1. Rekonstruksi peristiwa gerakan 30
september
PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada
bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah
dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat
tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke
posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada
era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh
dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus
menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan
kelima
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di
Jakarta pada awal tahun 1965
Pada
kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana
Menteri Zhou
Enlai menjanjikan untuk mempersenjatai 40 batalion tentara secara lengkap,
penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi
belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada
awal tahun 1965 Bung Karno mempunyai ide tentang Angkatan
Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Pandangan lain mengatakan
bahwa PKI-lah yang mengusulkan pembentukan Angkatan
Kelima tersebut dan mempersenjatai mereka. Tetapi petinggi Angkatan Darat
tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara
militer dan PKI.
Dari
tahun 1963,
kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan
antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI
mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat".
Pemimpin PKI DN
Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di
bulan Agustus 1964,
Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya
mereka.
Di
akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan
tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan
para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu,
PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan
kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan
unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.
Bentrokan-bentrokan
tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas
setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada
permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik AS. Kepemimpinan
PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang
sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh
Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama
jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri
PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno
ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Aidit
memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia
berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat
setiap hari antara tentara Republik Indonesia
dan unsur-unsur masyarakat Indonesia ,
termasuk para komunis".
Rejim
Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok
di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak
lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim
militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di
dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang
bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa
yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu,
kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam
batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer,
berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan
dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia .
Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer
dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat
negara.
Isu sakitnya Bung
Karno
Sejak
tahun 1964 sampai
menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini
meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno
hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan
tindakan tersebut.
Tahunya
Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja
dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.
Isu masalah tanah dan
bagi hasil
Pada
tahun 1960 keluarlah
Undang-Undang
Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang
Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang
sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang
dibentuk pada tahun 1948.
Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil
berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu.
Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan
sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik
tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing
aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa
Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai
‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk
membersihkannya.
Sementara
itu di Jawa Timur juga terjadi keributan antara PKI dan NU. Kiai-kiai NU yang
kebanyakan tuan tanah menolak gerakan PKI untuk membagi-bagikan tanah kepada
petani yang tidak memiliki tanah.
Keributan
antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiya)
itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat,
Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di
beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih
setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI
mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).
Faktor
Malaysia
Negara
Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada
tanggal 16
September 1963
adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia
merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI,
menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan
G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober),
dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan
Darat.
“
|
Sejak
demonstrasi anti-Indonesia di Kuala
Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa
lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana
Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda,
amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
|
”
|
Soekarno
yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang
negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan
gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang
Malaysia" kepada negara Federasi
Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia.
Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia"
ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen
Ahmad Yani
tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa
tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala
tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H.
Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu
Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan
politik di Indonesia.
Posisi
Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak
yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan
menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para
pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan.
Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan
Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa
operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi
gerilya di Malaysia , padahal
tentara Indonesia
sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui
bahwa tentara Indonesia
tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI
untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia . Soekarno, seperti yang
ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang
memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan
untuk merubah keinginannya meng"ganyang Malaysia ".
“
|
Soekarno
adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang
menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri
tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak
mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak
mungkin menjadi boneka.
|
”
|
Di
pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia "
yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan
kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung
kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada
saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi
keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai
suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia,
khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia
memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI
untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan
internasional sejak keluarnya Indonesia
dari PBB (20
Januari 1965).
Dari
sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka
yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para
pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga
menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno
berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku , Malaysia
itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak
sekarang."[2]
Dari
pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika
banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang
kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada
Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi
yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang
dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Faktor Amerika
Serikat
Amerika
Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang
Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme.
Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini
sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik
dan walkie-talkie
serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan
yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka
merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah
satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak
besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada
tanggal 8
Agustus 1965
yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di
Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam
telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober,
agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak
masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka,
dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah,
Jawa Timur,
dan Bali dilakukan
oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan
lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika
menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan
daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat
ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
Faktor
ekonomi
Ekonomi
masyarakat Indonesia
pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno
(dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia " yang dianggap akan semakin
memperparah keadaan Indonesia .
Inflasi
yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan
terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok
lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan
Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan
terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari
inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia
yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek,
serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan
kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor
ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan
pembantaian orang-orang PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali
serta tempat-tempat lainnya. Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G
30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan
Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September
1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang
lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha
Kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
2. Menganalisis beberapa pendapat tentang
G 30 S PKI
1. Pengakuan Kol. A. Latief (gembong
PKI) bahwa dua kali ia memberitahukan kepada Soeharto tentang rencana
penindakan terhadap sejumlah jendral. Dalam bahasa laten menghadapkan Dewan
Jendral kepada Presiden. Namun Soeharto yang pada saat itu Panglima Kostrad
tidak mengambil inisiatif melapor kepada atasannya. Dia diam saja dan hanya
manggut-manggut mendengar laporan itu. Latief menginformasikan rencana
penindakan terhadap pera Jendral itu dua hari dan enam sebelum hari H.
2. Fakta bahwa sebagai perwira
tinggi dengan fungsi pemandu di bawah Pangab Jendral A. Yani, Soeharto tidak
termasuk sasaran G30S/PKI. Ini bisa dipertanyakan, mengingat strategisnya
posisi Kostrad apabila Negara dalam keadaan bahaya. Kalau betul Soeharto tidak
berada dalam Inner Cycle gerakan, kemungkinan besar ia termasuk dalam daftar
korban yang dihabisi di malam tersebut.
3. Hubungan emosional cukup dan amat
dekat Soeharto dengan para pelaku PKI yakni Untung dan Latief sedangkan Sjam
termasuk kolega Soeharto di tahun-tahun sesudah Proklamasi.
4. Menurut penuturan Mayjen (Purn)
Mursjid, 30 September malam menjelang 1 Oktober 1965 itu pasukan Yon
530/Brawijaya berada di sekitar Monas. Padahal tugas panggilan dari Pangkostrad
Mayjen Soeharto adalah untuk defile 5 Oktober.
5. Mayjen (Purn) Suharjo, mantan
Pangdam Mulawarman yang sama-sama dalam tahanan dengan Mayor (Purn) Soekardi,
eks Wadan Yon 530/Brawijaya menceritakan bahwa surat perintah dari Pangkostrad
kepada DanYon 530 itu dalam rangka penugasan yang disinggung Jendral Mursjid
tadi, ternyata kemudian dibeli oleh Soeharto seharga Rp 20 juta.
Ratna Sari Dewi (mantan istri Bung Karo) pernah menyatakan: ?Sejak pagi 1 Oktober Soeharto sudah propaganda bahwa pelakunya PKI sepertinya dia sudah tahu semua seakan telah direncanakan. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana ia bisa menguasai Indonesia? Harus diingat system komunikasi saat itu belum seperti sekarang. Teleponnya belum lancar dan tak ada yang punya telepon genggam. Bagaimana dia bisa memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30 September dan segera bertindak begitu cepat? Kalau belum tahu rencana G30S/PKI ia tidak mungkin bisa melakukannya.?
3.
Menganalisis
dampak sosial politik dari peristiwa Gerakan 30 September
Pada 30 September 1965, enam jenderal senior dan beberapa orang
lainnya dibunuh dalam upaya kudeta
yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal
kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian
mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Pada saat-saat yang genting sekitar
bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang
mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap
Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi
penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang
termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Dokumen Gilchrist yang
diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar
hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh
beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan
adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa
perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar
nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas
intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber,
salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang
menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis
skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering
menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks
untuk mengirimkan berita.
Hingga
saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi
penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan
Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan
Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan,
berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief
di Rumah Sakit
Angkatan Darat
Letjen
TNI Ahmad
Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi
Tertinggi)
Mayjen
TNI Raden Suprapto (Deputi II
Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
Mayjen
TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III
Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
Mayjen
TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD
bidang Intelijen)
Brigjen
TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV
Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
Brigjen
TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur
Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal
TNI Abdul
Harris Nasution yang menjadi target utama, selamat dari upaya pembunuhan
tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan
beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan
tersebut.
Selain
itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
Bripka
Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi
Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
Kolonel
Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas)
Letkol
Sugiyono
Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas)
Para korban tersebut kemudian dibuang
ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang
dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober
4. Mendeskripsikan proses kekuatan
politik setelah peristiwa G 30 S PKI
Pemakaman
para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Pada
tanggal 1
Oktober 1965
Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh
para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di
Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada
tanggal 6
Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan
nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya,
dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera
menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa
untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia " dan tidak melawan
angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama
"Tribune".
Pada
tanggal 12
Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan
dan Kosygin mengirim pesan khusus
untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa
kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato
anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan
menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada
tanggal 16
Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan
Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden
Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
“
|
Saya
perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat
pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan
dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia
yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri
diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali
berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip
Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK
telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara
Republik Indonesa. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada
negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan,
dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,
Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas
Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau! |
”
|
Dalam
sebuah Konferensi Tiga Benua
di Havana di
bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan
mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang
yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia.
Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia
mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari,
menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan
dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi
Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil
menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan
30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di
dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Penangkapan
Simpatisan PKI
Dalam
bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka
yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau
dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.
Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah
(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut
dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang
menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut
dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan seperti barisan
Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal,
terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada
laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada
akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu
lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1]
menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan
persoalan sanitasi yang serius di Sumatra
Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari
daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang
benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat
secara serius."
Di
pulau Bali, yang
sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi
korban di permulaan 1966. Di sana
para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine
Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke
dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah
hangus.
Di
daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka
untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan
rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner
ini dipecat.
Paling
sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik
pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak
tahun 1980-an.
Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak
kudeta itu.
0 komentar:
Posting Komentar