Oleh :
Fatikul
Himami dan Ahmad Luthfi
(disampaikan
dalam seminar Ekonomi Makro Islam Program Pasca Sarjana IAIN STS Jambi Januari
2008)
Teori
Konsumsi Konvensional
Teori konsumsi yang
dibahas pada tulisan ini adalah seluruh pengeluaran rumah tangga keluarga
(masyarakat). Pada umumnya pengeluaran konsumsi ini lebih besar dari
atau sama dengan 50% (> 50%) dari pendapatan nasional.
Pendapat beberapa ahli tentang teori konsumsi antara lain :
1. J.M. Keynes
Terkenal dengan Absolut Income Theory (Teori pendapatan
absolut). Keynes menyatakan tentang
hubunhgan pengeluaran konsumsi dengan pendapatan nasional yang diukur
berdasarkan harga konstan.
Jadi :
C = f ( Y d )
C = Konsumsi
F = Fungsi
Yd = Disposisi income (pendapatan yang benar-benar dapat dinikmati oleh
rumah tangga).
|
Tx = Pajak ; Tr
= Transper Payment (seperti Subsidi)
Dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa besarnya
konsumsi sangat tergantung pada besarnya pendapatan (Yd). Semakin besar
pendapatan, maka semakin tinggi pula konsusi (Yd ) dan sebaliknya.
Keynes mengatakan: Apabila pendapatan makin
tinggi/meningkat MPC tetap sedangkan APC akan menurun. Jadi makin tinggi
income, makin kecil APC.
Besarnya konsumsi adalah :
C = a + bYd atau
C = a + bYd atau
C = Co + bYd
a atau a atau Co : adalah
alpa atau dengan kata lain konsumsi terendah. Jadi meskipun pendapatannya nol,
konsumsi sebesar a/a/Co.
b/B = Beta = MPC
= Marginal Propensity to Consume
Yd = Disposible Income
Catatan :
rC
MPC =
rY
APC = (Avarage Profensity to Consume) =c/y
MPC + APC = 1
Besarnya
MPC = 0 sampai 1 atau 0 < MPC < 1
Secara singkat berikut ini
disajikan beberapa catatan mengenai fungsi consumsi Keyness yang banyak disebut
dalam literatur:
a Variabel
nyata ;
Yang
dimaksud adalah bahwa fungsi konsumsi Keyness menunjukkan hubungan antara
pendapatan nasional dengan pengeluaran konsumsi yang kedua-duanya dinyatakan
dengan menggunakan tingkat harga konstan. jadi besarnya hubungan antara
pendapatan nasional nominal dengan pengeluaran konsumsi nominal.
b Pendapatan
yang terjadi
Dalam literatur banyak disebut bahwa pendapatan nasional
yang menentukan besar kecilnya pengeluaran nasional yang terjadi (Current
National Income). Penemuan ini sekedar untuk menunjukkan bahwa yang dimaksud
Keyness bukannya pendapatan yang terjadi sebelumnya, bukan pula pendapatan yang
diramalkan akan terjadi dimasa yang akan datang.
c Pendapatan Absolut;
Dalam lliteratur banyak pula disebut-sebut bahwa fungsi
konsumsi Keyness; variabel pendapatan nasional yang perlu di interprestasikan
sebagai pendapatan nasional absolut, yang dapat dilawankan pula misalnya dengan
pendapatan relatif, pendapatan permanen dan sebagainya.
C ( harga Konstan )
Y= C
C
Co
0 Y
( harga Konstan )
Fungsi konsumsi menurut Keyness.
Kritik Keuzen terhadap teor J.M. Keyness
Penemuan empiris Keuzen,
mengenai fungsi consumsi jangka panjang nilai APC trennya tidak menurun
akan tetapi konstant. Ini berarti berbeda dengan yang diasumsikan Keynes yang
kedua adalah bahwa untuk fungsi konsumsi jangka pendek sekalipun berlaku MPC
< APC, seperti yang diasumsikan Keyness, Inter lep fungsi konsumsi yaitu CO,
mengalami perubahan dari waktu kewaktu. Bergesernya inter lep keatas ini tidak
tertampung oleh hipotesis, pendapatan absolut Keyness. Atau secara rinci
penemuan kenzen tersebut adalah :
1.
Perlu dibedakan antara fungsi konsumsi jangka (Long run
Consumtion Fungtion) dan fungsi konsumsi jangka pendek (Short run Consumtion
Fungtion) karena kedua macam fungsi konsumsi tersebut dari hasil struktur
empirisnya mempunyai bentuk yang berbeda.
2.
Fungsi konsumsi jangka pendek ternyata mengalami
pergeseran keatas, kesimpulan ini apabila diungkapkan dengan menggunakan bentuk
standar persamaan fungsi konsumsi : C = CO + by, dapat dikatakan bahwa nilai Co
tendensinya meningkat dari waktu kewaktu.
Dari penemuan inilah maka Kuezen, menyatakan bahwa yang
dibahas oleh Keyness adalah konsumsi jangka pendek. Konsumsi jangka panjang
dimulai dari nol dan konsumsi masyarakat jangka pendek berubah setiap
masa/setiap saat. Perubahan asset ini akan menambah CO jadi dalam jangka
panjang MPC = APC.
Jadi dari uraian diatas dapat dilihat bahwa baik keynes maupun Keuzen
melihat dari agregat, berbeda dengan pendapat Irving Fisher yang mengamati
dan melihat dari individu-individu (single consumtion).
2. A. Ando, R. Bruimberg dan F. Modigliani. S
( Life Cycle Hipotesis )
Asumsi yang digunakan: panjang hidupnya masyarakat
mempengaruhi konsumsinya.
Katanya : Dissaving bisa ditutup oleh saving tahun sebelumnya
C,Y
C
t p
b Y
Co
0 Y B T P
Mt = Waktu
Dari gambar di atas terlihat bahwa begitu seseorang
lahir, ia sudah mempunyai kebutuhan-kebutuhan hidup yang menuntut untuk
dipenuhi, meskipun jelas usia tersebut ia sama sekali belum dapat
berpartisipasi dalam pembentukan produk nasional. Ini berarti pendapatan
sebesar nol dan jumlah penmgeluaran konsumsinya positif, memaksa orang tersebut
melaksanakan dissaving. Baru setelah dia dewasa dan memasuki angkatan kerja ia
dapat memperoleh pendapatan dan pada usia B baru lagi terjadi dissaving
kemudian pendapatan tersebut meningkat sehingga terjadi saving sampai dengan
umur F. bila umurnya masih panjang, maka kembali terjadi dissaving.
Mengenai sumber pendapatan, Ando–Brumberg Modigliani membedakan dua sumber pendapatan yaitu tenaga
kerja sebagai sumber labour income dan kekayaan sebagai sumbere property
income.
Jadi Y = YL + YP
3. Milton
Fridman (Permanent Income Hipotesis)
Dengan
menggunakan asumsi bahwa: konsumen bersikap rasional dalam mengalokasikan
pendapatan yang diperoleh selama hayatnya diantara kurun waktu yang dihadapinya
serta menghendaki pola-pola konsumsi yang kurang lebihnya merata dari waktu
kewaktu. Milton Fridman menarik kesimpulan bahwa konsumsi permanen seseorang
konsumen atau suatu masyarakat mempunyai hubungan yang positif dan proporsional
dengan pendapatannya/pendapatan mereka yang bersangkutan.
Dalam bentuk matematis dapat diungkapkan :
Cp = K Yp
Cp = Consumsi
permanen
K =
Angka konstan yang menunjukkan bagian pendapatan permanen yang
dikonsumsi. Ini berarti 0 < k < 1
Yp =
Pendapatan permanen ;
Dari uraian di atas jelaslah sekarang bahwa seperti
halnya Ando- Brimburg – Modigliani,
Milton Fridman dan begitu juga nantinya Desenbery berhasil memberikan dasar
teoritik untuk kedua fungsi konsumsi yang ditemukan secara empirik oleh Simon
Keuze.
4. James
Desenbery.
James
Desenbery mengemukakan pendapatnya bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat
di tentukan terutama oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah
dicapainya. Ia berpendapat
bahwa apabila pendapatan berkurang, konsumen tidak akan banyak mengurangi
pengeluarannya untuk konsumsi. Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi
ini, mereka terpaksa mengurangi saving.
