Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

Seni Pertunjukan Dan Pencekalan


Para seniman Indonesia di Jakarta, sempat berbondong-bondong untuk curhat, mengadu serta menuntut ke DPR, pada 1990. Pasalnya kebebasan berekspresi para seniman terganggu akibat adanya pencekalan oleh aparat keamanan terhadap pertunjukan drama (Suksesi, Opera Kecoak oleh teater Koma, N.Riantiarno) dan pembacaan puisi (WS.Rendra). Tindakan tersebut dinilai sebagai pengumbaran kekuasaan oleh penguasa yang sangat berbahaya bagi aspirasi merdeka dalam demokrasi.
Menko Polkam masa itu Jendral Sudomo kemudian mengundang para seniman berdialog sambil memberikan pencerahan. Menurut beliau hal itu terjadi karena izin untuk mengadakan pertunjukan disamakan dengan izin keramaian. Maka dicarilah solusi, dalam praktek ke depan, untuk kegiatan kesenian yang nyatanya bukan keramaian biasa, aparat berwenang mesti berkonsultasi dengan komunitas budaya yang terkait dan kompeten, seperti Dewan Kesenian misalnya.
Paparan itu dapat menjinakkan keberangan para seniman. Walau pun tidak ada aturan yang resmi yang mengatakan bahwa kegiatan pertunjukan dibebaskan dari izin polisi, para seniman merasa suaranya sudah tertampung. Berbeda dengan keramaian yang mengandung pengertian kerumunan manusia dalam jumlah yang tak terbatas di tempat terbuka dan tanpa pengarahan, pertunjukan adalah sesuatu yang terbatas, terfokus terencana dengan missi, pesan dan target yang jelas dalam kemasan yang artistik. Jadi disepakati, dianggap cukup nyaman ketika pertunjukan tidak lagi dikreteriakan sebagai keramaian.
Memang kemudian sejak itu tidak ada lagi (baca: mereda) kasus pencekalan yang dapat menimbulkan keberangan. Apalagi sesudah masa reformasi. Hukum dan kekuasaan seperti lumpuh tak berdaya untuk mengawasi “keramaian:. Seni pertunjukan sendiri pun sudah meluber tanpa aling-aling menjadi alat politik dalam percaturan kekuasaan, bukan semata-mata pengejaran nilai-nilai artistic lagi. Pertunjukan gentayangan di jalanan dalam berbagai demo. Sebagaimana drama di masa Jepang yang difungsikan sebagai alat propaganada Asia Timur Raya atau berbagai pertunjukan rakyat di masa menjelang peristiwa G-30-S yang menjadi senjata partai, seni pertunjukan menjadi bagian dari keramaian untuk menggasak kekuasaan yang ingin ditumbangkan. Batas antara keramaian dan pertunjukan mengabur.
Kini 10 tahun sudah reformasi. Keramaian sudah sangat terbiasa mempergunakan pertunjukan sebagai potensi untuk membuat peristiwanya ramai. Pantomime bermunculan di mall, demo memanfaatkan teater, upacara pembukaan/peringatan digelar sebagai sebuah pertunjukan. Para pemimpin politik membaca puisi. Dan sebagainya. Sedangkan pertunjukan sendiri karena persaingan dan kebuuhan hidupnya, mulai membutuhkan dukungan publikasi yang dapat menjadikan tontonannya sebuah peristiwa (yang ramai) sehingga ekspresi mulai memperhitungkan kemasan yang bisa bikin ramai. Keramaian sudah menjadi bagian pertunjukan. Pertunjukan sendiri sudah mendekatkan dirinya dengan sengaja menjadi keramaian.
34
Kalau melihat ke belakang pada penyelenggaraan pertunjukan dalam tradisi kita, pertunjukan memang adalah keramaian. (Dari dua VCD rekaman yang dikeluarkan oleh LPSN, Endo Suanda, tentang seni pertunjukan, jelas sekali setiap pertunjukan selalu menciptakan/diikuti dengan keramaian). Tak ada pertunjukan yang semata-mata hanya pertunjukan. Mesti terkait dengan hajat lain, baik upacara keagamaan, selamatan perhelatan, peringatan peristiwa, perayaan hari-hari penting atau “terapi sosial”. Dan itu merupakan peristiwa bersama yang digelar di tempat yang terbuka, dinikmati oleh masyarakat. Pertunjukan selalu adalah keramaian.
Dalam tradisi kita, kalau ada pertunjukan, seluruh masyarakat akan ikut memestakan. Tak hanya sebagai penonton, tetapi juga sebagai pendamping. Para pedagang makanan akan datang berbondong-bondong dari berbagai pelosok. Tak jarang tukang obat pun akan ikut nimbrung menggelar sulap dan permainannya. Pasar malam tidak akan afdol tanpa ada pertunjukan. Setiap pertunjukan juga menciptakan semacam pasar malam.
Pertunjukan dalam tradisi kita selalu menjadi sebuah peristiwa bersama, kesempatan berkumpul, bersosialisasi. Bagi kawula muda, keramaian pertunjukan itulah kesempatan mereka bertemu dan memadu janji. Jadi nilai sosial (baca: nilai keramaian) setiap pertunjukan sangat tinggi.
Di beberapa wilayah, kita menjumpai pertunjukan yang digelar untuk mengusir wabah, untuk mengundang hujan, mensyukuri panen raya, menitipkan pesan pada masyarakat (misalnya: pembatasan kelahiran dalam keluarga berencana), sehingga seni pertunjukan memiliki fungsi sebagai terapi sosial.
RRI studio Denpasar di tahun 60-am pernah menyelenggrakan sebuah pertunjukan arja (opera Bali) dengan tema maulud nabi. Kejadian itu lewat sebagai peristiwa kecil yang tidak diramaikan oleh koran, tetapi sebenarnya sebuah penanda yang sangat penting dalam menunjukkan bahwa seni pertunjukan menjadi perekat perbedaan. Menyatukan berbagai unsur yang berbeda dalam masyarakat. Keramaian dalam pertunjukan bukan berarti kehebohan tetapi perdamaian.
Dengan terpisahnya “hajat” dari pertunjukan, karena pertunjukan mulai menjadi barang komoditi, pertunjukan tidak lagi dilakukan di ruang bebas yang terbuka bagi siapa saja. Lokasinya pindah ke dalam gedung yang tertutup, yang hanya bisa dikunjungi oleh pengunjung terbatas yang diundang atau membeli tiket. Tetapi ini tidak berarti dampak keramaiannya hilang. Para wartawan, saksi budaya yang mengikuti peristiwa itu, dapat meramaikannya dengan tulisan yang bisa menggerakkan keramaian di seluruh negeri, kemudian. Jadi kendari pertunjukan disembunyikan di dalam gedung, bahkan di ruang terbatas pun, tetap tak akan bisa lepas dari kaitannya dengan “keramaian”.
Kalau begitu, apakah pertunjukan memang perlu diawasi karena dapat menyulut keramaian (baca: kehebohan)? Dibatasi baik dengan keharusan ada izin dari aparat keamanan atau sensor dari badan sensor yang dibentuk negara? Tak hanya bagi pertunjukan yang diselenggarakan di ruang publik yang terbuka, juga yang tertutup dan terbatas?
35
Dengan kata lain, apakah untuk membuat pertunjukan memerlukan izin? Dan kalau sudah menjadi produk apakah sebuah pertunjukan harus disensor sebelum boleh digelar untuk umum?
Di masa Orde Lama dan Orde Baru, pernah ada kesulitan dalam menyelenggarakan pertunjukan, karena naskahnya terlebih dahulu harus diperiksa oleh kepolisian. Pembuatan film juga harus didahului dengan pendaftaran judul dan pemeriksaaan skenario oleh Departemen Penerangan.
Di era sesudah reformasi ini, kita baru saja mendapat “hadiah” dari DPR dengan UU Pornographi yang sebelumnya bernama RUU APP. Beberapa ketentuan di dalam beberapa pasal UU yang ingin memulyakan/membela martabat wanita dan anak-anak itu dapat ditafsirkan begitu rupa, sehingga akan banyak sekali hal-hal yang biasa ditemukan dalam seni pertunjukan tiba-tiba “haram” bila kini dilaksanakan. Goyang pantat para penari Bali, pundak terbuka para penari gamyong, bisa ditafsirkan sebagai pemicu nafsu cabul sebagaimana yang dilafalkan dalam batasan pornographi sehingga dapat “diramaikan” (baca: ditindak)
Seni pertunjukan nampaknya sedang menghadapi pintu yang menyebabkan harus ada pilihan. Apakah pertunjukan adalah keramaian sebagaimana yang kita kenal dalam tradisi dan kini suka tak suka dipicu menjadi keramaian oleh era industri? Sebagai konsekuensinya, aspek “ramainya” harus diterima dengan ikhlas dan tidak dipukulrata sebagai penyulut kehebohan.
Atau pertunjukan akan dipaksa mutlak mesti memperoleh izin, agar terpisah dari keramaian dan dilarang keras untuk bikin ramai (baca: heboh). Pertunjukan dengan demikian hanya akan menjadi rakitan dan akrobatik artistik yang tidak punya kaitan sosial dengan kehidupan luas.
Lebih jauh lagi, apakah semua produk seni pertunjukan wajib lulus sensor agar tidak menjadi kehebohan apabila dilepas di ruang publik yang ramai? Ini berarti keleluasaan berekspresi yang dibuka krannya oleh reformasi, surut kembali untuk kemudian sama sekali tertutup.
Kenyataan bahwa begitu banyak perbedaan (kebhinekaan) di dalam masyarakat kita yang menjemuk, pernah kita lupakan, untuk menyatukan tekad agar bisa lepas dari penjajah. Ide tentang kemerdekaan dalam Kebangkitan Nasional 100 tahun lalu, 20 tahun kemudian pada 1928 melahirkan Soempah Pemoeda. Kita mengaku satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Seakan-akan tidak ada perbedaan sama sekali. Tapi Bung Karno dalam Lahirnya Panca Sila, mengingatkan kembali bahwa kita adalah masyarakat mejemuk bagai sebuah taman dengan banyak bunga, tetapi perbedaan itu disyukuri sebagai kelebihan. Keramaian adalah kekayaan. Maka kita kenal apa yang disebut Bhineka Tunggal Ika.
