Pasal 6 Undang-undang PPh
mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto
dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan,
termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang
diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya
pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya
lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada dana
pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian karena
penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan pengembangan
perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan,
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat
tertentu;
Rincian dari biaya-biaya
yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut
"kerugian" adalah: kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs
mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapat
dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang
dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui mekanisme
yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur
dua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut dijual atau dialihkan dan
penarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka
penarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila
harta tersebut adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa
bukunya dibebankan sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka
jumlah penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan.
Bagaimana perlakuannya
terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalam
usaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UU
ini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya
pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas
dasar pemikiran yang demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang
disebabkan oleh bencana alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya.
Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan,
seharusnya wajib pajak dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah
menghitung besarnya kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang
tersebut.
UU PPh mengatur tentang
penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal itu
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis
barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi,
bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk
keperluan penghitungan harga pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengan
cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugian
yang diderita karena bencana cara yang sama juga sebaiknya diperbolehkan.
Penerapan cara penilaian barang yang sama terhadap kerugian karena rusaknya
persediaan barang akan memberikan perlakuan yang seimbang dan netral. Apabila
ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi kesempatan mengklaim
kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-dokumen yang
harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana.
Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena
terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk:
penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25);
kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat
dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila
diperlukan).
0 komentar:
Posting Komentar