Selanjutnya Desenbery juga sependapat dengan penemuan
kuznets bahwa untuk setiap income yang dicapai mempunyai fungsi konsumsi jangka
pendek sendiri– endiri.
Catatan ;
Faktor–faktor yang berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi :
- Distribusi pendapatan nasional.
- Banyaknya kekayaan masyarakat dalam bentuk alat-
alat liquit.
- Banyaknya barang–barang konsumsi tahan lama dalam
masyarakat
KONSUMSI
MENURUT ISLAM
Islam adalah agama yang
ajarannya mengatur segenap prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat
melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi
kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Prilaku konsumsi yang sesuai dengan
ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai
keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Dasar Hukum Prilaku Konsumen
Islam memandang bahwa bumi
dengan segala isinya merupakan amanah Allah SWT kepada sang Khalifah agar dipergunakan
sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Dalam satu pemanfaatan yang telah
diberikan kepada sang Khalifah adalah
kegiatan ekonomi (umum) dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi (khusus). Islam
mengajarkan kepada sang khalifah
untuk memakai dasar yang benar agar mendapatkan keridhaan dari Allah Sang
Pencipta.[1]
a.
Sumber
yang Berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul
1.
Sumber
yang ada dalam al-Qur’an
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ
لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya :
Makan dan minumlah, namun janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.[2]
2.
Sumber yang berasal dari Sunnah Rasul[3],
yang artinya : Abu Said Al-Chodry r.a berkata
:
Ketika kami dalam bepergian berasama
Nabi SAW, mendadak datang seseorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan-ke
kiri seolah-olah mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda Nabi SAW : “Siapa
yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak memmpunyai
kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan pada orang
yang tidak berbekal.” kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis
kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih
dari kebutuhan hajatnya. (H.R. Muslim).
b.
Ijtihad Para Ahli Fiqh
Ijitihad berarti
meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu
persoalan syari’at. Mannan menyatakan bahwa sumber hukum ekonomi islam
(termasuk di dalamnya terdapat dasar hukum tentang prilaku konsumen) yaitu;
al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, serta qiyas dan ijtihad.
Menurut Mannan, yang ditulis oleh Muhammad dalam bukunya
”Ekonomi Mikro Islam” (2005: 165); konsumsi adalah permintaan sedangkan
produksi adalah penyediaan/penawaran. Kebutuhan konsumen, yang kini dan yang
telah diperhitungkan sebelumya, menrupakan insentif pokok bagi
kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap
pendapatannya, tetapi juga memberi insentif untuk meningkatkannya.
Hal ini berarti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi
adalah penting. dan hanya para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya
untuk memahami dan menjelaskan prinsip
produksi maupun konsumsi, mereka dapat dianggap kompeten untuk mengembangkan
hukum-hukum nilai dan distribusi atau hampir setiap cabang lain dari subyek
tersebut.
Menurut Muhammad perbedaan antara ilmu ekonomi modren dan
ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam
memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis
semata-mata dari pola konsumsi modren.[4]
Lebih lanjut Mannan mengatakan semakin tinggi kita menaiki jenjang peradaban, semakin kita terkalahkan oleh
kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor psikologis. Cita rasa seni, keangkuhan,
dorongan-dorongan untuk pamer semua faktor ini memainkan peran yang semakin
dominan dalam menentukan bentuk lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan
fisiologik kita. Dalam suatu masyarakat primitif, konsomsi sangat sederhana,
karena kebutuhannya sangat sederhana. Tetapi peradaban modren telah
menghancurkan kesederhanaan manis akan kebutuhan-kabutuhan ini.[5]
Prinsip
Konsumsi Dalam Islam
Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana
yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada ditangan
orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan
anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas
anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur’an
Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya
yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.[6]
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang
yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam. Sebab kenikmatan
yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya yang berfirman
kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam
Al-Qur’an
يَاأَيُّهاَ
النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.[7]
Etika ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mngurangi kebutuhan material yang
luar biasa sekarang ini, untuk mngurangi energi manusia dalam mengejar
cita-cita spiritualnya. Perkembangan bathiniah yang bukan perluasan lahiriah,
telah dijadikan cita-cita tertinggi manusia dalam hidup. Tetapi semangat modren
dunia barat, sekalipun tidak merendahkan nilai kebutuhan akan kesempurnaan
batin, namun rupanya telah mengalihkan tekanan kearah perbaikan kondisi-kondisi
kehidupan material. Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip
dasar[8].
1.
Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki
secara halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, yang
terlarang adalah darh, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi,
daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain Allah, (Q.S 2.
173),
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ
بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
2.
Prinsip Kebersihan
Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an maupun Sunnah
tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena
itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua
keadaan. Dari semua yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan
bermanfaat.
3.
Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah
sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebih.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَآأَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ
تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya : ”Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas [9].................”
Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan
dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi
secara berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Praktik
memantangkan jenis makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam Islam.
4.
Prinsip Kemurahan Hati
Dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita
memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan
hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang
lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat
dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin
persesuaian bagi semua perintah-Nya.
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ
وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ
الْبَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Artinya : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang dalam
perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama
kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya-lah kamu akan
dikumpulkan.[10]
5.
Prinsip Moralitas.
Bukan hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi dengan tujuan
terakhirnya, yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan
spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan
dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan
merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-keinginan fisiknya. Hal
ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup
material dan spiritual yang berbahagia.
يَسْئَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَآإِثْمُُ كَبِيرُُ وَمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
Artinya : Mereka bertanya kepadamu (Nabi) tentang khamar dan judi.
Katakanlah, ”pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya[11].........
Teori
Konsumsi Dalam Ekonomi Islam
Barang-barang kebutuhan dasar (termasuk untuk keperluan hidup dan
kenyamanan) dapat didefenisikan sebagai barang dan jasa yang mampu memenuhi suatu
kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan perbedaan yang riil dalam kehidupan konsumen.
Barang-barang mewah sendiri dapat didefenisikan sebagai semua barang dan jasa
yang diinginkan baik untuk kebanggaan diri maupun untuk sesuatu yang sebenarnya
tidak memberikan perubahan berarti bagi kehidupan konsumen[12].
Lebih lanjut Chapra (2002 : 309) mengatakan bahwa konsumsi agregat yang
sama mungkin memiliki proporsi barang kebutuhan dasar dan barang mewah yang
berbeda (C = Cn + C1), dan tercapai tidaknya pemenuhan suatu kebutuhan tidak
tergantung kepada proporsi sumber daya yang dialokasikan kepada masing-masing
konsumsi ini. Semakin banyak sumber daya masyarakat yang digunakan untuk
konsumsi dan produksi barang dan jasa mewah (C1), semakin sedikit sumber daya yang tersedia untuk
pemenuhan kebutuhan dasar (Cn). Dengan
demikian, meski terjadi penigkatan pada konsumsi agregat, ada kemungkinan bahwa
kehidupan masyarakat tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk miskin (Cn), jika
semua peningkatan yang terjadi pada konsumsi tersebut lari ke penduduk kaya
untuk pemenuhan kebutuhan barang-barang mewah (C1).
Fungsi konsumsi di dalam ilmu makroekonomi
konvensional tidak memperhitungkan komponen-komponen konsumsi agregat
ini (Cn dan C1). Yang lebih banyak dibicarakan dalam ilmu makroekonomi
konvensional terutama mengenai pengaruh dari tingkat harga dan pendapatan
terhadap konsumsi. Hal ini dapat memperburuk analisis, karena saat tingkat
harga dan pendapatan benar-benar memainkan peran yang substansi dalam
menentukan konsumsi agregat (C), ada sejumlah faktor moral, sosial, politik,
ekonomi, dan sejarah yang mempengaruhi pengalokasiaannya pada masing-masing
komponen konsumsi (Cn dan C1). Dengan demikian, faktor-faktor nilai dan kelembagaan
serta preferensi, distribusi pendapatan dan
kekayaan, perkembangan sejarah, serta kebijakan-kebijakan pemerintah
tentunya tak dapat diabaikan dalam analisis ekonomi.
Sejumlah ekonom Muslim diantaranya adalah Zarqa (1980 dan 1982 ), Monzer
Kahf (1978 dan 1980 ), M.M. Metwally ( 1981 ), Fahim Khan ( 1988 ), M.A. Manan
( 1986 ), M.A Choudhury ( 1986 ), Munawar Iqbal ( 1986 ), Bnedjilali dan
Al-Zamil ( 1993 ) dan Ausaf Ahmad ( 1992 ) telah berusaha memformulasikan
fungsi konsumsi yang mencerminkan faktor-faktor tambahan ini meski tidak
seluruhnya, mereka beranggapan bahwa tingkat harga saja tidaklah cukup untuk
mengurangi tingkat konsumsi barang mewah (C1) yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Diperlukan cara
untuk mengubah sikap, selera dan preferensi, memberikan motivasi yang tepat,
serta menciptakan lingkungan sosial yang memandang buruk konsumsi seperti itu
(C1). Disamping itu
perlu pula untuk menyediakan sumber daya bagi penduduk miskin guna meningkatkan
daya beli atas barang-barang dan jasa-jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar
(Cn). Hal inilah
yang coba dipenuhi oleh paradigma relegius, khususnya Islam, dengan menekankan
perubahan individu dan sosial melalui reformasi moral dan kelembagaan (dalam
Chapra, 2002 ; 310 ).
Norma konsumsi Islami mungkin dapat membantu memberikan orientasi
preferensi individual yang menentang konsumsi barang-barang mewah (C1) dan bersama dengan jaring pengaman sosial, zakat, serta
pengeluaran-pengeluaran untuk amal mempengaruhi alokasi dari sumber daya yang
dapat meningkatkan tingkat konsumsi pada komponen barang kebutuhan dasar (Cn). Produsen kemudian mungkin akan merespon permintaan ini
sehingga volume investasi yang lebih besar dialihkan kepada produksi
barang-barang yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn).
Kesimpulan
Konsumsi adalah satu kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang
dianggap paling penting. Dalam ekonomi konvensional prilaku konsumsi dituntun
oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar
ini kemudian membentuk suatu prilaku konsumsi yang hedenostik – materialistik,
individualistik, serta boros (wastefull). Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa prinsip dasar bagi konsumsi adalah ”saya akan mengkonsumsi apa
saja dan dalam jumlah berapapun sepanjang : anggaran saya memenuhi dan saya
memperoleh kepuasan maksimum.
Teori prilaku konsumen yang islami dibangun atas dasar syariah Islam. Dalam
ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar, yaitu :
o
Prinsip Keadilan
o
Prinsip Kebersihan
o
Prinsip Kesederhanaan
o
Prinsip Kemurahan Hati
o
Prinsip Moralitas
Daftar pustaka
Muhammad, Drs.. Ekonomi
Mikro (Dalam Persfektif Islam). Yogyakarta
: BPFE. 2005
Mannan, M.A. Teori dan Prakrtek Ekonomi Islam (Edisi
Terjemahan). Jakarta
: Erlangga. 2000.
Kahf, Monzer, Ph. D. Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap
Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Yogyakarta
: Pustaka Pelajar. 1995 ogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf. 1997
Suprayitno, Eko Ekonomi
islam (Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,Yogyakarta.
: Graha Ilmu . 2005
Chapra. DR. M. Umer Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta : Gema Insani
Press : 2000
[1]
Drs. Muhammad. Ekonomi Mikro (Dalam Persfektif Islam). Yogyakarta : BPFE. 2005 : 162
[2] Q.S. 7. ayat; 31.
[3] Op.Cit.hlm.163.
[4]
Mannan, M.A. Teori dan Prakrtek Ekonomi Islam (Edisi Terjemahan).
Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf. 1997 : 44
[5] Ibid
[6]
Monzer Kahf, Ph. D. Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap
Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. 1995 : 27.
[7]
Q.S. : 2 : 168
[8]
Mannan, M.A. Op. Cit. 45-48
[9]
Q.S. : 5 : 87
[10]
Q.S. : 5 : 96
[11]
Q.S. : 2 : 219
[12]
Eko Suprayitno, Ekonomi islam (Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan
Konvensiona,Yogyakarta. : Graha Ilmu . 2005 : 95
0 komentar:
Posting Komentar