Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

Sejarah Perbankan Indonesia Era 1983-1998


Pada era sebelum 1983, kebijakan moneter yang diterapkan
pemerintah bisa dikatakan mengontrol secara langsung banyak
aspek sektor perbankan. Diantara aspek yang diatur secara ketat
adalah : penetapan pagu kredit, sistem kredit selektif, dan tingkat
Sesuai UU No.13/1968 dan UU No. 14/1967, bank-bank pada mulanya
diklasifikasikan berdasar fungsinya, yaitu: Bank Sentral, Bank Umum,
Bank Tabungan, Bank Pembangunan dan Bank desa. Klasifikasi bank
(selain bank sentral) menjadi kabur sejak era 80-an, karena melakukan
kegiatan usaha yang hampir sama.
34 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
suku bunga. Meskipun bersifat tumpang tindih, klasifikasi jenis bank

masih berlaku secara perundang-undangan, sehingga tetap ada
beberapa batasan operasional bagi setiap jenis bank.
Pemerintah sendiri kemudian menganggap kebanyakan regulasinya
telah menjadi kendala bagi optimalisasi pengalokasian kredit,
dan juga mengurangi kemampuan mobilisasi dana masyarakat.
Pandangan serupa telah berkembang terlebih dahulu di kalangan
perbankan dan para ahli ekonomi. Wacana yang mendominasi
diskusi perbankan Indonesia ketika itu adalah perlunya deregulasi
dan liberalisasi.
Keluarnya paket deregulasi perbankan pada Juni 1983 telah
memulai liberalisasi sektor perbankan di Indonesia. Paket kebijakan
Juni 1983 yang menghapuskan sistem kontrol langsung di sektor
moneter, diikuti oleh paket lain yang sama-sama bernuansa liberalisasi,
yakni pada Oktober 1986 dan Oktober 1988 (Pakto 1988).
Pakto 1988 tergolong paling dramatis mengubah aturan main di
sektor perbankan, diantaranya yang terpenting adalah: kemudahan
pembukaan kantor cabang, kemudahan pendirian bank baru, dan
penurunan reserve requirement.
Bergulirnya paket-paket kebijakan itu sedikit banyak mulai tidak
bersesuaian dengan UU perbankan tahun 1967, sehingga diperlukan
undang-undang yang baru. Kemudian ditetapkanlah UU No.7 Tahun
1992 tentang Perbankan. Di dalamnya disebutkan bahwa jenis bank
hanya ada dua: Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Dengan kata lain, segala batasan definisi yang sedikit menganggu
telah dihilangkan, dan semua bank selain BPR dan Bank Indonesia
adalah bank umum.
Jumlah Bank Umum dan kantor bank umum terus mengalami
perkembangan yang pesat sejak deregulasi perbankan yang tercantum
dalam Pakto 88, yang memang memberi kemudahan besar bagi
Sejarah Perbankan Indonesia 35
pendirian bank. Pertumbuhan pesat itu didominasi oleh pendirian
Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan BUSN Non Devisa.
Hanya dalam waktu setahun, pada akhir tahun 1989, jumlah bank dan
kantor bank umum meningkat sehingga masing-masing menjadi 158
bank dan 3.136 kantor, dimana sebelumnya hanya 111 bank dan 1.957
kantor (sebelum pakto 1988). Peningkatan jumlah bank dan kantor
bank yang sangat pesat masih berlanjut hingga akhir tahun 1991,
kemudian sedikit melambat pada tahun-tahun berikutnya. Meskipun
demikian, jumlah totalnya tetap meningkat dan mencapai puncaknya
pada akhir tahun 1996, yaitu 239 bank dengan 7.314 kantor.
Pertumbuhan pesat terjadi pula untuk jenis Bank Perkreditan
Rakyat (BPR), yang membuat praktek perbankan tersebar sampai ke
pelosok pedesaan di Indonesia. Jumlah BPR pada era 90-an mencapai
lebih dari 9.000 unit, yang terdiri dari bentuk badan hukum
Perseroan Terbatas (PT) sekitar 65%, Perusahaan Daerah (PD) sekitar
30%, dan Koperasi sekitar 5%.
