memilih siapa yang mereka sukai untuk
dijadikan pemimpin mereka !".
Dari sekelumit informasi sejarah tersebut di atas, kita mengetahui, betapa
tingginya rasa tanggung-jawab dan jiwa kerakyatan Khalifah Umar Ibnul Khattab
r.a. Secara tertib dan terperinci, sampai detik-detik menjelang ajalnya, ia
masih memikirkan caracara pengangkatan seorang Khalifah yang akan
mengantikannya. Sambil menahan rasa sakit akibat luka-luka tikaman sejata
tajam, ia masih sempat berusaha menyinambungkan kepemimpinan ummat Islam
sebaik-baiknya.
|
0 komentar:
Posting Komentar