SEJAK gerakan zionis internasional Freemasonry
didirikan di Inggris tahun 1717, orang Yahudi lebih suka menyelubungi aktivitas
mereka dengan selimut perkumpulan teosofi yang bertujuan
"kemanusiaan". Pengumpulan dana dipusatkan di New York . Sejak 17 November 1875,
pimpinannya adalah seorang Yahudi di Rusia, Nyonya Blavatsky. Jurnal The
Theosofist, yang diterbitkan di New
York , pada terbitan tahun 1881 menyiarkan kabar bahwa
Blavatsky mengutus Baron van Tengnagel untuk mendirikan loge, rumah ibadat kaum
Vrijmetselarij/Freemasonry di Pekalongan. Kota
ini dipilih karena sejak 1868 berubah status dari desa menjadi kota , di samping dikenal sebagai konsentrasi
santri di Jawa Tengah. Loge didirikan tahun 1883, tetapi tidak berkembang
karena reaksi keras masyarakat berhubung praktek ritualisme mereka, yaitu
memanggil arwah. Karena itu, penduduk menyebut loge sebagai gedong setan.
Pengalaman Pekalongan memaksa mereka mengalihkan
kegiatan ke Batavia .
Dua loge besar didirikan di Jalan Merdeka Barat (sebelumnya bernama Blavatsky
Straat), dan Jalan Budi Utomo (sebelumnya bernama Vrijmetselarijweg). Dua loge
itu, di samping loge yang didirikan di Makassar, Bandung, Surabaya, Yogyakarta,
menjadi pusat kegiatan ritual saja, untuk Yahudi Belanda dan Eropa, yang
bekerja di Hindia Belanda di sektor birokrasi VOC/Pemerintah Hindia Belanda,
dan swasta.
Hindia Belanda dianggap negeri yang aman sebagai
wilayah operasi mereka, karena penduduk menganggap Yahudi Belanda/Eropa sebagai
orang Nasrani. Di samping itu, Gubernur Hindia Belanda selalu menjadi pembina
Rotary Club.
Aktivitas ritual belaka berujung pada kebuntuan:
gerakan zionis jalan di tempat. Maka, gerakan zionisme intenasional untuk Asia , yang berpusat di
Adyar , India ,
pada 31 Mei 1909 mengutus Ir. A.J.E. van Bloomenstein ke Jawa.
Untuk mengubah pola pergerakan, pada 12 November 1912
Bloomenstein berhasil mendirikan Theosofische Vereeniging (TV), yang kemudian
mendapatkan rechtpersoon, pengakuan, dan dimuat dalam Staatblaad No. 543.
TV bekerja di kalangan intelektual dan calon
intelektual bumiputra. TV pun membiayai Kongres Pemuda I, 1926. Kongres itu
bahkan digelar di loge Broederkaten di Vrijmetselarijweg. Akibatnya, ormas
pemuda memboikot kongres itu, dan reaksinya adalah, pada 27 dan 28 Oktober 1928
ormas pemuda menggelar Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Aktivitas zionis yang kian meningkat di Hindia Belanda
tidak saja di kalangan masyarakat, melainkan juga di pemerintahan, menjelang
dan pasca-Perang Dunia I itu, menggelisahkan orang-orang Jerman. Terutama peran
Snouk Hurgronje, Belanda Yahudi, dalam Perang Aceh.
Seperti diketahui, Turki sebagai sekutu Jerman gagal
membantu Aceh karena panjangnya garis supply. Kehadiran agen zionis
internasional Sneevliet di Jawa, yang berhasil mengkader pemuda intelektual Indonesia ,
makin menguatkan tekad Jerman untuk meruntuhkan pemerintah zionis Hindia
Belanda.
Hal itu tercium oleh agen Belanda. Tersebarlah isu
bahwa H.O.S. Tjokroaminoto menerima dana 2 juta gulden untuk mengkudeta
kompeni. Untuk mengonfirmasi kebenaran isu itu, Agus Salim ditugaskan menguntit
Tjokroaminoto. Ironisnya, kewibawaan Tjokroaminoto malah mempesona Salim, dan
tahun 1918 Salim mengetok kawat dari Surabaya, mengabarkan bahwa ia masuk SI
(Sarikat Islam) dan berhenti sebagai agen.
Di bidang bisnis, orang Yahudi di Jakarta menguasai
pusat bisnis elite di Pasar Baru, Jalan Juanda, dan Jalan Majapahit. Mereka
menguasai perdagangan permata, jam tangan, dan kacamata. Pusat hiburan elite di
Jakarta juga diramaikan oleh pemusik Yahudi Polandia. Akhirnya, Batavia menjadi salah
satu kota
zionis yang terpenting di Asia .
Maka, tidak mengherankan ketika Jepang sebagai sekutu
Jerman merebut Indonesia
dari tangan Belanda, Jepang melakukan kampanye anti-zionis itu. Tokoh-tokoh
zionis Hindia Belanda, seperti Ir. Van Leeweun, dikirim ke kamp tahanan dan
tewas di situ. Kesadaran anti-zionis juga merebak di kalangan rakyat. Dr.
Ratulangi pada Maret 1943 memimpin rapat raksasa di Lapangan Ikada, mengutuk
zionisme.
Usaha menghidupkan lagi gerakan zionisme masih
dilakukan pascakemerdekaan. Pada 14 Juni 1954, berdiri Jewish Community in
Indonesia, dipimpin Ketua F. Dias Santilhano dan Panitera I. Khazam. Di dalam
anggaran dasarnya dinyatakan, perkumpulan itu merupakan kelanjutan dari
Vereeniging Voor Joodsche Belangen in Nerderlandsch-Indie te Batavia, yang
berdiri pada 16 Juli 1927.
Tidak jelas, apakah perkumpulan itu di masa reformasi
kini masih eksis atau tidak. Namun, pembicaraan yang menyeruak akhir-akhir ini,
tentang operasi zionis internasional di Indonesia, kiranya mempunyai dasar yang
kuat. Baik ditilik dari sejarah kita maupun data muktahir, seperti kesaksian
mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, yang termuat dalam memoarnya yang
ditulis oleh Ramadhan KH. Di situ antara lain dikatakan, "Saya sendiri
tidak pernah punya hubungan dengan Israel, paling-paling, saya ingat, saya
pernah datang ke Jalan Tosari memenuhi undangan mata rantai Israel yang ada di
Jakarta."
0 komentar:
Posting Komentar