Sejalan dengan peningkatan bank dan jaringan kantor tersebut
maka jumlah dana yang berhasil dihimpun oleh perbankan nasional
juga meningkat pesat. Pada akhir tahun 1989, jumlah dana masyarakat
atau dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan mencapai
Rp54,4 triliun, meningkat 43,8% dibanding tahun 1988. Pertumbuhannya
sebesar 50,9 % atau menjadi Rp82,1 triliun pada tahun 1990.
Pada tahun-tahun selanjutnya, peningkatan masih berlanjut meskipun
dengan laju yang relatif lebih lambat.
Pertumbuhan pesat dalam penghimpunan dana tersebut diikuti
oleh peningkatan penyaluran dana berupa kredit. Pada akhir tahun
1989, kredit yang disalurkan perbankan mencapai Rp 69,1 triliun,
meningkat sekitar 35,5% dari tahun sebelumnya. Pertumbuhannya
sebesar 50,8 % atau menjadi Rp104,1 triliun pada tahun 1990. Pada
tahun-tahun selanjutnya, peningkatan masih berlanjut meskipun
36 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
dengan laju yang relatif lebih lambat. Perlu dicatat bahwa laju kredit
secara perlahan melampaui laju dana masyarakat yang berhasil
dihimpun, sehingga angka Loan to Deposit Ratio (LDR) selalu berada
di atas 110% sebelum terjadinya krisis.
Perkembangan DPK dan kredit yang sedemikian pesat itu
berjalan seiring dengan kondisi tingkat bunga riil yang selalu positif
setelah pakto 1988. Tingkat bunga riil adalah suku bunga nominal
dikurangi dengan tingkat inflasi. Oleh karena ditetapkan pemerintah,
maka pada era sebelumnya tercatat tingkat bunga riil yang negatif.
Tingkat bunga riil itu bahkan masih negatif di kisaran 4 % pada
periode 1983-1988.
Deregulasi 1983 dan pakto 1988 juga telah mendorong
peningkatan penggunaan uang atau yang biasa disebut dengan
pendalaman finansial (financial deepening) dalam perekonomian
Indonesia. Salah satu ukuran financial deepening adalah rasio antara
uang beredar dalam artian luas (M2) dengan produk domestik bruto
(PDB), yang terus meningkat. Rasio itu hanya sebesar 0,28 pada akhir
tahun 1988, kemudian meningkat menjadi 0,33 (1989), 0,40 (1990) dan
sebesar 0,55 (1996). Dengan kata lain, tingkat penggunaan uang oleh
masyarakat menjadi semakin besar dalam perekonomian Indonesia.
Selain sisi positif di atas, perkembangan yang bersifat negatif
kemudian mengiringi deregulasi dan liberalisasi perbankan.
Persaingan antar bank menjurus kepada hal-hal yang tidak sehat.
Iming-iming kepada nasabah penyimpan mulai berlebihan sehingga
memberatkan ongkos operasional. Pertumbuhan bank dan kantor
bank yang luar biasa pesat membuat kesulitan dalam mencari sumber
daya manusia (SDM) yang memadai, sehingga fenomena bajak
membajak manajer bank menjadi lazim, disamping ada banyak pengelola
bank yang kurang berkualitas. Sementara itu, Bank Indonesia
yang bertanggung jawab sebagai pengawas juga mengalami kesulitan
Sejarah Perbankan Indonesia 37
karena perkembangan yang sedemikian pesat. BI terutama terkendala
oleh dua hal, yakni: sistem dan aturan main yang belum
memadai dan keterbatasan SDM secara kuantitas dan kualitas.
Aspek negatif yang kemudian terbukti dan berdampak luas di
belakang hari adalah pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian
oleh banyak bank. Diantaranya adalah: pelanggaran batas maksimum
pemberian kredit (BMPK) terutama kepada pihak terkait, serta overcredit
dan overvalue atas nilai proyek dan jaminannya, pelanggaran
ketentuan Capital Adequacy Ratio (CAR) dan reserve requirement.
