Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

Visi dan Misi Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Dalam perspektif Pendidikan Islam Indonesia


Dunia pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinoitas tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa kemasa, dan hal tersebut tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah islam, Karenanya tidak sulit bagi dunia pesantren untuk melakukan readjustment terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Maka itu kemamupuan pesantren untuk tetap survive dalam setiap perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam melakukan adjustment dan readjustment.
Terdapat pelbagai visi, misi, karakter dan kecenderungan baru yang terus berkembang dinamis
dalam pesantren yang membuatnya tetap dan terus survive dan bahkan berpotensi besar sebagai salah satu alternatif ideal bagi masyarakat transformatif, lebih lebih ditengah pengapnya sistem pendidikan nasional yang kurang mencerdaskan dan cenderung memunculkan ketergantungan yang terus menerus. Visi dan kecenderungan tersebut antara lain :
Pertama, karakterinya yang khas dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya, yakni mengakar kuat di masyarakat dan berdiri kokoh sebagai menara air (bukan menara api). Menurut Nur Cholis Madjid, pesantren selain identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian indonesia . Nah sebagai indigenous, Pesantren selain memiliki lingkungan, juga menjadi milik lingkungannya. antara pesantren dengan lingkungannya ibarat setali mata uang, atau harimau dan rimbanya yang satu sama lain mempunyai relasi yang erat bersifat simbiotik dan organik. Karena itu posisi pesantren bagi masyarakatnya sering digambarkan seperti pada Qs. Ibrahim : 24 – 25. Laksana pohon yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya menjulang kelangit, pohon itu memberi buah setiap musim dengan idzin Allah Swt.
Kedua, Di Pesantren terdapat prinsip yang disebut Panca Jiwa, yakni berupa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan (Subahar, 2002 : 5) Menurut Subahar, Hakekat pendidikan pesantren sebenarnya terletak pada pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain, karenanya hasil pendidikan di Pesantren akan mencetak jiwa yang kokoh yang sangat menentukan falsafah hidup santri dihari kemudian, artinya, mereka tidak sekedar siap pakai tetapi yang lebih penting adalah siap hidup. Prinsip inilah yang menjadikan pesantren tetap survive dan terus menjadi oase bagi masyarakat dalam perubahan yang bagaimanapun.
Ketiga, Adanya hubungan lintas sektoral yang akrab antara santri dengan kyai. Artinya Kyai bagi santri tidak sekedar guru Ta’lim, tetapi juga sebagai guru ta’dzib dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar menyampaikan informasi keislaman, tetapi juga menyalakan etos Islam dalam setiap jiwa santri dan bahkan mengantarkannya pada taqarrub ilalloh. Karena itu hubungan kyiai dengan santri tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi lebih jauh juga bersifat batiniyah.
Keempat, Model pengasramahan. Di pesantren , terdapat istilah santri mukim, dimana santri diasramakan dalam satu tempat yang sama. Dimaksudkan selain menjadikan suasana tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau orang miskin. Juga sang kyiai dapat memantau langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih penting adalah diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan kepribadian para santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri melatih kemampuan bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi ketika mereka terjun pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Kelima, Fleksibel terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Menurut Hadi Mulyo, Salah satu faktor yang menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan menjadi alternatif prospektif dimasa yang akan datang, karena ia mempunyai karakter membuka diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan riil, dikalangan pesantren terkenal slogan “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” . (1995 : 99)
Dengan berbagai visi serta kecenderungan baru itulah, kekhawatiran banyak pihak yang memprediksi pesantren akan kehilangan nilai relevasinya dengan kehidupan sosial yang terus berubah, saat ini secara perlahan mulai terjawab, Misalnya dalam segi “Elemen pokok”, pada perkembangan selanjutnya elemen pokok pesantren tidak hanya terdiri dari : Kyai, Masjid, Pondok, Pengajian kitab klasik dan santri, sebagaimana dilihat Clifford Greertz, Martin Van Bruinessen, Zamakzary Dhofir dan Zeimek, Tapi telah jauh berkembang pada : Pusat keterampilan, gedung perguruan tinggi, pusat olah raga, kantor administrasi, perpustakaan, Laboratorium, Pusat pengembangan bahasa, koprasi, balai pengobatan, pemancar radio, penerbitan dan lain lain (Kontowijoyo, 1991 :251 dan Sujoko Prasojo, 1982 : 83)
Demikian juga kita melihat terdapat beberapa refungsionalisasi dalam pesantren, misalnya dari sekedar fungsi pendidikan dan sosial, saat ini berkembang pada fungsi ekonomi, pengkaderan, public service, dll. Dengan refungsionalisasi tersebut, pesantren pada gilirannya tidak sekedar memainkan fungsi - fungsi tradisionalnya, seperti : transmisi ilmu ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, tetapi juga telah menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (People centered development), Pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (Value oriented development), Pembangunan lembaga (Institution development) dan kemandirian (Self reliance and sustainability).
