Hampir seluruh masyarakat keturunan
Arab di Indonesia nenek moyang mereka berasal dari Hadramaut. Sebelum Perang
Dunia ke-II banyak orang mengirimkan anaknya untuk belajar ke Hadramaut, sebuah
daerah di propinsi Yaman Bagian Selatan. Sayangnya setelah merdeka dari
Inggris, Yaman Selatan (masih belum bersatu dengan Yaman Utara) dikuasai oleh
komunis. Selama 26 tahun pemerintahan komunis, hubungan antara Hadramaut dengan
Indonesia
seolah-olah terputus. Pada abad ke-18 dan 19, misalnya, masyarakat
Nusantara lebih dapat membaca huruf Arab daripada latin. Maka, mata uang di
masa Belanda ditulis dengan huruf Arab Melayu, Arab Pegon atau Arab Jawi.
Bahkan, pada masa itu, cerita-cerita roman termasuk tulisan pengarang Tionghoa
juga ditulis dalam huruf Arab Melayu.
Sehubungan dengan hal di atas,
wajarlah bila Indonesia-Arab merupakan golongan yang sedemikian unik, karena
status atau kedudukan mereka akibat perpaduan antara Islam dan budaya Arab,
serta sejarah mereka. Kalau Belanda menyebut pribumi sebagai inlander (bangsa
kuli) yang membuat Bung Karno marah besar, keturunan Arab memberikan
penghargaan dengan sebutan ahwal (saudara dari pihak ibu). Mengingat, sebagian
besar keturunan Arab yang datang ke Indonesia tanpa disertai istri.
Mayoritas komunitas Arab lebih banyak berkumpul pada suatu daerah atau tempat
seperti di Bogor
di daerah Empang atau Pekojan di Jakarta.
Jika dilihat pada proses masuknya
Islam ke Indonesia ,
pada saat itu nuansa Budha / Hindu masih sangat kental sehingga banyak
dipengaruhi oleh kebiasaan seperti 40 harian atau Syuroan atau suatu tradisi
yang menyembah ala dinamisme / animisme. Tumbukan kebudayaan tersebut
memperlihatkan Islam tidak selalu identik dengan Arab tetapi proses adaptasi
yang bergantung dengan budaya setempat yang menentukan corak kebudayaan yang
berkembang di daerah tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar