Pada
hari-hari terakhir hayatnya Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. telah sampai
pada puncak kematangannya, baik secara fisik, mental maupun pemikiran.
Ketaqwaan dan imannya yang kuat telah teruji dalam pengalaman membela
kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Ilmu-ilmu Ilahiyah yang diterimanya langsung
dari Nabi Muhammad s.a.w. telah cukup untuk menghadapi dan menanggulangi
berbagai problem yang akan muncul di kalangan umat Islam. Tentang hal itu
Nabi Muhammad s.a.w. sendiri telah menegaskan: "Aku ini adalah kotanya
ilmu, sedang Ali adalah pintunya."
Penegasan Nabi Muhammad s.a.w. tentang kecerdasan dan kematangan fikiran Imam
Ali r.a. kiranya cukup menjadi ukuran sejauh mana ilmu-ilmu pengetahuan yang
telah dituangkan beliau kepada putera pamannya itu.
Pandangan Nubuwwah
Adalah wajar bila Rasul Allah s.a.w. bangga mempunyai seorang keluarga yang
telah dibekali syarat-syarat untuk dapat meneruskan kepemimpinannya atas kaum
muslimin. Berkat ketajaman pandangan nubuwwahnya, Nabi Muhammad s.a.w. telah
melihat akan terjadinya hal-hal yang tidak menggembirakan sepeninggal beliau
di masa mendatang.
Mengenai hal yang terakhir ini, Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil
Balaghah, jilid X halaman 182-183 mengatakan: "Pada malam hari setelah
mempersiapkan pasukan untuk menghadapi rongrongan Romawi di Balqa --di bawah
pimpinan Usamah bin Zaid-- Nabi Muhammad s.a.w. berziarah ke makam Buqai'.
Setibanya di makam itu beliau mengucapkan: 'Assalamu 'alaikum, ya
ahlal-qubur'. Semoga tempat di mana kalian berada ini lebih tenang daripada
yang akan dialami oleh orang-orang yang masih hidup. Suatu malapetaka bakal
terjadi seperti datangnya malam yang gelap-gulita dari permulaan sampai
akhir."
Setelah memohon pengampunan bagi para ahlil-qubur, beliau memberitahu para
sahabat: "Biasanya Jibril menghadapkan Al Qur'an kepadaku tiap tahun
satu kali, tetapi tahun ini menghadapkan kepadaku sampai dua kali, kukira itu
karena ajalku sudah dekat."
Keesokan harinya Rasul Allah s.a.w. mengucapkan khutbah di hadapan jema'ah
para sahabat. Beliau berkata: " Hai orang-orang, sudah tiba saatnya aku
akan pergi dari tengah-tengah kalian. Barang siapa mempunyai titipan padaku
hendaknya datang kepadaku untuk kuserahkan kembali kepadanya. Barang siapa
mempunyai penagihan kepadaku hendaknya ia datang untuk segera kulunasi. Hai
orang-orang, antara Allah dan seorang hamba, tidak ada keturunan atau urusan
apa pun yang dapat mendatangkan kebajikan atau menolak keburukan, selain amal
perbuatan. Janganlah ada orang yang mengaku-aku dan janganlah ada orang yang
mengharap-harap. Demi Allah yang mengutusku membawa kebenaran, tidak ada apa
pun yang dapat menyelamatkan selain amal perbuatan disertai cinta-kasih.
Seandainya aku berbuat durhaka aku pun pasti tergelincir. Ya Allah ...,
amanat-Mu telah kusampaikan!"
Dari ucapan-ucapan Rasul Allah s.a.w. malam hari di makam Buqai' dan dari
khutbah beliau yang diucapkan keesokan harinya, jelaslah bagi kaum muslimin
kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi sepeninggal Rasul Allah s.a.w.
Kesukaran-kesukaran yang hanya dapat ditanggulangi dengan amal perbuatan yang
disertai cinta-kasih, sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Secara tidak
langsung pun beliau memperingatkan, bahwa barang siapa berbuat durhaka, ia
pasti akan tergelincir ke jalan yang tidak diridhoi Allah s.w.t.
Jatuh sakit
Canang dan peringatan Rasul Allah s.a.w. kepada ummatnya itu diucapkan di
kala kaum muslimin di seluruh jazirah Arab sudah dalam keadaan mantap. Hanya
dalam waktu 10 tahun, jazirah yang seluas itu telah bernaung di bawah kibaran
panji-panji agama Allah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jazirah yang
dihuni oleh qabilah-qabilah, suku-suku dan puak-puak yang saling
bertentangan, bersaingan dan bercerai-berai itu, kini telah berhasil
dipersatukan dalam satu agama, satu aqidah dan satu pimpinan. Agama Islam
aqidahnya ialah tauhid dan pimpinannya ialah Rasul Allah s.a.w.
Atas kehendak Allah s.w.t. dan rakhmat-Nya serta berkat kebijaksanaan
Rasul-Nya, perjuangan mengakhiri paganisme (agama keberhalaan) telah mencapai
prestasi yang luar biasa besarnya. Missi suci menyebarkan agama Islam,
praktis telah diselesaikan dengan sukses oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Sekembalinya dari ibadah haji wada', Rasul Allah s.a.w. mengangkat Usamah bin
Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan muslimin untuk menghadapi
rongrongan Romawi di Balqa, sebelah utara jazirah Arab. Pengangkatan Usamah
yang baru berusia 22 tahun itu, menimbulkan kekhawatiran di kalangan para
sahabat terkemuka. Sebab, selain Usamah masih terdapat panglima-panglima yang
telah banyak makan garam peperangan dan pantas untuk jabatan itu. Namun Rasul
Allah s.a.w. tetap berpegang teguh pada kebijaksanaan yang telah ditetapkan.
Secara psikologis pengangkatan Usamah bin Zaid adalah tepat. Ia seorang tokoh
muda yang cerdas dan penuh inisiatif. Lagi pula ayahnya, Zaid bin Haritsah,
bukan nama yang kecil dalam jajaran pahlawan-pahlawan Islam. Ia gugur di Mu'tah
sebagai pahlawan syahid dalam pertempuran melawan pasukan Romawi. Karena itu
diharapkan Usamah akan mendapat kesempatan baik untuk menuntut balas atas
kematian ayahnya.
Pada waktu Usamah bin Zaid dan pasukannya yang besar itu sudah dalam keadaan
siaga, tiba-tiba Rasul Allah s.a.w. jatuh sakit. Baru kali ini beliau
mengeluh tentang penyakitnya. Beliau menderita penyakit demam tinggi. Tubuh
yang selama hayatnya diabdikan kepada perjuangan di jalan Allah s.w.t., kini
tiba-tiba hampir tak bertenaga. Kaum muslimin sangat resah melihat penyakit
beliau yang tampak gawat.
Meskipun demikian, banyak juga para sahabat yang tidak percaya, bahwa jasmani
seorang manusia utusan Allah yang kekar dan kuat itu bisa dibuat tidak
berdaya oleh penyakit. Lebih-lebih karena di masa sakit itu, beliau masih
sibuk mengatasi keresahan fikiran sementara sahabat yang kurang bisa menerima
pengangkatan Usamah.
Mengenai Usamah ini, Nabi Muhammad s.a.w. cukup tegas. Putusan yang telah
beliau ambil tak dapat ditawar-tawar lagi. Usamah beliau perintahkan agar
bertindak sebagai pemimpin ekspedisi ke utara. Ketetapan yang beliau ambil
itu besar artinya bagi kaum muda. Muhammad Husein Haikal dalam bukunya
"Hayat Muhammad" tentang hal itu mengatakan: "Timbul keyakinan
di kalangan kaum muda bahwa mereka pun mampu mengemban tugas berat.
Kebijaksanaan beliau itu juga merupakan pendidikan bagi mereka agar
membiasakan diri memikul beban tanggung jawab yang besar dan berat."
Makin hari penyakit yang diderita-Rasul Allah s.a.w. makin gawat. Semula beliau
tetap berusaha agar dapat melaksanakan tugas sehari-hari, seperti mengimami
shalat jama'ah. Akan tetapi ketika dirasa penyakitnya bertambah berat, beliau
memerintahkan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. menggantikan beliau melaksanakan
tugas yang amat mulia itu. Perintah Nabi Muhammad s.a.w. kepada Abu Bakar Ash
Shiddiq ra. itulah yang kemudian diartikan orang sebagai petunjuk, bahwa Abu
Bakar r.a. adalah orang yang layak menduduki kepemimpinan ummat Islam
sepeninggal Rasul Allah s.a.w.
Wasiyat
Dalam keadaan menderita sakit yang sedang gawat-gawatnya, Rasul Allah s.a.w.
menyampaikan pesan kepada para sahabatnya kaum Muhajirin, agar memelihara
persaudaraan dan menjaga hubungan baik dengan kaum Anshar. "Mereka
itu", yakni kaum Anshar, kata Nabi Muhammad s.a.w., "adalah
orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan yang telah memberi
perlindungan kepadaku. Hendaknya kalian berbuat baik atas kebaikan mereka itu
dan memaafkan mereka bila ada yang berbuat salah."
Imam Al Bukhari dalam shahihnya mengetengahkan sebuah hadits, dengan sanad
Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah dan berasal dari Ibnu Abbas, bahwa ketika
Rasul Allah s.a.w. sedang mendekati ajal, berkata kepada para sahabat yang
berada di sekelilingnya. Di antara mereka itu terdapat Umar Ibnul Khattab
r.a. Nabi Muhammad s.a.w. berkata:
"Marilah…, akan kutuliskan untuk kalian suatu kitab (secarik surat
wasyiat) dengan mana kalian tidak akan sesat sepeninggalku."
Mendengar itu Umar bin Ibnul Khattab r.a. berkata kepada sahabat-sahabat
lainnya: "Nabi dalam keadaan sangat payah dan kalian telah mempunyai
Al-Qur'an. Cukuplah Kitab Allah itu bagi kita."
Menanggapi perkataan Umar r.a. itu para sahabat berselisih pendapat. Ada yang
minta supaya segera disediakan alat tulis agar Rasul Allah s.a.w. menuliskan
wasiyatnya yang terakhir. Ada pula yang sependapat dengan Umar r.a.
Terjadilah pertengkaran mulut, sehingga Rasul Allah s.a.w. akhirnya
menghardik: "Nyahlah kalian!"
Hadits itu tidak perlu lagi dipersoalkan kebenarannya. Sebab Al-Bukhari
sendiri meriwayatkan hadits tersebut di berbagai tempat dalam Shaihnya. Juga
Muslim dalam Shahihnya pada bagian "Wasiyat terakhir" meriwayatkan
hadits tersebut dari Sa'ad bin Zubair yang berasal dari Ibnu Abbas pula.
At-Thabrani dalam "Al-Ausath" mengemukakan: "Pada waktu Rasul
Allah s.a.w. menghadapi ajal, beliau berkata: "Bawalah kepadaku lembaran
dan tinta. Akan kutuliskan untuk kalian yang dengan itu kalian tidak akan
sesat selama-lamanya."
Mendengar ucapan Nabi Muhammd s.a.w. itu, para wanita yang menunggu di
belakang tabir (hijab) berkata kepada para sahabat Nabi yang berada di tempat
itu: "Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh Rasul Allah
?"
Umar Ibnul Khattab r.a. segera menyahut: "Kukatakan, kalian itu sama
dengan wanita-wanita yang mengelilingi Nabi Yusuf. Jika Rasul Allah sakit
kalian mencucurkan air mata dan jika beliau sehat kalian menunggangi
lehernya!"
Mendengar ucapan Umar r.a. itu Rasul Allah s.a.w. kemudian berkata
mengingatkan: "Biarkan mereka itu, mereka itu lebih baik daripada
kalian."
Hadist yang diketengahkan oleh At-Thabrani itu terdapat dalam "Kanzul
'Ummal", jilid III, hlm 138.
Penyakit Rasul Allah s.a.w. mencapai puncaknya ketika beliau berada di
kediaman Sitti Maimunah r.a., salah seorang isteri beliau. Atas kesepakatan
semua isterinya beliau meminta supaya dibawa ke tempat kediaman Sitti Aisyah
r.a. Dengan berikat kepala, beliau keluar dan berjalan sambil bertopang pada
Imam Ali r.a. dan pamannya, Abbas. Beliau tiba di tempat kediaman Sitti
Aisyah r.a. dalam keadaan lemah sekali.
Beberapa hari kemudian, di saat banyak orang sedang menunaikan shalat jama'ah
yang diimami oleh Abu Bakar r.a., tiba-tiba Nabi Muhammad s.a.w. muncul di
tengah-tengah mereka dengan bertopang pada Imam Ali r.a. serta Al Fadhl bin
Abbas. Shalat subuh berjama'ah itu hampir saja tertunda karena hal yang
mengejutkan itu. Hal itu tak sampai terjadi, karena Rasul Allah s.a.w.
memerintahkan supaya shalat dilanjutkan.
Abu Bakar r.a. sendiri merasa rikuh, berniat mundur dan hendak menyerahkan
imam shalat kepada beliau, tetapi Nabi Muhammad s.a.w. mendorongnya dari
belakang sambil berucap setengah berbisik: "Teruskan mengimami
shalat". Beliau kemudian mengambil tempat di samping kanan Abu Bakar
r.a. dan menunaikan shalat sambil duduk.
Seusai shalat Nabi Muhammad s.a.w. berbalik menghadap kebelakang dan
bertatap-muka dengan jama'ah yang memenuhi masjid. Semua bergembira melihat
Rasul Allah s.a.w. berangsur sehat. Lebih tertegun lagi tatkala beliau
berkata: " Hai kaum muslimin, api neraka sudah bertiup dan fitnahpun
akan datang seperti malam gelap-gulita. Demi Allah, aku tidak akan
menghalalkan sesuatu selain yang dihalalkan oleh Al Qur'an. Aku pun tidak
akan mengharamkan sesuatu selain yang diharamkan oleh Al Qur'an. Terkutuklah
orang yang menggunakan pekuburan sebagai tempat bersujud (Masjid)."
Kesehatan Rasul Allah s.a.w. yang secara tiba-tiba tampak pulih kembali
dengan cepat tersiar luas dan disambut gembira sekali oleh seluruh kaum
muslimin. Usamah bin Zaid, yang semula sudah siap untuk membubarkan pasukan,
karena Rasul Allah s.a.w. sakit keras, kemudian menghadap beliau untuk minta
izin menggerakkan pasukannya ke Syam. Bahkan Abu Bakar r.a. sendiri pun yakin
benar bahwa beliau sudah bisa kembali menjalankan tugas sehari-hari. Begitu
pula Umar Ibnul Khattab r.a. dan para sahabat dekat lainnya, sekarang sudah
beranjak meninggalkan masjid guna menyelesaikan keperluan masing-masing.
Wafat
Akan tetapi kondisi kesehatan beliau yang seperti itu ternyata hanya semu
belaka. Beberapa saat kemudian penyakitnya berubah menjadi gawat kembali.
Detik-detik terakhir hayatnya tiba dikala beliau berbaring di pangkuan
isterinya, Sitti Aisyah r.a.
Agak lain dari itu, menurut Imam Ahmad bin Hanbal dalam Masnadnya jilid II,
halaman 300, dan menurut At-Thabariy dalam Dzakha'irul'Uqba' halaman 73,
beliau wafat di atas pangkuan Imam Ali r.a. Ucapan terakhir yang keluar pada
detik kemangkatan beliau ialah "Ar Rafiqul A'laa. minal jannah…"
Ada yang mengatakan beliau wafat pada bagian akhir bulan shafar tahun 11
hijriyah. Ada pula sejarawan yang menyebut permulaan Rabi'ul Awwal sebagai
hari wafat beliau. Kaum Syi'ah, misalnya, mengatakan bahwa beliau wafat dua
hari terakhir bulan shafar. Tetapi banyak penulis sejarah lainnya mengatakan
pada permulaan bulan Rabi'ul Awwal tahun 11 Hijriyah, atau tanggal 8 Juni
tahun 632 Masehi.
Tentang hari dan tanggal wafatnya Rasul Allah s.a.w. bukanlah suatu masalah
yang perlu dipersoalkan. Yang penting dan yang sangat perlu ditekankan, bahwa
pada saat-saat terakhir hayatnya, beliau tidak mengatakan siapa yang akan meneruskan
kepemimpinan atas ummatnya. Hal ini di belakang hari akan menjadi titik
perbedaan pendapat tentang kepemimpinan ummat di kalangan kaum muslimin.
Rasul Allah s.a.w pulang keharibaan Allah Rabbul'alamin hanya meninggalkan
Kitab Allah yang berisi firman-firman-Nya, dan ajaran serta tauladan beliau
yang kemudian dikenal sebagai Sunnah Rasul Allah s.a.w. Beliau mangkat
meninggalkan Islam sebagai buah risalah suci dalam keadaan lengkap dan
sempurna, yang kehadirannya di permukaan bumi akan melahirkan peradaban baru
dalam kehidupan manusia.
Nabi Muhammad s.a.w. wafat meninggalkan keluarga dan para sahabat, yang
ketangguhan Iman dan kesetiaannya kepada Islam bisa diandalkan untuk menjamin
kelestarian agama Allah dan mengembang-luaskan manusia pemeluknya. Kebenaran
telah tiba dan kebatilan pasti lenyap. Itulah motto perjuangan ummat Islam
yang mau tidak mau harus diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan kuffar di
Barat dan kekuatan-kekuatan musyrikin di Timur.
Kemangkatan Rasul Allah s.a.w. merupakan peristiwa yang tidak diduga akan
secepat itu. Kejadian yang terasa sangat mengejutkan itu, mengakibatkan
banyak kaum muslimin terombang-ambing antara percaya dan tidak. Bahkan
sahabat terdekat beliau sendiri, yaitu Umar Ibnul Khattab r.a. masih juga
tidak mau percaya mendengar berita tentang wafatnya Rasul Allah s.a.w. Hingga
saat ia sendiri menyaksikan jenazah suci terbaring di rumah Sitti Aisyah
r.a., masih tetap berseru kepada semua orang: "Rasul Allah tidak wafat!
Beliau hanya menghilang dan akan kembali lagi!"
Umar Ibnul Khattab r.a. tetap membantah, bahkan mengancam-ancam setiap orang
yang mengatakan bahwa Rasul Allah telah wafat. Apa yang diperlihatkan oleh
Umar Ibnul Khattab r.a. itu hanya menunjukkan betapa hebatnya goncangan kaum
muslimin mendengar berita tentang wafatnya Nabi Muhammad s.a.w.
Seorang sahabat lainnya, Al-Mughirah, berusaha meyakinkan Umar r.a. bahwa
Rasul Allah s.a.w. benar-benar wafat. Dengan geram Umar r.a. menuduhnya
sebagai pembohong. Umar r.a. menjawab: "Beliau hanya pergi menghadap Allah,
sama seperti Musa bin Imran yang menghilang dari tengah-tengah kaumnya selama
40 hari dan akhirnya kembali lagi kepada mereka."
Banyak orang yang dituduh oleh Umar r.a. sebagai munafik, hanya karena
memberitakan kemangkatan Rasul Allah s.a:w. Kepada orang-orang yang sedang
berkerumun di masjid Nabawi, Umar r.a. meneriakkan ancaman: "Barang
siapa berani mengatakan Rasul Allah telah wafat, akan kupotong kaki dan
tangannya!" Ancaman Umar r.a. yang seperti itu cukup menambah bingungnya
kaum muslimnin yang sedang dirundung duka cita.
Abu Bakar r.a. yang baru saja datang dari Sunh, ketika mendengar Umar r.a.
melontarkan kata-kata sekeras itu, berusaha meyakinkan dengan mensitir ayat
144 Surah Ali Imran, yang dalam bahasa Indonesianya: "Muhammad itu tiada
lain hanya seorang Rasul, sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa
orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh kamu berbalik ke belakang?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang ia tak dapat mendatangkan mudharat
kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberikan balasan kepada
orang-orang yang bersyukur."
Mendengar itu sadarlah Umar Ibnul Khattab atas kekhilafannya.
Pemakaman
Pada saat wafatnya Rasul Allah s.a.w. Imam Ali r.a. adalah orang pertama yang
segera turun tangan untuk merawat dan mempersiapkan pemakaman jenazah manusia
terbesar di dunia, yang paling dicintai dan dikaguminya. Untuk pertama kali
kaum muslimin menghadapi cara pemakaman jenazah orang yang paling mereka
hormati dan mereka cintai sebagai pemimpin agung.
Seorang manusia pilihan Allah, Nabi dan Rasul-Nya. Seorang besar yang tak
akan pernah ada bandingannya dalam sejarah. Seorang arif bijaksana yang telah
berhasil mengubah tata-kehidupan bangsanya. Seorang yang telah menunjukkan
kesanggupan merombak secara menyeluruh nilai-nilai lama dan menggantinya
dengan nilai-nilai baru yang mulia dan luhur, yaitu Islam. Seorang manusia
agung yang jauh lebih mulia dibanding dengan kepala-kepala qabilah,
pemimpin-pemimpin golongan, bahkan raja-raja sekalipun. Seorang yang hanya
dalam waktu kurang lebih dua dasawarsa sanggup mengubah wajah dunia Arab dan
mengangkat derajat satu bangsa yang tadinya dipandang rendah menjadi sangat
disegani oleh kekutan-kekuatan raksasa seperti Romawi dan Persia. Jauh lebih
besar lagi, karena Nabi Muhammad s.a.w. datang ke tengah-tengah ummat manusia
membawa agama besar untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di permukaan
bumi.
Tata-cara yang direncanakan untuk memakamkan jenazah suci itu ternyata banyak
menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, terutama mengenai
problema: siapa yang berhak memandikan, siapa yang berhak menurunkan ke liang
lahad dan lain sebagainya.
Tentang di mana jenazah suci akan dikebumikan juga menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan para sahabat. Sebagian menuntut supaya jenazah Rasul
Allah s.a.w. dimakamkan di Makkah. Sebagai alasan dikatakan, di kota itulah
beliau dilahirkan. Sebagian lain menuntut supaya jenazah beliau dimakamkan di
Madinah, di pemakaman Buqai', dengan alasan agar beliau bersemayam
bersama-sama pahlawan syahid yang gugur dalam perang Uhud. Akhirnya perbedaan
pendapat ini dapat disudahi, setelah Abu Bakar r.a. mengumumkan, bahwa ia
mendengar sendiri penegasan Rasul Allah s.a.w.: "Semua Nabi dimakamkan
di tempat mereka wafat". Berdasarkan itu bulatlah mereka memakamkan
jenazah Nabi Muhammad s.a.w. di rumah beliau di Madinah.
Tentang masalah siapa yang akan mengimami shalat jenazah secara berjama'ah
juga terdapat pertikaian. Pertikaian itu terjadi karena hal itu dipandang
suatu kehormatan yang sangat tinggi bagi seorang yang bertindak selaku Imam
shalat jenazah bagi manusia agung seperti Nabi Muhammad s.a.w. Karena tidak
tercapai kesepakatan, akhirnya tiap orang melakukan shalat jenazah
sendiri-sendiri. Sementara itu terdapat riwayat lain yang mengatakan, bahwa
di kala itu Imam Ali r.a. mengusulkan shalat jenazah secara berjema'ah. Usul
tersebut diterima oleh kaum muslimin, bahkan disepakati ia bertindak sebagai
imam.
Begitu pula, tentang siapa yang akan mendapat kehormatan menurunkan jenazah
suci ke liang lahad. Abbas bin Abdul Mutthalib, paman Rasul Allah s.a.w.
mengusulkan supaya Abu Ubaidah bin Al Jarrah saja yang menurunkan ke liang
lahad. Sebagai alasan dikemukakan, bahwa dia sudah biasa menggali lahad dan
mengembumikan orang-orang Makkah. Imam Ali r.a. berpendirian lain. Ia
mengusulkan agar Abu Thalhah Al-Anshariy saja yang turun ke liang lahad.
Alasannya senada dengan paman Rasul Allah s.a.w. di atas, hanya kotanya lain:
"Ia sudah biasa menggali lahad dan memakamkan orang-orang Madinah."
Setelah melalui pertukaran pendapat beberapa lamanya, akhirnya terdapat
saling pengertian dan Abu Thalhah mendapat kehormatan menggali liang lahad.
Kemudian timbul pula problema baru. Siapa yang akan menyertai Abu Thalhah
dalam melaksanakan tugas terhormat itu?
Problema-problema seperti di atas timbul, karena tidak ada seorang pun yang
diakui otoritasnya untuk mengatur dan menentukan tata-cara pemakaman. Juga
karena tidak ada wasiyat apa pun dari Rasul Allah s.a.w. tentang sesuatu yang
perlu dilakukan kaum muslimin pada saat beliau wafat. Soal-soal yang bagi
orang zaman sekarang dianggap kurang penting, pada masa itu benar-benar
dipandang sebagai satu soal yang besar. Lebih-lebih karena yang dihadapi kaum
muslimin ialah jenazah Rasul Allah s.a.w. Hal itu wajar. Rasanya tidak ada
kehormatan yang lebih tinggi dari pada memperoleh kesempatan memberikan
pelayanan terakhir kepada jenazah suci itu.
Akhirnya Imam Ali r.a. dengan terus terang dan tegas berkata: "Tidak ada
orang yang boleh turun ke liang lahad bersama Abu Thalhah selain aku sendiri
dan Abbas."
Sungguh pun sudah ada ketegasan seperti itu dari Imam Ali r.a., namun dalam
praktek ia membolehkan juga Al-Fadhl bin Abbas dan Usamah bin Zaid turun ke
liang lahad. Hal itu menimbulkan rasa kurang enak di kalangan kaum Anshar.
Mereka menuntut agar ada seorang dari kaum Anshar yang ikut. Tuntutan yang
adil itu akhirnya disepakati dan ditunjuklah orangnya, Aus bin Khauliy. Aus
dulu pernah ikut aktif dalam perang Badr melawan kaum musyrikin Qureiys.
Dalam semua kegiatan membenahi pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w., Imam Ali
r.a. benar-benar memainkan peranan yang sangat dominan. Bahkan waktu
memandikan jenazah beliau, Imam Ali r.a.lah satu-satunya orang yang menjamah
jasad manusia agung itu. Hal itu dimungkinkan karena sebelumnya banyak orang
yang sudah mendengar, bahwa Rasul Allah s.a.w. sendiri pernah menyatakan,
hanya Imam Ali r.a. saja yang boleh melihat aurat beliau.
Kesan Imam Ali r.a. yang sangat mendalam dan selalu terkenang dari peristiwa
memandikan jenazah suci itu ialah: "…kubalikkan sedikit saja, jasad
beliau sudah menurut. Sama sekali tidak kurasakan berat. Seolah-olah ada
tangan lain yang membantuku, bukan lain pasti tangan Malaikat."
Riwayat lain mengatakan, bahwa yang memandikan jenazah Rasul Allah s.a.w.
bukan hanya Imam Ali r.a., tetapi juga Abbas bin Abdul Mutthalib serta
dibantu oleh dua orang puteranya yang bernama Al-Fadhl dan Qutsam, di samping
Usamah bin Zaid. Usamah bin Zaid dan Syukran, yang sampai saat terakhir
menjadi pembantu Rasul Allah s.a.w., dua-duanya menuangkan air. Jasad jenazah
suci dimandikan tetap dalam mengenakan pakaian. Di saat memandikan Imam Ali
r.a. tertegun oleh keharuman bau semerbak dan sambil bergumam mengucapkan:
"Demi Allah, alangkah harumnya engka.u di waktu hidup dan setelah meninggal!"
Sementara riwayat mengatakan pula, hahwa pemakaman jenazah suci itu dilakukan
pada malam hari di bawah cahaya gemerlapan bintang-bintang di langit hening.
Di tengah keheningan malam itu terdengar detak-denting suara orang menggali
lahad, bercampur suara saling berbisik, seolah-olah jangan sampai mengusik
ketenangan jenazah agung yang sedang menuju ke pembaringan terakhir. Tidak
jauh dari tempat pamakaman terdengar suara haru para wanita tertahan
mengendap-endap rintihan duka. Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun…
|
0 komentar:
Posting Komentar