Izin, sensor dan undang-undang adalah perangkat lunak dalam berokrasi dalam mengatur kehidupan masyarakat dalam sebuah negara. Sepanjang itu tidak memusnahkan “keramaian yang kita artikan sebagai “kelebihan” (merujuk pada keterangan Bing Karno) , ia akan menjadi perangkat yang tidak hanya menertibkan tetapi juga menyemarakkan keramaian.
Tetapi kalau kemudian “perangkat lunak” itu mengekang dan menjegal kebebasan apalagi menodai hak azasi manusia, berarti sudah menjadi
36
bumerang. Untuk mencegah terjadinya akibat buruk,diperlukan kecermatan di dalam eksekusi/aplikasinya. Aturan-aturan umum, tidak berlaku pada wilayah yang memiliki adat-istiadat yang berbeda. Maka aturan-aturan umum mengenai izin, sensor dan perundang-undangan, harus benar-benar merujuk pada citra, waktu dan tempat di mana perangkat lunak itu hendak diberlakukan.
Terhadap poduk seni pertunjukan, karena berbeda dengan produk-produk lain, produk seni pertunjukan harus diatur secara khusus. Sama-sama menjadi keramaian, tetapi produk seni pertunjukan memiliki sifat-sifat keramaian yang berbeda dengan keramaian lain, misalnya rapat umum, pertandingan olahraga.
Pada seni pertunjukan di tempat terbuka memang diperlukan izin untuk menyelenggarakan pertunjukan tetapi tidak perlu untuk tempat tertutup apalagi tempat terbatas. Produk pertunjukan di tempat terbuka bisa disensor, tetapi pertunjukan untuk tempat tertutup (termasuk semua yang memakai karcis) cukup dengan klasifikasi umur. Sedangkan untuk pertunjukan terbatas, tidak perlu ada sensor, hanya perlu kepastian siapa penanggungjawabnya.
Seni pertunjukan adalah sebuah produk budaya. Di dalamnya terkandung berbagai aspek kemanusiaan yang sangat penting dalam pengembangan jatidiri manusia dan penciptaan kehidupan bermasyarakat yang lebih sempurna. Estetika dalam seni pertunjukan bukan hanya keindahan tetapi berbagai pemaknaan yang arif pada semua desiplin. Di dalamnya ada nilai moral, pendidikan, sosial bahkan juga sakral.
Dalam produk pertunjukan, hiburan bukanlah tujuan, tetapi hanya salah satu potensi. Tujuan pertunjukan adalah pertemuan rasa. Pertunjukan membiasakan manusia untuk menonton, mendengar, menerima, mempertimbangkan, mengandaikan, membayangkan, menyimak, merasakan, memikirkan, mencari kalau perlu merombvak, mengubah, mengkombinasikan, menghubungkan, mempertemukan, pendeknya memotivasi untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan dan terpikirkan sebelumnya, untuk menjemput kehidupan di masa lalu, kini dan depan dengan lebih peka, waspada dan arif.
Seni pertunjukan adalah pembelajaran yang halus terhadap kehidupan, pergaulan, hubungan kemanusiaan, pencarian diri/identitas, bahkan juga pemahaman pada kehadiran individu di tengah masyarakatnya. Sehingga seni pertunjukan tidak hanya akan membuat seseorang menjadi “seniman” tetapi manusia yang lebih memahami kehadiran orang lain dalam kehidupan. Pembelajaran seni pertunjukan pun memerlukan jurus-jurus, kiat dan perllu sekali pendekatan yanglebih tepat, mungkin sekali berbeda dari apa yang selama ini sudah dilaksanakan dalam pendidikan.
Seni pertunjukan seperti yang diisyaratkan oleh seni tradisi kita adalah sebuah sekolah non formal yang sangat deras nilai-nilai didaktisnya. Apabila ini disadari dengan sempurna, tak pelak lagi, seni pertunjukan akan menjadi perangkat keras yang sangat penting dalam pengembangan dan peningkatan kualitas “manusia masa depan” kita. Itu berarti sikap baru pada seni pertunjukan wajib menjiwai semua usaha pembuatan peraturan dan perundang-undangan, sehingga akan ada perlakuan yang lebih arif kalau tidak bisa dikatakan lebih adil bagi seni pertunjukan.
37
Seni pertunjukan Indonesia tidak hanya akan sampai pada keramaian yang dapat memicu kehebohan atau “kelangenan” yang menyebabkan kita menjadi lupa, alpa, mabok dan tidak awas terhadap tugas dan arti kehadiran. Seni pertunjukan membawa kita pada seluruh sektor kehidupan dengan berbagai aspeknya dengan lebih bijak.

0 komentar:

Posting Komentar