Dengan berbagai perkembangan baru yang terus bergerak (walau terkesan hati hati dan cenderung gradual evolusioner), Pesantren --menurut Azyumardi Azra.-- jelas bukan saja mampu bertahan dan survive, tapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan perubahan yang dilakukannya, pada gilirannya pesantren mampu mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan dirinya pada posisi sentral sebagai pusat pencerahan, pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan tehnologi tepat guna, pusat usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, pusat emansipasi wanita dan pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.( 1997 : xxi)
Kendati bersifat evolusioner, dengan langkah yang mantap pesantren -- khususnya di Jawa-- terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang konstan, dari tahun ke tahun mereka mampu menarik minat masyarakat stake holder untuk berbondong bondong memasukkan putra putrinya ke lembaga tersebut, tidak hanya dari sekitar wilayah mereka, tetapi juga dari luar Jawa, bahkan dari luar Negeri, seperti malaysia dan Brunai Darus Salam. Hal tersebut selain disebabkan faktor internal, dimana pesantren terus melakukan pembenahan dan konsolidasi diri, juga disebabkan faktor eksternal dimana lembaga pendidikan modern tidak mampu secara nyata melahirkan manusia yang integratif , mandiri dan berakhlakul karimah. Padahal yang paling dibutuhkan dalam dunia yang semakin menua ini tidak saja manusia yang siap pakai, yang lebih penting justru yang siap hidup, Untuk hal yang terakhir, peran alumni pesantren tidak dapat diragukan.
Dalam penelitiannya tahun 1955, Departemen Agama mencatat terdapat 30.368 pesantren dengan santri sejumlah 1.392.159 orang. Sebagai perbandingan saja pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren bertambah menjadi 37 000 buah dengan sekitar 4 juta santri. Angka angka ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren mengalami ekspansi yang menakjubkan, meski berada dibawah sistem dan kelembagaan pendidikan lainnya.
Fenomina Mutahir yang dapat diamati adalah bahwa pesantren terus mengembangkan ekspansinya hingga batas yang boleh disebut strategis, misalnya :
1.    Secara fisik, pesantren mengalami kemajuan yang cukup fenominal, sehingga tidak tepat lagi sepenuhnya diasosiasikan dengan lembaga yang berfasilitas seadanya, kumuh, sesak dan tidak heginis, tetapi seiring dengan perkembangan ekonomi umat islam, saat ini tidak sulit mencari pesantren yang memiliki gedung megah dan mentereng.
2.    Begitu juga dengan domaiannya, ia tidak saja sebagai rural based institution, tetapi juga menjadi lembaga pendidikan urban. Ini bisa dilihat dari kemunculan sejumlah pesantren kota, pesantren pembangunan, pesantren mahasiswa, pesantren tehnologi, pesantren gender, pesantren industri, pesantren lingkungan, pesantren nara pidana yang notabene berdomisili dikota kota metpropolitan. Seperti : PP Darun Najah, PP Assiddiqiyah di Jakarta, PP Alkautsar dan PP Darul Arafah di Medan, PP Darul Hikmah di Pekan baru, Al Hikam di Malang, Al Jauhar dan Nurul Islam di Jember dan banyak lagi ditempat lain seperti : Bandung, Surabaya, Jogjakarta, Semarang, dll.
3.    Selain itu saat ini pesantren tidak melulu identik dengan kelembagaan islam khas Jawa, tetapi mulai di adopsi oleh wilayah wilayah lain, seperti di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dsb.
4.    Sistem pengasramahan yang di pesantren dikenal dengan istilah santri mukim, saat ini ditiru oleh lembaga lembaga pendidikan umum, modern dan unggulan dengan istilah boarding school atau boarding system.