Sebagian besar dari daftar masalah itu kurang terlihat sebelum
krisis meledak. Persoalan sebenarnya sempat terlihat dan menjadi
wacana, ketika angka-angka kredit bermasalah mulai meningkat dan
terbuka. Namun, beberapa penyelesaian administratif yang cerdik
berhasil dilakukan oleh banyak bank dan kelompok bisnis (yang
merupakan pemilik saham mayoritas bank), sehingga indikator awal
dari krisis menjadi tersamar. Sebagai contoh, pada sepanjang tahun
1995 dan sampai pertengahan tahun 1996, bank yang tercatat melanggar
BMPK justeru menurun. Padahal jumlah bank justeru masih terus
bertambah. Disinyalir jumlahnya berlipat jika memperhitungkan
bank yang nyaris melanggar BMPK, atau mungkin secara de facto
melanggar namun tidak bisa dibuktikan pada saat itu. Yang jelas juga,
pelanggaran dilakukan oleh hampir seluruh jenis bank, termasuk
bank pemerintah. Namun bank swasta memang paling mendominasi
pelanggaran ini, baik jenis bank swasta devisa maupun non devisa.
Mudah pula dimengerti mengapa angka LDR dari banyak bank
melebihi 110% yang notabene melanggar ketentuan kehati-hatian.
Telah pula ada indikasi buruk dari tingginya rasio kredit bermasalah
pada tahun 1993 dan 1994, yang kemudian secara ajaib menurun
(sebagaimana juga pelanggaran terhadap BMPK) pada tahun 1995
dan 1996. Namun pada tahun 1997, ketika krisis mulai berlangsung,
38 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
seketika angka kredit bermasalah melesat naik. Berbagai jenis pelanggaran
terhadap ketentuan kehati-hatian yang dilakukan selama
tahun-tahun sebelumnya pun menjadi diketahui secara luas oleh
publik.
Sebagian ahli berpendapat bahwa aturan mengenai ketentuan
kehati-hatian bank telah tersedia cukup baik, setidaknya mulai awal
tahun 1990-an. Beberapa indikasi ekses negatif dari deregulasi dan
liberalisasi perbankan sudah mulai diantisipasi oleh paket-paket
kebijakan berikutnya, yang justeru bersifat regulatif. Yang paling
menjadi masalah adalah penegakkan regulasi dan kualitas pengawasan
yang lemah. Sebagai contoh, tadi kita sudah membicarakan
soal pelanggaran BMPK dan LDR, yang terlampau mudah
diselesaikan jika “ketahuan”. Sangsi yang tegas kurang ditegakkan.
Disamping itu, kemampuan untuk mendeteksi pelanggaran juga
rendah, untuk tidak mengatakan bahwa ada keterlibatan pihak
pengawas dalam masalah ini.
Sekalipun soal kelemahan pengawasan dan penegakan regulasi
ini belakangan diakui, namun terdapat perbedaan pandangan
mengenai faktor penyebabnya. Pihak Bank Indonesia yang paling
mendapat tudingan, menyanggahnya dengan argumen mengenai
tidak adanya independensi bank sentral dan lemahnya penegakan
hukum oleh aparat hukum (terkait kejahatan perbankan). Meskipun
demikian, ada pihak yang bersikeras bahwa faktor internal BI tetap
paling bertanggung jawab atas masalah tersebut. Baik menyangkut
soal keterbatasan kapasitas institusional, dan terutama sekali karena
adanya praktik korupsi dan kolusi.
Akhirnya, dalam kondisi umum perbankan yang demikian, terjadilah
krisis moneter yang semula berwujud depresiasi kurs rupiah
terhadap dolar AS terjadi secara dramatis. Suku bunga menjadi tinggi
dan laju inflasi semakin tak terkendali, diiringi dengan defisit neraca
Sejarah Perbankan Indonesia 39
pembayaran yang semakin besar. Krisis perbankan segera mengikuti
krisis moneter hanya dalam hitungan bulan, oleh karena keadaan
industri perbankan yang memang sebenarnya rapuh. Kondisi
perbankan yang demikian tidak akan mampu menanggung kondisi
moneter dan keuangan yang sedemikian berat. Secara simultan, dan
dalam waktu yang amat singkat, krisis tersebut membuat sektor riil
terpukul berat, sehingga secara keseluruhan menciptakan krisis
ekonomi.
Otoritas moneter pun dinilai terlambat bereaksi, karena belum
memiliki prosedur resolusi dari krisis yang semacam itu. Beberapa
kebijakan yang diambil sebagiannya malah memperparah keadaan.
Sebagai contoh, pengetatan likuiditas yang dilakukan Pemerintah
sebagai langkah untuk mengatasi depresiasi Rupiah, malah memberi
pukulan lanjutan bagi perbankan dan sektor riil. Penutupan 16 bank
pada tanggal 1 November 1997, yang dimaksudkan untuk mengembalikan
kepercayaan terhadap bank, mengakibatkan keadaan yang
sebaliknya. Kepercayaan masyarakat kepada bank-bank nasional
menjadi semakin rendah. Kekhawatiran akan terjadinya pencabutan
ijin usaha bank, padahal belum ada program penjaminan simpanan,
menyebabkan kepanikan masyarakat atas keamanan dananya di perbankan.
Masyarakat terdorong untuk melakukan penarikan simpanan
dari perbankan secara besar-besaran, setidaknya memindah
simpanan dari satu bank ke bank lain yang dianggap lebih
meyakinkan. Menurut catatan BI, uang kartat yang dipegang
masyarakat meningkat tajam, dari Rp24,9 triliun pada akhir oktober
1997 menjadi Rp37,5 triliun pada akhir Januari 1998, dan Rp45,4 triliun
pada bulan Juli 1998.
Akibatnya, posisi likuiditas perbankan mendapat tekanan yang
amat berat. Tekanan lain diberikan oleh fenomena inflasi, yang pada
bulan Januari 1998 saja telah mencapai 6,88%. Berbagai isu tentang
40 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
kelangkaan pasokan barang-barang kebutuhan pokok, menyebabkan
ekspektasi masyarakat terhadap inflasi semakin tinggi, disertai
peningkatan kegiatan spekulasi di pasar valuta asing. Bisa difahami
jika beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan merupakan
pemasok dana, selanjutnya juga terkena imbas, sehingga
berubah posisi menjadi peminjam dana di pasar uang antar bank.
Akhirnya, hampir seluruh bank umum nasional menghadapi
kesulitan likuiditas dalam jumlah besar sehingga menyebabkan sebagian
besar bank pernah melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum
(GWM) dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di BI.
Pada bulan Januari dan Februari 1998, tercatat 120 bank yang melanggar
GWM. Sementara itu, dana pinjaman antar bank, sebagai sarana
bank mengatasi kesulitan likuiditas dalam jangka pendek,
menawarkan bunga yang sangat tinggi, lebih dari 50%. Sumber dana
semacam itu pun makin sulit untuk diperoleh. Kesulitan likuiditas
terus berlanjut.
Peningkatan eksposure rupiah dari utang dalam dolar Amerika
semakin memberatkan bank, ditambah dengan meningkatnya kredit
bermasalah akibat banyaknya debitur yang gagal bayar (default).
Sebagai gambaran, pada April 1997, kredit bermasalah keseluruhan
perbankan masih sekitar 8,8%, yang hanya dalam kurun kurang dari
setahun melonjak menjadi 19,8% pada Maret 1998. Dan yang menarik,
kredit bermasalah pada bank pemerintah lebih besar daripada
kelompok bank lainnya, angkanya mencapai 24,2%, jauh lebih tinggi
dari rata-rata perbankan. Ini mengindikasi adanya moral hazard
pada penyaluran kredit di tahun-tahun sebelumnya.
Di lihat dari aspek permodalan, pada tahun 1997, kebanyakan
bank masih mampu memenuhi kewajiban CAR. Pada bulan Maret
1998, bank-bank tersebut umumnya sudah melanggar ketentuan
CAR. Bahkan, pada Desember 1998, kebanyakan bank memiliki CAR
yang negatif. Penurunan CAR selama setahun itu terkait dengan
Sejarah Perbankan Indonesia 41
memburuknya kualitas aset seiring dengan peningkatan kredit
macet.
Kondisi umum yang terwujud kemudian adalah banyaknya
bank menjadi insolvent. Bank-bank tersebut tidak lagi sekadar kesulitan
likuiditas, melainkan nilai aktivanya lebih kecil dari nilai
pasivanya. Dalam bahasa awam, sebagian perusahaan (bank)
tersebut sebenarnya telah bangkrut. Sebagian lainnya bertahan
dengan kondisi kesehatan yang berbeda, namun rata-rata menderita
sakit, setidaknya dalam hal likuiditas.

0 komentar:

Posting Komentar