Di lingkungan Perguruan tinggi sudah dirintis beberapa model yang -- meski malu malu-- sesungguhnya meniru model pesantren, seperti : Pondok pesabtren Hj Nuriyah sobron di Univ. Muhammadiyah Surakarta, Pesantren Kampus di UIS Malang, Pesantren Mahasiswa di UNTAN Pontianak, dan banyak contoh contoh lain.
Tidak sedikit Pesantren yang secara cemerlang berhasil memberdayakan masyarakat disekitarnya, tidak saja dalam bidang pendidikan, tetapi juga bidang ekonomi, tehnologi dan ekologi. Pesantren Annuqoyah Guluk guluk Madura, misalnya, telah berhasil mengangkat desanya dari desa swadaya pada tahun 1978 menjadi desa swakarya pada tahun 1979 dan menjadi desa swasembada pada tahun 1981. Perubahan besar ini terjadi setelah pesantren tersebut mendirikan “Biro Pengabdian Masyarakat” yang mengantarkannya mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun 1981.
Pesantren lain yang juga mendapatkan penghargaan serupa adalah Pesantren Sabilil Muttaqin Magetan yang berhasil membuka cabang cabang pendidikan di 55 kecamatan dan ratusan desa, Pesantren ini juga berhasil memberangkatkan 354 KK untuk mengikuti kegiatan transimigrasi dengan bekal skill yang memadai, sehingga mengantarkannya mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun 1986.
Demikian juga dengan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Pesantren Maslakhul Huda margoyoso Pati, Pesantren Suralaya Tasikmalaya dan juga beberapa pesantren lainnya, yang masing masing mendapat penghargaan Kalpataru karena kontribusinya yang sangat signifikan dalam pembangunan masyarakat .
Dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT, para Kiai pesantren memulai pendidikan pesantrennya dengan modal niat ikhlas dakwah untuk menegakkan kalimatnya, didukung dengan sarana prasarana sederhana dan terbatas. Inilah ciri pesantren, tidak tergantung pada sponsor dalam melaksanakan visi dan misinya. Memang sering kita jumpai dalam jumlah kecil pesantren tradisional dengan sarana dan prasarana yang mudah, namun para Kiai dan santrinya tetap mencerminkan prilaku-prilaku kesederhanaan. Akan tetapi sebagian besar pesantren tradisional tampil dengan sarana dan prasarana sederhana. Keterbatasan sarana dan prasarana ini, ternyata tidak menyudutkan para Kiai dan santri untuk melaksanakan program-program pesantren yang telah dicanangkan. Mereka seakan sepakat bahwa pesantren tempat untuk melatih diri (riyadhoh) dengan penuh keprihatinan, asalkan tidak menghalamgi mereka untuk menuntut ilmu.
Dengan demikian jiwa kesederhanaan di atas, maka tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat, sebagai pelayan masyarakat, mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan agama Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat Islam. (Sulthon dan Ridho, 2006: 159-160).
Untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu kualitas out put pondok pesantren itu tergantung bagaimana suatu program yang sudah di tentukan oleh sosok pengasuh. Dalam artian terealisasinya visi, misi dan tujuan pondok pesantren terletak pada kebijakn seorang kiai. Oleh karena itu, ada beberapa faktor yang dimaksud dengan visi, misi dan tujuan pondok pesantren sebagaimana di bawah ini :
1. Adanya kemampuan SDM pengelola atau pengasuh
2.   Adanya strategi yang baik demi tercapainya suatu tujuan
3.   Adanya kebijaksanaan pemerintah, baik melalui perundang-undangan, surat keputusan mentri atau pejabat pemerintah dan sebagainya untuk mendukung program-program yang sudah ada di pondok pesantren.
4.   Adanya intervensi masyarakat (sosio-cultur)
5.   Dapat menyesuaikan dengan adanya perkembangan pengetahuan dan teknologi
Hal ini juga dikemukakan oleh Abdurrahman Mas’ud dkk, sesungguhnya tujuan pendidikan pesantren tergantung atau ditentukan oleh kebijakan kiai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut. Maka dari pada itu perkembangan dan perubahan pesantren yang cukup berperan aktif serta sebagai pedoman di dalam proses pendidikan untuk tercapainya tujuan instruksional selalu menggunakan kurikulum.
Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar